Agus Salim
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); 8 Oktober 1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang.[2]
Agus Salim | |
---|---|
Menteri Luar Negeri Indonesia ke-3 | |
Masa jabatan 3 Juli 1947 – 20 Desember 1949 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Sutan Syahrir |
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia 1 | |
Masa jabatan 12 Maret 1946 – 3 Juli 1947 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri | Sutan Syahrir |
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Masyhudul Haq 8 Oktober 1884 Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat, Hindia Belanda |
Meninggal | 4 November 1954 Jakarta, Indonesia | (umur 70)
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Zainatun Nahar |
Anak | 8 |
Profesi | |
Sunting kotak info • L • B |
Latar belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.[3]
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Pada tahun 1912-1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Kemudian pada tahun 1915 ia terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar Almatsier dan dikaruniai 10 orang anak.[4] Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu ia juga terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karya tulis
- Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
- Dari Hal Ilmu Quran
- Muhammad voor en na de Hijrah
- Gods Laatste Boodschap
- Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober 1954)
Karya terjemahan
- Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
- Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
- Sejarah Dunia (karya E. Molt)
Karier politik
Pada tahun 1915, H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto.
Peran H. Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia antara lain:
- anggota Volksraad (1921-1924)
- anggota Panitia Sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang mempersiapkan UUD 1945
- Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
- pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet presidensial dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Kota Padang.
Lihat pula
Referensi
- ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia Diarsipkan 2012-04-14 di Wayback Machine., Departemen Sosial RI Online, Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
- ^ Syukur, Yanuardi (2017). Menulis di Jalan Tuhan. Sleman: Deepublish. hlm. 73. ISBN 978-602-401-711-8.
- ^ http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/60783/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y[pranala nonaktif permanen]
- ^ "Memimpin Itu Menderita, Seperti Agus Salim".
Pranala luar
- (Indonesia) "Haji Agus Salim (1884-1954): tentang perang, jihad, dan pluralisme" - Googlebooks
- (Inggris) New York Times: Best Story; The Book That Killed Colonialism
- http://repositori.kemdikbud.go.id/8326/1/HAJI%20AGUS%20SALIM.pdf
Jabatan pemerintahan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Sutan Sjahrir |
Menteri Luar Negeri Indonesia 1947–1949 |
Diteruskan oleh: Mohammad Hatta |
Didahului oleh: Jabatan baru |
Menteri Muda Luar Negeri Indonesia 1946–1947 |
Diteruskan oleh: Tamsil |