Kasepuhan Gelaralam

kasepuhan di Jawa Barat

Kampung Adat Ciptagelar (aksara Sunda: ᮊᮙ᮪ᮕᮥᮀ ᮃᮓᮒ᮪ ᮎᮤᮕ᮪ᮒᮌᮨᮜᮁ) adalah sebuah kampung adat yang dihuni oleh orang Ciptagelar yang merupakan sub-etnis dari suku Sunda. Kampung adat ini berada di wilayah kampung Sukamulya, desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Ciri khasnya terletak pada lokasi dan bangunan rumah adat yang masih berpegang pada tradisi orang Sunda zaman dulu.[1] Orang yang menempati desa Ciptagelar dikenal dengan sebutan kasepuhan. Kata kasepuhan berasal dari kata sesepuh menggunakan kata ka-an yang berarti tempat tinggal seorang sesepuh. Ini merujuk pada masyarakat di dalamnya yang masih memegang teguh tradisi leluhur.[2]

Lumbung padi (leuit) di Kampung Ciptagelar.

Sejarah

Kampung Adat Ciptagelar didirikan oleh pasukan Kerajaan Sunda yang menuruti perintah Prabu Siliwangi dan dibebaskan karena Prabu Siliwangi ingin moksa. Para prajurit kemudian dipisahkan menjadi tiga kelompok, membentuk desa baru yang saling berhubungan. Salah satunya adalah Kampung Gede yang berfungsi sebagai pusat kasepuhan. Kampung Gede pernah berpindah-pindah beberapa kali untuk menghindari pengaruh imperialisme Jepang dan konflik politik DI/TII.

Sistem agama

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan budaya leluhur yang menjadi pegangan kehidupan. Menurutnya, nenek moyang adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih atau melebihi kemampuan manusia umumnya yang dianggap sebagai keturunan dari kerajaan Sunda Pajajaran. Sistem keagamaan Kampung Ciptagelar adalah Islam, namun memiliki unsur kepercayaan asli Sunda Wiwitan yang kuat. Dilihat dari upacara-upacara yang selalu diadakan. Sejak tahun 2001, kampung Ciptarasa yang berasal dari desa Sirnarasa telah melakukan hijrah wangsit ke desa Sirnaresmi yang berjarak dua belas kilometer. Di desa Sirnaresmi, tepatnya di desa Sukamulya, Abah Anom selaku ketua kampung adat menamai kampung Ciptagelar sebagai tempat pindah baru. Ciptagelar memiliki arti terbuka atau pasrah. Pindah dari Kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar karena perintah leluhur yang disebut wahyu. Hal itu diturunkan untuk diterima atau disebarkan oleh Abah Anom melalui proses ritual yang mau tidak mau harus dilaksanakan.

Sistem pekerjaan

 
Huma di Kampung adat Ciptagelar.

Umumnya pekerjaan masyarakat Ciptagelar adalah petani. Masyarakat memberikan penghormatan kepada budaya dan lingkungan lokal yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat. Oleh karena itu, masyarakat Ciptagelar tidak pernah menggunakan bibit padi dari pemerintah karena dianggap pare adalah titipan Yang Maha Kuasa. Selain itu ada berbagai anggap lain yang sangat kuat tentang pekerjaan pertanian seperti dijelaskan di bawah ini.

  • Upacara adat sebaiknya menggunakan bibit padi setempat.
  • Padi lokal memiliki keunggulan gampang dipotong ani-ani, gampang kering saat dijemur, dan yang utama adalah tahan kurang lebih 5 tahun dan tidak rontok dalam geugeusan.
  • Padi unggul dari pemerintah tidak akan tahan pada cuaca dingin dan lembab.
  • Menurut adat leluhur, ada sekitar 43 jenis padi rurukan dan 100 jenis padi hasil persilangan rurukan.
  • Dengan menanam pare setahun sekali sehingga dapat menghentikan siklus hama wereng yang biasanya tersebar pada bulan-bulan yang sudah diprediksi atau diramalkan.
  • Untuk menentukan musim tanam berdasarkan jumlah bintang dan istilah tanggal. Tanggal kerti di atas besi dan tanggal kidang turun kijang (untuk menyiapkan peralatan pertanian). Kidang merangsang dari timur dan kerti berkembang biak ke barat (tanah mulai bekerja).
 
Warga Kampung Ciptagelar membawa padi yang telah di panen.

Daur hidup padi dari awal penanaman hingga panen pada masyarakat Ciptagelar memiliki rangkaian aturan adat dan upacara yang harus dilakukan, di antaranya:

  • Ngaseuk, tanaman tersebut diawali dengan upacara meminta keselamatan dan keamanan serta ziarah ke makam leluhur. Biasanya ada hiburan seperti wayang golek, jaipong, topeng, dan pantun buhun. Dimulai dengan para sesepuh yang berziarah ke makam-makam leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor, dan Sukabumi.
  • Sapang Jadian Paré, seminggu setelah tanam padi mengadakan ritual meminta izin kepada ibu (bumi) untuk menanam padi dan meminta izin kepada Tuhan agar hasilnya bagus.
  • Paré nyiramo dan mapag paré beukah, hal ini merupakan wujud terima kasih saat padi sedang mekar dan kembali mohon ijin agar dijauhkan dari hama saat proses penanaman selanjutnya.
  • Sawenan, ritual yang dilakukan setelah bulir padi mulai keluar.
  • Mipit paré, ritual memotong padi yang bertujuan untuk mendapatkan ijin dari nenek moyang agar diberi hasil panen yang melimpah.
  • Nganyaran atau ngabukti, ritual saat padi yang telah menjadi beras akan mulai dimasak.
  • Ponggokan, ritual terakhir sebelum seren tahun diadakan. Ponggokan berarti tradisi mengikat leluhur yang biasanya digunakan untuk membahas permasalahan masyarakat dan menghitung pajak masing-masing orang. Pajak atau jiwa pada tahun 1997 adalah Rp.150, - dan rumah Rp.250, -. Ponggokan biasanya diadakan seminggu sebelum acara Seren Taun. Sedangkan tumpukan juga selalu membahas kapan Seren Tahun akan dilaksanakan.
  • Seren Taun, upacara ini merupakan puncak dari aktivitas masyarakat Ciptagelar. Biasanya selalu diadakan setiap tahun karena tradisi nenek moyang untuk mengormati dewi padi atau yang terkenal dengan nama Nyi Pohaci atau Dewi Sri.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ "Ciptagelar, Kampung Adat di Sukabumi yang Teguh Memegang Tradisi". kumparan. Diakses tanggal 2020-08-31. 
  2. ^ "Kampung Ciptagelar-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-19. Diakses tanggal 2020-08-31.