Nikah siri
Nikah siri atau nikah di bawah tangan adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrī atau sirr yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara norma agama tetapi tidak sah menurut norma hukum, karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Nikah siri merupakan pernikahan yang dilakukan secara rahasia. Secara etimologi, kata “siri” berasal dari bahasa Arab asal kata “sirrun” yang memiliki makna rahasia atau tersembunyi sebagai lawan kata atau antonim dari “alāniyyah” yang bermakna terang-terangan. Kata siri kemudian digunakan dalam istilah nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Kasus nikah siri ini memunculkan dua pemahaman. Pertama, adanya pernikahan yang tidak orang lain tahu atau orang lain tidak diberi tahu kepada khalayak umum. Dan kedua, tidak tercatatnya pernikahan tersebut di lembaga resmi pencatatan nikah negara atau biasa disebut dengan kantor urusan agama. Istilah nikah siri yang sudah lama berkembang di masyarakat luas biasa mengartikan sebagai nikah di bawah tangan, yaitu proses pernikahan yang dilakuan dengan menggunakan aturan-aturan dan hukum-hukum islam seperti; adanya saksi, wali, dan ijab qabul.[1]
Hubungan pribadi |
---|
Jenis hubungan |
Duda · Istri · Janda · Keluarga · Kumpul kebo · Monogami · Nikah siri · Pacar lelaki · Pacar perempuan · Perkawinan · Poligami · Saudara · Sahabat · Selir · Suami · Wanita simpanan |
Peristiwa dalam hubungan |
Cinta · Ciuman · Kasih sayang · Pacaran · Persahabatan · Pernikahan · Perselingkuhan · Perceraian · Percumbuan · Perjantanan · Persetubuhan · Perzinaan |
Pandangan Hukum Islam
Istilah nikah siri, dalam pandangan islam, sebenarnya tidak ada. Karena, dalam islam itu sendiri, suatu pernikahan akan sah jika telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Syarat nikah dalam agama hanya memperhatikan rukun dan syarat, yaitu sebagai berikut:
- Adanya calon kedua mempelai;
- Adanya wali dari mempelai wanita;
- Adanya saksi dari kedua mempelai;
- Adanya ijab dan qabul.
Ketika sebuah pernikahan sudah memenuhi keempat syarat di atas, maka pernikahan tersebut sudah dianggap sah dari sudut pandang agama islam. Maka dari itu, ketika nikah siri terjadi dan tidak memenuhi keempat syarat tersebut, maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pernikahan yang sah. Ada juga, orang yang berpandangan mengenai nikah siri tanpa adanya wali dari pihak wanita dengan alasan adanya ketakutan tidak direstui dari pihak wanita. Jika kita melihat kepada syarat dan rukun nikah, sudah jelas bahwa pernikahan tersebut tidaklah sah. Pernikahan semacam ini hanyalah hawa nafsu tanpa mementingkan syariat islam yang sudah ada.[1]
Pandangan Hukum Positif
Nikah siri atau biasa dikenal dengan istilah nikah di bawah tangan dalam pandangan undang-undang adalah meniadakan atau tidak memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) di mana tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut memiliki arti, bahwa setiap pernikahan yang terjadi harus dicatat dan dilaporkan kepada negara sebagai salah satu syarat administrasi negara. Secara lebih detail terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 3:
- Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan;
- Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;
- Pengecualian dalam jang tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh camat (atas nama) bupati kepala daerah.
- Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, suatu pernikahan yang terjadi tanpa melibatkan negara yang berwenang adalah hal yang terlarang.
Adanya nikah siri adalah adanya dua pemahaman penafsiran terhadap Undang-Undang Perkawinan pasal 2 Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Yang pertama ayat (1) itu terpisah dengan ayat (2) yaitu menurut ayat (1) pernikahan sudah sah jika dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun nikah dari agama masing-masing sedangkan ayat (2) hanya mengatur pencatatan pernikahan sebagai syarat administratif, yang kedua adanya pemahaman mengenai ayat (1) dan ayat (2) tersebut saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan sebagai syarat sah suatu pernikahan. Dalam hal ini, seharusnya perbedaan pemahaman tersebut tidaklah menjadi sebuah perdebatan karena, tujuan dari pernikahan sendiri adalah untuk mengedepankan nilai sosial dan sosiologis, dan perlunya juga sebuah kepastian hukum.
Permasalahan nikah siri
Kata siri yang berarti rahasia, hal tersebut merujuk pada rukun Islam tentang perkawinan yang menyatakan perkawinan sah apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara. Hal ini tertuang pada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemeruintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 3, suatu pernikahan yang terjadi tanpa melibatkan negara yang berwenang adalah hal yang terlarang. Maka, pernikahan tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan hukum yang akan berakibat satu pihak dirugikan baik itu suami atau istri yang kemudian tidak akan dapat perlindungan hukum. Kasus yang sering terjadi dalam nikah sirri akibat tidak adanya perlindungan hukum adalah istri dan anak yang berpotensi menjadi korban secara yuridis formal. Dampak kerugian secara yuridis formal anatara lain:
- Pernikahan di bawah tangan tidaklah sah, sekalipun pernikahan tersebut dilakuakan sesuai aturan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tetapi, pernikahan tersebut tidak memiliki perlindungan hukum selama tidak dilakukan pencatatan di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil.
- Jika dari pernikahan di bawah tangan melahirkan anak, maka secara perdata anak tersebut hanya menjadi tanggung jawab ibunya saja tidak ada hubungan dengan bapaknya dan tidak dapat meminta tanggung jawabnya. Bahkan anak tersebut tidak mendapatkan warisan dari bapaknya sendiri.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan di bawah tangan belum tentuk dapat menjadi subjek hukum di Indonesia. Misalnya, anak tersebut belum tentu bisa mengurusi identitas diri seperti; Akta Kelahiran, KTP, Kartu Keluarga, dan layanan-layanan umum yang artinya tidak tercatatkan. Adapun solusi bagi mereka yang terlanjur melakukan pernikahan secara sirri, yaitu dengan emlakaukan itsbat nikah. Itsbat nikah diperuntukan bagi mereka yang sudah menikah dengan hanya memenuhi sayarat dan rukun saja tanap melakukan pencatatan administratif. Itsbat nikah adalah penetapan suatu pernikahan yang berarti sudah terjadi suatu pernikahan kemudian akan ditetapkan sesuai hukum yang berlaku yaitu dengan dilakukannya pencatatan secara admistratif di Kantor Urusan Agama setempat. Melakukan itsbat nikah terlebih dahulu adanya permohonan ke Pengadilan Agama. Mereka yang telah melakukan itsbat nikah dengan alasan sebagai berikut:
- Terjadinya pernikahan sebelum diberlakuakannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan kasus tersebut dapat mengajukan itsbat nikah untuk dilakukannya pencatatan secara adminstratif dan sebagai kepentingan untuk mengurusi pembagian waris kepada ahli warisnya.
- Terjadinya pernikahan setelah diberlakukannha Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan kemungkinan kasus hilangnya akta nikah atau tidak memiliki akta nikah.
Status anak
Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orangtuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.
Status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka status anak dikatakan di luar nikah. Secara agama, status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah berdasarkan agama yang tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga risiko akibat ketidaktahuan perempuan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia menyebabkannya termasuk golongan yang merugi akibat dari kebodohannya sendiri.
Lihat pula
Referensi
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |