Sujatin Kartowijono
Sujatin Kartowijono (9 Mei 1907 – 1 Desember 1983) adalah seorang aktivis perjuangan perempuan Indonesia dalam hal kesetaraan gender maupun kemerdekaan bangsa.
Kehidupan awal
Sujatin lahir tanggal 9 Mei 1907 di desa Kalimenur, Kabupaten Wates, Yogyakarta. Dia lahir dari keluarga berdarah priyayi. Bapaknya, Mahmud Joyohadinoro, menjadi pegawai di jawatan kereta api Belanda. Sedangkan ibunya, Raden Ajeng Kiswari, seorang bangsawan yang dekat dengan Keraton Yogyakarta. Sujatin adalah anak keempat dari 5 bersaudara. Semua kakaknya adalah perempuan. Karena itu, ketika Sujatin masih dalam kandungan, bapaknya sangat mengharap anak laki-laki.
Sehingga, ketika Sujatin lahir, bapaknya agak kecewa. Sang bapak, yang tercekoki anggapan patriarkis itu, enggan untuk menggendong Suyatin. Sujatin mendengar kisah itu dari kakaknya ketika sudah menginjak Hollands Inlandsche School/HIS (sekolah dasar zaman Belanda). Saat itu, sebagai anak perempuan yang beranjak remaja, Suyatin merasakan langsung perlakuan yang tak adil karena faktor gender. Namun, Sujatin tak menyerah. Kisah pahit itu menjadi pendorong semangatnya. Dia percaya, pendidikan akan memperbaiki nasib perempuan. Karena itu, selain belajar di sekolah, Suyatin berteman dengan buku-buku.
Dia membacai surat-surat Kartini, terutama yang terkompilasi di buku “Door Duisternis Tot Licht”. Dari bacaan itu, Sujatin tak hanya mendapat pengetahuan dan inspirasi, tetapi juga semangatnya. Pada tahun 1922, ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwij/MULO (sekolah setingkat SMP), dia mulai terjun ke gelanggan pergerakan sebagai aktivis Jong Java. Ia aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan itu. Karena api Kartini, Sujatin juga rajin menulis. Ia banyak menuliskan kegelisahan maupun pemikirannya lewat koran Jong Java. Dia memakai nama pena dari nama bunga: Garbera.
Setelah tamat dari MULO, lagi-lagi karena pengaruh Kartini, Sujatin melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru. Dia bertekad menjadi pembawa obor bagi pencerahan bangsanya. Tahun 1926, Kartini mulai menjadi pengajar di sekolah dasar (HIS) swasta. Dia enggan menjadi guru di sekolah milik pemerintah. Sebagai konsekuensinya, dia menikmati gaji yang lebih kecil.
Kiprah
Tahun 1926, di sela-sela kesibukannya sebagai guru, Sujatin dan kawan-kawannya mendirikan organisasi perempuan bernama Poetri Indonesia. Organisasi yang berbasis di Jogjakarta ini banyak menghimpun guru-guru. Salah satu aktivitasnya adalah membuka kursus-kursus dan pengajaran bagi rakyat, terutama perempuan.
Tahun 1928, di Batavia, kaum muda menggelar Kongres pemuda ke-2. Kongres yang melahirkan “Sumpah Pemuda” itu bergaung ke seantero Hindia-Belanda dan memercikkan semangat untuk bersatu.
Melihat sukses Kongres Pemuda ke-2, Sujatin mulai mendekati sejumlah tokoh perempuan, seperti Nyi Hajar Dewantara dan R.A. Soekonto. Ia mengajak tokoh-tokoh itu menggagas kongres perempuan. Ide Sujatin mendapat sambutan. R.A Soekonto, aktivis Wanita Oetomo, terpilih sebagai ketua panitia Kongres, sedangkan Nyi Hajar Dewantoro dan Sujatin menjadi bendahara panitia.
Kongres Perempuan pertama terlaksana pada 22-25 Desember 1928, di pendopo Joyodipuran, Yogyakarta. Sebanyak 600-an perempuan dari 30-an organisasi menjadi peserta kongres itu. Di kongres itu, Sujatin ikut menyampaikan pidato sambutan. Menariknya, meskipun sehari-hari menggunakan bahasa Belanda, tetapi di kongres itu ia menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu).
Kongres perempuan menjadi titik penting pergerakan perempuan Indonesia, baik untuk perjuangan kesetaraan gender maupun pembebasan nasional. Kongres ini juga melahirkan kesepakatan untuk membentuk federasi bersama organisasi perempuan: Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Di pengujung 1928, PPI berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).
Usia kongres itu, aktivisme Sujatin meningkat. Dia makin terbenam dalam pergerakan kesetaraan gender dan emansipasi sosial. Dia tak hanya membeci patriarki, tetapi juga sistem sosialnya: feodalisme.
Selain bergelut dengan isu-isu pendidikan, dia juga terlibat dalam berbagai advokasi rakyat jelata. Mulai dari mengadvokasi mereka yang terlilit utang hingga memprotes diskriminasi di tempat kerja.
Tahun 1932, di sela-sela kesibukan berorganisasi, Sujatin bertemu pasangan hidupnya: Pudiarso Kartowijono. Kebetulan, Pudiarso juga seorang aktivis pergerakan. Mereka menikah tahun itu juga.
Tahun 1942, penguasa di Nusantara berubah, dari Hindia-Belanda menjadi fasisme Jepang. Saat itu, demi memobilisasi dukungan rakyat Indonesia kepada perang Asia Timur Raya, Jepang membentuk banyak organisasi massa, termasuk Fujinkai untuk perempuan. Sujatin menolak ide pembentukan Fujinkai. Menurut dia, gerakan perempuan tak memerlukan organisasi baru lagi, melainkan memperluas yang ada.
Masa revolusi
Usai Proklamasi kemerdekaan, gerakan perempuan kembali menggeliat untuk mendukung revolusi nasional. Di Yogyakarta, kaum perempuan berbaris membentuk Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI). Organisasi ini bertekad untuk memobilisasi perempuan ke dalam revolusi kemerdekaan.
Di Jakarta, perempuan membentuk Wanita Indonesia (WANI). Organisasi ini banyak mendirikan dapur umum dan mengatur distribusi beras demi menopang revolusi yang sedang bergolak.
Sujatin, yang kala itu berada di Jakarta, bergabung dengan WANI. Saat itu, kondisi Jakarta sudah mencekam sejak kedatangan Inggris yang diboncengi NICA pada 15 September 1945. Akibatnya, aktivitas dapur umum pun tidak aman dari bahaya.
Saat itu, seiring-sejalan dengan semangat revolusi yang terus berkobar, aktivis-aktivis perempuan terus bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuatan.
Pada 15-17 Desember 1945, di Klaten, Jawa Tengah, Perwani dan WANI berhasil menyelenggarakan kongres perempuan pertama pasca Proklamasi. Sujatin ikut serta dalam kongres ini.
Kongres itu kemudian meleburkan Perwani dan WANI ke dalam wadah baru: Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI). Sujatin menjadi bagian dari PERWARI.
Tak berselang lama, pada Februari 1946, sebuah konsolidasi perempuan yang diinisiasi oleh Perwari menghidupkan Badan Kongres Wanita Indonesia untuk mendorong konsolidasi gerakan perempuan yang lebih luas.
Kelanjutannya, pada Juni 1946, ada Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang diselenggarakan di Madiun, Jawa Timur. Di KOWANI, Sujatin ditunjuk sebagai ketua di Dewan Pimpinan Pusat.
Usai penyerahan kedaulatan, Perwari dan KOWANI aktif memperjuangkan isu-isu perempuan, termasuk memperjuangkan UU perkawinan yang demokratis dan berkeadilan.
Tahun 1950-an, Perwari terusik oleh praktek poligami di kalangan pegawai negeri sipil. Puncaknya, pada 1952, pemerintah membuat peraturan tentang pembagian uang pensiun untuk pegawai negeri yang memiliki istri lebih dari orang. Bagi Perwari, peraturan itu sama saja dengan melegitimasi poligami.
Tahun 1953, Sujatin ditunjuk sebagai Ketua Umum Perwari. Di bawah nahkodanya, Perwari berdiri paling depan menentang poligami.
Puncaknya, pada 17 Desember 1953, Perwari memerintahkan seluruh cabangnya menggelar aksi memprotes PP yang membolehkan poligami. Aksi itu mendapat dukungan luas.
Belum selesai isu PP, tahun itu juga tersiar kabar rencana pernikahan Sukarno dengan Hartini. Sujatin dan Perwari meradang. Saat itu, tak banyak organisasi perempuan yang berani memprotes poligami Sukarno. Tetapi Sujatin dan Perwari berani memilih jalannya yang konsisten untuk menentang poligami. Perwari menunjuk Sujatin untuk menyampaikan protes langsung kepada Presiden Sukarno.
Di tahun yang sama, Perwari dan organisasi perempuan lainnya tengah berjuang keras untuk menghasilkan UU perkawinan yang demokratis.
Tahun 1960-an, Sujatin mulai mengurangi keterlibatannya di Perwari. Akan tetapi, perhatiannya pada isu-isu perempuan tidak pernah surut.
Di masa Orde Baru, dia sempat mengisi beberapa jabatan di pemerintahan, seperti konsultan Departemen Sosial (1974-1978). Dia juga sempat memimpin Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI).
Pada 1 Desember 1983, Sujatin meninggal di RS Cipto Mangunkusumo.[1]
Kehidupan pribadi
Di tengah kesibukan mempersiapkan kongres, Sujatin kedatangan tamu pemuda dari Batavia. Dia adalah tunangan Sujatin. Pemuda yang telah lama dikenalnya itu merupakan anggota Jong Java sekaligus mahasiswa hukum di Batavia. Selama keduanya aktif berorganisasi dalam perkumpulan masing-masing, kisah cinta Sujatin hanya berlangsung di atas lembar-lembar surat. Lama tak jumpa, tunangan Sujatin bergegas mengajak pujaan hatinya berjalan-jalan berdua. Tapi, Sujatin menolaknya.
Mendengar penolakan Sujatin, ia menjadi gusar. Padahal dia sangat rindu, tetapi kekasihnya malah terlihat tak mempedulikannya. Sujatin menyadari hal itu, tapi apa daya kongres pertama teramat penting bagi Sujatin.Setelah bertengkar hebat, sang pacar kembali ke Batavia. Sujatin pun mengambil keputusan yang radikal.
Pilihan antara tugas dan cinta kembali menguji Sujatin di tengah persiapan kongres 1930 di Surabaya. Pada saat itu, Sujatin sedang menjalin kasih dengan mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) di Bandung. Keduanya sama-sama menyukai musik seriosa dan sering bermain musik bersama. Semuanya baik-baik saja sampai ketika sang pacar kembali menyambangi Sujatin di Yogyakarta menjelang kongres.
Sujatin mengkisahkan kalau pacarnya kali ini juga sangat kecewa. Kendati demikian, Sujatin juga tidak sampai hati mengabaikan nasib para perempuan yang sedang diperjuangkannya. Kebetulan pada saat itu, Sujatin sudah mempersiapkan ceramah mengenai pendidikan wanita yang akan diperdengarkannya dalam kongres di Surabaya.
Dua kali kongres, dua kali gagal menikah tak lantas membuat Sujatin jera. Sujatin tetap melanjutkan perjuangannya. Tak hanya masalah perempuan, ia juga memperhatikan kesejahteraan buruh. Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Peprempuan mencatat Sujatin terlibat dalam Komite Penolong Buruh Perempuan yang mengurusi buruknya kondisi kerja buruh perempuan dalam industri batik Lasem, serta masalah pergundikan yang seringkali dilakukan para lelaki pemilik usaha batik
Pencarian cinta Sujatin berakhir juga dalam acara peringatan hari lahir Kartini pada 1932. Dalam perhelatan itu, Sujatin menjabat Ketua Panitia peringatan, sementara sang pemuda sederhana datang sebagai tamu. Sujatin langsung jatuh hati kepada pemuda yang ia sebut sebagai “murid” Bung Karno sekaligus penganut pikiran Douwes Dekker itu.
Selang beberapa bulan semenjak pertemuan pertama, Sujatin dan Pudiarso Kartowijono langsung menikah. Keduanya mengucap janji pada tanggal 14 September 1932. Kala melamar Sujatin, Kartowijono sedang tak punya pekerjaan, tak berpangkat, dan tak punya gelar.[2]
Referensi