Hukuman mati
Hukuman mati atau pidana mati (bahasa Belanda: doodstraf) adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Vonis yang memerintahkan seorang tersangka didakwa dengan hukuman mati dapat dikatakan telah divonis mati, dan tindakan pelaksanaan hukuman disebut sebagai eksekusi.
Kejahatan yang dapat dikenai hukuman mati dapat beragam tergantung jurisdiksi, namun biasanya melibatkan kejahatan yang serius terhadap seseorang, seperti pembunuhan (berencana atau tidak), pembunuhan massal, perkosaan (seringkali juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak, terorisme, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, ditambah seperti kejahatan terhadap negara seperti upaya untuk menggulingkan pemerintahan, makar, spionase, penghasutan, dan pembajakan, serta kejahatan lainnya seperti residivisme, pencurian yang serius, penculikan, serta penyelundupan, perdagangan, atau kepemilikan narkoba.
Sejarahnya, eksekusi mati dilakukan dengan pemenggalan kepala,[1] namun eksekusi dapat dilakukan dengan banyak metode, termasuk hukuman gantung, ditembak, suntik mati, rajam, penyetruman, dan gas beracun.
Sampai dengan 2022, 55 negara masih memberlakukan hukuman mati (termasuk Indonesia), 109 negara telah meniadakan hukuman mati sepenuhnya secara de jure untuk semua jenis kejahatan, 7 telah meniadakan untuk kejahatan biasa (selagi tetap mempertahankan untuk kondisi khusus seperti kejahatan perang), dan 24 negara lainnya sebagai abolisionis dalam praktik.[2][3] Sekalipun sebagian besar negara telah meniadakan hukumman mati, lebih dari 60% populasi dunia tinggal di negara di mana hukuman mati masih berlaku, termasuk di Indonesia[4] dan negara lainnya seperti di Tiongkok, India, Amerika Serikat, Singapura, Pakistan, Mesir, Bangladesh, Nigeria, Arab Saudi, Iran, Jepang, dan Taiwan.[5][6][7][8]
Hukuman mati telah menjadi kontroversi di sejumlah negara, dan posisinya dapat berbeda dalam ideologi politik atau wilayah budaya yang sama. Amnesty International mendeklarasikan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran hak asasi manusia, dengan menyatakan "hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan, perlakuan jahat, tidak manusiawi, atau merendahkan, atau penghukuman."[9] Hak asasi tersebut dilindungi di bawah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948.[9] Di Uni Eropa, Pasal 2 dari Piagam Hak Asasi Uni Eropa melarang adanya praktik hukuman mati.[10] Majelis Eropa, yang memiliki 46 negara anggota, telah mencoba untuk meniadakan penggunaan hukuman mati secara absolut bagi para anggotanya, melalui Protokol 133 dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Namun, hal ini hanya mempengaruhi negara anggota yang telah menanda tangan dan meratifikasinya, dan tidak termasuk diantaranya Armenia dan Azerbaijan. Majelis Umum PBB telah mengadopsi, sepanjang 2007 hingga 2020[11] delapan resolusi tidak mengikat yang menuntut moratorium global terhadap eksekusi mati, dengan tujuan untuk menghapuskan hukuman mati.[12]
Batasan pelaksanaan hukuman mati
Perjanjian International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak mengharamkan penerapan hukuman mati namun memberikan serangkaian persyaratan ketat untuk negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Batasan-batasan tersebut antara lain:
- Hanya untuk "kejahatan paling serius". Hukuman mati hanya berlaku pada tindak "kejahatan paling serius" yang disengaja, salah satu contohnya adalah korupsi.
- Hak atas fair trial terpenuhi. Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan jika hak atas fair trial dilanggar selama proses hukum berjalan.
- Perlindungan hak atas identitas. Hukuman mati tidak berlaku bagi "kejahatan" zina, hubungan sesama jenis (homoseksual), "penodaan" agama, membentuk kelompok oposisi politik, atau penghinaan kepala negara.
- Menggunakan asas retroaktif. Hukuman mati tidak berlaku ketika tindak pidana tersebut belum diterapkan hukuman mati.
- Terpidana di bawah umur. Vonis hukuman mati tidak dapat dilakukan jika usia terpidana berada di bawah 18 tahun.
- Terpidana dengan gangguan jiwa. Penjatuhan hukuman dan eksekusi mati hanya berlaku pada terpidana yang bebas gangguan mental.[13]
- Terpidana perempuan hamil. Hukuman mati hanya bisa diberikan kepada wanita jika ia tidak mengandung bayi.
Metode
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
- Hukuman cambuk: hukuman dengan cara dipukuli tali di punggung (seperti di Arab Saudi)
- Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala, contohnya dengan guillotine (seperti di Perancis)
- Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi (seperti di Amerika Serikat)
- Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
- Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
- Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat. (seperti di Indonesia)
- Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
- Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi gas beracun
- Dengan gajah: hukuman mati dengan cara diinjak oleh seekor gajah. Hukuman ini diterapkan pada masa Kesultanan Mughal
Kontroversi
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 67 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 12 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktik hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus pada tahun 2005 dan 1 kasus pada tahun 2006. Beberapa di antara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman di dalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat memengaruhi dalam penegakan keadilan .
Lihat pula
Referensi
- ^ Kronenwetter 2001, hlm. 202
- ^ "Abolitionist and Retentionist Countries as of July 2018" (PDF). Amnesty International. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 April 2021. Diakses tanggal 3 December 2018.
- ^ "Death Sentences and Executions 2020" (PDF). Amnesty International. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 May 2021. Diakses tanggal 20 July 2021.
- ^ "Indonesian activists face upward death penalty trend". World Coalition against the Death Penalty. Diakses tanggal 23 August 2010.[pranala nonaktif permanen]
- ^ "Death Penalty". Amnesty International. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 August 2016. Diakses tanggal 23 August 2016.
- ^ "India: Death penalty debate won't die out soon". Asia Times. 13 August 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 August 2004. Diakses tanggal 23 August 2010.
- ^ "Legislators in U.S. state vote to repeal death penalty". International Herald Tribune. 29 March 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 March 2009. Diakses tanggal 23 August 2010.
- ^ "The Death Penalty in Japan". International Federation for Human Rights. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 August 2010. Diakses tanggal 23 August 2010.
- ^ a b Das, J.K. (2022). HUMAN RIGHTS LAW AND PRACTICE, SECOND EDITION. PHI Learning Pvt. Ltd. hlm. 192. ISBN 978-81-951611-6-4. Diakses tanggal 2022-05-08.
- ^ "Charter of Fundamental Rights of the European Union" (PDF). European Union. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 29 May 2010. Diakses tanggal 23 August 2010.
- ^ A Record 120 Nations Adopt UN Death-Penalty Moratorium Resolution, 18 December 2018, Death Penalty Information Center
- ^ "moratorium on the death penalty". United Nations. 15 November 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 January 2011. Diakses tanggal 23 August 2010.
- ^ Napitupulu, Erasmus Abraham (2020). Kertas Kebijakan Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati (PDF). Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). hlm. 3.