Arsitektur Minangkabau

arsitektur vernakular di Indonesia

Arsitektur Minangkabau adalah arsitektur vernakular Nusantara yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Minangkabau, khususnya yang mendiami wilayah Sumatra Barat. Arsitektur ini merupakan arsitektur yang sangat khas di Indonesia ditandai dengan karakteristik atap gonjong, yakni bentuk atap pelana yang melengkung ke atas seperti tanduk kerbau.[1]

Istano Basa peninggalan Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Secara tradisional, arsitektur Minangkabau terdapat pada rumah adat yang disebut rumah gadang, lumbung padi yang disebut rangkiang, dan balai adat yang disebut balairung. Rumah gadang adalah rumah tinggal yang dihuni sekelompok keluarga. Rangkiang terdapat di halaman rumah gadang untuk menyimpan padi hasil panen. Adapun balairung adalah tempat berkumpul sekelompok kepala keluarga melakukan musyawarah. Ketiga bangunan ini dicirikan dengan atap gonjong dan struktur panggung.[2] Karakteristik tersebut berikutnya memengaruhi bangunan yang hadir belakangan setelah Islam masuk ke Minangkabau, yakni masjid.[3]

Arsitektur Minangkabau dirancang menyesuaikan iklim daerah tropis dan kondisi topografi.[4] Bangunan tradisional Minangkabau membuktikan kemampuannya dalam menghadapi bencana seperti gempa bumi yang sering melanda wilayah Sumatra Barat. Material yang digunakan dominan menggunakan kayu. Namun, pada saat ini, sudah jarang masyarakat yang mendirikan bangunan dengan material tradisional karena keterbatasan bahan, terutama kayu.[5][6]

Karakteristik

Gonjong

Di antara peninggalan tertua dari bangunan dengan atap bergonjong: Rumah Gadang Kampai Nan Panjang (atas) dan Balairung Sari Tabek (bawah). Keduanya diperkirakan berasal dari abad ke-17.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul bentuk gonjong. Hal ini dikarenakan sumber sejarah Minangkabau umumnya berasal dalam bentuk lisan, yaitu melalui petatah-petitih atau cerita yang disebut sebagai tambo. Di antara pendapat terkait asal bentuk atap gonjong, ada yang mengaitkannya dengan bentuk tanduk kerbau, haluan kapal, dan daun sirih bersusun.[7][8][9][10][11]

Pendapat tentang bentuk atap gonjong berasal tanduk kerbau didasarkan pada legenda tentang asal usul kata Minangkabau. Menurut legenda, pada masa dahulu datang pasukan yang hendak menyerang wilayah Minangkabau. Untuk mencegah peperangan, penguasa setempat mengusulkan pertempuran dilakukan secara simbolis dengan adu kerbau. Kerbau milik penguasa setempat menang dalam adu kerbau sehingga menginspirasi masyarakat menamai kata Minangkabau, berasal dari kata "menang" dan "kerbau".[12][13][8]

Sementara itu, pendapat yang mengemukakan atap gonjong berasal dari bentuk haluan kapal dikaitkan dengan kisah pendaratan kapal Iskandar Zulkarnain yang menurut tambo merupakan salah seorang nenek moyang orang Minangkabau.[14] Panglima perang Iskandar Zulkarnain dikisahkan berlayar ke Asia Tenggara dan mendaratkan kapal di puncak Gunung Marapi.[15] Atap gonjong yang sepintas menyerupai kapal dibuat sebagai wujud kenangan masyarakat Minangkabau terhadap leluhur mereka.[7][16] Menurut Syafwandi, peneliti arsitektur Minangkabau dari Universitas Negeri Padang, pendapat tentang asal usul gonjong dari bentuk haluan kapal dikuatkan dengan julukan yang diberikan kepada tukang rumah adat, yakni "nankodoh rajo", yang berasal dari kata nakhoda raja.[13]

Adapun pendapat lainnya mengatakan bentuk gonjong melambangkan daun sirih bersusun karena sirih sejak lama menjadi perlambangan budaya yang sangat penting dan sakral di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, sirih bermakna sebagai penyambung tali silaturahmi. Sampai saat ini, sirih masih digunakan dalam setiap kegiatan adat masyarakat Minangkabau.[9][17]

Di antara peninggalan tertua dari bangunan dengan atap bergonjong yakni Rumah Gadang Kampai Nan Panjang di Nagari Balimbiang dan Balairung Sari di Nagari Pariangan yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Keduanya diperkirakan berasal dari peninggalan abad ke-17.[18][19][20] Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah gadang milik Suku Kampai yang telah diwariskan secara turun-temurun kepada lima generasi. Adapun Balairung Sari merupakan tempat musyawarah dan pertemuan para pemuka masyarakat membicarakan segala hal berkaitan dengan adat Minangkabau.[21][18]

Saat ini, kantor-kantor pemerintahan di Sumatra Barat mengadopsi desain atap gonjong.[22] Di luar Sumatra Barat, atap bergonjong dipopulerkan oleh orang Minang yang merantau, terutama yang membuka warung makan. Gonjong telah menjadi simbol yang melekat pada tampilan bangunan rumah makan Padang yang tersebar di seluruh Nusantara.[8]

Adaptasi iklim dan topografi

Atap pada rumah gadang (atas) dan masjid (bawah) secara tradisional terbuat dari ijuk. Bentuk atap dibuat curam agar atap dapat terbebas dari endapan air hujan dan bangunan terhindar dari tempias.

Daerah Minangkabau merupakan daerah tropis. Untuk itu, bangunan-bangunan di Minangkabau dibuat menyikapi kondisi iklim. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan penghawaan. Bentuk atap yang runcing bertujuan agar air hujan yang turun tidak tertahan di atap, tetapi langsung jatuh ke tanah. Dengan demikian, atap dapat terbebas dari endapan air hujan. Terdapat kolong yang berfungsi membuat sirkulasi udara di bagian bawah lantai ke ruangan di atasnya.[9] Saat musim hujan, kolong membuat ruangan di atasnya selalu kering dan tidak lembap walaupun mendapatkan curah hujan yang tinggi setiap tahun.[23] Selain iklim, bangunan dibuat menyesuaikan kondisi topografi.[4] Bangunan tidak boleh didirikan pada tanah yang basah, rendah atau labil, maupun di atas lahan pertanian.[24] Tanah untuk bangunan diusahakan datar dan mempunyai daya dukung yang tinggi karena tiang-tiang bangunan tidak ditanam ke dalam tanah.[25] Tiang-tiang hanya diletakkan di atas batu pipih dan saling terhubung tidak menggunakan paku, melainkan dengan sistem pasak.[26][27][28]

Secara tradisional, bangunan di Minangkabau berbahan kayu dan menggunakan ijuk sebagai penutup atap. Kayu menjadi material utama yang digunakan pada bangunan-bangunan di Minangkabau setidaknya sampai abad ke-18. William Marsden dalam History of Sumatra mencatat, rumah-rumah di Minangkabau tidak dibangun dengan batu bata atau tanah liat sebagaimana di Jawa, tapi kayu. Hal ini, menurut Marsden, lantaran daerah Minangkabau sering dilanda gempa bumi.[29] Selain itu, kayu digunakan sebagai upaya adaptasi terhadap iklim tropis yang panas dan lembap. Kayu dapat disusun membentuk kisi-kisi sehingga dapat berfungsi sebagai ventilasi ruangan. Adapun ijuk digunakan sebagai penutup atap karena sifatnya menyerap panas, sehingga panas sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Pada saat bersamaan, ijuk menyimpan panas sehingga pada musim hujan suhu ruang tetap terjaga kehangatannya.[30]

Dalam pengamatan Marsden, daerah-daerah dekat pantai barat Sumatra sampai pengujung abad ke-18 merupakan area rawa-rawa yang sulit ditinggali. Kedatangan angin puting beliung dari laut dan gempa bumi di tempat seperti ini juga menjadi tantangan untuk mendirikan pemukiman. Pada awalnya, dusun atau perkampungan orang Minang terletak di dekat sungai dan danau karena fungsinya sebagai jalur pengangkutan hasil bumi. Dusun-dusun biasanya dibangun di daerah ketinggian.[29] Namun, seiring bercokolnya kekuasaan Belanda, terutama pasca-Perang Padri, daerah-daerah yang dulunya rawa-rawa, seperti Padang, menjadi pusat aktivitas sehingga menyebabkan banyak orang Minang turun ke pesisir. Memasuki abad ke-20, terjadi peralihan penggunaan bahan bangunan, seperti penggunaan batu bata dan kapur.[31]

Perbedaan corak

 
Bodi Chaniago
 
Koto Piliang

Secara umum, corak bangunan di Minangkabau ditentukan oleh sistem adat atau kelarasan yang dianut. Terdapat dua kelarasan di Minangkabau, yakni Kelarasan Koto Piliang yang diciptakan oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Chaniago yang diciptakan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.[32] Kelarasan Koto Piliang berciri arsitokratis, sedangkan Kelarasan Bodi Chaniago berciri demokratis.[25] Semula, perbedaan kedua kelarasan hanya menyangkut aspek politik, tetapi berikutnya merambat sampai pada bentuk bangunan, terutama rumah adat dan balai adat.[33][34] Perbedaannya terutama terletak pada keberadaan anjung, semacam panggung di kedua ujung bangunan.[35] Rumah adat dan balai adat Koto Piliang memiliki ciri khas memiliki anjung, sedangkan rumah adat dan balai adat Bodi Caniago tidak memiliki anjung. Akan tetapi, ciri khas keduanya tetap sama, yaitu gonjong.[36][37]

Selain itu, corak bangunan di Minangkabau ditentukan oleh wilayah tempat bangunan itu berada. Wilayah Minangkabau terbagi atas dua bagian, yaitu darek dan rantau. Darek meliputi wilayah di pedalaman Minangkabau yang dikenal sebagai wilayah inti kebudayaan Minangkabau. Wilayahnya berada di sekitar tiga gunung yang dikenal dengan sebutan Tri Arga, yaitu Gunung Marapi, Singgalang, dan Sago. Menurut tambo, penduduk di tiga wilayah ini diyakini berasal dari Pariangan. Seiring pertambahan jumlah penduduk, mereka melakukan migrasi ke daerah-daerah di sekitar tiga gunung dan membentuk konfederasi yang disebut sebagai luhak, yakni Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data.[15]

Rumah gadang di setiap luhak mempunyai perbedaan bentuk, ukuran, dan tampilan dengan nama tersendiri. Di Luhak Tanah Datar, dikenal rumah gadang yang dinamakan Sitinjau Lauik. Di Luhak Agam, rumah gadang khasnya disebut Surambi Papek. Di, Luhak Limo Puluh Koto, rumah gadang yang dikenal yakni Rajo Babandiang.[38]

Sementara itu, rantau adalah daerah yang berada di luar daerah luhak. Setidaknya, terdapat dua rantau, yakni rantau luhak dan rantau Minangkabau. Rantau luhak adalah wilayah rantau yang masih berada di daerah dataran tinggi, sementara rantau Minangkabau secara keseluruhan sudah mulai menyebar ke daerah pesisir di sebelah barat dan daerah dataran rendah di sebelah timur. Rantau ke daerah pesisir di sebelah barat meliputi sepanjang pesisir barat Sumatra yang berbatasan dengan Samudra Indonesia, terentang dari Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Banda Sapuluah, Air Haji, Inderapura, hingga ke daerah Mukomuko di Bengkulu. Adapun rantau ke daerah dataran rendah di sebelah timur meliputi daerah di sekitar aliran sungai-sungai besar, seperti Rokan, Siak, Kampar, Indragiri, dan Batang Hari.[39]

Rumah gadang di wilayah pesisir memiliki bentuk dan konstruksi yang lebih sederhana daripada rumah gadang di wilayah pedalaman Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh karakter masyarakat yang lebih terbuka dan praktis. Selain itu, masyarakat di wilayah pesisir yang menguasai teknik pertukangan atau konstruksi rumah gadang tradisional sudah sangat jarang, sehingga mempengaruhi bentuk rumahnya yang lebih disederhanakan. Rumah adat di pesisir salah satunya dikenal sebagai Rumah Kajang Padati.[30][40]

Pola permukiman

 
Suasana permukiman Minangkabau di Nagari Koto Baru atau kini dikenal sebagai Kawasan Seribu Rumah Gadang. Sebuah permukiman baru dapat dikatakan sebagai nagari apabila di dalamnya sudah terdapat balai adat dan masjid.

Permukiman masyarakat Minangkabau dikenal sebagai nagari. Nagari memiliki teritorial beserta batasnya serta mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri. Nagari terbentuk setelah melalui tahapan penggabungan satuan permukiman lingkup kecil. Permukiman terkecil disebut dengan taratak. Taratak berasal dari kata “tatak”, yang berarti membuat daerah baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Taratak dihuni oleh beberapa keluarga dalam satu suku yang sama. Gabungan dari beberapa taratak akan membentuk dusun. Dalam dusun, sudah mulai dibuka lahan pertanian. Perluasan dusun akan membentuk koto. Koto dihuni oleh berbagai kelompok suku. Seiring perkembangan koto, maka muncul kebutuhan untuk membentuk nagari sebagai sistem pemerintahan.[41]

Menurut adat Minangkabau, terdapat beberapa kriteria terbentuknya nagari, yakni adanya kelengkapan sarana seperti balai adat dan masjid.[42][43] Balai adat merupakan tempat bermusyawarah dalam memutuskan segala urusan, terutama yang berkaitan dengan adat, sementara masjid merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan kedua bangunan tersebut menjadi bagian dari perjalanan arsitektur tradisional Minangkabau.[44]

Pada perkampungan tradisional Minangkabau, bangunan dibuat mengarah berjajar menurut utara ke selatan untuk mencegah sinar matahari yang panas terlalu mudah memasuki terhadap bangunan, walaupun terdapat pula bangunan yang memiliki orientasi timur ke barat.[23][45]

Material

 
Istana Pagaruyung sebelum terbakar pada 2007. Penggunaan material kayu yang dominan menjadikan bangunan tradisional Minangkabau rawan terbakar.
 
Deretan tiang Masjid Raya Lima Kaum. Tiang-tiang yang terbuat dari kayu johar masih asli dari sejak didirikan

Kebanyakan material yang digunakan pada bagunan tradisional Minangkabau adalah kayu. Secara tradisional, pengambilan bahan-bahan bangunan dilakukan di hutan atau di ladang yang secara sengaja ditanam. Bahan ini dipilih sesuai dengan kriteria yang baik untuk bahan bangunan, seperti pohon yang tumbuh dengan sempurna dan memiliki kualitas kayu yang baik.[5] Tanaman yang biasanya digunakan untuk tiang adalah pohon kayu meranti, kayu johar, kayu surian, dan lain sebagainya. Selain kayu, bambu juga digunakan sebagai dinding pada bangunan.[46]

Sementara itu, atap bangunan yang berbentuk gonjong menggunakan material yang mudah dilengkungkan seperti bambu untuk nok dan reng-reng atap. Penutup atap berupa ijuk, yakni serat kasar warna hitam yang berasal dari batang pohon aren. Ijuk disusun menggunakan teknik ikatan, yakni diikatkan dengan tali rotan pada reng-reng bambu.[47] Atap ijuk terbukti dapat bertahan selama puluhan tahun selama mendapatkan pemeliharaan yang tepat. Selain ijuk, terkadang penutup atap menggunakan rumput sejenis alang-alang. Namun, saat ini penggunaan material tradisional sudah tergantikan dengan seng. Hal ini dikarenakan material tradisional membutuhkan waktu lama dalam proses pembuatannya dan semakin sedikit orang yang mampu merakitnya.[48] Di satu sisi, pemakaian seng memiliki kelebihan di antaranya lebih murah, mudah secara teknis pelaksanaan, efisiensi waktu pengerjaan, dan pengaliran air hujan yang lebih baik sehingga menghindari kebocoran, walaupun memiliki kelemahan yakni mudah berkarat, menyerap panas saat musim panas, menyimpan dingin saat musim hujan, dan menimbulkan suara bising saat terkena air hujan.[30]

Fondasi bangunan tradisional Minangakabu hanya berupa batu pipih yang diletakkan di atas tanah.[26] Fondasi menjadi tempat berpijak setiap tiang.[28] Tiang atau disebut tonggak tidak ditanam ke dalam tanah. Oleh sebab itu, kayu yang dipilih untuk tiang merupakan kayu yang kuat. Kayu dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya akan dijadikan tiang yang mana. Pada rumah gadang, ada beberapa macam peruntukan tiang (bahasa Minang: tonggak) yaitu tuo, tapi, temban, tangah, dalam, panjang, salek, dan dapua.[49] Tiang-tiang tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda. Tonggak tuo berada di tengah bangunan dan memiliki ukuran paling besar. Tiang ini merupakan tiang utama yang menyangga bangunan dan menghubungkan antara tiang-tiang yang lain. Ada beberapa kriteria dalam penentuaan tonggak tuo seperti tonggak harus berasal dari pohon yang tumbuh dengan baik serta lurus dari pangkal hingga ujungnya.[50] Seperti rumah gadang, masjid yang ada di Minangkabau memiliki tonggak tuo sebagai penyangga utama.[51][52]

 
Sebuah rumah gadang yang menggunakan teknik sasak bugih untuk dinding sisi sampingnya.

Untuk dinding, material yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu papan dan anyaman bambu yang disebut sasak bugih.[53] Material papan terdapat pada bagian dinding yang diukir, sedangkan sasak bugih terdapat pada bagian dinding bangunan yang tidak diukir.[54] Sasak bugih dapat berfungsi sebagai penahan angin karena sifatnya elastis.[55][28] Untuk lantai, material yang digunakan adalah palupuah, yakni bambu yang telah dipecah. Namun, saat ini penggunaan palupuah mulai digantikan oleh papan dari kayu surian atau kayu dari pohon kelapa.[56]

Pertukangan

Di Minangkabau, pekerjaan pendirian bangunan dipimpin oleh seorang tukang yang disebut "nankodoh rajo", khususnya pada rumah gadang. Ada pameo atau ungkapan dalam bahasa Minangkabau yang menyebut seorang "tukang tidak membuang kayu". Artinya, tidak ada material yang tidak bisa dimanfaatkan oleh seorang tukang. Dalam penggunaan kayu, terdapat ungakapan: nan kuat ka tonggak tiang, nan luruih diambiak kabalayah, nan lantiak ka balok bubuangan, nan ketek ka pasak suntiang. Artinya, kayu dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan kayu, yaitu kayu yang kuat dipakai untuk tiang, kayu yang lurus untuk mistar, kayu yang melengkung untuk bubungan, dan kayu yang kecil untuk pasak.[57] Dalam penggunaan bambu, terdapat ungakapan: nan panjang ka pembuluh aia, nan singkek kapariah, rambuangnyo ambiak ka gulai. Artinya, bambu yang panjang dipakai untuk pembuluh air, yang pendek untuk perian, dan rebung atau bambu muda dapat dimasak jadi sayur.[58]

Menurut Syafwandi, seorang nankodoh rajo dalam memimpin pekerjaan pembangunan tidak mempunyai gambar kerja, persiapan bahan yang lengkap ataupun bentuk-bentuk struktur yang akan dibuat. Nankodoh rajo lebih banyak bergantung pada pengalaman dan naluri. Tidak ada ukuran yang pasti. Oleh sebab itu, pandangan seorang nankodoh rajo sangat berpengaruh terhadap hasil pekerjaan.[59]

Pada waktu batagak rumah (mendirikan rumah gadang), masyarakat ikut membantu pekerjaan bersama pihak yang mendirikan rumah. Pekerjaan ini dinamakan "manyarayo", yakni pertolongan tanpa mengharapkan upah atau identik dengan bergotong-royong pada zaman sekarang. Pihak yang mendirikan rumah menyediakan makan dan minum selama pekerjaan berlangsung. Biaya pembangunan rumah gadang adalah beban suku yang diatur oleh mamak tungganai. Biaya ini meliputi biaya makan minum bagi yang bekerja, sedangkan untuk nankodoh rajo dibuat perhitungan tersendiri. Biaya untuk membeli material pada umumnya hampir tidak ada sebab pembangunan rumah adat pada zaman dulu diambil bahan-bahan yang banyak tersedia di hutan-hutan sekitarnya.[60]

Rumah gadang

Rumah gadang dengan beragam coraknya. Dari kiri ke kanan: Surambi Papek, Rajo Babandiang, Gajah Maharam, dan Surambi Aceh.

Masyarakat Minangkabau hidup berkelompok dalam keluaga berdasarkan suku yang sama menurut garis keturunan matrilineal atau disebut kaum. Setiap kaum mempunyai rumah gadang masing-masing yang memiliki ciri khas dan perbedaan tertentu. Hal ini bergantung pada pola dan tatanan adat yang dianut atau disebut kelarasan serta kondisi geografis atau wilayah tempat rumah gadang itu berada. Rumah gadang dimiliki oleh satu kaum dan kepemilikannya menjadi hak milik kaum tersebut sampai generasi yang akan datang. Setiap generasi saling bergantian memakainya.[11]

Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-orang yang seketurunan yang dinamakan saparuik, yaitu satu keluarga berasal dari satu nenek.[61][62] Namun, yang tinggal di rumah gadang hanya anggota keluarga perempuan saja. Anak perempuan yang berkeluarga atau telah menikah tinggal pada bilik atau kamar rumah gadang bersama suami mereka, sedangkan anak perempuan yang belum dewasa tidur bersama saudara perempuan yang lain di ruang tengah.[63] Suami tinggal di rumah istri, tetapi hanya boleh tinggal di dalam rumah saat malam hari. Adapun anak laki-laki yang sudah balig tetapi belum menikah tidur di surau.[64]

Sebagai tempat menjalankan kegiatan keluarga, fungsi rumah gadang adalah sebagai tempat mufakat dan tempat melaksanakan upacara-upacara adat. Hal ini menyebabkan dalam rumah gadang terdiri dari ruang yang digunakan untuk pribadi dan untuk berkumpul bersama guna membicarakan masalah-masalah keluarga dan melaksanakan upacara adat. Dalam rumah gadang, banyak kegiatan yang dilakukan, mulai dari hunian, sampai tempat pengobatan, dan tempat pertemuan-pertemuan adat ataupun perkawinan. Banyaknya kegiatan yang dilakukan membuat rumah adat ini dinamakan rumah gadang yang secara harfiah berarti "rumah besar".[11]

Namun, bersama berubahnya persepsi masyarakat terhadap rumah, tradisi membangun rumah gadang perlahan-lahan mulai memudar. Menurut sejarawan Mestika Zed, hal tersebut berlangsung sejak dekade 1960-an, tepatnya seusai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).[65] Masyarakat Minang kini cenderung ingin memiliki rumah sendiri yang terpisah dari rumah kaumnya.[66] Saat ini, sudah banyak rumah gadang yang ditinggalkan oleh pemilik rumahnya, sehingga banyak rumah tradisional ditelantarkan atau dalam kondisi perbaikan yang buruk.[67] Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh biaya perawatan rumah gadang yang begitu tinggi.[6][5][65]

Bentuk dan konstruksi

 
Sebuah rumah gadang dengan konstruksi beton di Tilatang Kamang peninggalan awal abad ke-20

Tampak depan rumah gadang berbentuk trapesium terbalik. Bentuk ini dikarenakan tonggak-tonggak bangunan, kecuali tonggak tuo yang merupakan tiang yang paling tengah, dipasang tidak dengan posisi tegak lurus, tetapi mempunyai kemiringan ke arah luar.[68][7] Kemiringan tonggak berkisar dua sampai empat derajat terhadap permukaan tanah.[49] Jika garis dari sisi-sisi trapesium terbalik ditarik terus ke bawah, ia akan bertemu pada satu titik di pusat bumi.[69][70]

Sebagai rumah panggung, lantai rumah gadang ditinggikan dari permukaan tanah sehingga membentuk kolong. Kolong rumah dibiarkan kosong begitu saja, terkadang dijadikan sebagai kandang ternak seperti ayam dan itik atau tempat menyimpan alat-alat seperti alat pertanian dan alat bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.[71] Pada rumah gadang yang memiliki anjung, kolong lantai ruangan sebelah ujung kiri dan kanan lebih tinggi dari lantai ruangan tengah.[68]

Sebuah rumah gadang hanya mempunyai sebuah pintu saja dan terletak pada bagian ruang yang di tengah.[72] Hal ini disebabkan karena sebagai rumah panggung, rumah gadang membutuhkan tangga untuk memasukinya. Bukaan berupa jendela umumnya terdapat pada sisi bagian depan dan sisi samping, sedangkan sisi bagian belakang bangunan tidak mempunyai jendela sama sekali.[58] Jumlah jendela bergantung pada jumlah ruangan. Jendela berfungsi sebagai sirkulasi udara serta pencahayaan. Dinding bagian belakang tidak dibuatkan jendela untuk menjaga privasi dan melindungi perempuan yang tinggal di rumah gadang.[53]

 
Fondasi rumah gadang

Struktur rumah gadang yang dibangun secara tradisional terbukti tahan terhadap getaran akibat gempa bumi. Getaran dari gempa yang diterima struktur tiang akan disalurkan ke fondasi batu tanpa merusak. Tiang tidak ditanam di dalam fondasi, tetapi hanya ditumpangkan begitu saja. Saat terjadi gempa, sambungan tiang dan fondasi tidak akan patah, melainkan bergerak mengikuti arah gempa.[9] Begitu pula sambungan lainnya pada konstruksi rumah gadang. Balok-balok kayu disambung tidak menggunakan paku, melainkan hanya disambung dengan menggunakan berbagai teknik pengikatan maupun pasak. Bahan pengikat berupa talinya terbuat dari serat rotan, serat bambu, maupun ijuk. Teknik penyambungan ini bersifat fleksibel terhadap getaran. Saat terkena getaran, sambungan tidak akan menyebabkan material seperti kayu menjadi rusak.[73]

Menurut penelitian Mestika Zed, indikator kuatnya rumah gadang terhadap getaran terlihat pada gempa bumi 2007 dan 2009. Tidak ada rumah gadang yang dibangun secara tradisional yang runtuh.[67]

Tata ruang

Ukuran panjang rumah gadang ditentukan oleh banyaknya ruang.[74] Adapun ukuran lebar rumah gadang ditentukan oleh lanjar. Batas ruang dan lanjar ditandai oleh tiang. Tiang dari ujung kiri ke ujung kanan menandai ruang, sedangkan tiang dari banjar depan ke banjar belakang menandai lanjar. Jumlah ruang mengikut bilangan ganjil: lima, tujuh, dan sembilan. Adapun jumlah lanjar bisa tiga atau empat. Pada masa lalu, terdapat rumah gadang yang memiliki lebih dari sembilan ruang seperti Rumah Gadang 13 Ruang di Sijunjung dan Rumah Gadang 20 Ruang di Solok.[75][76]

Dalam pepatah-petitih Minangkabau, terdapat ungkapan yang menjelaskan ukuran rumah gadang, yakni salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang. Artinya, jarak antara tiang satu ke tiang dalam satu ruang bisa ditempuh oleh "seekor kuda yang berlari kencang dalam satuan waktu yang pendek". Di antara dua ruang yang terjauh, masih dapat didengar "teriakan seorang anak". Di dalam ruangan, masih dapat terbang "seekor burung kubin (sejenis burung yang dapat terbang cepat) dengan sekencang-kencangnya".[77][78] Tidak adanya ukuran yang pasti dalam pembangunan rumah gadang membuat tidak ada rumah gadang yang sama persis antara satu dengan lainnya.[79] Walaupun demikian, terdapat satuan yang dipakai dalam menentukan ukuran ruang, yakni "eto" atau hasta.[80] Kadang-kadang untuk mencari bentuk yang baik, ukuran eto ditambah atau dikurangi satu jengkal. Menurut ukuran eto, panjang untuk satu ruang rumah gadang kira-kira 5 sampai 7 eto. Jika satu eto dikonversikan menjadi 0,5 meter, maka panjang untuk satu ruang yakni 2,5 meter sampai 3,5 meter. Rumah gadang terpendek yang memiliki lima ruang memiliki panjang sekitar 15 meter, sedangkan rumah gadang terpanjang yang memiliki 20 ruang panjangnya sekitar 60 meter. Adapun lebar rumah gadang bergantung jumlah lanjar, yang lebarnya dapat berkisar 10 meter sampai 14 meter.[81]

 
Deretan tiang-tiang yang membagi lanjar. Seluruh lanjar dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali lanjar bilik yang digunakan untuk kamar tidur.

Tata ruang ruang rumah gadang dibagi menurut lanjar yang terkait dengan pola kegiatan sehari-hari di rumah gadang. Rumah gadang yang ideal memiliki empat lanjar, yakni: lanjar balai, lanjar labuah, lanjar bandua, dan lanjar bilik. Tiga lanjar diperuntukkan sebagai tempat berkumpul bersama, sisanya satu lanjar diperuntukkan sebagai tempat tidur. Artinya, tiga per empat dari luas keseluruhan rumah gadang diperuntukkan sebagai ruangan komunal, dan hanya seperempat yang diperuntukkan sebagai ruang privat.[72] Hal ini menunjukkan bahwa rumah gadang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Ruang terbuka terletak pada bagian depan, sedangkan ruang tertutup terletak pada bagian belakang.[82]

 
Rumah gadang yang hanya memiliki tiga lanjar, dua lanjar terbuka dan satu lanjar bilik

Lanjar balai lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan. Lanjar balai terletak pada bagian paling depan. Setelahnya, terdapat lanjar labuah dan lanjar bandua. Lanjar labuah berfungsi sebagai ruang peralihan dari lanjar balai ke ke lanjar bandua. Lanjar bandua digunakan sebagai tempat makan. Adapun lanjar paling belakang, yakni lanjar bilik, diperuntukkan sebagai kamar atau disebut bilik dalam bahasa Minang.[74] Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal. Bilik merupakan lambang kekuasaan perempuan yang bersifat pribadi dengan bentuk ruang tertutup, sedangkan balai, labuah, dan bandua merupakan lambang kekuasaan laki-laki yang bersifat umum dengan bentuk ruang terbuka.[83]

Pada masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah gadang istri. Suami hanya diperbolehkan berada di kamar istri pada waktu dan kondisi tertentu. Sebagai kamar tidur, kamar rumah gadang hanya memiliki satu pintu menghadap ke depan, yakni lanjar bandua. Bilik tidak memiliki jendela pada sisi belakang. Hal ini dimaksud untuk mejaga keamanan perempuan atau suami istri yang tidur di bilik dari gangguan yang datang dari luar.[83]

Semua bilik-bilik dalam rumah gadang difungsikan sebagai kamar tidur anak perempuan yang sudah bersuami, kecuali bagian tengah atau pangkal yang menjadi akses ke belakang rumah.[84] Peruntukan bilik ditentukan oleh umur perempuan yang telah menikah. Bilik pada bagian ujung rumah gadang diperuntukkan bagi anak perempuan yang baru menikah, sedangkan bilik sesudahnya ditempati oleh anggota keluarga perempuan yang telah menikah. Tata cara ini mengakibatkan terjadinya perpindahan penghuni bilik dalam rumah gadang sesuai dengan jumlah anggota keluarga perempuan yang telah berkeluarga. Setiap ada gadis yang baru menikah, maka perempuan yang sudah menikah lainnya pindah bergeser satu ruangan, makin dekat ke pangkal rumah gadang. Urutan penempatan demkian bertujuan untuk mengingatkan perempuan yang tertua bahwa pada masa yang akan datang, bila anggota keluarga rumah gadang sudah ramai sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang telah menikah, maka saudara perempuan yang tertua harus mempersiapkan diri membangun rumah gadang baru.[85]

Masjid

Masjid Tuo Kayu Jao (kiri) dan Surau Lubuk Bauk (kanan) memiliki perbedaan pada puncak atap.

Sebagai hasil dari kontak budaya Minangkabau dengan Islam, masjid menjadi faktor keharusan bagi sebuah nagari di Minangkabau.[86][87] Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal bangunan ibadah berupa surau.[a] Setiap suku atau kaum yang menghuni nagari biasanya memiliki surau. Akan tetapi, karena bangunannya relatif lebih kecil dari masjid, surau biasanya tidak digunakan untuk pelaksanaan salat Jumat dan salat Ied.[89]

Masjid di Minangkabau hadir ketika masyarakat telah memiliki konsep arsitektur bangunan tradisonal. Oleh sebab itu, arsitektur masjid dipengaruhi oleh arsitektur rumah adat Minangkabau. Menurut Sudarman dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, pengaruh rumah gadang terhadap masjid sangat dominan.[3][51] Hal ini ditandai dari bentuk atap yang melengkung dan curam, lantai yang berkolong, bangunan yang ditopang oleh banyak tiang, dan ragam hias yang dipergunakan untuk menghais dinding. Arsitektur masjid yang memakai bentuk-bentuk setempat disebut sebagai vernakular. Di antara masjid yang memakai arsitektur vernakular Minangkabau seperti: Masjid Taluak, Masjid Asasi, Masjid Bingkudu, Masjid Tuo Kayu Jao, dan Masjid Tuo Koto Nan Ampek. Ada beberapa masjid yang puncak atapnya dihias dengan gonjong, seperti: Surau Lubuk Bauk, Masjid Rao Rao, dan Masjid Raya Koto Baru.[90]

Untuk tujuan yang sama, bangunan masjid-masjid di Minangkabau dibuat mengadopsi aspek-aspek bangunan rumah gadang. Masjid-masjid tradisional di Minangkabau seluruhnya mempergunakan tiang sebagai penyangga utama. Seperti rumah gadang, ada tiang yang dikenal sebagai tonggak tuo atau tiang macu.[51][91] Adapun fitur tambahan dari masjid yakni menara. Menara pada masjid-masjid kuno Minangkabau diperkenalkan pada awal abad ke-19 oleh sejumlah reformis lslam yang dikenal sebagai Kaum Padri.[92]

Rangkiang

 
Rumah gadang di Pandai Sikek dengan dua rangkiang di depannya

Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau tradisional, setiap rumah gadang memiliki tempat penyimpan padi, yang disebut rangkiang. Bangunannya berbentuk seperti rumah panggung dengan atap gonjong, tetapi berukuran lebih kecil dari rumah gadang. Rangkiang tidak berjendela, dan hanya ada satu pintu yang digunakan untuk memasukan dan mengeluarkan padi. Pintu ini tidak terletak dekat dengan tanah melainkan menyentuh bagian dinding atap atau disebut singok, sehingga dibutuhkan tangga untuk menjangkaunya.[93][94][95]

Lantai panggung melindungi padi yang ada di dalam rangkiang dari tanah yang lembap. Terdapat balok lantai pada rangkiang atau disebut jariau yang berperan untuk menahan isi rangkiang. Fondasi yang digunakan berupa batu kali yang pipih sebagaimana rumah gadang. Dinding rangkiang terdiri dari dua lapis, yaitu lapis luar yang disebut dinding tadia dan lapis dalam yang disebut dinding papan. Bentuk penampang rangkiang sama halnya dengan rumah gadang, yakni seperti trapesium terbalik. Bentuk ini memungkinkan rangkiang terhindar dari terpaan hujan secara langsung.[93][96][95]

Rangkiang dibangun di halaman depan rumah gadang bagian ujung atau pangkal dan dapat berjejer berdekatan jika jumlah rangkiang lebih dari satu.[95]

Balai adat

Balai adat Koto Piliang (atas) dan balai adat Bodi Chaniago (bawah)

Balai adat di Minangkabau disebut balairung. Balairung berfungsi sebagai tempat sekelompok kepala keluarga atau penghulu berkumpul musyawarah untuk menyelesaikan urusan adat. Balairung hanya dapat dibangun di permukiman yang telah menerima status nagari dan menjadi salah satu syarat berdirinya sebuah nagari. Keberadaanya biasanya terletak di tengah-tengah nagari dan berdekatan dengan masjid.[97][43][98]

Sebuah balairung memiliki bentuk yang sama seperti rumah gadang, yakni menggunakan gonjong dan dirancang sebagai rumah panggung. Tiap-tiap nagari membangun balai adat sesuai dengan sistem adat yang dianutnya. Balai adat Koto Piliang mempunyai anjung atau lantai yang ditinggikan pada sisi kiri dan kanan, sebagai petunjuk bahwa kedudukan penghulu dalam adat Koto Piliang tidak sama. Oleh karena itu dalam musyawarah, penghulu duduk sesuai dengan kedudukannya dalam adat. Adapun balai adat Bodi Caniago lantainya datar saja dari ujung ke ujung, karena pengertian semua penghulu dalam persidangan duduk sama rendah tegak sama tinggi, yakni tidak ada penghulu yang duduknya lebih tinggi dari yang lain. Baik balai adat Koto Piliang maupun Bodi Caniago tidak mempunyai daun pintu sehingga terbuka saja. Pengertiannya adalah tidak ada yang bersifat rahasia dalam persidangan yang diadakan.[99][97][98]

Perbedaan utama antara balairung dan rumah gadang adalah terletak pada interior. Balairung dirancang sebagai sebuah ruang yang secara keseluruhan digunakan untuk fungsi komunal. Akibatnya, balairung tidak memiliki panel untuk pintu dan jendela. Banyak balairung tidak memiliki dinding. Dengan demikian, lebih banyak orang dapat bergabung dalam acara musyawarah dari luar balairung. Akses ke balairung disediakan oleh bukaan di tengah-tengah bangunan, yang dihubungkan ke tanah dengan sebuah tangga.[98]

Keterangan

  1. ^ Surau awalnya merupakan tempat berkumpulnya anak laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur pada malam hari dan menekuni bermacam ilmu dan keterampilan, tetapi diperluas fungsinya menjadi tempat ibadah dan penyebaran ilmu keislaman setelah Islam masuk.[64] Anak laki-laki belajar Alquran dan ilmu agama di surau. Meskipun proses pendidikan yang berlangsung di surau tidak formal, pendidikan di surau mengajarkan remaja mengenai kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong, hingga berbagai keterampilan seperti bela diri dan kepiawaian dalam berargumen. Namun, seiring zaman, tradisi belajar di surau mulai pudar karena tergantikan oleh lembaga pendidikan formal.[88]

Referensi

  1. ^ Syafwandi 1993, hlm. 22.
  2. ^ Syafwandi 1993, hlm. 27–34.
  3. ^ a b Sudarman 2014, hlm. 3.
  4. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 35.
  5. ^ a b c Titin Nofita Handa Puteri 2015.
  6. ^ a b Antara 16 Maret 2019.
  7. ^ a b c Gemala Dewi 2010, hlm. 43–44.
  8. ^ a b c Rosiana Haryanti 31 Juli 2018.
  9. ^ a b c d Beritagar.id 8 Desember 2017.
  10. ^ Andri Nur Oesman 2014, hlm. 5.
  11. ^ a b c Elfida Agus 2006, hlm. 4.
  12. ^ Syafwandi 1993, hlm. 10.
  13. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 25.
  14. ^ Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 15.
  15. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 4–8.
  16. ^ A.A. Navis.
  17. ^ Minangkabaunews.com 6 Juni 2011.
  18. ^ a b Nurmatias 20 Februari 2019.
  19. ^ Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan & Yoka Febriola.
  20. ^ Zulfikar 2017.
  21. ^ Popi Trisna Putri 2017, hlm. 44–45.
  22. ^ Andri Nur Oesman 2014, hlm. 2.
  23. ^ a b Elfida Agus 2006, hlm. 5.
  24. ^ Ernaning Setiyowati 2010, hlm. 8.
  25. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 30.
  26. ^ a b Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 40.
  27. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 110.
  28. ^ a b c Republika.co.id 1 September 2014.
  29. ^ a b William Marsden 1810.
  30. ^ a b c Purwanita Setijanti, dkk 2012, hlm. 58.
  31. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 25.
  32. ^ Syafwandi 1993, hlm. 8–9.
  33. ^ Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 18.
  34. ^ Sudarman 2014, hlm. 93.
  35. ^ Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 38.
  36. ^ Syafwandi 1993, hlm. 30–31.
  37. ^ Aulia Azmi & Imam Faisal Pane, hlm. 329.
  38. ^ Antara 29 Januari 2017.
  39. ^ Gusti Asnan 2003, hlm. 283.
  40. ^ Rahmat Irfan Denas 2019.
  41. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 13–14.
  42. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 14.
  43. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 19.
  44. ^ Syafwandi 1993, hlm. 21–22.
  45. ^ Ernaning Setiyowati 2010, hlm. 4.
  46. ^ Fuji Rasyid 2008, hlm. 58.
  47. ^ Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 50.
  48. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 89–90.
  49. ^ a b Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 22–23.
  50. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 53–54.
  51. ^ a b c Syafwandi 1993, hlm. 34.
  52. ^ Sudarman 2014, hlm. 93–94.
  53. ^ a b Gemala Dewi 2010, hlm. 50.
  54. ^ Syafwandi 1993, hlm. 27–28.
  55. ^ Pasbana.com 9 Desember 2016.
  56. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 48.
  57. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 54–55.
  58. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 28.
  59. ^ Okezone.com 31 Desember 2011.
  60. ^ Syafwandi 1993, hlm. 28–29.
  61. ^ Syafwandi 1993, hlm. 31.
  62. ^ Syafwandi 1993, hlm. 18.
  63. ^ Esti Asih Nurdiah 2011, hlm. 17.
  64. ^ a b Azyumardi Azra 2003, hlm. 50.
  65. ^ a b Mestika Zed 2012, hlm. 66.
  66. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 86–87.
  67. ^ a b Mestika Zed 2012, hlm. 71.
  68. ^ a b Syafwandi 1993, hlm. 27.
  69. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 46–47.
  70. ^ Mestika Zed 2012, hlm. 63.
  71. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 51.
  72. ^ a b Gemala Dewi 2010, hlm. 40.
  73. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 47–48.
  74. ^ a b Gemala Dewi 2010, hlm. 37–39.
  75. ^ BPCB Sumatra Barat 29 Oktober 2017.
  76. ^ BPCB Sumatra Barat 22 Juni 2015.
  77. ^ Syafwandi 1993, hlm. 22–23.
  78. ^ Andri Nur Oesman 2014, hlm. 8.
  79. ^ Katherine Steffi Halim & Eveline C.S. 2009, hlm. 230.
  80. ^ Gemala Dewi 2010, hlm. 64.
  81. ^ Syafwandi 1993, hlm. 23.
  82. ^ Fuji Rasyid 2008, hlm. 67.
  83. ^ a b Fuji Rasyid 2008, hlm. 68.
  84. ^ Andri Nur Oesman 2014, hlm. 7–8.
  85. ^ Syafwandi 1993, hlm. 26.
  86. ^ Sudarman 2014, hlm. 46.
  87. ^ Abdullah 1966.
  88. ^ Azyumardi Azra 2003, hlm. 24.
  89. ^ Sudarman 2014, hlm. 47–48.
  90. ^ Yulianto Sumalyo 2000, hlm. 478.
  91. ^ Sudarman 2014, hlm. 50.
  92. ^ P. Nas & Martien de Vletter 2009, hlm. 68.
  93. ^ a b Syamsidar 1991, hlm. 52–54.
  94. ^ Ahmad Bahrudin 2017, hlm. 23–24.
  95. ^ a b c Gemala Dewi 2010, hlm. 76–82.
  96. ^ Syafwandi 1993, hlm. 32.
  97. ^ a b Masoed Abidin 2005, hlm. 85.
  98. ^ a b c Syamsidar 1991, hlm. 49–51.
  99. ^ Syafwandi 1993, hlm. 33.

Daftar pustaka

Pranala luar