Kota Surakarta

kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia

Masukan pilihan kota/kabupaten tidak ada


Kota Surakarta
Daerah tingkat II
Lambang Surakarta
Motto: 
Mulat sarira angrasa wani
"Introspeksi diri, merasa berani."
Peta
Peta
Kota Surakarta di Jawa
Kota Surakarta
Kota Surakarta
Peta
Kota Surakarta di Indonesia
Kota Surakarta
Kota Surakarta
Kota Surakarta (Indonesia)
Koordinat: 7°34′S 110°49′E / 7.57°S 110.82°E / -7.57; 110.82
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
Tanggal berdiri-
Dasar hukum-
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 5
  • Kelurahan: 51
Pemerintahan
 • BupatiIr. Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo
Luas
 • Total44,04 km² km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi)
Populasi
 • Total534,540 (2.007)
Demografi
 • AgamaKejawen, Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha
 • BahasaJawa, Indonesia
Zona waktuUTC+07:00 (WIB)
Kode BPS
3372 Edit nilai pada Wikidata
Kode area telepon0271
Kode Kemendagri33.72 Edit nilai pada Wikidata
DAU639,6 milyar rupiah (2007, total anggaran)
Situs webwww.surakarta.go.id


Kota Surakarta (juga Solo, Sala, dan [tidak dipakai lagi] Salakarta) adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi "pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta". Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Geografi

Kota Solo terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.

Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.

Batas-batas administrasi

Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.

Sejarah Kota Surakarta

Masa awal dan pra-Republik

Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Pakubuwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.

Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[1]). Pembangunan kraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).

 
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.

Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Situasi di Solo (dan wilayah pengaruhnya) pada masa ini sangat menyedihkan. Terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Solo kehilangan hak otonominya; nasib yang berbeda dengan Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[butuh rujukan]

Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.[butuh rujukan]

Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.

Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.

Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[2]

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.

Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.

Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".

Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

Kependudukan

Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2003 adalah 552.542 jiwa terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan. Perbandingan kelaminnya 96,06% yang berarti setiap 100 orang wanita terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Jumlah penduduk tahun 2003 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil sensus tahun 2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun mengalami kenaikan sebanyak 83.708 jiwa.[butuh rujukan] Catatan dari tahun 1880 [3] memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa.

Jika wilayah penyangga Surakarta juga digabungkan secara keseluruhan (Soloraya - Surakarta + Kartasura, Colomadu, Baki, Grogol, Palur), maka luasnya adalah 130 km². Penduduknya berjumlah 850.000 jiwa.[butuh rujukan]

Pembagian Administratif

 
Balai kota Surakarta

Surakarta dibagi menjadi lima kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan, lalu setiap kelurahan dibagi menjadi kampung-kampung yang kurang lebih setara dengan Rukun Warga.

Kecamatan di Surakarta:

Solo Baru

Solo Baru merupakan kawasan yang dimekarkan dari kota Solo.

Transportasi

Kota Surakarta terletak di pertemuan antara jalur selatan Jawa dan jalur Semarang-Madiun, yang menjadikan posisinya yang strategis sebagai kota transit. Jalur kereta api dari jalur utara dan jalur selatan Jawa juga terhubung di kota ini.

Angkutan darat

Terminal bus besar kota ini bernama Tirtonadi yang beroperasi 24 jam karena merupakan jalur antara yang menghubungkan angkutan bus dari Jawa Timur (terutama Surabaya dan Banyuwangi) dan Jawa Barat (Bandung).

Stasiun kereta api utama bernama Stasiun Solo Balapan yang merupakan stasiun untuk pemberangkatan kereta api kelas Bisnis dan Eksekutif dan terletak berdekatan dengan terminal bus Tirtonadi, suatu hal yang jarang dijumpai di Indonesia. Hubungan perjalanan dari setasiun ini cukup baik, mencakup semua kota besar di Jawa secara langsung dan hampir dalam semua kelas. Di Kota Surakarta juga terdapat tiga setasiun kereta api lain yang lebih kecil, yang salah satunya (Stasiun Solo Kota) dihubungkan dengan rel yang berada tepat sejajar di tepi jalan, satu-satunya yang masih difungsikan di Indonesia. Dua stasiun lainnya adalah Stasiun Purwosari dan Stasiun Palur, kedua stasiun ini melayani penumpang kereta api kelas ekonomi.

Angkutan udara

Surakarta memiliki bandar udara internasional Adisumarmo (dulu bernama "Panasan", sebenarnya terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Karanganyar dan Boyolali tapi letak bandara terletak di kabupaten boyolali) yang terhubung ke Jakarta,Kuala Lumpur dan Singapura. Waktu tempuh perjalanan udara dengan Jakarta berlangsung kurang lebih 50 menit. Beberapa operator penerbangan yang melayani rute dari/ke kota Solo antara lain Garuda Indonesia, Lion Air, Sriwijaya Air, Indonesia Air Asia, Mandala Air, Air Asia, Silk Air, dll. Bandar udara ini juga menjadi pusat pemberangkatan dan penerimaan haji dari Asrama Haji Donohudan Boyolali Indonesia.

Angkutan kota

Angkutan umum dalam kota mencakup bus kota, angkot, taksi, becak, dan andong.

Arsitektur dan peninggalan sejarah

Lihat arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta

Budaya

Bahasa

Bahasa daerah yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa dialek Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosakata yang digunakan, ngoko(kasar)-krama(halus)nya, dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname).

Makanan

Beberapa makanan khas Surakarta antara lain: Nasi liwet, nasi timlo, nasi gudeg (juga diklaim oleh Yogyakarta), serabi Notosuman, intip, bakpia Balong, roti mandarin toko kue Orion, dll.

Tokoh-tokoh dari Kota Surakarta

Gambar-gambar

Pranala luar

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Lihat, misalnya, Ann Kumar. 1980. Javanese court society and politics in the late eighteenth century: the record of a lady soldier. Part I. The religious, social, and economic life of the court. Indonesia 29:1-46. Artikel ini mengkaji suatu catatan harian mengenai kehidupan keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana IV. Pembukaan pada Serat Babad Mangkunagaran (1779) juga menyebut Pémut tatkala wiwit tinulis, wonten nagari ing Salakarta.
  2. ^ Ramadhan K.H. "Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya"
  3. ^ Surakarta, dalam Retrobibliothek Online dari Meyers Knversationslexikon, Leipzig & Wien. 1885-1892