Sumobito, Jombang
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Sumobito adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Terletak di bagian tengah-timur Kabupaten Jombang, berbatasan pula dengan wilayah Kabupaten Mojokerto. Desa Menturo, merupakan tempat kelahiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun); dan setiap malam bulan purnama di rumah tempat kelahiran Cak Nun diadakan pengajian Padang Mbulan, yang sering dihadiri langsung oleh Cak Nun.
Sumobito | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Jombang | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | DARMADJI, SH.M.Si | ||||
Populasi | |||||
• Total | 74,578 jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 35.17.11 | ||||
Kode BPS | 3517100 | ||||
Luas | 47,64 km² | ||||
Kepadatan | 1.565 jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 21 | ||||
|
Sejarah Kantor Camat Sumobito
Sejarah berdirinya Kantor Camat Sumobito, pada masa Pemerintah Belanda bernama Onderan yang pada tahun 1870 bertempat di Desa Jogoloyo dan pada tahun 1880 Kantor Onderan Sumobito dipindah ke Desa Sumobito yang dipimpin oleh seorang Camat bernama Onggo Widjojo yang pada masa itu “Camat” masih disebut “Asistene Wedono”. Sejak tanggal 07 Maret 1942 Onderan Sumobito beralih di bawah Pemerintahan Jepang sampai Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, dan kembali di bawah Pemerintahan Indonesia sejak tahun 1946. Tanggal 14 Februari 1947 mulailah Agresi Pemerintah Belanda, Onderan Sumobito dipindah ke Desa Segodorejo pada bulan Maret 1947, mulai tanggal 20 Februari 1949 Onderan Sumobito dipimpin kembali oleh Pemerintah Belanda, tahun 1952 Onderan Sumobito yang bertempat di Desa Segodorejo dipindah ke Desa Sumobito sampai sekarang.
Dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor: 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, di mana “Setiap wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah”1, untuk wilayah Kecamatan Sumobito berpusat pada Kantor Kecamatan Sumobito yang dipimpin oleh Camat. Kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Dalam rangka menyesuaikan peran Kecamatan dan Kelurahan sebagai perangkat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan masyarakat sesuai pasal 66 dan 67 Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan pasal 16 Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun 2000, Peraturan Daerah Kabupaten Jombang nomor 14 tahun 2000 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kecamatan Dan Kelurahan Di Kabupaten Jombang, di mana yang sebelumnya bernama Kantor Kecamatan Sumobito diubah menjadi Kantor Camat Sumobito, dan Camat tidak lagi menjadi Kepala Wilayah melainkan sebagi Perangkat Daerah Kabupaten yang bertanggungjawab kepada Bupati Jombang, dan membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan umum.
Muhammad Ainun Nadjib atau Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun
Lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 68 tahun adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain. Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken”. Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama KiaiKanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara. Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.
PadhangMbulan
Perlu diketahui dalam bahasa jawa, kata "padang" memiliki arti terang, sedangkan "bulan" adalah bulan. Sehingga dapat diartikan padang bulan ini yaitu bulan yang terang. Dimana pada saat padang bulan ini bulan pada malam hari terlihat sangat terang benderang terlihat jelas. Pada saat padang bulan terdapat pengajian yang selalu dilaksanakan di Desa Menturo tepatnya di Kecamatan Sumobito. Kegiatan pengajian ini rutin dilaksanakan ketika bulan purnama atau padang bulan orang jawa menyebutnya. Kegiatan ini dilaksanakan di rumah tempat kelahiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) panggilannya.
Cikal bakal Maiyah berawal dari sebuah pengajian tahun 1994 yang digagas Adil Amrullah (adik Cak Nun). Pengajian ini diselenggarakan di rumah orang tua Cak Nun di Jombang sebagai jalan silaturahmi Cak Nun dengan keluarga. Karena padatnya jadwal undangan Cak Nun, maka keinginan teman-teman di Jawa Timur untuk bertemu dengannya diputuskan bisa satu bulan sekali. Cak Dil—panggilan akrab Adil Amrullah—butuh waktu dua tahun sejak 1992 merayu Cak Nun. Setelah disepakati, akhirnya mulai bulan Oktober 1994 diselenggarakan pengajian rutin.
Pengajian itu dinamakan Padhangmbulan yang secara kebetulan diadakan setiap pertengahan bulan Hijriah, dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 Ramadlan ketika bulan purnama. Padhangmbulan awalnya diikuti 50 sampai 60 orang. Bulan kedua 270 orang. Bulan ketiga 500 orang. Setelah lebih dari 14 bulan diselenggarakan, pada awal tahun 1996 membludak hingga 10.000 orang yang puncaknya ketika menjelang Reformasi, pernah dihadiri 35.000 orang. Dilihat dari pelat kendaraan mereka, ada yang dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Malang, Brebes, dan lain-lain.
Desa Menturo setiap Padhangmbulan diadakan menjadi sangat ramai. Sebenarnya pada masa lalu desa ini juga cukup ramai pada saat Muhammad Abdul Latief—akrab dipanggil Cak Mad, ayah Cak Nun masih hidup. Almarhum mewarnai kegiatan kehidupan masyarakat Menturo. Cak Mad mendirikan Madrasah Islamiyah “Mansyaul ‘Ulum” di Menturo Timur tahun 1958. Namun sepeninggal Cak Mad pada tahun 1975, keramaian saat itu perlahan meredup. Pun Cak Nun bersaudara banyak beraktivitas di luar Jombang. Hanya kakak keduanya, Miftahus Surur (Cak Mif) yang mendapat amanah melanjutkan perjuangan Cak Mad mengurus madrasah. Padhangmbulan merupakan bentuk pengabdian anak-anak Cak Mad untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi amal jariyah dalam permberdayaan masyarakat.
Sejak awal, upaya tafsir dilakukan di Padhangmbulan melalui duet Cak Nun dan kakak pertamanya, Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Cak Fuad menyampaikan tafsir tekstual, sementara Cak Nun menyampaikan tafsir kontekstualnya. Tafsir tekstual dilakukan seperti lazimnya yang dilakukan para kyai. Beberapa ayat Al-Qur`an dibacakan Cak Fuad, lalu diterangkan arti atau terjemahnya. Cak Fuad juga sering menguraikan makna kata-kata kunci di dalam ayat-ayat tersebut. Kemudian disampaikan tafsirnya dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir Al-Qur`an. Cak Fuad juga mencoba menyampaikan pemahamannya sendiri menyangkut ayat-ayat yang tengah dikaji tersebut. Sementara, tafsir kontekstual disampaikan Cak Nun yang berupaya memahami kejadian di masyarakat, baik itu peristiwa politik, sosial, budaya, dan keagaaman. Cak Nun meletakkan ayat-ayat yang dikaji sebagai sudut pandang, atau ditemukan kaitan-kaitan antara ayat-ayat tersebut dengan realitas sosial. Al-Qur`an tidak diposisikan sebagai objek kajian, melainkan sebagai metodologi membaca realitas. Meskipun begitu, Cak Nun tidak mengklaim bahwa mereka mufasir.