Medan Prijaji

surat kabar di Hindia Belanda

Medan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada Januari 1907 hingga Januari 1912.[1] Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama di Indonesia karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Selain itu, surat kabar ini juga terkenal karena seluruh pekerjanya (mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan, dan wartawannya) adalah pribumi. Medan Prijaji menjadi surat kabar pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri.[2]

Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910

Sejarah

Pendirian

Sebelum menerbitkan Medan Prijaji pada Januari 1904, Tirto Adhi Soerjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan badan hukum yang dinamakan NV (Naamloze Vennootschap) Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. Medan Prijaji berlokasi di Jalan Naripan, Bandung, tepatnya di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan atau biasa disingkat sebagai YPK). Badan hukum tersebut dicatat sebagai NV pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama dengan modal sebesar ƒ75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham.

Dengan dana tersebut terbitlah Medan Prijaji dengan format mingguan yang terbit tiap hari Jumat. Surat kabar yang berukuran seperti buku atau jurnal mungil (12,5x19,5 cm) tersebut dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Batavia. Rubrik tetapnya adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, tetapi sebagian besar dituliskan dalam satu kolom seperti jurnal.

Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Oleh karena itu, koran ini memerlukan usaha mandiri untuk melakukan pencetakan. Dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, calon pelanggan diwajibkan untuk membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun terlebih dahulu, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham. Lalu, dilakukan perbincangan dengan Inlands Bestuur yang tertarik dengan gagasannya. Dua orang penyumbang dana besarnya adalah Bupati Cianjur saat itu, Raden Aria Adipati Prawiradiredja I, dan Sultan Bacan Oesman Sjah. ing-ing dari mereka menyumbang ƒ1.000 dan ƒ500.

Edisi pertama

Ketika pertama kali diterbitkan di Bandung, Medan Prijaji mencantumkan moto di bawah namanya, yang dituliskan sebagai berikut.

"Ja'ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda".

Delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Surjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi infori, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebutkan nama-nama para pengelola Medan Prijaji, yaitu Tirto Adi Soerjo sebagai pemimpin redaksi, kemudian redaktur dari Bandung, yaitu A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto, redaktur di Bogor, yaitu R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena, dan J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di 's Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Lalu, disebutkan juga adanya beberapa jurnalis Tionghoa dan pribumi, antara lain Begelener, Hadji Moekti, dan lain-lain.

Surat kabar harian

Pada tahun 1910 di Batavia, Medan Prijaji terbit tiap hari, kecuali hari Jumat, Minggu, dan hari raya. Rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta penyuluhan hukum gratis yang disediakan Medan Prijaji kepada rakyat yang memiliki alah. Hal inilah yang membuat koran ini berkembang. Simpati pun datang berlimpahan hingga pada tahun ketiga terbitannya, tepatnya 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi surat kabar harian dengan 2.000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: "untuk harian Eropa di Hindia pun sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu...."

Pada tahun keempat, Medan Prijaji mulai menjadi surat kabar harian. Di bawah judulnya tertulis moto: "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia". Pada a itu, mencantumkan moto seperti itu merupakan sebuah keberanian luar biasa. Medan Prijaji pun menjadi surat kabar pembentuk pendapat umum yang berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya terhadap tindakan-tindakan kontroler.

Permasalahan dan pencapaian

Medan Prijaji mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Prijaji tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Prijaji. Di seluruh Karesidenan Jawa, Medan Prijaji telah menjadi wadah berargumen yang sangat kritis.

Salah satu kasus terkenal adalah peralahan di Kawedanan, Cangkrep, Purworejo. Medan Prijaji dengan bahasa terbuka memuat artikel tentang persekongkolan antara Aspirant Controleur Purworejo, A Simon, dengan Wedana Tjorosentono, yang mengangkat lurah Desa Bapangan tanpa dukungan warga. Sementara kandidat pertama yang mendapat dukungan, Soerodimedjo, ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Melihat penyalahgunaan wewenang itu, Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan prijaji No. 19, 1909. Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan. Para warga juga mengirimkan surat kepada Tirto yang berisi dukungan pertahanan jika Tirto mendapatkan denda atas tulisannya.

Tirto kalah dalam perkara delik pers dengan A Simon dan dipindahkan ke Lampung selama dua bulan. Namun, dari kasus itu Medan Prijaji mendapat perhatian pers di Belanda dan Tirto berkesempatan untuk berkenalan dengan anggota Majelis Rendah Belanda, Henri van Kol, dan pemuka politik etik, Conrad Theodore van Deventer, hingga dipasarkan hingga di Eropa.

Dari pencapaian tersebut, Medan Prijaji pun menjadi model pertama dari yang kemudian disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra'jat. Ciri khas dari Medan Prijaji terletak pada kegiatannya yang tak sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, tetapi terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Medan Prijaji merupakan pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.

Edisi terakhir

Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 pada tahun keempat. Pada 23 Agustus 1912, Medan Prijaji pun ditutup. Tirto Adhi Surjo juga dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah ditutup, Jaksa Agung Hindia Belanda, A Browner, menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Tirto Adi Soerjo dipindahkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan.

Novel

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto dan proses pendirian Medan Prijaji diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jejak Langkah, buku ke-3 dalam Tetralogi Buru.

Daftar rujukan

  1. ^ "Medan Prijaji". encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Diakses tanggal 2020-02-12. 
  2. ^ Liputan6.com (2014-02-09). "Medan Prijaji, Surat Kabar Pertama Perintis Jurnalisme Advokasi". liputan6.com. Diakses tanggal 2022-05-13. 

Pranala luar