}} Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai "prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII, tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.

Biografi

Menurut sejarah, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja Sriwijaya waktu itu,[1] dan raja tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,[2] merujuk kepada orang yang sama.[3][4] Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.[5][6][7]

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi), menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah. Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686 masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung, semua menceritakan peristiwa yang sama. Dari keterangan prasasti-prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka,[8] dan bahkan melancarkan serangan ke Bhumi Jawa yang mungkin menyebabkan keruntuhan kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Nama dan asal usul

Dapunta Hyang dipercayai sebagai suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal.[9] Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto (akhir abad ke-7) yang ditemukan di daerah Batang, pesisir utara Jawa Tengah, yaitu Dapunta Selendra yang dipercaya sebagai nama leluhur wangsa Sailendra. Istilah hyang sendiri dalam kebudayaan asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tak kasatmata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melakukan perjalanan "mengalap berkah" untuk memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Kesaktian ini ditambah dengan kekuatan bala tentaranya, dijadikan sebagai legitimasi untuk menaklukkan daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kekuatan spiritual ini pula yang menjadikan persumpahan Dapunta Hyang dianggap bertuah dan ditakuti para datu (penguasa daerah) bawahannya, yang kebanyakan diikat kesetiaannya kepada Sriwijaya dalam suatu prasasti dan upacara persumpahan disertai kutukan bagi siapa saja yang mengkhianati Sriwijaya.Slamet Muljana mengaitkan Dapunta Hyang di dalam Prasasti Kedukan Bukit sebagai "Sri Jayanasa", karena menurut Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684 masehi, Maharaja Sriwijaya ketika itu adalah Sri Jayanasa. Karena jarak tahun antara kedua prasati ini hanya setahun, maka kemungkinan besar "Dapunta Hyang" di dalam Prasasti Kedukan Bukit dan "Sri Jayanasa" dalam Prasasti Talang Tuwo adalah orang yang sama.[5]

Asal usul Raja Jayanasa dan letak sebenarnya dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan ahli sejarah. Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Sementara Soekmono berpendapat Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (Tamwan berarti temuan), yakni sungai Kampar kanan dan sungai Kampar kiri di Riau,[10] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. G. Coedes berpendapat Sriwijaya selamanya berada di Palembang. Minangatamwan adalah taklukan Sriwijaya. Berdasarkan catatan dinasti Tang tahun 670 Sriwijaya yang mereka sebut Shelefoshi dengan ibukota Foshi yg terletak disungai Foshi, sudah mengirim utusan ke Cina. Dan catatan Itsing tahun 671 dan catatan Itsing tahun 685 yang menyebut Sriwijaya dan ibu kotanya dan letak ibu kotanya dengan sebutan yang sama. Artinya tahun 683 prasasti Kedukan Bukit itu bukan pemindahan ibu kota dari Minangatamwan ke tempat ditemukannya prasasti Kedukan Bukit atau bukan pula pembuatan kedatuan/ kerajaan, sebab Sriwijaya tahun 670 sudah ada dan sudah beribukota di kota Foshi. Kalau memang Minangatamwan adalah Sriwijaya kemudian tahun 683 pindah ke Palembang dan kerajaan berganti nama Sriwijaya, pastilah Itsing akan menyebut Sriwijaya dengan sebutan yang berbeda pada tahun 671 dan tahun 685. Pendapat lain menduga armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya.[11]

Rujukan

  1. ^ Takakusu, Junjiro (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford. 
  2. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  3. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. 18 (6): 1–36. 
  4. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30: 29–80. 
  5. ^ a b Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  6. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  8. ^ Elfriede Hermann, Karin Klenke, Michael Dickhardt (2009). Form, Macht, Differenz : Motive und Felder ethnologischen Forschens. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 254-255. ISBN 978-3-940344-80-9. 
  9. ^ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  10. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  11. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1.