Pakubuwana X

susuhunan ke-9 dari Kesunanan Surakarta

Letnan Jenderal (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana X (sering disingkat sebagai PB X; 29 November 1866 – 22 Februari 1939) adalah susuhunan kesembilan dari Kesunanan Surakarta. Ia memerintah dari tahun 1893 – 1939, menjadikannya sebagai susuhunan yang paling lama memerintah dalam sejarah Surakarta.

Pakubuwana X
ꦥꦏꦸꦧꦸꦮꦤ꧇꧑꧐꧇
Sri Susuhunan Pakubuwana X
Susuhunan Surakarta
ke-9
Bertakhta30 Maret 1893 – 22 Februari 1939 (46 tahun berkuasa)
Penobatan30 Maret 1893
PendahuluPakubuwana IX
PenerusPakubuwana XI
PatihKRA. Sasradiningrat IV
KPAA. Jayanagara
KelahiranGusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna
(1866-11-29)29 November 1866
Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda
Kematian22 Februari 1939(1939-02-22) (umur 72)
Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda
Pemakaman
PasanganGKR. Pakubuwana
GKR. Hemas
(dan 39 istri selir)
KeturunanSusuhunan Pakubuwana XI
KGPH. Kusumayudha
KGPH. Hadiwijaya
Jenderal GPH. Jatikusuma
Mayjen. GPH. Purbanegara
Brigjen. GPH. Harya Mataram
GPH. Suryahamijaya
(dan 56 putra-putri lainnya)
Nama lengkap
Nama takhta
Luitenant-generaal Zijne Vorstelijke Hoogheid Sri Maharaja Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat
WangsaMataram
AyahPakubuwana IX
IbuKRAy. Kustiyah (GKR. Pakubuwana)
AgamaIslam
Pahlawan Nasional Indonesia
S.K. Presiden No. 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011.

Pakubuwana X menggantikan ayahnya, Pakubuwana IX sebagai susuhunan Surakarta ketika Pakubuwana IX meninggal pada 16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya Pakubuwana X resmi dilantik sebagai Susuhunan pada 30 Maret 1893.

Pakubuwana X ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, atas jasa dan peran aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial-ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa dan integrasi nasional.[1]

Dalam pergerakan nasional, Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu pergerakan Boedi Oetomo dan pendirian Sarekat Dagang Islam.[2][3]

Awal kehidupan

Pakubuwana X memiliki nama lahir (asma timur) sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra Pakubuwana IX yang lahir pada tanggal 29 November 1866, dari permaisuri Kanjeng Raden Ayu (KRAy.) Kustiyah, kemudian bergelar GKR. Pakubuwana.[4] Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.[5]

Kisah kelahirannya menjadi cermin kurang harmonisnya hubungan antara Pakubuwana IX dengan R.Ng. Ranggawarsita, pujangga kenamaan keraton. Pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya kepada Ranggawarsita kelak anaknya akan lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap bisa mendapat putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.[6]

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau bertirakat, berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan seorang bayi laki-laki. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.[6]

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Kurang harmonisnya hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah dari Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.[6]

Kehidupan pribadi

Pakubuwana X dikenal memiliki banyak selir, tetapi ia memiliki dua permaisuri (garwa padmi) adalah GKR. Pakubuwana putri Mangkunagara IV dan GKR. Hemas putri Hamengkubuwana VII. Dari kedua permaisurinya Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki, pernikahannya dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar Kedhaton yang kelak bergelar GKR. Pambayun.

Pakubuwana X juga memiliki 39 istri selir, dengan keseluruhan istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X memiliki 63 orang putra dan putri. Banyak dari putra-putri Pakubuwana X nantinya berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain:

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern.

Masa pemerintahan

 
Potret studio Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat baik bidang ekonomi, kesehatan dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan Bank Bandhalumaksa yang berperan memberi pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.[butuh rujukan] Di bidang pendidikan, ia mendirikan Sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan rijksstudiefond, sebuah lembaga yang memberi beasiswa bagi santana dan abdi dalem. Di bidang kesehatan Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Raga (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipala) dan apotek Panti Husada yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kridha Nirmala. Infrastruktur modern banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Taman Sriwedari, Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Gelar

Penobatan Pakubuwana X sebagai susuhunan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Maret 1893 (tahun Jawa: Kemis Wage 12 Pasa 1882). Ia memiliki berbagai gelar kebangsawanan, diantaranya:

  • Nama lahir: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna
  • Sebagai putra mahkota: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI
  • Sebagai Susuhunan: Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat

Pakubuwana X menyandang nama dan gelar yang berbeda dalam setiap fase hidupnya, seperti kebiasaan di kalangan bangsawan Jawa yang tinggi. Ketika statusnya meningkat, gelar disesuaikan dengan perubahan status. Berikut adalah gelar yang pernah disandang oleh PB X diantaranya: Luitenant-kolonel (1884-1890), Kolonel (1890-1893), Generaal-majoor Zijne Hoogheid (1893-1923), Luitenant-generaal Zijne Hoogheid (1923-1932), Luitenant-generaal Zijne Prinselijke Hoogheid dan Zijne Vorstelijke Hoogheid (1932-1939).[7]

Politik

 
Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama Rama V dari Siam (sekarang Thailand) di Keraton Surakarta (ca 1895-1910).

Selama pemerintahannya yang panjang, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyalitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan kontrak politik yang ditandatanganinya ketika naik takhta sebagai Susuhunan pada tahun 1893.[butuh rujukan] Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang pribumi saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

 
Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama Sri Sultan Hamengkubuwana VII, KGPAA. Paku Alam VII, dan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta di Keraton Surakarta (ca 1901-1921).

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali, Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Hindia Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tetapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Jawa, Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanannya bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.

Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

Mobil

Pada tahun 1894, Pakubuwana X, menjadi orang sekaligus raja Jawa pertama yang memiliki mobil. Mobil yang dibeli adalah Benz Victoria Phaeton karya Karl Benz, Jerman.

Mobil itu dipesan melalui perusahaan Prottle & Co yang berkantor di Passer Besar, Surabaya. Harganya pada saat itu 10.000 Gulden[8] yang kalau sekarang dirupiahkan sekitar Rp. 83 juta. Mobil ini baru diterima oleh Pakubuwana X setahun setelah pemesanan. Mobil tiba di pelabuhan laut Semarang.

Pada era 1800-an, sebagian besar transportasi darat di dunia, terutama di Jawa masih berbentuk gerobak yang ditarik kuda. Bahkan ada yang ditarik oleh sapi atau pun kerbau. Umumnya mendapat sebutan kereta. Masuknya Benz Victoria Phaeton ke tanah Jawa dianggap sebagai sesuatu yang unik, makanya disebut Kereta Setan karena ada 'kereta' yang berjalan tanpa ditarik kuda.[9]

Kendaraan milik Pakubuwana X (1866–1939) ini pernah diikut sertakan dalam pameran RAI Amsterdam Motor Show tahun 1924. Jadi setelah di tangan PB X, mobil tersebut dibawa ke Belanda dari pulau Jawa dan kini menghuni di sebuah museum di Amsterdam.[9]

Sebelum masuk jadi koleksi museum, pernah dimiliki oleh Royal Dutch Automobile Club (KNAC) selama bertahun-tahun. Mobil juga selalu hadir regular di acara London to Brighton Veteran Car.[9]

Setelah memesan Benz Victoria Phaeton, selang 13 tahun kemudian, Pakubuwana X kembali memesan mobil baru asal Jerman. Pada tahun 1907, mobil bernama Britz Daimler tiba di tanah Jawa sekaligus menjadi mobil Daimler pertama yang hadir di Jawa. Pada saat itu, mobil merek ini termasuk dalam kategori mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi.[9]

Kehormatan

Gelar bangsawan untuk
Pakubuwana X
Gaya referensiSusuhunan
Gaya penyebutanSahandhap Dalem
Gaya alternatifSinuhun

Pahlawan nasional

Pada tahun 2009, karena kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kepentingan penduduk pribumi di dalam kesunanan selama pemerintahannya, serta telah menjadi pelindung besar bagi banyak proyek ekonomi dan budaya lokal, Pakubuwana X ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Penghargaan

Semasa menjadi Susuhunan Surakarta, Pakubuwana X banyak menerima penghargaan berupa tanda jasa dari sejumlah negara, diantaranya :

  •   Knight Grand Cross of the Order of the Netherlands Lion - Belanda (21 Januari 1932)
  •   Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau - Belanda (10 Mei 1922)
  •   Officers' Cross - Belanda
  •   Knight Grand Cross of the Most Exalted Order of the White Elephant - Thailand (1929)
  •   Knight Grand Cross of the Most Noble Order of the Crown of Thailand - Thailand (6 Juli 1896)
  •   Grand Cross of the Royal Order of Cambodia - Kamboja
  •   Grand Cross of the House Order of the Wendish Crown - Dinasti Macklenburg (1910)
  •   Grand Cordon of the Order of Glory - Tunisia
  •   Grand Cross of the Military Order of Christ - Portugal (5 Januari 1929)
  •   Grand Cordon of the Order of the Dragon of Annam - Kekaisaran Annam/Dinasti Nguyễn
  • First Class of the Order of Kim Khanh - Kekaisaran Annam/Dinasti Nguyễn
  •   Grand Cordon of the Order of Leopold - Belgia (1935)
  •   Grand Cross of the Order of Leopold II - Belgia (1920)
  •   Grand Star of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria - Austria (1926)
  •   Grand Cordon of the Imperial Austrian Order of Franz Joseph - Austria
  •   Commander Grand Cross of the Order of the Polar Star - Swedia (1932)
  •   Grand Cross of the Order of the Star of Anjouan - Kesultanan Komoro (1936)
  •   Knight Grand Cross of the Order of the Crown of Italy - Italia
  •   Order of Brilliant Jade - Republik Tiongkok (1933)
  •   Grand Cordon of the Order of Ouissam Alaouite - Maroko (1936)
  •   Knight Grand Cross of the Order of Saint Michael - Bavaria
  •   Grand Cross of the Order of the Red Eagle - Prussia
  •   Commander 1st Class of the Order of Henry the Lion - Kadipaten Braunschweig (1910)
  •   Commander of the Order of the Dannebrog - Denmark
  •   Commander of the Order of the Black Star - Benin
  •   Grand Officer of the Liberator - Venezuela
  •   Imperial Order of the Double Dragon, First Class Second Grade - Dinasti Qing

Galeri

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: CIF. ISBN 978-979-788-343-0. 
  2. ^ Fatimah, Susi (2011). "Paku Buwono X Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional". nasional.okezone.com. Diakses tanggal 16 Agustus 2021. 
  3. ^ "Govt Gives Posthumous Honor to Heroes". The Jakarta Post. 16 Agustus 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-18. Diakses tanggal 19 Februari 2013. 
  4. ^ Hermanu Joebagjo (2015). "Politik Simbolis Kasunanan". Jurnal Sejarah dan Budaya. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. 9 (2): 185-187. ISSN 1979-9993. 
  5. ^ Kuntowijoyo (2003). "Lari Dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900-1915". Humaniora. Faklutas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. 15 (2): 200. ISSN 0852-0801. 
  6. ^ a b c Iswara N Raditya (2017). "Strategi Dua Muka Pakubuwana X Menghadapi Belanda". Tirto.id. Diakses tanggal 25 Januari 2021. 
  7. ^ http://www.royalark.net/Indonesia/solo8.htm
  8. ^ F.F. Habnit: KRÈTA SÈTAN, ‘s-Gravenhage: Tong Tong 1977. 
  9. ^ a b c d Febrian, Raju (2020). "Benz Victoria Phaeton, Mobil Pertama Masuk Indonesia Tahun 1894". zigwheels.co.id. Diakses tanggal 16 Agustus 2021. 

Kepustakaan

Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Pakubuwana IX
Susuhunan Surakarta
30 Maret 1893 – 22 Februari 1939
Diteruskan oleh:
Pakubuwana XI