Grebeg

perayaan untuk memperingati peristiwa penting dalam kultur masyarakat Surakarta dan Yogyakarta

Grebeg adalah perayaan rutin yang diadakan masyarakat Jawa untuk memperingati suatu peristiwa penting. Perayaan utamanya diadakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Grebeg menjadi acara terakhir dalam perayaan tahunan Sekaten. Grebeg juga dilakukan oleh pemerintahan lokal dan masyarakat pedesaan. Tujuan perayaan Grebeg adalah sebagai ucapan syukur terhadap kemakmuran yang diberikan kepada masyarakat. Ini dilambangkan dengan mempersembahkan gunungan secara berpasangan. Gunungan ini tersusun dari hasil bumi yang dirangkai pada kerangka berbentuk menggunung dan kemudian dibawa berkeliling. Setelahnya, masyarakat akan berebut isi dari Gunungan.[1] Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta melakukan Grebeg secara turun-temurun. Grebeg dijadikan sebagai wisata budaya bagi para turis lokal maupun mancanegara.[2]

Grebeg Maulud di Keraton Surakarta

Pelaksanaan

Keraton Surakarta[3] dan Yogyakarta menyelenggarakan Grebeg sebanyak tiga kali dalam setahun. Ketiganya yaitu Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilakukan pada awal bulan Syawal untuk memperingati berakhirnya puasa pada bulan Ramadan. Grebeg Maulud dilaksanakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Grebeg Besar dilaksanakan untuk memperingati bulan Zulhijah. Grebeg dianggap sebagai lambang kedermawanan dan perlindungan Sultan Yogyakarta terhadap masyarakatnya. Persembahan yang diberikan berupa gunungan yang dibawa berkeliling dengan 10 pasukan yang mengawalnya.[4] Grebeg di Keraton Yogyakarta diadakan dengan mengenakan pakaian dengan bentuk menyerupai pasukan kerajaan. Selain itu, anggota keluarga dan para abdi dalem Keraton mengenakan pakaian adat Yogyakarta.[5]

Penyelnggaraan Grebeg di Keraton Surakarta dilakukan oleh para keturunan Sunan Kalijaga. Mereka akan berkumpul di Kadilangu Demak untuk mempersiapkan acara Grebeg. Sesajen untuk Grebeg dipersiapkan sejak tanggal 9 Zulhijah oleh utusan Keraton Surakarta yang dipimpin oleh putra mahkota. Penyerahannya dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa krama inggil.[6]

Persembahan

Dalam Grebeg di Keraton Yogyakarta, persembahan utamanya adalah gunungan yang terdiri dari enam macam. Satu gunungan diberikan ke Pura Pakualaman dan lima gunungan dibawa ke Masjid Besar Kauman untuk diperebutkan oleh warga.[7] Gunungan Grebeg merupakan hadiah dari sultan yogyakarta kepada orang-orang yang datang ke Keraton Yogyakarta agar dimakan bersama. Masyarakat Jawa meyakini adanya berkah sultan dalam gunungan grebeg.[8]

Keraton Surakarta juga mempersembahkan gunungan dalam perayaan Grebeg, Gunungan ini berawal dari dakwah Wali Songo di Pulau Jawa yang berlandaskan pada Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 16. Salah satu metode dakwah yang digunakan adalah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan masyarakat termausk kesenian dan budayanya.[9] Gunungan Grebeg dianggap sebagai bentuk kermawanan dan berkah raja kepada masyarakatnya sekaligus sebagai media dakwah Islam. Makna yang dimilikinya adalah kesederhanaan, kesatuan, keseimbangan, dan keselarasan. Jumlah gunungan yang diperebutkan antar tujuh hingga dua belas pasang.[10]

Pemaknaan

Tradisi Grebeg dimaknai sebagai bagian dari dakwah Islam yang mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan. Konsep keselarasan lingkungan di dalamnya merupakan warisan dari Sunan Kalijaga, sehingga ziarah ke makamnya menjadi salah satu bagian dari acara Grebeg. Masyarakat Jawa juga melakukan Grebeg sebagai kesadaran tentang alam semesta dalam pandangan Islam dan identitas bangsa.[11]

Galeri

Referensi

  1. ^ Soelarto, Bambang (1993). Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-413-830-4. 
  2. ^ Brata 2009, hlm. 60.
  3. ^ https://news.detik.com/berita/d-3296928/grebeg-besar-keraton-surakarta-tetap-ramai-meski-digelar-tak-di-hari-libur
  4. ^ Hasan 2013, hlm. 162.
  5. ^ Hasan 2013, hlm. 164.
  6. ^ Purwadi 2012, hlm. 67.
  7. ^ Brata 2009, hlm. 62.
  8. ^ Brata 2009, hlm. 67.
  9. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 291-292.
  10. ^ Adib dan Suddhono 2018, hlm. 292.
  11. ^ Purwadi 2012, hlm. 75.

Daftar pustaka