Ekspedisi Tentara Republik Indonesia ke Sulawesi
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Ekspedisi Tentara Republik Indonesia ke Sulawesi merupakan sebuah ekspedisi militer yang dilakukan oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) atas mandat dari panglima besar Jenderal Sudirman untuk menyusup ke Sulawesi dan membentuk satu kekuatan divisi Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi.
Latar belakang
Pada bulan November 1946, satu tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, terdengar berita Dr.H.J. Van Mook dari Belanda akan membentuk negara boneka di Indonesia bagian Timur. Sebelum siasat tersebut terlaksana, pihak militer Indonesia telah merencanakan mengirim pasukan ekspedisi ke Sulawesi. Gagasan tersebut disetujui oleh Markas Besar Tentara (MBT) di bawah panglima besar Sudirman, dan dijadikan bagian dari rencana kerja.
Pada tanggal 16 April 1946 dikeluarkan surat keputusan Panglima Besar yang menugaskan kepada tiga perwira asal Sulawesi yaitu Andi Mattalatta, Kahar Muzakkar, dan M. Saleh Lahade yang berasal dari Sulawesi untuk melaksanakan rencana kerja MBT, mereka bertiga merupakan pemegang mandat dari MBT. Tugas yang diberikan MBT kepada pemegang mandat yaitu, melakukan persiapan pembentukan kader/pasukan yang akan dikirim ke Sulawesi, membentuk satu kekuatan divisi TRI di Sulawesi, dan menyampaikan laporan hasil tugas tersebut kepada Panglima Besar.[1][2]
Persiapan
Persiapan pelaksanaan tugas ekspedisi ke Sulawesi dilakukan dengan membentuk Staf Komando Resimen Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) yang dinamakan Resimen Hasanuddin. Adapun susunan staf pimpinan yaitu Letkol Kahar Muzakkar (Komandan Resimen), Mayor Andi Mattalatta (Wakil Komandan), dan Mayor M. Saleh Lahade (Kepala Staf). Dengan adanya resimen pimpinan para pejuang asal Sulawei itu, puluhan perwira dilatih di Surakarta maupun di Jember.[3]
Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Besar tanggal 16 April 1946, para pewira Asal Sulawesi di yang berada Jawa ini diberi tugas menyusup ke Sulawesi Selatan. Tugas pasukan ekspedisi ini sangat berbahaya karena harus menembus blokade laut dari tentara Belanda (KNIL). Pasukan pejuang yang membawa senjata api itu harus membuat penyamaran sebagai nelayan, kemudian harus mewaspadai sergapan musuh ketika mendarat di Sulawesi.[4]
Ekspedisi
Ekspedisi TRIPS yang pertama baru dapat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 1946 di bawah pimpinan Kapten Muhammadong bersama anggotanya sebanyak 62 orang. Mereka berangkat dari Situbondo menggunakan perahu pinisi, namun rombongan tersebut disergap oleh patroli Belanda di perairan Bali, kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya.[5]
Ekspedisi TRIPS yang kedua dilakukan pada awal bulan 1946 di bawah pimpinan M. Tahir Daeng Tompo. Pasukan ini berhasil mendarat di Suppa, Pinrang. Ekspedisi TRIPS yang ketiga dibawah pimpinan Letnan Abdul Latif berhasil mendarat di Sulawesi pada awal bulan Desember 1946. Ketika itu operasi pembantaian Westerling baru dimulai di Sulawesi Selatan. Kebetulan Letnan Latif terserang penyakit disentri, segera setelah mendarat, berusaha ke Makassar untuk berobat, akhirnya pimpinan ekspedisi Abdul Latif tertangkap oleh pasukan Westerling di Makassar.[6]
Bersamaan dengan datangnya ekspedisi ketiga, rombongan Andi Manyulei mendarat di Suppa, kemudian terus ke Maiwa, Enrekang. Beberapa pasukan Andi Manyulei kemudian bergabung ke dalam Laskar Hariamu Indonesia (HI) di bawah pimpinan Andi Sose. Pasukan ekspedisi pimpinan A. Latif (Letnan TRI) mendarat di Sabangpura kemudian akan menuju ke markas Andi Selle di Alitta, Pinrang, namun kedatangannya digerebek oleh tentara KNIL sehingga terjadi kontak senjata. Beberapa anggota ekspedisi gugur termasuk dua perwira, Letnan Said dan Letnan Murtala. Sementara pasukan Letnan Latif yang selamat bergabung dengan pasukan di Suppa.
Pasukan ekspedisi Kelompok Komando yang di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta mendarat di Pulau Panikiang pada tanggal 26 Desember 1946, keesokan harinya baru menyeberang ke Garongkong, Barru, selanjutnya menuju markas TRIPS di Salessoe, Soppeng Riaja. Rombongan Komando kedua di bawah pimpinan Kapten Andi Sarifin mendarat di Wiringtasi.[7]
Pasukan KNIL kemudian memperketat patroli di lokasi pendaratan. Pada tanggal 7 Januari 1947, KNIL berhasil menemukan markas TRIPS di Salessoe sehingga terjadi baku tembak antara pejuang dan KNIL. Pada pertempuran tersebut Andi Sarifin gugur, karena pimpinan rombongan gugur, maka jabatan dipegang oleh Andi Sapada. Pada pertengahan Januari 1947, rombongan Komando yang ketiga di bawah pimpinan Mayor M. Saleh Lahade tiba di Suppa.[8][9]
Konferensi Paccekke
Setelah seluruh pasukan ekspedisi tiba di Sulawesi, dengan segera direncanakanlah pertemuan semua badan perjuangan di daerah Sulawesi Selatan, berdasarkan isi mandat yang diberikan Panglima Besar Sudirman. Diadakanlah konferensi di Paccekke, Barru, pertemuan dilangsungkan dari tanggal 20 hingga 22 Januari 1947. Pimpinan utama Konferensi Paccekke ialah Andi Mattalatta dan dibantu oleh M. Saleh Lahade.
Adapun badan perjuangan dan kelaskaran yang sempat hadir pada konferensi tersebut antara lain KRIS Muda Mandar dipimpin oleh Andi Parenrengi, BPRI Suppa oleh Andi Selle, BPRI Enrekang oleh Andi Abubakar Lambogo, BP Ganggawa oleh Rachmansyah, GAPIS Soppeng oleh M. Idris Palunggeng, KRIS oleh Andi Cabambang, Harimau Indonesia oleh Muhammad Syah, Banteng Makassar oleh Daeng Bonto. Konferensi dilaksanakan di salah satu rumah panggung yang cukup besar. Jumlah peserta Konferensi Paccekke sebanyak 43 orang, pasukan yang tiba di Paccekke dan di sekitar tempat dilaksanakannya konferensi ada sekitar 700 orang.[10]
Pada tanggal 21 Januari 1947, disepakati untuk membentuk kekuatan satu divisi (Divisi Hasanuddin) dengan dislokasi masing-masing satu resimen di sekitar Makassar, Parepare, Palopo, dan satu resimen lagi dipersiapkan di Sulawesi Tenggara.[11] Dengan terlaksananya Konferensi Paccekke ini nantinya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang lebih terorganisir.[12]
Rujukan
- ^ Sritimuryati. Juni 2011. Konferensi Paccekke dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Perjuangan. WALASUJI. Vol. 2, No. 1.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Sritimuryati. Juni 2011. Konferensi Paccekke dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Perjuangan. WALASUJI. Vol. 2, No. 1.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Sritimuryati. Juni 2011. Konferensi Paccekke dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Perjuangan. WALASUJI. Vol. 2, No. 1.
- ^ Sarita Pawiloy, DKK. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan.
- ^ Rasyid, Darwas. 1990. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah TK. II Kabupaten Barru. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
- ^ Sritimuryati. Juni 2011. Konferensi Paccekke dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Perjuangan. WALASUJI. Vol. 2, No. 1.
- ^ Abduh, Muhammad. DKK. 1981. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.