Birrul Walidain

bagian dalam etika Islam

Birrul Walidain (Arab: بر الوالدين) adalah bagian dalam etika Islam yang menunjukan kepada tindakan berbakti (berbuat baik) kepada kedua orang tua. Yang mana berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardhu (wajib) ain bagi setiap Muslim, meskipun seandainya kedua orang tuanya adalah non muslim. Setiap muslim wajib mentaati setiap perintah dari keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah.[1][2] Birrul walidain merupakan bentuk silaturahim yang paling utama.

Dalam Islam tidak saja ditekankan harus menghormati kedua orang tua saja, akan tetapi ada akhlak yang mengharuskan orang yang lebih muda untuk menghargai orang yang lebih tua usianya dan yang tua harus menyayangi yang muda,[3][4] seorang ulama dalam bukunya juga menjelaskan hal yang serupa.[5] Dalam segala kegiatan umat Islam diharuskan untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua usianya, penjelasan ini berdasarkan perintah dari Malaikat Jibril,[6] karena dikatakan bahwa menghormati orang yang lebih tua termasuk salah satu mengagungkan Allah.[7]

Akhlak ini telah dilakukan oleh para sahabat, mereka begitu menghormati terhadap yang orang yang lebih tua meskipun umurnya hanya selisih satu hari atau satu malam,[8][9] atau bahkan lahir selisih beberapa menit saja.[10]

Definisi

Al-Walidain maksudnya adalah kedua orang tua kandung. Al-Birr maknanya kebaikan, berdasarkan hadits rasulullah ﷺ: “Al-Birr adalah baiknya akhlak”.[11] Al-Birr merupakan hak kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al-‘Uquuq (durhaka), yaitu "kejelekan dan menyia-nyiakan hak“. Al-Birr adalah mentaati kedua orang tua di dalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al-‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.”[12]

Dasar hukum

Dasar hukum disyariatkannya untuk berbakti kepada orang tua di dalam Al-Qur'an, adalah firman Allah:

Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”.

— (An-Nisa’:36).[13]

...dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.[14] Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “...dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil".”

— (Al Isra’:23-24)[15]

...dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.”

— (Luqman: 14)[16]

“Katakan: Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

— (Al-An’am: 151)

Juga dalam As-Sunnah, rasulullah ﷺ bersabda:

“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua”.[17]

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta”.[18].

Kedudukan birrul walidain

Pengulangan perintah dan digandengkan dengan ayat perintah untuk mentauhidkan Allah menunjukan begitu pentingnya kedudukan berbakti terhadap kedua orang tua di dalam Islam. Allah meletakkan hak orang tua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) dalam ayat Al-Qur'an surah An-Nisa: 36[19] dan Al-Isra: 23.[20]

Kedudukan dan hak seorang ibu untuk diberikan bakti oleh seorang anak adalah lebih tinggi tiga berbanding satu dibandingkan hak seorang ayah, padahal hak seorang Ayah terhadap anaknya sangat besar.[21] Dari Abu Hurairah ia berkata: "Ada seorang lelaki datang kepada rasulullah, kemudian berkata, "wahai rasulullah, siapa manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku ?" Dia menjawab, "ibumu", ia berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu", ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu". Ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi?" Dia menjawab, "bapakmu".[22]

Berkata Imam Al-Qurthubi: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al-Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).[23].

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Zaadul Musaafir bahwa Abu Bakr berkata: “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”.[24]

Keutamaan birrul walidain

Amalan yang paling mulia

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata: Saya bertanya kepada rasulullah ﷺ: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya: Kemudian apa lagi?, Bersabada rasulullah ﷺ “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi: Lalu apa lagi?, Maka rasulullah ﷺ bersabda: “Berjihad di jalan Allah”.[25]

Penyebab diampuninya dosa

Allah menjanjikan ampunan kepada seseorang yang berbakti kepada kedua orang tua: “...Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (Al Ahqaf 15-16)

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada rasulullah ﷺ dan berkata: Wahai rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda rasulullah ﷺ: “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia: Tidak. Bersabda dia ﷺ: “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata: “Ya”. Bersabda rasulullah ﷺ: “Berbuat baiklah padanya”.[26]

Penyebab masuknya seseorang ke surga

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata: Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, rasulullah ﷺ ditanya: Siapa wahai rasulullah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada keduanya)”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).

Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, Bahwasannya Jaahimah datang kepada rasulullah ﷺ kemudian berkata: “Wahai rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasihat pada anda. Maka ﷺ bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia: “Ya”. Bersabda ﷺ: “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.[27]

Lebih utama dari jihad

Berbakti kepada orang tua lebih diutamakan dibanding Jihad yang fardhu kifayah.[28] Sehingga seseorang yang hendak berangkat berjihad kemudian Orang tuanya tidak mengizinkannya maka dia dilarang untuk pergi berjihad. Apabila jihad itu fardhu kifayah (tathawwu’), maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ minta izin kepadanya untuk berangkat jihad. Maka dia bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka dia bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.[29][30][31][32]

Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardhu kifayah.[33]

Sifat para nabi

Berbakti kepada orang tua adalah akhlak para Nabi dan orang-orang saleh, hal ini sebagaimana yang telah Allah kabarkan sendiri di dalam al-Qur’an, di antaranya adalah: Allah menceritakan tentang permohonan ampun Nabi Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya meskipun ayahnya adalah seorang yang kafir: "Dia (Ibrahim) berkata, ”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku" (Maryam: 47).

Firman Allah yang memuji Nabi Yahya; "...dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka" (Maryam: 14).

Allah juga bercerita tentang Nabi Isa: "...dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" (Maryam: 32)

Juga sifat orang-orang yang saleh

Berkas:Gendongibu.jpg
Seorang anak menggendong ibunya saat thawaf.
Berkas:Suapiibu.jpg
Seorang anak memberi minum ibunya yang telah tua.

Diceritakan bahwa sahabat Nabi Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka dia berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.”[34]

Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf (beribadah) mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.”[35]

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, dia bercerita, suatu malam ibu dari sahabat nabi Ibnu Mas'ud meminta air minum kepada Ibnu Mas’ud. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata ibunya sudah tertidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi (menunggu ibunya terbangun untuk memberikan minumnya, melaksanakan perintah ibunya).”[36]

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika dia sedang mengajar (yang dihadiri banyak jamah), ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya dia lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya.[37]

Hafshah binti Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila dia berkata-kata dengan ibunya, maka dia seperti seorang yang berbisik-bisik.[38]

Dari Asir bin Jabir dia mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir”, sampai suatu hari dia bertemu dengan Uwais, dia bertanya, “engkau Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn?”, “Betul,” sahutnya. Dia bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham?”, “Betul.” Dia bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah Umar mengatakan, “Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais Al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Dia bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais Al-Qarni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.”[39]

Dalam ajaran umat sebelumnya

Berbakti kepada orang tua merupakan perintah yang tercantum di dalam kitab umat Yahudi, yang disebut sebagai "Sepuluh perintah Allah (Ten Commandments)", pada perintah ke-lima. Termuat dalam kitab Keluaran 20:12 dan Ulangan 5:16. Hukum ini mencakup semua tindakan baik, dukungan materiil, hormat, dan ketaatan kepada orang-tua. Perintah ini mencegah kata-kata kasar dan tindakan yang mencederakan (Keluaran 21:15,17).[40] Begitu pula disebutkan di dalam kitab kekristenan pada Matius 15:4 dan 19:19; Markus 7:10 dan 10:19; dan Lukas 18:20.

Bahaya Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

Durhaka kepada orang tua atau uquuqul walidain adalah segala tindakan atau ucapan yang membuat orang tua sedih, membantah perkataannya, mengucapkan “ah” ketika diperintah, Berkata keras dan kasar, Membentak, membuatnya menangis, bermuka masam dan mengerutkan kening dihadapan orang tua, memandang dengan pandangan marah dan merendahkan, memalingkan muka, memotong pembicaraan, mengeraskan suara melebihi mereka, menyuruh-nyuruh orang tua.

Mengkritik makanan ibu, tidak menghargai pendapat dan nasihat mereka, melaknat, caci maki, tidak menafkahi mereka yang kekurangan padahal ia mampu, membebani mereka dengan permintaan, mendahulukan ketaatan pada istri daripada orang tua, menganiaya, memukul, dan lain sebagainya. ini adalah contoh-contoh durhaka pada orang tua yang harus kita hindari. Apalagi dibulan puasa, karena banyak sekali ancaman-ancaman Allah dan Rosul-Nya bagi orang yang berani durhaka kepada mereka.

Rasulullah ﷺ bersabda:

بَابَانِ مُعَجَّلاَنِ عُقُو بَتُهُمَا فِى الدُّنْيَا الْبَغْىُ وَ الْعُقُوقُ

“Dua perbuatan dosa yang Allah cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia yaitu berbuat zhalim dan al’uquq (durhaka kepdada orang tua)”. (HR. Hakim 4/177 dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. At-Tirmidzi : 1899)

Rosulallah ﷺ bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا : عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ

“Ada tiga hal yang menyebabkan terhapusnya seluruh amal, yaitu syirik kepada Allah, durhaka kepada orangtua dan seorang alim yang dipermainkan oleh orang dungu.” (HR. Thabrani)

و ثلاثةٌ لا يدخلونَ الجنةَ : العاقُّ لوالديهِ، و المدمنُ الخمرَ، و المنانُ بما أعطَى

Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang derhaka kepada kedua ibu bapanya, orang yang ketagihan minuman keras dan orang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya” (HR Al-Nasai’

Rosulallah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aroma surga itu tercium dari jarak perjalanan seribu tahun, dan demi Allah tidak akan mendapatinya barang siapa yang durhaka kepada orangtuanya.” (HR. Thabrani)

Rosulallah ﷺ bersabda: Dalam sebuah hadits, diriwayatkan : “Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orangtua dan juga seorang dayyuts atau banci (orang yang merelakan kejahatan berlaku didalam keluarganya, merelakan istri dan anak perempuannya serong)” (HR. Nasa’I dan Ahmad)

Rosulallah ﷺ bersabda,

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

“Sungguh celaka, Sungguh celaka, Sungguh celaka,Orang yang mendapati orangtuanya atau salah satunya sampai tua, lantas ia tidak dapat masuk surga (karenanya).” (HR. Muslim).

Kisah Al Qomah Yang Berat Sakaratul Maut

Sebagaimana kisah sahabat AL Qomah. Alqomah adalah pemuda yang rajin ibadah, banyak sholat dan puasa. Suatu ketika beliau sakit keras menjelang sakaratul maut. Rosulallah ﷺ yang mendengar kabar itu mengirim sahabatnya untuk mentalqinnya mengucap, “Lailahaillallah”. Namun lisan al qomah kelu dan tak bisa mengucap Lailahaillallah. Beliau pun tetap dalam keadaan sekarat dan tidak kunjung datang ajalnya.

Maka Rosulallah ﷺ bertanya, “Apakah ia Masih Punya Ibu?”, Sahabat menjawab, “Masih ya Rosulallah, dia punya ibu yang tua renta”.

Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”

Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah.” Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah. Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya.

Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”

Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak puasa dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu apa perasaanmu padanya?”

Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah.”

Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun durhaka kepadaku.” Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”

Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau perbuat?” Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku.” Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”

Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.

Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah belum, barangkali ibu

Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”

Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”Kemudian, Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.

Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya, Lalu, di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada kemarahannya.” (HR Ahmad dan Tabrani)

Sedangakan berbakti kepada orang tua hukumnya adalah wajib dan memiliki banyak sekali keutamaan. Sebagaimana Allah subhana wata’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36).

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ


“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut/ 29: 8]

Rosullah ﷺ bersabda:

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi)

Al-Qadhi Baidhawi mengatakan, “Makna hadis, bahwa cara terbaik untuk masuk surga, dan sarana untuk mendapatkan derajat yang tinggi di surga adalah mentaati orang tua dan berusaha mendampinginya. Ada juga ulama yang mengatakan, ‘Di surga ada banyak pintu. Yang paling nnyaman dimasuki adalah yang paling tengah. Dan sebab untuk bisa masuk surga melalui pintu itu adalah menjaga hak orang tua.’ (Tuhfatul Ahwadzi, 6/21).

Ada seorang laki-laki minta izin kepada rosulallah ﷺ untuk berjihad, maka Rosulallah ﷺ bersabda:

أحَيٌّ والِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِما فَجَاهِدْ

“Apakah orang tuamu masih hidup?”. Lelaki tadi menjawab: “Iya”. Nabi bersabda: “Kalau begitu datangilah kedunya dan berjihadlah dengan berbakti kepada mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rosulallah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan)[1]

Dihadits yang lain disebutkan, Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar. Apakah ada taubat untukku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki seorang bibi?” Ia menjawab, “Ya. “ Nabi bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Ahmad)

Rosulallah ﷺ bersabda:

رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ

“Ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua”(HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim)

Rosulallah ﷺ bersabda:

ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ

maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari – Muslim)

Kisah Uwais Al Qarni

Hal ini sebagaimana kisah Tabiin Uwais al qarni. Beliau bukan ulama, bukan orang kaya, bukan pejabat, tapi berkat bakti beliau kepada kedua orangtuanya, beliau menjadi tabiin yang paling mulia. Tabiin adalah generasi setelah sahabat. Uwais al qarni hidup di Yaman.  Beliau hidup dizaman Rosulallah ﷺ tapi tidak sempat bertemu dengan nabi Muhammad ﷺ. Beliau amat sangat ingin bertemu Rosulallah ﷺ di Madinah, namun tidak bisa karena tengah merawat dan menjaga ibunya yang sudah tua.

Meski beliau belum bertemu Rosulallah ﷺ, akan tetapi Nabi Muhammad ﷺ atas ijin Allah bisa mengenali Uwais al Qarni dan menaruh hormat padanya, berkat baktinya pada ibunya. Rosulallah pernah berpesan sahabat umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib, bahwa nanti sepeninggal beliau akan datang seorang lelaki dari zaman, dengan ciri-ciri ditangannya ada bercak putih sebesar koin. Rosulallah berpesan, jika bertemu dengan laki-laki itu, mintalah ia agar memohonkan ampun kepada Allah untukmu.

MasyaAllah, Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali adalah dua sahabat utama yang sudah dijamin masuk surga, akan tetapi minta didoakan oleh seorang tabi’in,yang mana tabi’in yang mulia itu adalah Uwais Al-Qarni. Pesan Rosulallah ﷺ ini tidak lain adalah ingin menunjjukan betapa mulianya kedudukan orang yang berbakti kepada kedua orang tua. Sampai-sampai dua sahabat mulia, yaitu Umar dan Ali, diminta didoakan oleh Uwais Al Qarni.

Kisah Seseorang Yang Menggendong Ibunya Datang ke Ka’bah

Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih] [2]

Ibnu Abbas dan Seorang Pembunuh

Ada seorang pembunuh datang kepada Ibnu abbas ra bertanya tentang caranya bertaubat kepada Allah, maka Ibnu Abbas ra menjawab:

“apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua)” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).[41]

Do’a Ibu Itu Mustajabah

Ulama berkata bahwa do’a ibu pada anaknya lebih maqbul (mudah terkabul) dibanding 1000 waliullah. Sebagaimana kisah bagaimana seorang SYaikh Abdurrahman al Sudais yang bisa menjadi Imam di Masjidil Haram, Makkah. Berkat do’a dari ibunya. Jadi diwaktu kecil beliau amat nakal, maka ibunya yang kesal dengan kelaukan beliau, ibunya kemudian mendoakan, ya Sudais, semoga engkau ketika besar menjadi Imam Masjidil Haram. Maka benarlah, tahun 1983 M, atau ketika umur beliau 38 Tahun, beliau ditunjuk sebagai Imam Masjidil haram, Makkah. Masjidil haram adalah masjid yang disucikan oleh umat Islam. Didalamnya terdapat Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam didunia.

Sebagaimana kisah Haiwah bin Syarih –beliau salah seorang imam kaum muslimin- duduk dalam majelis beliau untuk mengajarkan ilmu kepada manusia. Lalu ibunya berteriak memanggil beliau, “Berdirilah wahai Haiwah, beri makan ayam-ayam itu!” Lalu beliaupun berdiri dan meninggalkan majelisnya untuk memberi makan ayam.

Kembali kita bercermin kepada Haiwah bin Syarih, panggilan ibunya untuk memberi makan ayam tidaklah membuat beliau malu dan merasa turun derajatnya di hadapan murid-murid beliau. Justru saat itulah beliau memberikan keteladanan yang besar kepada murid-muridnya akan kewajiban berbakti kepada orangtua dan lebih mendahulukan orangtua dibandingkan dengan orang lain

Dikisah yang lain terdapat seorang ulama besar, yaitu syaikh Muhammad bin Al-Munkadir pernah menceritakan, “’Umar (saudara beliau) menghabiskan malam dengan mengerjakan sholat malam, sedangkan aku menghabiskan malamku untuk memijat kaki ibuku. Dan aku tidaklah ingin malamku itu diganti dengan malamnya ‘Umar.”

Melalui nukilan ini, Muhammad bin Al-Munkadir telah memberikan petuah secara tak langsung kepada kita, bahwa bakti kepada orangtua itu lebih besar pahalanya dari pada mengerjakan amalan sunnah

Imam Hasan Al Basri pernah berkata, “Memandang wajah ibu saja itu ibadah, bagaimana kalau berbakti padanya”.

Tsabit Al-Banany mengatakan, “Aku melihat seseorang memukul bapaknya di suatu tempat. Maka dikatakan kepadanya, ‘Apa-apaan ini?’ Sang ayah berkata, ‘Biarkanlah dia. Sesungguhnya dulu aku memukul ayahku pada bagian ini maka aku diuji Allah dengan anakku sendiri, ia memukulku pada bagian ini. Berbaktilah kalian kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakt kepada kalian.’”


[1] Imam Al Bukhori, Adabul Mufrod Jilid 1, Griya Ilmu, hal 14

[2] Imam Bukhori, Adabul Mufrod Jilid 2, Griya Ilmu, Hal 23

[3] Imam Bukhori, Adabul Mufrod Jilid 2, Griya Ilmu, Hal 16

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Yaitu misalnya perintah untuk berbuat maksiat atau kekafiran, sebagaimana hadits: “Tidak ada ketaatan kepada seorang pun di dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu (hanya) di dalam kebajikan.” (Hadits riwayat Al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari shahabat Ali bin Abi Thalib
  2. ^ Berkata Ibnu Hazm: “Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Dia menukilkan dalam kitab Al-Adabul Kubra tentang perkataan Qadhi Iyyad: “Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram.” (Ghadzaul Al-Baab 1/382)
  3. ^ “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami, dan tidak mengetahui kemuliaan orang-orang yang tua di antara kami”. (Hadits riwayat At-Tirmidzy dari Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
  4. ^ Hadist ini juga diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, yang di dalamnya ada kisah bahwa seseorang yang sudah berumur tua hendak bertemu nabi ﷺ, namun para sahabat saat itu terkesan lamban dalam memberikan keluasan tempat baginya, sehingga rasulullah ﷺ pun bersabda: َﺲْﻴَﻟﺎَّﻨِﻣْﻦَﻣْﻢَﻟْﻢَﺣْﺮَﻳﺎَﻧَﺮﻴِﻐَﺻْﺮِّﻗَﻮُﻳَﻭَﺎﻧَﺮﻴِﺒَﻛ “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami dan tidak menghormati orang yang tua”. (Hadits riwayat At-Tirmidzy, dishahihkan Syeikh Al-Albany).
  5. ^ Imam At-Tirmidzy berkata: َﻝﺎَﻗِﻞْﻫَﺃ ُﺾْﻌَﺑِﻢْﻠِﻌْﻟﺍِﻝْﻮَﻗ ﻰَﻨْﻌَﻣِّﻰِﺒَّﻨﻟﺍﻰﻠﺻ-ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ-ﻢﻠﺳﻭ‏«َﺲْﻴَﻟﺎَّﻨِﻣ‏»ُﻝﻮُﻘَﻳ .:َﺲْﻴَﻟْﻦِﻣ،ﺎَﻨِﺘَّﻨُﺳ ُﻝﻮُﻘَﻳ:َﺲْﻴَﻟﺎَﻨِﺑَﺩَﺃ ْﻦِﻣ “Berkata sebagian ulama bahwa makna sabda nabi ﷺ, “Bukan termasuk golonganku” adalah “Bukan termasuk sunnah kami, bukan termasuk adab kami”. (Sunan At Tirimidzy, 4/322).
  6. ^ “Jibril telah menyuruhku untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua”. (Hadits riwayat Imam Ahmad, dan dishahihkan Syeikh Al Albany dalam Silsilah Al Ahaadiits Ash-Shahiihah, no.1555, dengan keseluruhan sanad-sanadnya).
  7. ^ “Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati orang muslim yang sudah tua”. (Hadits riwayat Abu Dawud, dari Abu Musa Al Asy’ary, dihasankan Syeikh Al-Albany).
  8. ^ Samurah bin Jundub: ُﺖْﻨُﻛ ْﺪَﻘَﻟﻰَﻠَﻋِﺪْﻬَﻋِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻝﻮُﺳَﺭﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ-ﻪﻴﻠﻋ ﺎًﻣَﻼُﻏ -ﻢﻠﺳﻭُﺖْﻨُﻜَﻓُﻆَﻔْﺣَﺃُﻪْﻨَﻋﺎَﻤَﻓﻰِﻨُﻌَﻨْﻤَﻳَﻦِﻣِﻝْﻮَﻘْﻟﺍ َّﻻِﺇَّﻥَﺃﺎَﻫًﻻﺎَﺟِﺭ ﺎَﻨُﻫُّﻦَﺳَﺃ ْﻢُﻫﻰِّﻨِﻣ “Sungguh saya dahulu di zaman rasulullah ﷺ adalah seorang anak, dan saya telah menghafal (hadist-hadist) dari dia, dan tidaklah menghalangiku untuk mengucapkannya kecuali karena disana ada orang-orang yang lebih tua daripada diriku”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya).
  9. ^ Malik bin Mighwal rahimahullah berkata: ُﺖْﻨُﻛْﻲِﺸْﻣَﺃَﻊَﻣَﺔَﺤْﻠَﻃِﻦْﺑ، ٍﻑِّﺮَﺼُﻣﺎَﻧْﺮِﺼَﻓﻰَﻟِﺇٍﻖَﻴْﻀَﻣ ْﻲِﻨَﻣَّﺪَﻘَﺘَﻓَّﻢُﺛْﻲِﻟ َﻝﺎَﻗ:«ْﻮَﻟُﺖْﻨُﻛُﻢَﻠْﻋَﺃَﻚَّﻧَﺃُﺮَﺒْﻛَﺃِﻲِّﻨِﻣ ٍﻡْﻮَﻴِﺑَﻚُﺘْﻣَّﺪَﻘَﺗ ﺎَﻣ‏» “Dahulu saya berjalan bersama Thalhah bin Musharrif, sampailah kami ke sebuah jalan sempit, maka diapun mendahuluiku, seraya berkata kepada saya: 'Seandainya saya mengetahui bahwa engkau lebih tua satu hari daripada saya niscaya saya tidak akan mendahuluimu'". (Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Al-Jaami’ li Akhlaaqi Ar-Raawii wa Aadaabi As-Saami’, no: 249).
  10. ^ Ya’qub bin Sufyan bercerita: ْﻲِﻨَﻐَﻠَﺑَﻦَﺴَﺤْﻟﺍ َّﻥَﺃْﻲَﻨْﺑﺍ ﺎًّﻴِﻠَﻋَﻭٍﺢِﻟﺎَﺻﺎَﻧﺎَﻛ،ِﻦْﻴَﻣَﺃْﻮَﺗَﺝَﺮَﺧ ْﻢَﻠَﻓ ، ٍّﻲِﻠَﻋ َﻞْﺒَﻗ ُﻦَﺴَﺤْﻟﺍَﺮُﻳُﻦَﺴَﺤْﻟﺍ ْﻂَﻗَﻊَﻣٍّﻲِﻠَﻋْﻲِﻓ ﺎَّﻟِﺇ ٍﺲِﻠْﺠَﻣٌّﻲِﻠَﻋ َﺲَﻠَﺟ، ُﻪَﻧْﻭُﺩْﻢَﻟَﻭْﻦُﻜَﻳُﻢَّﻠَﻜَﺘَﻳِﻦَﺴَﺤْﻟﺍ َﻊَﻣ ﺍَﺫِﺇﺎَﻌَﻤَﺘْﺟﺍْﻲِﻓٍﺲِﻠْﺠَﻣ “Telah sampai kepada saya kabar bahwa Al-Hasan dan Ali, anaknya Shalih, adalah dua anak yang kembar; Al Hasan lahir sebelum Ali. Tidaklah Al Hasan dan Ali duduk bersama di sebuah majelis kecuali Ali duduk lebih rendah daripada Al-Hasan; dan tidaklah Ali berbicara ketika Al Hasan berbicara apabila keduanya berada dalam satu majelis”. (Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Al-Jaami’ li Akhlaaqi Ar-Raawii wa Aadaabi As-Saami’, no: 252).
  11. ^ Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794
  12. ^ Disebutkan dalam kitab Ad-Durul Mantsur 5/259
  13. ^ Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan mengesakan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
  14. ^ Adapun tentang makna (qadha), Berkata Ibnu Katsir: yakni, mewasiatkan. Berkata Al-Qurthubi: yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy-Syaukani: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar hak mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218)
  15. ^ Berkata Urwah bin Zubair: “Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun”. (Ad-Darul Mantsur 5/259)
  16. ^ Berkata Ibnu Abbas: “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”, Berkata dia. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.” (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
  17. ^ Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/346), Hadits ini Shahih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516
  18. ^ Hadits dari Al Mughirah bin Syu’bah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757
  19. ^ "...dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua" (An-Nisa: 36)
  20. ^ "...dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak" (Al-Isra: 23)
  21. ^ Seorang ibu telah mengandung anaknya selama 9 bulan dalam kesusahan yang bertumpuk-tumpuk, kemudian menyusuinya, menyapih, merawat, mendidiknya hingga dewasa (lihat Al-Ahqaf; 15). Seorang ayah telah bekerja dan bersusah payah demi keluarga, memberi perlindungan dan pendidikan, "dan katakanlah, "Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil" Al-Isra; 24
  22. ^ Hadits riwayat Bukhari; 5971, Muslim; 2548
  23. ^ Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238
  24. ^ Ghadzaul Al Baab 1/382
  25. ^ Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, Hadits riwayat Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85
  26. ^ Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth: Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406)
  27. ^ Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248
  28. ^ Jihad yang syar'i terbagi dua dari segi kewajibannya, yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah.
  29. ^ Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549, Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.
  30. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=muslim&n=4623[pranala nonaktif permanen]
  31. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=ahmad&n=6257[pranala nonaktif permanen]
  32. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=nasai&n=3052[pranala nonaktif permanen]
  33. ^ http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/beberapa-ketentuan-seputar-jihad.html#_ftnref6[pranala nonaktif permanen]
  34. ^ Adab al-Mufrad; karya Imam Bukhari
  35. ^ Al-Kabair; karya Imam adz-Dzahabi
  36. ^ Birrul walidain; karya Ibnul Jauzi
  37. ^ Al-Birr Wasilah; karya Ibnul Jauzi
  38. ^ Siyar A'lam An-Nubala, karya adz-Dzahabi
  39. ^ Hadits riwayat Muslim
  40. ^ http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=Kel&chapter=20&verse=12#
  41. ^ Imam Bukhori, Adabul Mufrod

Pranala luar