Kerajaan Singasari

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Singasari (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦱꦶꦔꦱꦫꦶ, translit. Karaton Singasari) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang didirikan oleh Ken Angrok pada 1222. Sejarah kerajaan ini terkait erat dengan sosok Ken Angrok (1222–1247) yang mendirikan Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Kerajaan Singhasari

1222–1292
Perkembangan Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan Kertanegara.
Perkembangan Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan Kertanegara.
Ibu kotaKutaraja lalu berganti nama menjadi Singhasari
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sanskerta
Agama
Siwa-Buddha (Hindu dan Buddha), Kejawen, Animisme
PemerintahanMonarki
Raja 
• 1222–1227
Ken Angrok
• 1227–1248
Anusapati
• 1248–1268
Wisnuwardhana
• 1268–1292
Kertanegara
Sejarah 
1222
1275–1286
• Ekspedisi Pabali
1282–1284
• Pemberontakan Jayakatwang dari Gelanggelang
1292
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
Kadiri
Majapahit
Sekarang bagian dari Indonesia

 Malaysia

 Singapura
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Arca Prajnaparamita ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia). Keindahan arca ini mencerminkan kehalusan seni budaya Singhasari.

Nama sebenarnya dari Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel, sedangkan ibu kotanya berada di Kutaraja. Asal-usul penamaan Singhasari berawal ketika Wisnuwardhana menunjuk anaknya, Kertanagara, sebagai putra mahkota dan mengganti nama pusat pemerintahan kerajaan menjadi Singhasari. Singhasari yang sebenarnya merupakan nama ibu kota justru lebih terkenal daripada nama kerajaannya, yakni Tumapel. Pada akhirnya, masyarakat terbiasa menyebut Tumapel dengan nama Singhasari.

Kerajaan tersebut mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanagara, sekaligus menjadi raja terakhirnya. Saat itu, dia ingin menyatukan sebagian wilayah Nusantara di bawah naungan Singhasari. Dengan pusat pemerintahan di Jawa bagian timur, wilayah kekuasaan Singhasari pada era Kertanagara disebut-sebut mencakup Bali, Jawa Barat, sebagian Kalimantan, bahkan sebagian Sumatra hingga kawasan Selat Malaka.

Asal-usul

Berdasarkan keterangan dalam Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Nama Tumapel juga muncul dalam berita Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan. Kakawin Nagarakretagama memperjelas jika ibu kota Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun 1222.[1][2]

Pararaton menyebut Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu atau Kerajaan Kadiri. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri, yaitu Ken Angrok, yang kemudian mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

Ken Angrok lantas menikahi janda Tunggul Ametung yang saat itu sedang mengandung, yaitu Ken Dedes. Anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung ini nantinya diberi nama Anusapati. Selain beristrikan Ken Dedes, Ken Angrok mempunyai satu istri lagi bernama Ken Umang yang kelak melahirkan anak laki-laki bernama Tohjaya.

Ketika berkuasa, Ken Angrok berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri. Pada 1221, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para brahmana lantas menggabungkan diri dengan Ken Angrok. Perang melawan Kadiri lantas meletus di Desa Genter pada 1222 yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Tumapel, tetapi tidak menyebutkan adanya nama Ken Angrok. Dalam naskah itu, pendiri Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya, raja Kadiri.

Pada 1253, Wisnuwardhana kemudian mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Inilah yang membuat Tumapel juga dikenal dengan nama Kerajaan Singhasari.

Penemuan Prasasti Mula Malurung di sisi lain memberikan pandangan yang berbeda dengan versi Pararaton, yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel. Prasasti yang dikeluarkan Kertanagara tahun 1255 atas perintah Wisnuwardhana itu menyebutkan jika Tumapel didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Batara Syiwa", setelah menaklukkan Kerajaan Kadiri. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Tumapel itu dipuja sebagai Syiwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa Ken Angrok lebih dulu menggunakan julukan Batara Syiwa sebelum maju dalam perang melawan Kadiri.

Prasasti itu juga menyatakan jika kerajaan kemudian terpecah menjadi dua sepeninggal Ken Angrok, yaitu Tumapel yang dipimpin oleh Anusapati dan Kadiri yang dipimpin oleh Mahesa Wong Ateleng alias Batara Parameswara. Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti itu juga menyebutkan bahwa Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.

Lebih lanjut, prasasti ini menyatakan Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama yang tidak menyebut Tohjaya sebagai raja di Tumapel. Selain itu, pemberitaan dalam Nagarakretagama yang menyebut Kertanagara naik takhta tahun 1254 juga dapat diperdebatkan. Kemungkinannya adalah Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri terlebih dahulu, kemudian barulah pada 1268 dia bertakhta di Tumapel.

Silsilah Wangsa Rajasa

 
Silsilah Wangsa Rajasa dari sumber prasasti dan naskah kepujanggaan.
 
Silsilah Wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dengan blok warna dalam gambar ini.[3]

Ada dua versi dalam mengidentifikasi sejarah Tumapel atau Singhasari, yaitu Pararaton dan Kakawin Nagarakretagama. Perbedaan ini meliputi daftar Wangsa Rajasa yang berkuasa dan angka tahunnya. Wangsa Rajasa sendiri adalah keluarga yang berkuasa di Kerajaan Singhasari dan Majapahit pada kurun abad ke-13 sampai ke-15. Wangsa ini didirikan oleh Ken Angrok pada awal abad ke-13 berdasarkan gelar yang didapatkannya, yaitu "Rajasa". Keluarga kerajaan ini menjadi penguasa Singhasari dan berlanjut hingga Kerajaan Majapahit.

Versi Pararaton

Dikisahkan dalam Pararaton, Anusapati yang merupakan putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes ingin membalas dendam terhadap Ken Arok yang telah membunuh ayahnya. Pada 1247, Ken Arok mati di tangan Anusapati yang kemudian berkuasa di Tumapel. Namun, pada 1249 Anusapati tewas dihabisi oleh Tohjaya yang tidak lain adalah anak Ken Arok dari Ken Umang.

Tohjaya naik singgasana sebagai raja Tumapel setelah Anusapati tiada, tetapi takhtanya hanya berlangsung singkat. Pada 1250, pemerintahannya digulingkan oleh pasukan khusus yang dihimpun oleh Ranggawuni atau yang nantinya dikenal sebagai Wisnuwardhana. Wisnuwardhana adalah anak dari Anusapati yang melanjutkan lingkaran dendam dalam takhta Kerajaan Singasari. Wisnuwardhana lantas dinobatkan sebagai raja selanjutnya hingga mewariskan kekuasaan kepada putranya yang bernama Kertanagara.

Berikut daftar raja Tumapel menurut versi Pararaton.

  1. Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (1222–1247);
  2. Anusapati (1247–1249);
  3. Tohjaya (1249–1250);
  4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272);
  5. Kertanagara (1272–1292).

Versi Kakawin Nagarakretagama

Sementara itu, Nagarakretagama tidak menyebut sosok Tunggul Ametung, Ken Angrok, Ken Dedes, Ken Umang, dan Tohjaya maupun pembunuhan di antara penguasa Tumapel. Hal ini dapat dimaklumi karena kitab tersebut berisi pujian untuk Hayam Wuruk, raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhurnya itu dianggap sebagai aib. Namun demikian, dapat diketahui hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka.

Menurut Nagarakretagama, penguasa Tumapel yang mengalahkan Kadiri adalah Sri Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra. Rangga Rajasa memiliki putra bernama Anusapati, yang kemudian bertakhta di Tumapel dengan gelar Batara Anusapati. Anusapati digantikan oleh putranya yang bernama Wisnuwardhana pada 1248 dan memerintah hingga 1254. Selanjutnya, raja terakhir Tumapel adalah Kertanagara, putra Wisnuwardhana, yang memimpin hingga meninggal pada 1292. Kematiannya sekaligus mengakhiri riwayat kerajaan ini lantaran terjadinya pemberontakan dari dalam.

Berikut daftar raja Tumapel menurut versi Nagarakretagama.

  1. Sri Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra (1222–1227);
  2. Anusapati (1227–1248);
  3. Wisnuwardhana (1248–1254);
  4. Kertanagara (1254–1292).

Diagram silsilah di samping ini adalah urutan penguasa dari Wangsa Rajasa yang bersumber dari Pararaton maupun prasasti dan naskah kepujanggaan.

Prasasti Gondang

Prasasti Gondang adalah sebuah prasasti in-situ (masih ditempat asli) peninggalan Kerajaan Singasari yang baru ditemukan pada tahun 2017 silam di tengah persawahan di Dusun Rejoso, Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti tersebut ditemui oleh warga setempat dan terdapat bacaan dalam bahasa Jawa Kuno yang bertuliskan tahun 1197 saka atau 1275 masehi.[4]

Pemerintahan bersama

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.

Kejayaan Singhasari

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.[5]

Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.

Keruntuhan Singhasari

 
Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri karena menyimpan dendam dan ingin membalas Jayakatwang yang telah membunuh keluarga mertuanya. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.

Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kerajaan Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.

Hubungan dengan Majapahit

Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.

Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kerajaan Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.

Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Komandoko, Gamal (2010). Ensiklopedia Pelajar dan Umum. Pustaka Widyatama. ISBN 9789796103713. 
  2. ^ Anshoriy,Ch, HM Nasruddin (2008-01-01). Neo Patriotisme ; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 9789791283670. 
  3. ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117. 
  4. ^ Budianto, Enggran Eko (05 Jun 2020). "Prasasti Gondang, Bukti Kekuasaan Kerajaan Singasari di Mojokerto". detik.com. 
  5. ^ Reichle, Natasha (2007). Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture from Indonesia (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. hlm. 120. doi:10.1515/9780824865474. ISBN 978-0-8248-6547-4. § The Sumatran Image of Amoghapāśa. [...]. It is known from the Nāgarakṛtāgama that eleven years earlier Kṛtanagara had sent a military force to Malāyu. Kṛtanagara was victorious, and, according to the text, “[t]he whole territories of Pahang and Malāyu bowed humbly before him.” 

Bacaan lanjutan

  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Pranala luar

Didahului oleh:
Kadiri
Kerajaan Hindu-Budha
1222–1292
Diteruskan oleh:
Majapahit