Sejarah Indramayu
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Pada asal mula penghuni pertama daerah ini adalah bangsa Austronesia[1][2] yang datang dari Taiwan atau Yunan sejak periode 2000 SM, sampai 500 SM[3]. Hal itu dapat diketahui melalui Genetika Manusia atau DNA [4] di Indonesia termasuk daerah Indramayu[5][6].
Latar belakang
Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, Galuh, hingga Pajajaran dari abad 2 masehi hingga 17 masehi meninggalkan banyak jejak prasasti dan tulisan sejarah berbagai kitab kuno. Yang dilestarikan oleh keraton cirebon, keraton surakarta juga perpustakaan dalam dan luar negeri tentang wilayah yang terbentang dari barat dari Pulau Jawa hingga Sungai Cipamali adalah wilayah kekuasannya.
Diantaranya dalam Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins ("Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina") adalah kompendium (summa) yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16.
Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan.
Buku ini terdiri dari enam jilid, dua jilid pertama berisi informasi tentang wilayah antara Mesir dan Malabar, dan sisanya berisi informasi tentang wilayah Bengali, Indocina, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Jepang. Tentang Indonesia, Suma Oriental memuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.
Setelah sempat "menghilang" berabad-abad, pada tahun 1944, Armando Z. Cortesão menerbitkan terjemahan Suma Oriental ke dalam bahasa Inggris, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris.
Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda/Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano/Cimanuk (Cotesao, 1967:166).
Sementara pelaut Portugis lainnya, Catatan de Barros, Kerajaan Sunda pada abad 15 masehi mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83).
Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998:241).
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada.
Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.
Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain.
Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain.
Chemano/Cimanuk di Indramayu merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja (budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita.
Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan.
Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah.
Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten.
Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-7 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler.
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.
Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat.
Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87).
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan.
Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Banten. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Cimanuk, Indramayu).
Bangsa Austronesia yang mendiami daerah ini juga sering disebut sebagai penduduk pribumi sebagai suku bangsa di Indonesia yang meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Utara Kabupaten Karawang, Utara Kabupaten Subang (Jawa Barat), Kabupaten Cilegon dan Kota Serang (Banten)[7].
Perkembangan awal itu juga yang membentuk Jawa Dwipa[8]. Dalam pengertian Jawa Dwipa atau yavadvip(a) (dwipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian"). [9][10] maksud dari biji-bijian ini adalah jewawut (Setaria italica) atau padi, keduanya banyak ditemukan di pulau jawa sebelum masuknya pengaruh dari India dan bisa dikatakan, bahwa pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jau yang berarti "jaúh".[9]. Mengenai hal biji-bijian seperti padi sebagai peradaban jawa dwipa masih bertahan di Indramayu sebagai penghasil biji padi[11].
Di abad ke-1, sampai abad ke-6 atau tahun 671 masehi, penduduk daerah ini mulai membentuk kelompok berdasarkan bahasa mereka seperti Bahasa Ngapak yang digunakan oleh masyarakat jawa lama[12] yang meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi termasuk juga penggunaan bahasa jawa ngapak pada wilayah tersebut[13].
Kerajaan Sriwijaya
Berawal dari Kerajaan Sriwijaya tahun 671 sampai tahun 1274 berkuasa di Sumatera[14]. Di Indramayu konon terdapat peninggalan yang diperkirakan dipengaruhi Kerajaan Sriwijaya karena berupa candi buddha[15][16] . Seperti halnya Candi Borobudur, tapi di Indramayu tidak dipelihara dalam waktu seribuan tahun. Karena masuknya Peradaban Islam awal yang kuat ke wilayah barat Pulau Jawa ini
Kerajaan Singhasari
Pada tahun 1274, Kerajaan Singhasari memperluas wilayah kekuasannya pada era Kertanagara meliputi Balia dan Jawa Timur, sebagian Kalimantan, bahkan sebagian Sumatra hingga kawasan Selat Malaka[17][18]. Sementara dengan Kerajaan Sunda melakukan hubungan kekerabatan yang erat bukan penguasaan. Apalagi pada masa Mataram Sanjaya, wilayah Singasari adalah daerah taklukan Sanjaya dari Kerajaan Sunda - Galuh abad 7 masehi hingga 17 masehi.
Kerajaan Singhasari mulai digantikan oleh Kerajaan Majapahit, yang mana wilayah kekuasaan Singhasari di nusantara menjadi kekuasaan Majapahit abad ke 13 masehi. Pada tahun 1351 masehi Prabu Hayam Wuruk membagi wilayah kekuasaannya menjadi 11 administratif kerajaan bawahan atau vasal yakni:[19].
- Kerajaan Daha.
- Kerajaan Wengker.
- Kerajaan Matahun.
- Kerajaan Lasem.
- Kerajaan Pajang.
- Kerajaan Paguhan.
- Kerajaan Kahuripan.
- Kerajaan Singhasari.
- Kerajaan Mataram.
- Kerajaan Wirabhumi.
- Kerajaan Pawanukan.
Raja Pertama Majapahit adalah Keturunan Sunda dan Singasari yaitu Raden Wijaya.
Kadewatan Pawanukan Kerajaan Pawanukan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1351-1470 | |||||||
Status | Kerajaan bawahan | ||||||
Bahasa resmi | Bahasa Jawa | ||||||
Kelompok etnik | suku jawa tionghoa | ||||||
Agama | Buddha Khonghucu | ||||||
Demonim | Indramayu | ||||||
Maharaja | |||||||
• 1351-1367 | Putri Swardhani | ||||||
• 1367-1394 | Raden Bagus Gentong | ||||||
• 1394-1424 | Raden Darma Kusuma | ||||||
• 1424-1447 | Raden Aria Damar | ||||||
• 1447-1470 | Dyah Sudharmini (Raja Kembang Jenar). | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1351 | ||||||
• Dibubarkan | 1470 | ||||||
| |||||||
Raja pertama di Kerajaan Pawanukan atau Manukan adalah Putri Swardhani sebagai Cakraningrat[20] yang menjabat sejak tahun 1351 sampai tahun 1367[21], setelahnya tahun 1367 sampai tahun 1394 kerajaan ini pimpimpin oleh Raden Bagus Gentong sebagai Bhatara Pawanukan II[22].
Pada tahun 1392 sampai tahun 1424, Raden Darmakusuma juga sempat menjadi Raja Manukan III dan diganti oleh Raden Aria Damar yang menjabat dari tahun 1424 sampai 1447, setelahnya kepemerintahan Pawanukan dikelompokan dengan Kerajaan Kembang Jenar dan Dermayu (nama lama Indramayu) dibentuk atau didirikan setelah Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan[23][24][25]. Beberapa peninggalan Kerajaan Majapahit di Indramayu masih dapat di temukan[26][27].
Karesidenan
Pada tahun 1817 pada kepemimpinan Thomas Raffles membentuk Karesidenan di Pulau Jawa dan awal mula nama Dermayu berubah menjadi Indramajoe (Indramayu)[28].
Catatan sejarah
Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527.[29][30]
Babad Dermayu
Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah melampau masa tiga tahun ia mendapat wangsit “Hai wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”.
Dengan didampingi Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat untuk mencari Sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud dan tujuan perjalanan mereka, tetapi orang tua itu berkata bahwa sungai tersebut bukan cimanuk karna cimanuk telah terlewat dan mereka harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474 – 1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah Cimanuk , tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini adalah Sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur, manakala menjumpai seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk yang tuan cari.”. Ki Sidum adalah seorang ulama besar dari Ligung Majalengka yang pulang berkelana dari Banten untuk pulang ke Ligung Majalengka kemudian bertemu dengan Raden Arya Wiralodra. dan Makom dan petilasannya ada di Desa Bantarwaru Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka.
Saat mereka melanjutkan perjalanan bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana, gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu Ki Sidum , dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat mimpinya Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang Darma namun Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra maka dia meloncat terjun ke dalam Sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah ini”.
Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “Darma Ayu” yang di kemudian hari menjadi “Indramayu”.[29]
Kependudukan Indramayu
Mayoritas penduduk Indramayu adalah orang jawa, dengan ethnis tionghoa dermayu yang populasinya ikut berkembang dengan signifikan[31].
Beberapa ethnis lainnya juga dapat ditemukan di daerah ini yaitu orang bugis yang sudah ada sejak lama [32], kemudian orang melayu dan betawi migrasi dari Bekasi, orang sunda migrasi dari tegalkalong Sumedang [33], Tasikmalaya dan Bandung sejak jaman pengungsian [34][35], orang madura yang bermigrasi sebagai pembuka usaha kecil, selain itu dari Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Minangkabau.
Sebagai daerah di pesisir utara, Indramayu dikenal sebagai daerah agraria dan maritim melalui potensi alam, selain itu pelabuhan dan jalan raya pantura menjadi pusat perekonomian sebagai daerah pasar yang ramai menjual beberapa komoditas, maka dengan demikian berbagai penduduk dari luar daerah melakukan perpindahan penduduk ke daerah ini.
Pada penduduk Indramayu memiliki keagamaan mayoritas Islam, beberapa agama minoritas yaitu Kristen, Kejawen, Hindu, dan Khonghucu.
Sumber lain
Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain:
- Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415.[36]
- Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan.[37]
- Di tengah kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Desa Lemahabang, nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 – 1406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk mengajarkan agama islam.
Catatan Teori Tome Pires
Bangsa Portugal pada tahun 1511 saat itu berada di Malaka antara 1513-1515, penguasa Portugal mengirimkan Tome Pires ke nusantara. Dalam catatan harian Tom Pires menjelaskan tentang kedatanganya ke beberapa pelabuhan yang ada dipulau jawa [38].
Pada tahun 1513-1515, Tome Pires mendatangi beberapa Pelabuhan dipesisir utara pulau jawa, yakni Batavia, Daramayo dan Damma, bahwa daerah itu mempunyai Pelabuhan serta memiliki Jalur rempah[39].
Tome Pires menjelaskan pelabuhan cimanucaon adalah perbatasan wilayah kerajaan dermayu dan kerajaan sunda (pajajaran), yang dimaksud Tome Pires tentang perbatasa kerajaan di cimanucaon adalah sungai Cipunagara Pamanukan di Subang. Tome Pires sangat jelas mencatat nama pelabuhan Daramayo (Dermayu) di Indramayu.
Melihat bukti-bukti atau sumber di atas diperkirakan pada akhir abad XVI M daerah Indramayu sekarang atau sebagian dari padanya sudah dihuni manusia.[30]
Referensi
- ^ Gray, RD; Drummond, AJ; Greenhill, SJ (2009). "Language Phylogenies Reveal Expansion Pulses and Pauses in Pacific Settlement". Science. 323 (5913): 479–483. doi:10.1126/science.1166858. PMID 19164742.
- ^ Diamond, JM (2000). "Taiwan's gift to the world". Nature. 403 (6771): 709–710. doi:10.1038/35001685. PMID 10693781.
- ^ "mengetahui asal usul lahirnya suku jawa". Diakses tanggal 2020-4-7.
- ^ "Pemetaan Genetika Manusia". Archived from the original on 2016-02-23. Diakses tanggal 2016-2-23.
- ^ "Mongoloid Indramayu". Diakses tanggal 2019-10-17.
- ^ "Austronesia Indramayu". Diakses tanggal 2019-10-16.
- ^ "suku jawa di Indonesia". Diakses tanggal 2021.
- ^ "mengetahui asal usul lahirnya suku jawa". Diakses tanggal 2020-4-7.
- ^ a b Raffles, Thomas E.: "The History of Java". Oxford University Press, 1965
- ^ Malay Words of Sanskrit Origin
- ^ "Pertanian Indramayu". Diakses tanggal 2022-8-14.
- ^ "Jawa Dwipa". Diakses tanggal 2022-3-28.
- ^ "Bahasa Jawa Ngapak". Diakses tanggal 2021-11-24.
- ^ "Wilayah Kekuasaan Sriwijaya". Diakses tanggal 2021-4-9.
- ^ "Arkeologi Universitas Indonesia". Diakses tanggal 2022-5-16.
- ^ "Candi Sambimaya Indramayu". Diakses tanggal 2020-12-8.
- ^ "Kekuasaan Singhasari". Diakses tanggal 2021.
- ^ "Kerajaan Singhasari". Diakses tanggal 2021-5-21.
- ^ "Kerajaan vasal Majapahit.net". Diakses tanggal 2020-2-12.
- ^ "Cakraningrat IV". Diakses tanggal 2016-10-16.
- ^ "Kerajaan-kerajaan vasal Majapahit". Diakses tanggal 2022-23-8.
- ^ "Legenda Muntur Losarang". Diakses tanggal 2016-12-9.
- ^ "Naskah Kuno Indramayu". Diakses tanggal 2015.
- ^ "Sejarah Dermayu". Diakses tanggal 2012-11-15.
- ^ "Sebelum Indramayu Berdiri". Diakses tanggal 1983.
- ^ "peninggalan Majapahit di Indramayu". Diakses tanggal 2018-6-11.
- ^ "Peninggalan Majapahit di Indramayu". Diakses tanggal 2022.
- ^ "Peta 38 Karesidenan di Pulau Jawa".
- ^ a b "Endang Darma Ayu Dan Ki Tinggil Pendiri Indramayu". asumsirakyat.id. Sabtu, 26 Maret 2022. Diakses tanggal 2 Januari 2023.
- ^ a b "Sejarah Kabupaten Indramayu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-20. Diakses tanggal 2020-07-20.
- ^ "Kedatangan Tionghoa". Diakses tanggal 2021-2-12.
- ^ "Suku Bugis Indramayu".
- ^ "migrasi Tegalkalong". Diakses tanggal 2021-4-26.
- ^ "pengungsian suku sunda". Diakses tanggal 2022-1-3.
- ^ "Perjanjian Renville dan migrasi militer". Diakses tanggal 2017-10-5.
- ^ Babad Cirebon (Lihat #Daftar pustaka)
- ^ "Cerita Purwaka Caruban Nagari". Cirebon Me. 2011-12-07. Diakses tanggal 2015-01-16.
- ^ "Teori Penyebaran Islam Menurut Tome Pires". Kompas. 10 Juni 2020. Diakses tanggal 2 Januari 2022.
- ^ "Jalur Rempah oleh Tome Pires".
Daftar pustaka
- Buku Sejarah Indramayu (cetakan ke 2) terbitan pemerintah Kabupaten DT II Indramayu
- Tidak diketahui. Babad Dermayu. 170 halaman.
- Tidak diketahui. Babad Cirebon. No. barcode: 00001940623. No. Panggil: BR 107. 161 hlm. [s.n] : [s.l], [s.a].