Kesultanan Palembang

Kerajaan 1659-1821 di Sumatra Selatan

Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Sumatera yang berpusat di Kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659,[1] dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Palembang Darussalam

ڤالمبڠ دار السلام
1659–1823
Ibu kotaPalembang
Bahasa yang umum digunakan
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sultan 
• 1659-1706
Sri Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Bin Pangeran Sedo Ing Pesarean
• 1724-1758
Sultan Mahmud Badaruddin bin Sultan Mansyur Jayo ing Lago
• 1776-1803
Sultan Muhammad Bahauddin Bin Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo
• 1804-1812, 1813, 1818-1821
Sultan Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Bin Sultan Muhammad Bahauddin
• 1821-1823
Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin
• 3 Maret 2003-7 September 2017
Sultan Mahmud Badaruddin III Raden Haji Muhammad Syafei Prabu Diraja Bin Raden Haji Abdul Hamid
• 7 September 2017-Sekarang
Sultan Mahmud Badaruddin IV Jayo Wikramo Bin Sultan Mahmud Badaruddin III Raden Haji Muhammad Syafei Prabu Diraja
Sejarah 
• Didirikan
1659
• Dihapus Belanda
7 Oktober 1823
Mata uangPitis Palembang
Gulden Hindia Belanda
Rupiah
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Demak
kslKesultanan
Banten
krjKerajaan
Sriwijaya
krjKerajaan
Majapahit
kslKesultanan
Aceh Darussalam
Hindia Belanda
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.

Kekuasaan

Kesultanan yang pernah berkuasa dari tahun 1659 - 7 Oktober 1823[2] ini merupakan Kesultanan terbesar di Sumatera Bahagian Selatan. Daerah Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam ini sekarang mencakup Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu (dulu Bangka Hulu), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung.[3] Diluar Sumatera, Kasultanan ini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Banten,[4] Kesultanan Demak[5] dan Kerajaan Blambangan[6] di Banyuwangi. Sedangkan dalam Kesultanan Kubu, Kesultanan Palembang Darussalam menikah dengan Yang dipertuan Besar Kubu I, Sayyid Idrus melakukan pernikahan dengan putri Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama[7]. Dalam Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam, disebutkan bahwa Tumenggung Mancanegara (Pangeran Manchu Negoro) yang merupakan kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan Palembang Darussalam adalah isteri dari Sultan Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan masa periode pemerintahan 1598-1659.[8]

Pendirian

 
Replika takhta sultan Palembang

Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[9] disebutkan seorang tokoh Anak brawijaya sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[10] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.

 
Replika masjid agung kesultanan Palembang

Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh VOC Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah memiliki hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.[11]

Kuto Gawang

Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Beringin Janggut

Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.

Kuto Tengkuruk

Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.

Kuto Besak

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ekonomi

Situasi di Palembang mengalami naik turun setelah kejatuhan Sriwijaya. Palembang muncul kembali dalam wujud Kesultanan Palembang dan kondisi perkenomiannya yang kembali bangkit pada abad ke-16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada Minangkabau ke pasar Palembang melalui sungai Musi. Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis, Belanda dan Inggris.[12]

Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[13]

Peperangan

Pada November tahun 1659 salah satu kota terpenting di Sumatera ini dibumi hanguskan oleh seorang laksamana sekaligus jendral dari Belanda, Jhon Vander Laen. Hal ini disebab kan oleh penduduk setempat yang sempat membunuh seluruh awak kapal Belanda, Jakkarta dan Watchman. Lalu setahun kemudian membunuh dua orang Belanda yang saat itu diutus kedarat oleh kapal perang Niccoport dan Leerdam. Untuk membalas perbuatan keji tersebut sebelas kapal armada di berangkatkan dari Batavia di bawah komando Laksamana Jhon Vander Laen. Kota Palembang dibentengi oleh batang-batang pohon besar yang dirapatkan, dan bangunan-bangunan rumahnya terbuat dari papan yang mudah terbakar. Laksamana Jhon Vander Laen memerintahkan pasukannya melempar granat ke arah kota yang kemudian menyebabkan rumah-rumah yang berdempetan terbakar, warga Palembang menjadi ketakutan dan meninggalkan tempat mereka. Situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menerobos pertahanan kota lewat tiga jalur yang berbeda.

Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, tetapi ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II / Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin , sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[14]

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin .Lalu Pada Bulan Desember 1819 Sultan Mahmud Badaruddin mengangkat Putranya Pangeran Ratu (Putra Mahkota ) Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu Bin Sultan Mahmud Badaruddin menjadi pengganti Dirinya dan bertambah Gelar dia Menjadi Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin ( Dalam Versi Belanda meyebutkan Sultan Mahmud Badaruddin II, dalam Tatanan Adat Kesultanan Palembang Darussalam , Apabila Sultan Mengangkat Putranya yang dia Tunjuk Sebagai Pangeran Ratu (Puta Mahkota ) , maka bertambah gelarnya Menjadi Sultan Susuhunan .Makna kata Susuhunan artinya Yang Diutamakan , Yang Dimulupakan dan tetap wajib dipatuhi dan selalu mengontrol Pemerintahan anaknya yang dia nobatkan menjadi Sultan dan dapat membuat keputusan langsung menyangkut institusi Kesultanan bila dalam keadaan darurat . Dalam pada Tahun yang sama Tahun 1819 Kesultanan Palembang Darussalam mendapat serangan dari pasukan Hindia dan Kesultanan Paembang memenangkan Perang tersebut. Pada Tahun 1821 Belanda kembali menyerang Kesultanan Palembang yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng(diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Susuhuan Mahmud Badaruddin Bersama anaknya Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu yang kemudian diasingkan dibuang ke Ternate.Sebelum diasingkan dan dalam sangat terjepit Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin pada tanggal 1 Juli 1821 mengutus Putranya Pangeran Kesumo Abdul Hamid dan Menantunya Pangeran Kesumo Jayo Abdul Azim menemui Sultan Ahmad NajamuddinPrabu Anom dan Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin menyerahkan Pemerintahan Kesultan Palembang , setelah itu Sultan bertirah dirumah Pangeran Adipati Tuo halaman 42 Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin . Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom anak Sultan Ahmad Susuhunan Husin Dhiauddin sebagai Sultan berikutnya, tetapi pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, tetapi dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom menyerah kemudian diasingkan ke Banda dan lalu dibuang lagi ke Manado.[14]. Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin dalam Manuskrib Belanda disebut Sultan Mahmud Badaruddin II, tapi dalam Stamboom Kesultanan Palembang Darusallam tidak mengenal angka Romawi .

Para Penguasa Palembang (1455-1823)[15]

No Periode Nama Penguasa Foto
1 1455-1486 Arya Damar/Arya Dillah ( Adipatih di palembang anak dari Prabu Brawijaya V ), sebelum Masa Kerajaan Palembang .
Sebagai Kerajaan Palembang
2 1547 - 1552 Pangeran Sedo Ing Lautan
3 1552-1553 Kiai Gedeng Sura Tua
4 1553-1575 Kiai Gedeng Sura Muda (Kiai Mas Adipati Anom Ing Sura)
5 1575-1587 Kiai Mas Adipati
6 1588-1623 Pangeran Madi Angsuka
7 1623-1624 Pangeran Madi Alit
8 1624-1631 Pangeran Sedo Ing Puro
9 1631-1643 Pangeran Sedo Ing Kenayan
10 1643-1644 Pangeran Sedo Ing Pesarean
11 1643-1659 Pangeran Sedo Ing Rajek
Sebagai Kesultanan Palembang Darussalam
12 1659-1704 (Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam)

Kyai Mas Endi, Pangeran Arya Kesuma Abdurrohim

Sultan Palembang Darussalam I (Pertama)

Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam Bin Pangeran Sedo Ing Pesarean

13 1704-1709 Sultan Palembang Darussalam Ke-

-ua) Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam

14 1714-1724 Sultan Palembang Darussalam Ke-III

Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno Bin Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam

15 1724-1758 Sultan Palembang Darussalam Ke-IV

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo Bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago

16 1758-1776 Sultan Palembang Darussalam Ke-V

Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo Bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo

17 1776-1803 Sultan Palembang Darussalam Ke-VI

Sultan Muhammad Bahauddin bin Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo

Angka Romawi dalam buatan Versi Belanda tapi yang ada dalam Sejarah dan Stambom Kesultanan Palembang Darussalam adalah Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Baha'udhin(Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin dalam Versi Belanda disebut : SMB II )
18 1803-1821 Sultan Palembang Darussalam Ke-VII

Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin

(Versi manuskrib Belanda menyebut Sultan Mahmud Badaruddin II ,SMB II)

 
Angka Romawi sebagai penanda saja karena ada nama yang sama, tidak mengubah nama, misal Sultan Mahmud Baaruddin I. Dalam kaidah Bahasa Indonesia angka romawi (I) tersebut dibaca ke dua atau ke -1.
19 1813-1817 Sultan Palembang Darussalam Ke-VIII

Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin

(Versi Inggris/Belanda Menyebut : Sultan Ahmad Najamuddin II)

20 1819-1821 Sultan Palembang Darussalam Ke-IX

Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu Bin Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin

21 1821-1823 Sultan Palembang Darussalam Ke-X

Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin

7 Oktober 1823 Catatan :


Ke


sultanan Palembang Darussalam (Vakum) 7 Oktober 1823 karena tidak mau takluk pada kolonial Belanda, dan 4 Sultan Palembang Darussalam dibuang yaitu Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin dan Anaknya Sultan Muhamad Tjing Djamaludin wangsa martaradja wijya negara Pangeran Ratu Bin Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin pada tanggal 4 Syawal 1236 H dibuang ke Manado, Kemudian Bulan Jumaidil akhir 1240 Sultan Suhunan Husin Dhiauddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin dibuang Kolonial Belanda Ke Betawi, Serta Tahun 1241 H, Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin ditangkap dan di Buang oleh Kolonial Belanda ke Banda, Kemudian dibuang lagi ke Manado, sampai sekarang Makam Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom belum ditemukan.

Sekarang (Sebagai simbol adat)
22 2003 - 7 September 2017 Sultan Palembang Darussalam Ke-XI

Sultan Mahmud Badaruddin III Raden Haji Muhammad Syafei Prabu Diraja Bin Raden Haji Abdul Hamid

 
23 7 September 2017 - Sekarang Sultan Palembang Darussalam Ke-XII

Sultan Mahmud Badaruddin IV Jayo Wikramo
Raden Muhammad Fawwaz Diraja Bin Sultan Mahmud Badaruddin III Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja

 
SMB IV Jayo Wikramo Raden Muhammad Fauwaz Diradja, S.H., M.kn.

Rujukan

  1. ^ Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. hlm. 441. 
  2. ^ Kisah Berdiri dan Hancurnya Kesultanan Palembang Darussalam di Indephedia
  3. ^ Bincang-Bincang bersama SMB IV di RRI Net Palembang
  4. ^ Hubungan Kesultanan Banten dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  5. ^ Hubungan Kesultanan Demak dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  6. ^ Kyai Saleh Lateng Islamkan Kerajaan Blambangan
  7. ^ Hubungan Kesultanan Kubu dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  8. ^ Hubungan Brunei Darussalam dengan Kesultanan Palembang Darussalam
  9. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  10. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  11. ^ Poesponegoro, M.D. Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. hlm. 46. 
  12. ^ Reid, Anthony (2014). Sumatera Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 146. ISBN 979-3731-94-x Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  13. ^ Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 139. 
  14. ^ a b Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 140. 
  15. ^ Soetadji, Nanang S. (1996). “Kesultanan Palembang” Perang Palembang Melawan VOC. Palembang: Pemerintah Kotamadya Palembang. hlm. 27–30. 

Bacaan Lanjut

  • Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. Edinburgh: Balfour & Clarke. 
  • Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4. 
  • Ricklefs, M.C. (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300. California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2194-7. 
  • Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-409-8. 

Pranala luar