Bahasa Kampar

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Kampar adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh penduduk Kampar di Kabupaten Kampar, Riau. Status kebahasaan Kampar masih diperdebatkan, terkadang bahasa ini dianggap sebagai dialek bahasa Melayu atau Minangkabau.[2][3][4] Namun, orang Kampar lebih suka menganggapnya sebagai bagian dari bahasa Melayu Riau atau bahkan bahasa mandiri.[5]

Bahasa Kampar
Dituturkan di
Wilayah
  • Riau
  • EtnisKampar
    Penutur
      • Kampar
    SumberBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa[1]
    Status resmi
    Diakui sebagai
    bahasa minoritas di
    Diatur olehBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
    Kode bahasa
    ISO 639-3
     Portal Bahasa
    L • B • PW   
    Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

    Sejarah

    Perkembangan bahasa Kampar tidak terlepas dari sejarah Kampar sejak zaman Sriwijaya. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu wilayah Kampar sempat menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan bagi Kerajaan Sriwijaya yang semula bernama Kerajaan Muara Takus. Kemudian didirikanlah Candi Muara Takus di tepi Sungai Kampar Kanan sebelum akhirnya berpindah ke Palembang. Kerajaan Sriwijaya saat itu menggunakan bahasa Melayu Kuna, sebagaimana yang tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit. Hal ini didukung oleh catatan Tiongkok, bahwa Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bernama Kerajaan Melayu dengan bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Kemudian bahasa Melayu berkembang pesat seiring dengan ekspansi Kerajaan Sriwijaya.

    Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, mulailah pengaruh dari Kesultanan Malaka dan Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau. Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[6]

    Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.[7] Saat itu, Kampar merupakan kawasan yang strategis untuk perniagaan, sehingga menjadi wilayah rantau bagi Luhak Limapuluh Kota di pedalaman dan dikenal sebagai Rantau Limo Koto. Komunikasi masyarakat antara wilayah Luhak dengan Rantau tersebut terus terjalin, sehingga masyarakat kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dialek.

    Setelah itu, kekuasaan atas wilayah Kampar berpindah ke Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kesultanan Siak menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa pengantarnya sehingga terdapat hubungan saling mempengaruhi antara bahasa Melayu yang digunakan oleh kerajaan dengan dialek masyarakat Kampar.

    Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kampar dimasukkan dalam Provinsi Sumatra Tengah. Setelah Provinsi Sumatra Tengah dibubarkan, Kampar dimasukkan dalam wilayah Provinsi Riau tahun 1958.[8] Akibat perjalanan sejarah inilah, bahasa Kampar memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Minangkabau di sebelah barat serta bahasa Melayu Riau di sebelah timur.

    Karya sastra

    Karya sastra tradisional berbahasa Kampar memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra tradisional rumpun bahasa Melayu lainnya, khususnya dengan sastra tradisional Minangkabau, yaitu berbentuk prosa, cerita rakyat, dan hikayat. Penyampaiannya biasa dilakukan dalam bentuk cerita (kaba) atau dinyanyikan (dendang). Adapula karya sastra yang digunakan untuk prosesi adat Kampar, seperti pepatah-petitih dan persembahan (basiacuong atau basisombau). Pepatah-petitih dan persembahan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Agar tidak kehilangan makna, karya sastra jenis ini tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Oleh karenanya sangat sedikit sekali orang yang menguasai karya sastra ini, yang hanya terbatas pada ninik mamak dan pemuka adat.[9]

    Basiacuong atau basisombau

    Basiacuong atau basisombau adalah tradisi lisan masyarakat Kampar yang berisi pikiran, ide, dan nasihat berupa pepatah-petitih dalam dialog antara dua ninik mamak. Basiacuong berasal dari kata Siacuong yang berarti sanjung menyanjung dari satu pihak ke pihak lainnya yang biasanya diwakili oleh ninik mamak suatu suku yang berdialog atau mereka yang karena kedudukannya diberi kesempatan bicara. Kata basiacuong juga berarti menyengaja suatu perbuatan. Adapun nama lain dari basiacuong adalah sisombau atau basisombau artinya sembah menyembah.[10]

    Basiacuong dilakukan dalam berbagai acara adat Kampar, seperti pertunangan, pernikahan, kenduri, khitanan, serta penobatan ninik mamak. Di dalamnya setiap maksud dan tujuan seorang ninik mamak disampaikan dalam wujud kiasan, pepatah, ataupun pantun.

    Berikut salah satu contoh dialog dalam basiacuong saat pihak laki-laki datang ke rumah perempuan yang akan dilamar:[10] Pertama kali diawali dari pihak laki-laki:

    Iko bosuo bonou bak andai-andai ughang, tuok.
    Sekarang benar bersua seperti andai-andainya orang, tuk (datuk).
    Copek tikam talampau logo, olun dudok lah maunju, olun togak koluh lah tibo pulo.
    Cepat tikam terlampau laga, belum duduk lah mengunjur, belum tegak keluh lah tiba pula.
    Condo kan baguluik-guluik nan bak kuciong naiok, dek apo tu kato datuok?
    Seperti tergesa-gesa umpama kucing akan naik, mengapa begitu menurut Datuk?
    Kojo nan bughuok, elok lah dipalambek-lambek, nan jan disolo dek nan buok.
    Kerja yang buruk, eloklah diperlambat-lambat, supaya jangan disulut oleh yang buruk.
    Kojo nan elok, elok lah dipacopek-copek, nak lai disolo dek nan elok.
    Kerja yang baik, eloklah dipercepat-cepat, supaya dapat disulut oleh yang baik.
    Itulah mako dek copek ajo datang ka datuok sabagai andai-andai ughang.
    Itulah makanya cepat saja datang ke datuk sebagai andai-andai orang (tempat orang-orang bertanya)
    Alah toghang condonyo aghi
    Sudah terang candanya hari
    Toghang puntuong dengan asok
    Terang puntung dengan asap
    Olah datang ghuponyo kami
    Sudah datang rupanya kami
    Datang nak baetong dengan datouk
    Datang ingin berhitung dengan datuk
    Itulah condo na ditutuik nyato, dimintak abih bokek datuok,
    Itulah canda yang ditutup nyata, diminta habis berkat datuk
    koknyo dapek izin jo bonau, koknyo tumbuo dikojo nak dikakok haknyo,
    Kalaulah iya dapat izin dengan benar, kalaulah tumbuh dikerja hendak dipegang haknya
    tibo di etongan nak dimulai, iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
    Tibo dihitungan hendak dimulai, iya sampai di situ kata disembahkan ke datuk
    Pihak perempuan sebagai pihak yang menanti menyahuti keinginan dari pihak laki-laki yang datang, yaitu:
    
    Sampai tuok?
    Sampai, Tuk? (Sudah, Tuk?)
    Pulang ka sisamo indak kan bajawek panjang, malahan imbau biaso basahuti,
    Pulang ke sesama tidak akan dijawab panjang, malahan himbau biasa disahuti
    tumbuoh dikato biaso ula bajawek, iyo dijawab juo kato datuok agak sapatah duo sabagai mauling kato datuok.
    Tumbuh dikata biasa berjawab, iya dijawab juga kata datuk agak sepatah dua sebagai pengulang kata datuk.
    Copek tikam talampau logo, logonyo datuok olun lai duduok la maunju, olun togak koluo lah tibo pulo.
    Cepat tikam terlampau laga, laganya datuk belum lagi duduk sudha mengunjur, belum tegak keluh lah tiba pula.
    Condo kan baguluik-guluik datuok datuok nan bak kuciong naiok.
    Seperti tergesa-gesa datuk, datuk yang bak kucing naik.
    Dek nak mamotong kojo nan bughuok, eloklah dipalambek-lambek, untuong-untuong tibo bayioknyo.
    Karena hendak memotong kerja yang buruk, eloklah diperlambat-lambat, untung-untung tiba baiknya
    Condo itu pulo nan dituntuik nyato dimintak abih ka sisamo,
    Seperti itu pula yang dituntut nyata diminta habis ke sesama
    koknyo dapek izin dengan bonau kok nyo tumbuoh dijalan jawuo kan ditawuik nak dighansu,
    Kalau iya dapat izin dengan benar kalau iya tumbuh di jalan jauh kan ditaut hendak diangsur
    kok nyo tibo dikojo nan kan di kakok tontu nak mamulai,
    Kalau iya tiba dikerjakan yang akan dipegang tentu ingin memulai,
    dek kato datuok manuju kasisamo soghang tontunyo lomak lawok nak dikunyah-kunyah,
    Oleh karena kata datuk menuju ke sesama sendiri tentunya enak lauk hendak dikunyah-kunyah
    elok kato nak dibaiyo patidokan, iyo mananti datuok sesaat sakatiko, lai nak dipaiyo-patidokan bagi nan patuik.
    Elok kata hendak di-iya tidak-kan, iya menanti datuk sesaat seketika, selagi hendak di-iya tidak-kan bagi yang patuik
    Iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
    Iya sampai situ kata disembahkan ke datuk.
    dan selanjutnya saling bergantian sisombau.
    

    Lihat pula

    Rujukan

    1. ^ "Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 
    2. ^ Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman: 2
    3. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [1] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
    4. ^ Hamidy, U. U. 2003, Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Riau / U.U. Hamidy Unri Press kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation Pekanbaru, ISBN 979-3297-33-6
    5. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. 
    6. ^ Winstedt, R., (1962), A History of Malaya, Marican.
    7. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
    8. ^ http://www.dpr.go.id Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 Diarsipkan 2014-01-24 di Wayback Machine.
    9. ^ Edwar Jamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Yayasan Obor Indonesia, 2001
    10. ^ a b YUNUS, Mohd. Tradisi Basiacuong dalam Masyarakat Adat Limo Koto Kampar. MENARA, 2013, 12.2: 92-114.