Hasan Mutawakkil 'Alallah

Kiai Hasan Mutawakkil selengkapnya Sri Raja Niti Nata Kusuma KH. Moh. Hasan Mutawakkil 'Alallah, S.H., M.M. lahir di Genggong, 22 April 1959 (umur 65) adalah seorang pengusaha, tokoh pendakwah sekaligus kholifah ke empat dari pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, Ketua Umum Majelis Ulama' Indonesia Jawa Timur dan ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama' (PWNU Jawa Timur) ini adalah Pemilik Stasiun Televisi TV9 Nusantara Yang berkedudukan Di Kota Surabaya. Ia lahir dari keluarga Pesantren pasangan KH. Hasan Saifourridzall dan Nyai Hj. Himami Hafshawaty.

Hasan Mutawakkil 'Alallah
[[Kholifah Pesantren Zainul Hasan Genggong]] 4
Mulai menjabat
13 Juni 1991
Sebelum
Pengganti
Petahana
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir22 April 1959 (umur 65)
Indonesia Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
AlmamaterUniversitas Islam Indonesia
Universitas Al-Azhar
Universitas Leiden
PekerjaanUlama
Pengusaha
ProfesiPengasuh dan Ketua Yayasan Pesantren Zainul Hasan Genggong
Ketua Yayasan Hafshawaty
Ketua(Tanfidziyah) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur
Presiden Komisaris TV9 Nusantara[1]
Situs webwww.pzhgenggong.or.id
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Ia Juga dianggap salah satu pemikir sekaligus praktisi di bidang manajemen pendidikan Islam yang telah mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan Pesantren Zainul Hasan Atas Bedirinya dua Universitas sekaligus dalam satu naungan Pesantren Genggong yaitu Universitas Zainul Hasan dan Universitas Hafshawaty Zainul Hasan.

Biografi

Hasan Mutawakil menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyukai pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits.

Pendidikan Tinggi

Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Yogyakarta. Sesampai di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas populer di belahan negara Timur Tengah itu. Sebenarnya saat menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran. Menurutnya, pelajaran yang ada di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu, terdapat nilai lebih dari pengajarnya dan adanya praktik langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris. Saat menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke Frankfurt am Main (Jerman),[2] Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tidak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang ia kunjungi. Dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata akhlak Islam ternyata ada di Barat. Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT.

Gelar dan kehormatan

Sri Raja Niti Nata Kusuma

Pada peringatan hari lahir (harlah) Majelis Ta’lim Al-Ahadi ke-64 digelar di halaman Pesantren Zainul Hasan Genggong, Ahad (10/1) siang bertepatan dengan 30 Rabiul Awal 1437 hijriah. 23 raja dan sultan yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara yang tergabung dalam Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI) didepan para jamaah Majelis Ta’lim Al-Ahadi. Para raja dan sultan memberikan sejumlah penghormatan dan penghargaan kepada para pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong. Secara bergantian, penghargaan berupa cendera mata, tali asih dan tali hati itu disematkan kepada KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, KH Moh Hasan Saiful Islam, dan Nyai Hj Diana Susilowaty.

Penyematan penghargaan tersebut dilakukan bersamaan dengan penganugerahan gelar kebangsawanan kepada tiga pengasuh Pesantren Zainul Hasan tersebut. Penobatan dipandu oleh Ketua AKKI Yang Mulia Lulu Gede Parma

Man of the year Jawa timur 2021

Seperti diketahui, bertepatan pada Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari lalu, KH. Hasan Mutawakkil Alallah, Ketua Umum MUI Jawa Timur, mendapatkan anugerah sebagai Man Of The Year Jawa Timur 2021 oleh Times Indonesia. Melalui seluler, Pengasuh dan Ketua Yayasan Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo tersebut mengungkapkan syukurnya.

“Saya tentu menyampaikan terima kasih kepada rekan rekan media atas anugerah tersebut. Kami hanya dari awal menguatkan niat bahwa saya ingin berkhidmat di MUI untuk ummat. Posisi MUI itu ada dua peran sebagai shodiqul hukumah (mitra peremintah) dan khadimul ummah (pelayan ummat). Karena itu sudah sewajarnya kami ingin terus mendampingi umat, termasuk selama pandemi Covid-19,” ujarnya setelah menerima penganugerahan ATI 2022.

Ketua Umum MUI Jatim tersebut juga menambahkan harapan atas keberadaan MUI Jatim bagi kemaslahatan masyarakat.

“Mengemban Amanah dalam MUI Jatim, bagi kami adalah penguatan tugas menjaga jiwa di masa pandemic. Hal ini bukan sebatas tugas keagamaan tapi juga tugas kebangsaan dan kemasyarakatan, utamanya juga tugas keulamaan. Oleh sebab itu, mohon kami juga didukung dalam menjaga peran kami untuk umat dan pemerintah. Semoga Allah SWT merahmati dan melindungi bangsa dan negara kita. Aamin Ya Rabbal Alamiin,” pungkasnya.

Penghargaan yang diterima oleh Ketum MUI Jatim tersebut, diapresiasi banyak pihak. Diantaranya Dr. Husnul Maram, M.H.I., Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan Ketua DPD Perempuan Tani (Pertani) HKTI Jatim, Dr. Lia Istifhama.

“Beliau (Kiai Mutawakkil) memang sangat layak mendapatkan penganugerahan tersebut. Karena beliau adalah Kyai Besar, Tokoh Agama Islam, Kyai Moderat yang bisa memberikan pengayoman kepada semua umat di Jatim dan Tokoh yang bisa diterima oleh semua Masyarakat khususnya di Jawa Timur dan umumnya di negeri Indonesia tercinta,” jelasnya.

Senada dengannya, ning Lia mengapresiasi anugerah yang diterima Kiai Mutawakkil.

“Penghargaan yang diterima oleh Kiai Mutawakkil merupakan salah satu potret ketokohan yang menjadi penguat hamonisasi, terutama antara pemerintah dengan masyarakat. Melalui kelembagaan MUI, Kiai telah turut serta mensosialisasikan kebijakan pemerintah (Gubernur Khofifah) yang bertujuan membangun kemaslahatan untuk masyarakat,” terangnya.

Referensi

  1. ^ Tof, Kompas (Senin, 1 Februari 2010). "TV9 Diresmikan Mendiknas". TANASZAHA Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2016-01-13. 
  2. ^ Amril, Amarullah (Rabu, 11 Agustus 2010). "Air Mata Kiai NU Saat Ramadan di Frankfurt". VIVA.CO.ID. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-29. Diakses tanggal 2016-01-13.