Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945)
Partai Masyumi adalah Partai Politik Islam yang didirikan pada 7 November 1945. Para pendiri Partai Masyumi adalah para tokoh Islam dari berbagai ormas Islam. Di antara para tokoh Islam tersebut adalah Hasyim Asyari, Sukiman, Wahid Hasjim, Abdul Malik Karim Amrullah, Aboebakar Atjeh, Muh. Natsir, Burhanuddin Harahap,
Masyumi Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia | |
---|---|
Singkatan | Masyumi |
Ketua umum | Soekiman Wirjosandjojo (pertama) Mohammad Natsir Prawoto Mangkusasmito (terakhir) |
Dibentuk | 24 Oktober 1943 (organisasi) 8 November 1945 (partai) |
Digabungkan dari | Muhammadiyah Persatuan Islam Nahdlatul Ulama |
Didahului oleh | Majelis Islam A'la Indonesia |
Diteruskan oleh | Keluarga Bulan Bintang (kemudian menjadi Partai Bulan Bintang) |
Kantor pusat | Jakarta, Indonesia |
Surat kabar | Abadi |
Keanggotaan (1950) | 10 juta [1] |
Ideologi | Islam |
Agama | Islam |
Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Roem, Muh. Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, Anwar Harjono dan lainnya.
Sejarah
Masyumi pada awalnya merupakan sebuah organisasi Islam yang berada dalam pengawasan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia). Tujuan pembentukan Masyumi sebagai sarana penghimpun masyarakat muslim di Indonesia untuk dijadikan sebagai pasukan pendukung Jepang dalam Perang Pasifik.[2] Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[3]
Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.[butuh rujukan] Surat kabar Abadi ini digunakan untuk menyampaikan pandangan Partai Masyumi tentang kehidupan bernegara di Indonesia.[4]
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
Di bawah Kabinet Natsir
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan kabinet pemerintahan pertama Indonesia pasca kemerdekaan kepada Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir.[5] Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepenuhnya, oleh karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, sempat dipertimbangkan sebagai mitra koalisi Masyumi dalam kabinet.[6]
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, tetapi serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci di kementerian menyebabkan upaya-upaya ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan menempatkan para anggota Masyumi sebagai inti, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen, sedangkan PNI diabaikan dalam rencananya.[7] Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan Perdana Menteri, kemudian posisi kunci seperti Menteri Luar Negeri, Keuangan, dan Agama. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (16 kursi), Partai Indonesia Raya (9 kursi), Parkindo (4 kursi), Persatuan Indonesia Raya (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan Partai Sarekat Islam Indonesia (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.[8]
Komposisi Kabinet Natsir disambut dengan penolakan secara langsung dari dalam parlemen, dan juga dari dalam Masyumi sendiri. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, para pimpinan PNI dengan keras menolak kenyataan bahwa mereka dikeluarkan secara sepihak dari kabinet baru ini. Di sisi lain, tokoh-tokoh senior Masyumi juga berbeda pendapat dengan keputusan Natsir yang memilih untuk mengecualikan anggota PNI dari parlemen. Secara khusus, faksi sayap modern Masyumi pimpinan Sukiman Wirjosandjojo memperingatkan Natsir terhadap ancaman polarisasi hubungan antara Masyumi dengan PNI yang tentu akan menghasilkan hubungan yang lebih dekat dengan berbagai partai oposisi lainnya, terutama yang menyukai ideologi Komunis. Sukiman dan sekutu politiknya di Masyumi memang termasuk tokoh yang paling gencar dalam menentang upaya Natsir untuk menyingkirkan PNI dari kabinet.[9]
Meskipun pada bulan Oktober 1950 ada sebuah upaya yang dilakukan oleh sekutu politik PNI untuk memperkenalkan gerakan parlemen yang akan menyebabkan pengangkatan daftar pejabat resmi, pemerintah di bawah Natsir dapat mengumpulkan cukup banyak dukungan untuk memenangkan mosi percaya dengan selisih yang cukup besar (118 melawan 73).[10] Namun, pengunduran diri yang dilakukan Harsono Tjokroaminoto, perwakilan tunggal dari PSII di kabinet ini, melemahkan dukungan PSII terhadap Masyumi di parlemen, dan secara lebih jauh memperlemah koalisi ini. Peristiwa ini dan upaya-upaya lain untuk menggagalkan pemerintahan Natsir bahkan sebelum memulai pekerjaannya tampaknya memberi dampak progresif antara parlemen dan kabinet berikutnya.[11]
Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[12] Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Sumatra Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut Hasil Pemilu 1955:
- Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
- Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
- Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
- Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.
Organisasi
Struktur organisasi Masyumi terdiri dari Dewan Pimpinan Partai dan Majelis Syuro. Dewan Pimpinan Partai bertindak sebagai lembaga eksekutif yang membuat pernyataan politik dan memutuskan kebijakan partai. Majelis Syuro merupakan lembaga penasihat yang berperan untuk memberi nasihat dan fatwa kepada Dewan Pimpinan Partai perihal langkah apa yang akan diambil oleh partai secara garis besar. Susunan kepengurusan pimpinan partai didominasi oleh para politisi yang berlatar belakang pendidikan Barat. Di sisi lain, Majelis Syuro didominasi oleh para ulama, terutama para pemimpin organisasi Islam, seperti K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Masuknya unsur-unsur organisasi dalam Masyumi sebagai anggota istimewa berperan besar dalam peningkatan anggotanya, terutama dari kalangan umat Islam.[13]
Ideologi
Pada awal pembentukannya, Partai Masyumi tidak memberikan keterangan yang tegas, jelas dan terperinci tentang ideologinya, meskipun Masyumi berideologikan Islam. Identitas keislaman dalam Masyumi sangat menonjol, baik dalam mengambil keputusan dan pola pikirnya yang bersumber dari ajaran Islam. Identitas ini tercermin dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Masyumi serta resolusi-resolusi yang dikeluarkan Masyumi. Salah satu resolusi yang dikeluarkan Masyumi pada masa perang kemerdekaan, menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk melakukan jihad fi sabilillah dalam menghadapi segala bentuk penjajahan. Anggaran Dasar Masyumi menyebutkan bahwa tujuan partai adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam. Ideologi Masyumi sebagai partai politik baru diungkapkan dalam manifesto politik Masyumi yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 1947.[14] Lambatnya penjelasan tentang ideologi Masyumi bukan karena masalah di dalam internal partai, melainkan karena pada saat yang sama, Masyumi sedang disibukkan dengan keterlibatan mereka dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan secara penuh, para pemimpin Masyumi mulai memanfaatkan situasi dengan menafsirkan asas Partai Masyumi, yang disahkan dalam Muktamar Masyumi ke-6 yang digelar pada bulan Agustus 1952. Sejak tahun 1952 sampai Partai Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 asas Partai Masyumi adalah Islam. Selain itu, Masyumi juga mengeluarkan tafsir asas yang merupakan rumusan resmi ideologi partai yang dijadikan sebagai pedoman dan pegangan bagi para anggota Masyumi.[15]
Tokoh
Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah:
- Hasyim Asy'ari, salah satu pendiri
- Sukiman, Perdana Menteri Indonesia
- Wahid Hasjim, putra KH Hasyim Asy'ari, termasuk dalam pimpinan partai Masyumi sebelum membentuk Partai NU, akibat perbedaan dan kekecewaan terhadap kebijakan dalam organisasi
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), wakil Masyumi dalam Konstituante
- Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh, wakil Masyumi dalam Konstituante
- Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Burhanuddin Harahap, Perdana Menteri Indonesia
- Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada masa revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia Pertama, terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin
- Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya dalam perundingan yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem - Royen
- Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang dikenal lantang dan tegas dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik tentang dasar negara berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya dibubarkan dengan Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959.
- Kasman Singodimedjo, Daidan PETA daerah Jakarta, yang menjamin keamanan untuk diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan NKRI dan Rapat Umum IKADA.
- Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang dibekukan oleh Pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan Bintang dan pada masa Orde Baru mendirikan Organisasi Dakwah, yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pada masa Reformasi menjadi inspirator bagi lahirnya kekuatan politik baru penerus perjuangan Masyumi, yakni Partai Bulan Bintang (PBB).
Pembubaran
Pada 1960, sejumlah pimpinan Masyumi turut terlibat dalam mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI melawan pemerintahan Orde Lama untuk mengubah kebijakan-kebijakan pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Sukarno. Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, terlibat sebagai kelompok pemimpin gerakan pemberontakan PRRI di Padang, namun partai Masyumi menolak untuk menyalahkan gerakan ini, sehingga Masyumi dibubarkan paksa dan para anggota senior, termasuk Buya Hamka,[16] turut dipenjara karena dianggap terlibat dalam pemberontakan.[17]
Partai Penerus
Referensi
- ^ NU and Masyumi; behind NU leave
- ^ Qodir, Z., dkk. (2020). Budiyanto, G., dkk., ed. Nasionalis Tulen Singa Podium Kasman Singodimedjo: Pemikiran dan Pergerakan (PDF). Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government. hlm. 75–76. ISBN 978-602-73900-8-9.
- ^ "Sejarah Singkat Universitas Islam Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-12. Diakses tanggal 2007-02-03.
- ^ Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 1. ISBN 979-685-308-6.
- ^ Feith 1962, hlm. 148.
- ^ Lucius 2003, hlm. 75.
- ^ Feith 1962, hlm. 150.
- ^ Feith 1962, hlm. 151.
- ^ Lucius 2003, hlm. 76.
- ^ Feith 1962, hlm. 152; Kahin 1950, hlm. 211
- ^ Feith 1962, hlm. 153.
- ^ "Kisah Dua Saudara NU dan Muhammadiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-13. Diakses tanggal 2006-11-06.
- ^ Siregar 2013, hlm. 91.
- ^ Noer 1987, hlm. 120-122; Kementerian Penerangan RI 1951, hlm. 15; Siregar 2013, hlm. 92
- ^ Siregar 2013, hlm. 93; Kementerian Penerangan Republik Indonesia 1954, hlm. 443
- ^ Ricklefs, M.C. (2008) [1981], A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (4th ed.), Palgrave MacMillan, ISBN 978-0-230-54686-8, p. 411.
- ^ Ward, Ken (1970). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. pp. 12-14.
Bibliografi
- Lucius, Robert E. (2003), A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-1956), Monterey, California: Naval Postgraduate School
- Siregar, Insan Fahmi (2013), "Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Partai Masyumi (1945-1960)", Thaqãfiyyãt, Semarang: Universitas Negeri Semarang, 14 (1)
Sumber
- Bambang Setiawan & Bestian Nainggolan (Eds) (2004) 'Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 (Indonesian Political Parties: Ideologies and Programs 2004-2009 Kompas (1999) ISBN 978-979-709-121-7
- Feith, Herbert (1962), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, New York: Universitas Cornell, ISBN 0-80-140126-7
- Feith, Herbert (1957), "The Indonesian Elections of 1955", Interim reports series: Modern Indonesia Project, Ithaca, New York: Universitas Cornell (6), ISBN 978-087-7630-20-3
- Kementerian Penerangan RI (1951), Kepartaian di Indonesia, Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia
- Kementerian Penerangan RI (1954), Kepartaian dan Parlementaria Indonesia, Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia
- Noer, Deliar (1987), Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Graffiti Press
- Ricklefs, M.C. (1991). A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-4480-5
- Simanjuntak, P.H.H (2003) Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi (Cabinets of the Republic of Indonesia: From the Start of Independence to the Reform era, Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 978-979-428-499-5