Muhammadiyah
Muhammadiyah (bahasa Arab: محمدية, translit. muḥammadiyyah, har. 'pengikut Muhammad'); secara resmi bernama Persyarikatan Muhammadiyah, adalah sebuah organisasi Islam non-pemerintah di Indonesia dan salah satu yang terbesar di negara itu.[3] Organisasi ini didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Kota Yogyakarta sebagai gerakan sosial-keagamaan Islah, yang menganjurkan dibukanya keran ijtihad sebagai bentuk penyesuaian detail hukum Islam dengan perkembangan jaman dengan Ideologi mengedepankan Pancasila di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan antitesis dari pemikiran kebanyakan muslim di masa kolonial yang mencukupkan diri dengan ijtihad ulama 4 mazhab dan menutup diri dari kemungkinan pembaharuan ijtihad.[4]
محمدية | |
Tanggal pendirian | 18 November 1912 |
---|---|
Pendiri | K.H. Ahmad Dahlan |
Didirikan di | Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hindia Belanda |
Tipe | Organisasi keagamaan |
Tujuan | Sosial-keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan |
Kantor pusat |
|
Wilayah layanan | Asia Tenggara |
Jumlah anggota | 60.000.000 kader |
Haedar Nashir | |
Sekretaris Jenderal | Abdul Mu’ti |
Afiliasi | Modernisme Islam (Islam Sunni)[2] |
Situs web | muhammadiyah |
Muhammadiyah memainkan peran penting dalam perluasan doktrin teologis salafi di Indonesia.[5] Salafiyah merupakan gerakan reformasi di dalam Islam Sunni.[6]. Sejak didirikan, Muhammadiyah telah mengadopsi platform reformis yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan modern,[7] terutama sebagai cara untuk mempromosikan mobilitas Muslim ke atas menuju komunitas 'modern' dan untuk memurnikan Islam Indonesia dari praktik sinkretis lokal.[7] Sebagai organisasi modernis, Muhammadiyah masih terus mendukung budaya lokal dan mempromosikan toleransi beragama di Indonesia, sementara beberapa perguruan tinggi sebagian besar dimasuki oleh non-Muslim, terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Kelompok ini juga menjalankan rantai besar rumah sakit amal,[3] dan mengoperasikan 162 perguruan tinggi hingga saat ini.[8]
Pada tahun 2019, Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dengan 60 juta anggota.[4] Meskipun para pemimpin dan anggota Muhammadiyah sering terlibat aktif dalam membentuk politik di Indonesia meskipun Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah lebih mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial dan pendidikan.[9][10]
Sejarah
Pada tanggal 18 November 1912 (8 Zulhijah 1330 H), Ahmad Dahlan—pejabat pengadilan Keraton Yogyakarta[11][12] dan seorang Ulama Muslim terpelajar lulusan dari Makkah—mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ada beberapa motif yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Di antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim, banyaknya muslim yang masih menyukai klenik dan banyaknya Kristenisasi di kawasan penduduk miskin. Ahmad Dahlan, yang banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad Abduh, menganggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis sangat vital dalam reformasi agama. Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah sangat perhatian dalam memelihara tauhid dan menyempurnakan monoteisme di masyarakat.
Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah Islam. Pada tahun 1919 sebuah sekolah menengah Islam, Hooge School Muhammadiyah didirikan.[13] Dalam mendirikan sekolah, Muhammadiyah menerima bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang menyediakan guru.[14] Muhammadiyah pada umumnya menghindari politik. Tidak seperti mitra tradisionalisnya, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah tidak pernah membentuk partai politik. Sejak didirikan, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[15] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912–1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 1925, dua tahun setelah wafatnya KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah hanya memiliki 4.000 anggota tetapi telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya dan Yogyakarta.[16] Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi kepada etnis Minangkabau, sebuah komunitas Muslim yang dinamis, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1938, organisasi tersebut mengklaim 250.000 anggota, mengelola 834 masjid, 31 perpustakaan, 1.774 sekolah, dan 7.630 ulama. Pedagang Minangkabau menyebarkan organisasi ke seluruh Indonesia.[17]
Selama pergolakan dan kekerasan politik 1965–1966, Muhammadiyah menyatakan bahwa pemusnahan Partai Komunis Indonesia merupakan Perang Jihad, pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.[18] (Lihat juga: Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Selama peristiwa seputar jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998, beberapa bagian Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk sebuah partai. Oleh karena itu, pimpinan, termasuk ketua Muhammadiyah, Amien Rais, mendirikan Partai Amanat Nasional. Meski mendapat dukungan besar dari anggota Muhammadiyah, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah. Pimpinan Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk bersekutu dengan partai politik pilihan mereka, asalkan partai tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan Muhammadiyah.[19]
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha K.H. Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam penerbitan majalah Suara Muhammadiyah pada 1915,[20][21] pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan Letjend S. Parman 68, Patangpuluhan, Wirobrajan dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Muhammadiyah Masa ke Masa
Periode Kepemimpinan Ahmad Dahlan
Selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan Politik Etis atau Politik Balas Budi. Kebijakan ini terdiri dari tiga fokus: irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Terbukanya ruang bagi pribumi untuk mengikuti pendidikan atau menyelenggarakan pendidikan perlahan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah.
Pada Rapat Anggota Muhammadiyah tanggal 17 Juli 1920 di Gedung Pengurus Utama (Hoofdbestuur) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta, Kiai Dahlan membentuk empat departemen pertama di Muhammadiyah beserta pemangku amanahnya, yakni Bagian Tabligh yang diketuai oleh Haji Fachruddin, Bagian Taman Pustaka dengan Haji Mochtar, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan Haji Syujak dan Bagian Sekolahan dengan Kyai Hisyam.
Memperoleh amanah di bidang sekolahan, Kiai Hisyam saat itu langsung menyampaikan visinya terkait target memajukan pendidikan bangsa dan pendidikan Muhammadiyah di masa depan.
“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya."[1]
Periode Kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923 – 1932)
Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).
K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.[2]
Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
Pada tahun 1923, Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah kemudian digantikan Sutan Mansur. Sutan Mansur juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus Sutan Mansur untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.[3]
Pada tahun 1927, Fakhruddin dan Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe.
Pada tahun 1929, Muhammadiyah berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
Pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Periode Kepemimpinan K.H. Hisyam (1932 – 1936)
Kyai Haji Hisyam dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Dunia pendidikan pada periode kepemimpinan K.H. Hisyam mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin mantap.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.
Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.[4]
Periode Kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1936 – 1942)
Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937, Mas Mansur resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mas Mansur, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional.
Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Selain didominasi oleh aktivis Muhammadiyah, dalam MIAI juga ada Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Mas Mansur juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938 bersama Sukiman Wiryasanjaya. Menurut sebagian kalangan, pendirian ini dilakukan sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada 19 Maret 1939, Mas Mansur dan R. Wiwoho mewakili partai tersebut untuk mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama kaum pergerakan kebangsaan di Jakarta.
Sebagai organisasi federasi partai politik, GAPI secara aktif menuntut kepada Hindia Belanda untuk menerapkan pemerintahan demokratis bagi Indonesia. Berdasarkan anggaran dasar organisasinya, GAPI memiliki tujuan untuk: Menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia; Demokratisasi pemerintahan Indonesia; Mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.
Mas Mansur pernah menolak tawaran menjadi Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda. Meski akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, setara gaji bupati kala itu, ia tetap tegak pada pendirian tidak ingin menjadi alat pemerintahan penjajah. [5]
Dalam periode ini dirumuskan “Masalah Lima” mengenai dunia, agama, qiyas, sabilillah dan ibadah. Dan disusun pula “Langkah Dua Belas”:
Sukarno aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah ketika menjalani pemindahan tempat pengasingan dari Ende ke Bengkulu pada 14 Februari 1938.
Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut.
Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.
pasca kejadian itu, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudjak dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar untuk agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:
“… Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”
Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.
Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.
Surat Terbuka Sukarno bertajuk “Minta Hukum yang Pasti dalam Soal ‘Tabir” dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959).
Kejadian lain pada periode ini, Pada Mei tahun 1940, Kasman singodimejo masuk penjara setelah meneriakkan kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” di ujung pidato dalam Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat di Bogor.
Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, tepatnya pada tanggal 16 April 1943, dibentuklah organisasi yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Lapangan Ikada, Jakarta.
Mas Mansoer bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia.
Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskan Mas Mansoer pindah ke Jakarta, sehingga Ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1944-1955)
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942.[6]
Pada 10 November 1943, Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno dan Moh. Hatta mendapatkan undangan menghadap Kaisar Jepang. Kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang tersebut berjalan selama 17 hari. Pertemuan utamanya dilakukan untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.
Setelah sampai di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum air sake (arak) dalam cangkir.
Ki Bagus Hadikusumo tidak mau minum sakai [sake, red] karena ajaran agama Islam mengharamkan minuman keras. Kemudian, Ki Bagus Hadikusumo menumpahkan arak itu ke lantai (karena tangannya gemetar). Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk pembesar-pembesar militer Jepang,
Kekhawatiran hadirin tentu saja berkaitan dengan sikap keras prajurit Jepang untuk memenggal siapa pun yang menolak perintah. Apalagi yang ditolak Ki Bagus bukan permintaan biasa, melainkan dari seorang Kaisar.
Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar dan pejabat militer Jepang.
Atas kepandaiannya memberi penjelasan, Kaisar Hirohito pun tidak marah dan merasa takjub sehingga menghadiahkan cangkir dan cawan yang dipakai tempat Sake kepada Ki Bagus Hadikusumo.
Tak hanya mendapatkan hadian cawan, Ki Bagus Hadikusumo bersama Soekarno dan Hatta mendapatkan kehormatan untuk bertemu langsung dan berjabatan tangan dengan Kaisar.
Ki Bagus, Soekarno dan Hatta juga mendapatkan penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar. Soekarno mendapatkan lencana kelas dua (Kun Nito Juiho-Sho), sementara Ki Bagus Hadikusumo dan Hatta mendapatkan lencana kelas tiga (Kun Santo Juiho-Sho).[7]
Ki Bagus Hadikusuma gigih menentang instruksi “Sei Kerei” dari Jepang. Sei Kerei adalah membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari, sebagai “Dewa penitis para Kaisar Jepang”. Upacara ini wajib dilakukan para siswa setiap pagi.
Selaku Ketua PP Muhammadiyah, terpanggil menyelamatkan generasi Muslim Indonesia dari syirik itu.
Melalui debat yang seru dengan Pemerintah Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi. Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara Sei Kerei. Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota Chuo Sangiin (Dewan Penasehat Pusat) buatan Jepang.
Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menjabat ketua umum PP Muhammadiyah sejak tahun 1942 sampai 1953.
Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan yang berbunyi “dengan berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk diperjelas menjadi “berdasar kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” atau dihilangkan sama sekali. Soekarno bergeming untuk menerima usulan Ki Bagus yang disampaikan beberapa kali.[8]
Sambil menggebrak meja, anggota BPUPKI lainnya Abdul Kahar Muzakir mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin. Tujuan Ki Bagus semata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain menghindari kesan yang tidak baik dan adanya infiltrasi dari agen-agen musuh meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1995).
Bagaimanapun Ki Bagus tetaplah murid KH Ahmad Dahlan yang ingin memperjuangkan aspirasi hukum Islam di dalam negara sebagaimana yang telah dilakukannya dewan Priestraad Hindia-Belanda, meneruskan perjuangan gurunya. Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankannya. Konsekuensi yang tidak diinginkannya justru datang satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Pernyataan tersebut dianggap menusuk hati orang non-muslim meskipun salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen, AA Maramis tidak merasa demikian dan mengganggap wajar bagi Indonesia yang 90 persen penduduknya adalah umat Islam. Tidak tanggung-tanggung, ancaman yang diberikan jika pemerintah tidak menghapus kalimat tersebut adalah lepasnya wilayah timur dari Republik Indonesia. Dalam suasana yang genting sehari setelah Kemerdekaan, kunci utama untuk memperbolehkan tujuh kata yang telah disepakati apakah boleh dihapus atau tidak adalah Ki Bagus Hadikusumo.
Soekarno mengutus Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk menemui Ki Bagus yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong, menyusul demikian KH Wahid Hasyim yang bernasib sama. Ki Bagus pada akhirnya luluh setelah Kasman Singodimedjo datang membujuk dalam bahasa Jawa halus.
“Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”, “Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tenteram, diridhai Allah swt,” dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus.[9]
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, masalah utama yang tersisa adalah pengakuan kedaulatan. Tanpa pengakuan dari negara lain yang telah berdaulat, proklamasi sebuah bangsa dianggap tidak berkekuatan hukum di mata internasional, hanya dianggap main-main belaka.
Memenuhi kebutuhan itu, tiga tokoh Muhammadiyah yakni Haji Agus Salim (ketua), H.M. Rasjidi, A. R Baswedan bertandang ke dunia Arab sebagai tim delegasi Pemerintah Indonesia. Selain tiga nama tersebut, turut bergabung Nazir St. Pamuntjak dan Abdul Kadir sebagai anggota. Misi diplomatik yang dilakukan selama April-Juli 1947 itu berhasil menggaet dukungan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. [10]
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
Kasman menyesal karena tidak terwujudnya janji yang dia jaminkan kepada Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo saat merayunya mau menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.
Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud meski Kasman menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga wafatnya Soekarno pada tahun 1970.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun.[11]
Periode Kepemimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.[22]
Periode Kepemimpinan H.M. Yunus Anies (1959 – 1962)
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.[12]
Periode K.H. Ahmad Badawi (1962 – 1968)
K.H. Ahmad Badawi dipilih dalam Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Muhammadiyah berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinya agar tidak dibubarkan. Karena waktu itu politik dikuasai oleh PKI dan Bung Karno tahun 1965.[23]
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.[13]
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
Periode K.H. Faqih Usman (1968-1971)
K.H Faqih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.[14]
Periode K.H. Abdur Rozak Fachrudin (1968 – 1990)
Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.[15]
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tanggal 16-20 Desember 1981 di Yogyakarta, Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan pemerintah yang melarang pembuatan dan penjualan minuman keras.[16]
Periode K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1990 – 1995)
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir.
Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut ditimba.
Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir juga bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam I dan II, dan lain-lain.
Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di Lembaga Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.
Doktrin
Doktrin sentral Muhammadiyah adalah Islam Sunni (ahlussunnah wal-jama'ah). Namun, organisasi ini menekankan otoritas al-Qur'an dan Hadis sebagai hukum Islam tertinggi yang berfungsi sebagai dasar yang sah dari interpretasi keyakinan agama dan praktik. Ini kontras dengan praktik tradisional dengan ditanamkannya hukum syariah dalam mazhab-mazhab agama oleh para ulama. Fokus utama gerakan Muhammadiyah adalah untuk meningkatkan rasa tanggung jawab moral masyarakat, menyucikan iman mereka ke Islam yang benar. Secara teologis, Muhammadiyah menganut doktrin Salafiyah; menyerukan secara langsung kembali ke al-Qur'an dan Sunnah dan pemahaman para imam-imam Salaf (generasi awal), termasuk eponim dari empat Mazhab Sunni. Ini menganjurkan pemurnian iman dari berbagai adat istiadat setempat yang mereka anggap sebagai bentuk takhayul, sesat, dan syirik. Muhammadiyah secara langsung menelusuri warisan keilmuannya pada ajaran Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M / 1354 H), Muhammad bin 'Abdul Wahhab (w. 1792 / 1206 H), dan para teolog abad pertengahan seperti Ahmad Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M / 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 1350 / 751 H).[24][25]
Muhammadiyah sangat menentang sinkretisme Islam dengan animisme (pemujaan roh) pada zaman sejarah penyebaran Islam di Nusantara dan tidak mengakui unsur Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal yang tersebar di kalangan masyarakat dari masa pra-Islam. Muhammadiyah juga menentang tradisi Sufisme yang memungkinkan seorang pemimpin sufi menjadi otoritas formal atas umat Islam. Pada tahun 2006, organisasi tersebut dikatakan telah "belok tajam ke arah Islam yang lebih konservatif" di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin ketua Majelis Ulama Indonesia.[26] Namun, beberapa faksi Muhammadiyah cenderung mendukung gerakan modernis dari Muhammad 'Abduh daripada Doktrin Salafi dari Rasyīd Rîdá; yang dideskripsikan sebagai "kaku dan konservatif".[27]
Aktivitas
Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi Reformisme adalah keyakinan bahwa perubahan secara bertahap melalui serta di dalam institusi yang ada, secara pasti dapat mengubah sistem ekonomi dan struktur politik fundamental masyarakat. Kegiatan utamanya adalah pengamalan dan pendidikan agama. Ia telah membangun sekolah Islam modern, berbeda dari pesantren tradisional. Beberapa sekolahnya juga terbuka untuk non-Muslim.[28] Pada tahun 2006 ada sekitar 5.754 sekolah milik Muhammadiyah.[29]
Muhammadiyah juga berfungsi sebagai organisasi amal yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Pada 2016, memiliki beberapa ratus klinik dan rumah sakit nirlaba di seluruh Indonesia.[3] Pada 2006, aktif mengkampanyekan bahaya flu burung di Indonesia.[30]
Organisasi
Kelembagaan
- Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibu kota Jakarta.[31] Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010–2015 terdiri dari lima orang penasihat, seorang ketua umum yang dibantu dua belas orang ketua lainnya, seorang sekretaris umum dengan dua anggota, seorang bendahara umum dengan seorang anggotanya.
- Pimpinan Wilayah, setingkat provinsi, terdapat 33 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
- Pimpinan Daerah, setingkat kabupaten/kota.
- Pimpinan Cabang, setingkat kecamatan.
- Pimpinan Ranting, setingkat pedesaan/kelurahan/dusun.
- Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri.
Pembantu Pimpinan Persyarikatan
- Majelis
- Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT)
- Majelis Tabligh (MT)
- Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (DIKTILITBANG)
- Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Nonformal (MPDM-NF)
- Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK-SDI)
- Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS)
- Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP)
- Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM)
- Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU)
- Majelis Pustaka dan Informasi (MPI)
- Majelis Lingkungan Hidup (MLH)
- Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH)
- Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW)
- Lembaga
- Lembaga Pengembangan Cabang/Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCR-PM)
- Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP)
- Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS)
- Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan (LPPK)
- Lembaga Seni Budaya (LSB)
- Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) / Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
- Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu)
- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP)
- Lembaga Pengembangan Olahraga (LPO)
- Lembaga Hubungan dan Kerja Sama International (LHKSI)
- Lembaga Dakwah Komunitas (LDK)
- Lembaga Pemeriksaan Halal dan Kajian Halalan Thayyiban (LPH-KHT)
- Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU)
- Biro
- Biro Pengembangan Organisasi (BPO)
- Biro Pengelolaan Keuangan (BPK)
- Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum (BKPU)
Organisasi otonom
Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:[32]
- 'Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah)
- Pemuda Muhammadiyah (PM)
- Nasyiatul Aisyiyah (NA/Puteri Muhammadiyah)
- Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
- Hizbul Wathan (Gerakan kepanduan)
- Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Perguruan silat/Putera Muhammadiyah)
Komunitas/Gerakan Kultural
- Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM), Pemuda Muhammadiyah
- Kader Hijau Muhammadiyah (KHM)
- Eco Bhinneka Muhammadiyah
- Mahasiswa Relawan Siaga Bencana (Maharesigana) Diarsipkan 2022-07-03 di Wayback Machine., Universitas Muhammadiyah Malang
- Relawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Mahasiswa Tanggap Bencana (Matana), Universitas Muhammadiyah Surabaya
- Search & Rescue Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI)
- Green Muhammadiyah
Badan Khusus
- Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM)
- Muhammadiyah Aid
- Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC)
Cabang Istimewa Luar Negeri
- Benua Asia
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Pakistan (2004)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Iran (2005)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia (2007)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jepang (2008)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Irak (2009)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Yordania (2010)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Taiwan (2014)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Tiongkok (2015)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Korea Selatan (2016)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Arab Saudi (2017)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah India (2018)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Yaman (2019)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Thailand (2021)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kuwait (2022)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Timor Leste (2023)
- Benua Eropa
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Belanda (2006)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Raya (2007)[a]
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Prancis (2007)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya (2009)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia (2012)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Turki (2016)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Spanyol (2020)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Hungaria (2021)
- Benua Afrika
- Benua Amerika
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Amerika Serikat (2008)
- Benua Australia & Oseania
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Australia (2007)
- Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Selandia Baru (2023)
Sister Organisasi (SO)
- Muhammadiyah Filipina
- Muhammadiyah Vietnam
- Muhammadiyah Kamboja
- Muhammadiyah Nigeria
- Muhammadiyah Uganda
- Muhammadiyah Singapura
- Muhammadiyah Mauritius
- Muhammadiyah Laos
- Muhammadiyah Brunei Darussalam
- Muhammadiyah Lebanon
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Amal usaha
- Pendidikan[34]
- Sekolah luar biasa (SLB) Muhammadiyah berjumlah 71.
- TK/TPQ Muhammadiyah berjumlah 22.000.
- SD/MI Muhammadiyah berjumlah 2604.
- SMP/MTs Muhammadiyah berjumlah 1772.
- SMA/SMK/MA Muhammadiyah berjumlah 1143.
- Pondok Pesantren Muhammadiyah berjumlah 440.
- Perguruan Tinggi Muhammadiyah berjumlah 173.
- Kesehatan:
- Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/Aisyiyah berjumlah 120.
- Balai Kesehatan Ibu dan Anak berjumlah 57.
- Balai Kesehatan Masyarakat berjumlah 120.
- Balai Pengobatan berjumlah 122.
- Apotek berjumlah 154.
- Klinik Kesehatan 248.
- Rehabilitasi Cacat 82.
- Sosial
- Panti Asuhan 384.
- Panti Jompo 54.
- Balai Kesejahteraan Sosial berjumlah 23.
- Santunan (keluarga, wreda/manula, kematian) berjumlah 30.
- BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah) berjumlah 378.
- Ekonomi
- Baitut Tamwil Muhammadiyah berjumlah 132.
- Perusahaan 27.
- Koperasi/Bank Syari'ah Muhammadiyah berjumlah 762.
- Agama
- Masjid berjumlah 11.473.
- Musholla berjumlah 8.725.
Catatan
- ^ Mencakup Jerman, Austria, Belgia, Luksemburg, Liechtenstein, Polandia, dan Swiss.[33]
Referensi
- ^ a b www
.muhammadiyah .or .id. "Kantor" - ^ Nashir M. Si, Dr. H Haidar (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102 Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN 978-602-361-013-6.
From aqidah standpoints, Muhammadiyah may adhere Salafi , as stated by Tarjih in Himpinan Putusan Tarjih (wy: 11), that Muhammadiyah promotes the belief principles referring to the Salaf (al-fi rqat al-najat min al-Salaf).
- ^ a b c A. Jalil Hamid, Tackle the rising cost of living longer . New Straits Times, 30 October 2016. Accessed 1 November 2016.
- ^ a b "Muhammadiyah". Div. of Religion and Philosophy, St. Martin College, UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-14. Diakses tanggal 2008-08-28.
- ^ Muhtaroom, Ali (August 2017). "STUDY OF INDONESIAN MOSLEM RESPONSES ON SALAFYSHIA ISLAMIC EDUCATION TRANSNATIONAL INSTITUTION". Ilmia Islam Futuria. 17 (1): 73–95 – via Research Gate.
organizations such as Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad has an important role in the development of Salafism in Indonesia.
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/05/12/7-perbedaan-islam-dan-islam-syiah/
- ^ a b Abu Zayd, Nasr (2006). Reformation of Islamic Thought. Amsterdam University Press. ISBN 9789053568286. Diakses tanggal 20 April 2016.
- ^ Pieternella van Doorn-Harder, WOMEN SHAPING ISLAM: Reading the Qu'ran in Indonesia, pg .95. Champaign: University of Illinois Press, 2010. ISBN 9780252092718
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/04/20/muhammadiyah-2/
- ^ https://rasindogroup.com/muhammadiyah/
- ^ Burhani (2005), hlm. 101.
- ^ Alfian (1989). hlm. 152. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ "Short History of Persyarikatan Muhammadiyah". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-19. Diakses tanggal 2006-08-10.
- ^ Burhani (2010), hlm. 65-66
- ^ "Sejarah Singkat". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-04. Diakses tanggal 2015-01-04.
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 356.
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 357.
- ^ Ricklefs (1991), hal. 288.
- ^ "Muhammadiyah Makes Overtures to Islamists". Indonesia Matters. Diakses tanggal 2006-08-10.
- ^ Administrator (2015-07-04). "Seabad 'Soeara Moehammadijah'". Tempo.co. Diakses tanggal 2020-10-22.
- ^ Muhammad Yuanda Zara. "Suara Muhammadiyah dan Jurnalisme Kaum Modernis". tirto.id. Diakses tanggal 2020-10-22.
- ^ https://wiki-indonesia.club/wiki/Ahmad_Rasyid_Sutan_Mansur
- ^ http://sekolahmuonline.blogspot.com/2018/03/muhammadiyah-dari-masa-ke-masa.html
- ^ "Muhammadiyah Itu Golongan Ahlus Sunnah was Salafiyyah" [Muhammadiyah The Ahlus Sunnah was Salafiyyah]. Pwmu. 3 November 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 October 2021.
- ^ Muhtaroom, Ali (August 2017). "STUDY OF INDONESIAN MOSLEM RESPONSES ON SALAFYSHIA ISLAMIC EDUCATION TRANSNATIONAL INSTITUTION". Ilmia Islam Futuria. 17 (1): 73–95 – via Research Gate.
the development ofSalafi in Indonesia has inspired the emergence of anumber of organizations reformers of modern Islam in Indonesia. Organizationssuchas Muhammadiyah, Al-Irsyad,shared similar intentions to purify faith with the call back to the Quran and Sunnah, and leave many traditional customs that are claimed to be contaminated by heresy,tahayyul, and superstition... For Muhammadiyah, the purification of faith and the return to the Quran and Sunnah is an obligation... Muhammadiyah doctrine theology agrees with salafi, namely puritanist by going back to Al-Quran and As-Sunnah...
- ^ In Indonesia, Islam loves democracy| Michael Vatikiotis | New York Times |6 February 6, 2006
- ^ NASHIR, M. Si, DR. H. HAIDAR (2015). MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT. Jl. A Yani Pabelan Tromol Pos 1 Kartasura Surakarta 57102, Jawa Tengah – Indonesia: Muhammadiyah University Press. hlm. 94. ISBN 978-602-361-013-6.
- ^ "USINDO Roundtable With the Muhammadiyah and Aisyiyah Delegation". The US-Indonesian Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 13, 2006. Diakses tanggal 2006-08-10.
- ^ "Muhammadiyah urged Governot to Set Model School". Tribun Timur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-08-10.
- ^ "Muhammadiyah to help campaign on danger of avian flu". Antara. Diakses tanggal 2006-08-10.[pranala nonaktif permanen]
- ^ "Profil Muhammadiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-04. Diakses tanggal 2022-02-07.
- ^ "Autonomous Organizations". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-08-10.
- ^ "Profil - PCIM Jerman Raya | Muhammadiyah". jerman-raya.muhammadiyah.or.id. Diakses tanggal 2023-03-12.
- ^ "Pusat Data Muhammadiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-26. Diakses tanggal 2011-11-15.
Bacaan lanjutan
- Djurdi, S. (2010). 1 abad Muhammadiyah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-498-7.
- Alfian (1989). Muhammadiyah: the political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism. Gadjah Mada University Press. ISBN 979-420-118-9.
- DAR! Mizan (2007). Komik Muhammadiyah. DAR! Mizan. ISBN 979-752-808-1.
- Official magazine
- Pacific Affairs, Vol. 27, No. 3 (Sep., 1954), pp. 255-263 Modern Islam in Indonesia: The Muhammadiyah After Independence
- Ali Shodiqin, Mochammad. 2014. "Muhammadiyah itu NU!: Dokumen Fiqh yang Terlupakan". Diarsipkan 2016-01-17 di Wayback Machine. Jakarta: NouraBooks.
- Burhani, Ahmad Najib. 2005. "Revealing the Neglected Missions: Some Comments on the Javanese Elements of Muhammadiyah Reformism." Studia Islamika, 12 (1): 101–129.
- Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasat.
- Peacock, J.L. (1978). Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam. Cummings Press.
- "Muhammadiyah". Div. of Religion and Philosophy, St. Martin College, UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-14. Diakses tanggal 2006-08-28.
- Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia since c.1300. 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-333-57690-X
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Situs web resmi Muhammadiyah
- (Indonesia) Pusat data Muhammadiyah Diarsipkan 2011-11-26 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Situs web resmi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
- (Indonesia) Situs web resmi Ikatan Pelajar Muhammadiyah Diarsipkan 2019-07-19 di Wayback Machine.