J. Mario Belougi

Jouhard Mario Belougi (lahir 5 Mei 1975) adalah seorang aktivis, pemerhati lingkungan dan kemanusiaan berkebangsaan Indonesia.


J. Mario Belougi
Berkas:Zinedine Zidane & J. Mario Belougi.jpg
Lahir5 Mei 1975 (umur 49)
Manado, Sulawesi Utara
PendidikanGrassroots Political Studies (GPS),
B.A, Ilmu Politik (UNTL)
PekerjaanAktivis, produser, pegiat lingkungan
JabatanDir. INEC Green,
Ketua Pendamping Belougi Foundation
PasanganDorcas Coloay (1999-2017; Wafat)
Anak3

Latar belakang

J. Mario Belougi lahir dari keluarga majemuk, penganut Katolik dan agama kepercayaan. Leluhurnya merupakan bangsa pelaut yang sudah berabad-abad mendiami gugusan pulau-pulau kecil di tapal batas Indonesia-Filipina. Belougi menjalani kehidupan awal di pinggiran Kota Manado, Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, Belougi ikut kerabatnya merantau ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, di sini awal mula Belougi mengenal kehidupan jalanan dan berafiliasi dengan komunitas arus bawah, kehidupan jalan yang keras membentuk Belougi menjadi sosok yang peduli urusan sosial dan kemanusiaan, ia mengawali kariernya di dunia aktivisme sejak 1990-an.

Pendidikan

Sebuah sumber menyebut Belougi pernah mengikuti pendidikan Grassroots Political Studies di sebuah Perguruan Katolik yang berbasis di Filipina, tahun 1994, namun ia meninggalkan perguruan tersebut dan memilih aktif dalam kegiatan aktivisme. Ia meraih Bachelor of Arts (B.A) Ilmu Politik di Universitas Nasional Timor Lorosae tahun 2004.

Awal karier

J. Mario Belougi mengawali kariernya dalam dunia aktivisme dengan menjadi aktivis jalanan di Kota Ujung Pandang pada awal 1990-an, sejak awal Belougi menunjukkan sikap kontra terhadap oligarki, ia berkali-kali ditahan oleh pihak berwajib atas penolakannya terhadap diskriminasi dan intimidasi yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Di penghujung tahun 1994, Belougi bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat di Palu, Sulawesi Tengah, di sini Belougi banyak terlibat diskusi bersama pegiat sosial dari kaum terpelajar terkait masalah lingkungan, demokrasi dan politik di daerah tertinggal.

Pada tahun 1995, Belougi didaulat oleh sejumlah LSM untuk menjadi fasilitator kampanye anti-deforestasi dan perlindungan masyarakat adat, melalui kegiatan tersebut Belougi mengawali gerakan akar rumput untuk menolak dogmatisme pemerintah yang mengurung kebebasan dan merampas hak-hak dasar rakyat dalam demokrasi dan politik.

Setelah situasi politik Indonesia mulai bergejolak pertengahan 1996, Belougi mengorganisir elemen-elemen pegerakan arus bawah sebagai kelompok oposisi dan menyuarakan dukungan politiknya terhadap Partai Uni Demokrasi Indonesia yang diketuai oleh tokoh pergerakan Dr. Sri Bintang Pamungkas. Ia menjadi buronan politik akhir 1996 hingga berakhirnya rezim otoriter di Indonesia tahun 1998.

Solidaritas untuk Timor Timur

Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie tahun 1999, Belougi menggalang aksi solidaritas untuk bantuan logistik kepada rakyat pro-integrasi di pedalaman daerah konflik Timor Timur. Gerakan ini dimanfaatkan kelompok pro-kemerdekaan dengan menyebut Belougi memiliki rekaman kejahatan politik dan kemanusiaan di Timor Timur yang bakal dipertaruhkan pegiat hak asasi manusia di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Sosok Belougi menjadi kontroversi setelah ia dikabarkan menjadi korban dalam serangan Pembantaian Gereja Katolik Liquica tahun 1999. Kantor berita Australian Associated Press (AAP) menyebut skenario tentang aktivis Indonesia dalam peristiwa Liquica adalah bagian dari rekayasa politik untuk mendukung langkah B.J. Habibie meraih Nobel Perdamaian, namun isu tersebut dibantah oleh sejumlah pendeta dan tokoh-tokoh pro-integrasi.

Pada Juli 1999, Belougi menjadi fasilitator mimbar bebas di Makassar, Sulawesi Selatan untuk menolak Resolusi Dewan Keamanan PBB-1426 yang membentuk Misi khusus untuk melaksanan jajak pendapat di Timor Timur (UNAMET), aksi penolakan ini diikuti unjuk rasa di hampir seluruh penjuru negeri dan berakhir dengan pendudukan Kantor Kedutaan Amerika dan Australia di Jakarta pada Agustus 1999.

Gagasan dan tantangan

Pada tahun 2000, Belougi menggulirkan gagasan perawatan pulau-pulau terluar Indonesia bertajuk Indonesia Back to Nature, kegiatan tersebut mengambil titik nol di Pulau Miangas, sebuah pulau yang pernah dipersengketakan antara Indonesia dengan Filipina. Belougi merangkul lembaga lokal yang berbasis di pelosok sebagai pendamping untuk merawat kearifan lokal dalam melawan pelaku kejahatan lingkungan dan politik transaksional yang dimotori kaum kapitalis dan oligarki.

Pada tahun 2002 Belougi menjadi fasilitator gerakan kedaulatan lingkungan dengan mengusung tema Indonesia Consetvation of Green (INEC Green) sebagai bentuk dukungan terhadap Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO) 2001 tentang pembangunan berkelanjutan, yang dititik beratkan pada masalah lingkungan dan kemanusiaan, gerakan ini turut didukung oleh pendiri The Green Belt Movement dan penerima Nobel Perdamaian bidang lingkungan dan politik 2005, Wangari Maathai.

Gagasan Belougi tentang pembangunan berkelanjutan terkonsentrasi pada pendekatan Adaptive, Collaborative and Caring (ACC) untuk mendorong semua pihak bekerjasama dengan masyarakat adat dalam mewujudkan pembangunan demokrasi multikultural dan desentralisasi untuk menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pola pendekatan tersebut menjadi bagian dari kampanye internasional Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat di New York, Amerika Serikat tahun 2007.

Perjalanan Belougi dalam mewujudkan kesetaraan melalui pembangunan berkelanjutan mendapatan tantangan dari pelaku kejahatan lingkungan dan menghadapkan Belougi dengan berbagai masalah kriminal.

Kontroversi

Di tengah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia tahun 2000, dunia aktivisme Indonesia dihebohkan dengan beredarnya rekaman Belougi terlibat pembicaraan serius bersama pemimpin GAM, Hasan Tiro di suatu tempat yang tidak diketahui. GAM diduga berlindung dibalik kegiatan sosial yang di motori Belougi di pedalaman Aceh untuk memasok logistik ke daerah pelosok, dan kebenaran hubungan Belougi dengan GAM terus menjadi misteri.

Sosok Belougi kembali menjadi sorotan publik setelah namanya dikaitkan sebagai otak pelaku Insiden Pengibaran Bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005, sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang mengabaikan kedaulatan lingkungan, demokrasi dan HAM yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi rakyat di pulau-pulau terluar, insiden tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dengan membangun infrastruktur dan fasilitas umum seperti bandara dan pelabuhan, serta memberi status kewarganegaraan (WNI) untuk pemenuhan hak-hak warga di pulau-pulau terluar.

Kehidupan pribadi

J. Mario Belougi menikah menikah dengan Elizabeth Coloay, seorang relawan internasional UNHCR, keduanya bertemu di Timor Timur saat daerah tersebut dilanda krisis politik tahun 1999. Ia memiliki dua putri; Wanda Belougi (2002) dan Melani Belougi (2004) serta seorang putra; Ayyas Belougi (2012).

Berkas:J. Mario Belougi in BBC Documentation for East Timor, 1999.jpg
J. Mario Belougi di tengah lautan manusia dalam aksi penolakan Resolusi Dewan Keamanan PBB-1246 untuk melaksanakan jajak pendapat di Timor Timur 1999

Catatan kaki