Degradasi lahan

Revisi sejak 24 November 2023 13.43 oleh Hysocc (bicara | kontrib) (Dikembalikan ke revisi 24038264 oleh JumadilM (bicara))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan.[1] Perubahan kondisi lingkungan tersebut cenderung merusak dan tidak diinginkan.[2] Bencana alam tidak termasuk faktor yang mempengaruhi degradasi lahan, tetapi beberapa bencana alam seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan merupakan hasil secara tidak langsung dari aktivitas manusia sehingga dampaknya bisa disebut sebagai degradasi lahan.

Penggembalaan hewan berlebih dapat menyebabkan degradasi lahan
Degradasi lahan serius di kawasan Karst pasca aktivitas penambangan fosfat, di Nauru
Erosi tanah pada di lahan gandum di Washington, Amerika Serikat. Awalnya tidak terlihat sebagai masalah signifikan, tetapi jika terjadi terus-menerus dapat mendegradasi nutrisi tanah

Degradasi lahan memiliki dampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan memiliki efek terhadap ketahanan pangan.[3] Diperkirakan hingga 40% lahan pertanian yang ada di dunia saat ini telah terdegradasi.[4]

Definisi Degradasi Lahan

sunting

Degradasi lahan adalah Proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya Sementara maupun tetap, dicirikan dengan penurunan Sifat fisik, kimia dan biologi (FAO 1994)[5]. Lahan terdegradasi sering disebut juga lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan umumnya ditumbuhi semak belukar. Proses degradasi lahan dimulai dengan tidak terkontrolnya konversi hutan, dan usaha pertambangan kemudian diikuti dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan pengelolaan lahan yang kurang tepat. Lahan terdegradasi baik di tanah mineral maupun gambut ini menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena rentan terhadap kebakaran di musim kemarau panjang (Wahyunto dan Dariah 2014)[6].

World Resources Institute - WRI (2012)[7] mendefinisikan Lahan terdegradasi sebagai lahan dimana dulu merupakan hutan dan telah mengalami proses degradasi akibat ditebang dan memiliki kandungan karbon dan biodiversitas yang rendah dan tidak digunakan untuk aktivitas pertanian atau kegiatan manusia. Semakin luas lahan terdegradasi akan berakibat terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan, yang mendorong peningkatan kejadian bencana alam dan semakin luasnya lahan yang tidak produktif (Nurida et al. 2018).

Istilah dan Pengertian Degradasi Lahan

sunting

Setiap kementerian dan lembaga yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan mendefiniskan degradasi lahan sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan demikian definisi degradasi lahan pada suatu dan antar kementerian/lembaga negara relatif beragam. Namun pada prinsipnya degradasi lahan disebabkan oleh tiga aspek yaitu fisik, kimia dan biologi. Menurut Nurida et al. (2018)[8] pengertian degradasi lahan dari beberapa sektor yang bidang tugasnya berkaitan dengan lahan adalah seperti berikut ini:

Sektor Pertanian

sunting

Lahan terdegradasi adalah lahan pertanian yang produktivitasnya telah menurun akibat kondisi lahan khususnya tanah permukaannya (top soil) telah memburuk. Salah satu bentuk lahan terdegradasi dikenal sebagai lahan tidur/terlantar.

Sektor Kehutanan

sunting

Lahan terdegradasi juga dikenal sebagai lahan hutan yang terlantar (abandoned land) yang cenderung menjadi open access forest land, dimana atas lahan tersebut telah diterbitkan konsesi, namun oleh berbagai sebab (termasuk pencabutan konsesi), saat ini dalam keadaan tidak dimanfaatkan atau dikuasai masyarakat untuk penggunaan lain.

Sektor Lingkungan Hidup dan Pertambangan

sunting

Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah menurun fungsinya dan berkurang kemampuannya sebagai penyedia jasa lingkungannya, kondisi tersebut diakibatkan kontaminasi lahan oleh aktivitas manusia (tambang, sampah, dan lainnya) dan kerusakan lingkungan/ekosistem aktivitas manusia (erosi, banjir, dan lainnya) dan pertambangan.

Luas Lahan Terdegradasi

sunting

Kecenderungan penurunan (degradasi) sumberdaya lahan akan semakin meningkat, sebagai dampak pertumbuhan penduduk Menurut Kementrian Kehutanan (2015)[9] luas lahan terdegradasi di Indonesia cenderung terus bertambah. Pada tahun 2015 dilaporkan telah mencapai seluas 29,8 juta ha. Data tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tercatat pada tahun 1968 luas lahan terdegradasi di Indonesia 20 juta ha, tahun sembilan puluhan sekitar 40 juta ha, dan pada tahun 2008 mencapai 77,8 ha (Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan 2011)[10]. Empat wilayah provinsi yang lahan terdegradasinya sangat luas (>3 juta ha), berturut-turut adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Utara. Adapun wilayah provinsi yang mempunyai lahan terdegradasi berat dengan luasan >1 juta ha bila diurutkan mulai dari yang paling luas adalah: Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Jambi, Aceh, Lampung, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur (Wahyunto dan Dariah 2014)[6].

Jenis degradasi lahan

sunting

Sejak berabad-abad jenis degradasi lahan yang terjadi diantaranya disebabkan oleh erosi air, angin, dan mekanis; degradasi secara kimiawi dan biologi. Empat jenis degradasi lainnya telah muncul pada abad ini, yaitu:[11]

  • pencemaran akibat aktivitas pertanian, industri, pertambangan, dan aktivitas komersial
  • hilangnya lahan yang mampu ditanami akibat pembangunan habitat manusia
  • radioaktif antropogenik, umumnya tidak disengaja
  • cekaman lahan akibat konflik bersenjata

Secara rinci ada 36 jenis degradasi lahan yang semuanya disebabkan oleh manusia.

Penyebab

sunting

Degradasi lahan merupakan masalah serius yang sebagian besar terkait dengan aktivitas pertanian. Penyebab utama termasuk:

Kepadatan populasi manusia yang tinggi tidak selalu terkait dengan degradasi lahan, melainkan praktik yang dilakukan manusia terhadap lahan yang ditempatinya. Populasi dapat mendayagunakan sekaligus melestarikan lahan jika menginginkannya tetap produktif dalam waktu lama. Hingga kini, degradasi lahan merupakan faktor utama penyebab migrasi manusia besar-besaran di Afrika dan Asia.[13]

Degradasi lahan secara luas dianggap sebagai proses di mana tanah menjadi terlalu disederhanakan dan tidak layak untuk digunakan lebih lanjut oleh populasi manusia (del Barrio et al. 2021)[14]. Pada dasarnya, degradasi lahan disebabkan oleh penggunaan atau pengelolaan lahan yang tidak tepat. Di Indonesia, penyebab utama degradasi lahan adalah tingkat erosi yang melebihi ambang toleransi. Degradasi tanah biasanya diawali dengan alih fungsi (transfer of function) penggunaan lahan kawasan hutan untuk tujuan lain. Setidaknya ada tiga faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi proses degradasi, yaitu pertumbuhan penduduk, konspirasi pengusaha dan birokrasi, serta perubahan politik yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, yang semuanya mengarah pada perubahan tata guna lahan (Suradisastra et al. 2010)[15]. Proses degradasi fisik tanah terdiri dari pemadatan dan pembentukan gumpalan tanah, pembentukan laterit tanah, erosi tanah oleh air, erosi tanah oleh angin dan kelebihan atau kekurangan air. Proses biologis lebih memperhatikan degradasi humus dan perubahan mikro dan makroflora dan fauna, proses kimia yang berkaitan dengan pengurangan kandungan nutrisi tanah, salinisasi, rembesan, akumulasi racun dan hilangnya kesuburan.

Penyebab pada Kawasan Bekas Tambang

sunting

Penurunan kondisi fisik dan kimia tanah yang terjadi pada lahan pasca tambang menunjukkan terjadinya degradasi. Kondisi fisik tanah terganggu akibat adanya pengerukan, penimbunan dan pemadatan yang dilakukan alat-alat berat. Di wilayah pertambangan, pengelolaan dan pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan persyaratan Kementerian Lingkungan Hidup dan ESDM menyebabkan degradasi tanah, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembuangan limbah dan pemulihan pertambangan. dan reboisasi. proses penambangan yang tidak sesuai dengan undang-undang menyebabkan kerusakan yang tinggi atau degradasi lahan bekas tambang meningkat (Wahyunto dan Dariah 2014)[6].

Penyebab di Kawasan Pesisir

sunting

Pada daerah pesisir, faktor yang menjadi penyebab terjadinya degradasi ialah pengalihan fungsi pesisir. Seperti kawasan mangrove yang semakin lama semakin menipis sehingga terjadi abrasi karena tidak adanya mangrove yang menahan gelombang air laut, menurut Iriadenta (2013)[16], rusaknya ekosistem mangrove berakibat pada penurunan/ hilangnya kapasitas pembentukan daratan ke arah laut oleh proses sedimentasi serta berisiko hilangnya tempat pemijahan ikan dan nursery area sehingga dapat mengganggu proses rekruitmen populasi ikan. Eksploitasi yang dilakukan secara berlebihan pada daerah pesisir juga menjadi salah satu faktor terjadinya degradasi. Pembangunan pada pesisir menyebabkan perubahan dan degradasi fisik habitat seperti yang dipaparkan oleh Baransano dan Mangimbulude (2011)[17], degradasi terjadi karena adanya konvensi hutan mangrove untuk lahan tambak, pertanian, pemukiman, pelabuhan dan industri. Terdapat beberapa kegiatan manusia yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi wilayah pantai yang pertama adalah pembukaan hutan mangrove untuk dijadikan tambak udang dan kayunya dijadikan bahan bangunan, yang kedua penggunaan plastik, kaleng, peptisida, bahan bakar untuk kebutuhan aktivitas manusia, dan yang terakhir eksploitasi sumber daya yang berlebihan (Vatria 2010)[18].

Contoh Lahan Terdegradasi pada Kawasan Bekas Tambang dan Pesisir Laut

sunting

Lahan Bekas Tambang

sunting

Ketersediaan lahan makin lama semakin menurun karena adanya alih fungsi lahan menjadi lahan tambang. Permasalahan tersebut tidak dapat di biarkan begitu saja, maka dari itu perlu adanya upaya untuk mengurangi permasalahan tersebut salah satunya yaitu dengan mengelola lahan bekas tambang menjadi lahan tutupan hijau (Hermawan 2011)[19]. Lahan bekas tambang biasanya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi dan kurang subur dikarenakan adanya bahan-bahan timbunan yang berasal dari lapisan bawah tanah, baik horizon C maupun bahan induk tanah. Hermawan (2002)[20] mengatakan penggunaan alat berat pada saat proses penambangan dan penimbunan menyebabkan lapisan tanah permukaanya menjadi padat dan menyebabkan penutupan pori-pori tanah. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar tumbuhan tidak bisa tumbuh dengan baik karena adanya pembentukan kerak dan peningkatan kekuatan tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi kering sehingga akar terbatas dalam mendapatkan air dan nutrisi (Whitemore et al. 2011)[21]. Air yang berasal dari curah hujan dan irigasi akan sulit di serap permukaan tanah karena adanya penutupan pori- pori tersebut.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan mengharuskan setiap perusahaan tambang untuk melakukan revegetasi pada lahan-lahan kritis bekas tambang. Tindakan revegetasi tersebut dilakukan dengan menanam vegetasi reklamasi pada lokasi-lokasi yang sudah selesai ditambang meskipun aktivitas pertambangan secara keseluruhan masih berjalan. Taylor et al. (2010)[22] mengatakan ada beberapa variabel yang ada pada tanah yang berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan dari tumbuhan diantaranya pH, nitrogen total, fosfor tersedia, serta kalium, kalsium, besi dan aluminium. Proses alih fungsi lahan bekas tambang menjadi hutan kembali membutuhkan tiga tahapan reklamasi. Tahapan tersebut diantaranya yaitu pemulihan fungsi lahan yang telah kritis dan rusak, peningkatan fungsi lahan kritis dan lahan rusak yang sudah dipulihkan agar menjadi lahan yang produktif dan perlu adanya peningkatan pemeliharaan fungsi lahan agar nantinya lahan tidak kembali rusak.

Pesisir Laut

sunting

Kondisi pesisir pantai biasanya biasanya riskan dengan adanya banjir rob yang kapan saja bisa terjadi. Kawasan pesisir pantai ini merupakan kawasan dengan Kondisi ancaman perubahan iklim yang cukup riskan. Kurangnya pemanfaatan pesisir pantai akan menyebabkan beberapa masalah maka dari itu dengan melihat kondisi ini kawasan pesisir pantai biasanya hanya cocok di tanami oleh beberapa jenis pohon diantaranya manggrove. Mangrove memiliki perang yang sangat penting dalam pengendalian adanya ancaman perubahan iklim diantaranya yaitu sebagai pemecah ombak sehingga sgelombang air laut tidak akan langsung menuju ke daratan (Marfai 2019)[23].

Potensi Pemanfaatan Lahan Terdegradasi

sunting

Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat material maupun spiritual yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian pemanfaatan lahan. Degradasi lahan adalah istilah yang mewakili konsep kompleks yang mengintegrasikan berbagai aspek seperti perubahan kondisi tanah, keanekaragaman hayati, produktivitas dan implikasi sosial ekonomi, dibandingkan dengan keadaan referensi (Andreade dan Overbeck 2015)[24]. Berbagai tipe pemanfaatan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing-masing tipe mempunyai karakteristik tersendiri. Ada tiga aspek kepentingan pokok dalam pemanfaatan sumberdaya lahan, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, beternak, memelihara ikan, dan sebagainya; (2) lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa; dan (3) lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia (Soerianegara 1977)[25].

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, luas minimal hutan di suatu daerah adalah 30 persen. Luas tersebut dianggap masih mampu menjaga keseimbangan alam. Kondisi hutan di Indonesia, saat ini luas areal hutan yang rusak mencapai 59,3 juta hektare. Pada saat ini luas hutan di Jawa tinggal sekitar 18 persen, padahal sepuluh tahun lalu Jawa masih 20-22 persen (Kaban 2006)[26]. Dengan demikian, luas hutan di Jawa terus mengalami penurunan, termasuk juga di wilayah Kulon Progo. Padahal, setiap lahan yang kosong akan memicu memberikan dampak erosi dan tanah longsor. Oleh sebab itu, tidak heran jika ketinggian banjir akan terus bertambah di suatu daerah. Pada musim hujan lalu, beberapa daerah di Jawa mengalami tanah longsor yang menyebabkan banyak korban jiwa.

Perubahan jumlah manusia dan bentuk kegiatannya akan mengakibatkan perubahan dalam pemanfaatan lahan dan selanjutnya akan menyebabkan perubahan dalam kualitas lingkungan. Perubahan lingkungan ini sering merupakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam sudah melampaui daya dukung lingkungan. Dampak yang sering terlihat adalah bertambahnya lahan kritis,meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi serta terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Perubahan pemanfaatan lahan ini dalam jangka pendek terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh tetapi pada sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan dengan adanya kawasan lindung/berhutan yang tidak dihitung dalam pengambilan kebijakan untuk merubah penggunaan lahan (Crook dan Clapp 1998)[27].

Sandy (1982)[28] menyatakan bahwa pola pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian yang paling luas diperuntukkan bagi Tanaman Pangan, berupa; Sawah dan Kebun/Tegalan (15,57% dan 21,29%). Pemanfaatan yang paling sedikit diperuntukkan bagi sub-sektor perikanan, berupa kolam dan tambak 1,17%). Lahan sawah dengan pola pengairan irigasi teknis dan semi-teknis sebagian besar terdapat di Pulau Jawa (Bali) dan sebagian Sumatera dan Sulawesi. Daerah sawah merupakan andalan utama bagi supply pangan secara nasional. Produksi yang relatif tinggi dibandingkan tipe lahan lainnya, menjadi alasan mengapa jenis lahan tersebut menjadi andalan produksi beras nasional.

Bentuk Pemanfaatan Lahan Terdegradasi : Ecotourism, Education dan Economic

sunting

Dampak degradasi lahan yang dibiarkan begitu saja dapat dimanfaatkan dengan berbagai cara seperti ecotourism, education dan economic. Menurut Harini et al. (2014)[29] Ekowisata atau ecotourism adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami yang didalamnya melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam. Pemanfaatan ecotourism dapat berupa pembukaan kawasan wisata mangrove di daerah yang terkena dampak abrasi dan lahan bekas tambang yang bisa dimanfaatkan untuk geotourism. Ecotourism sangat penting karena dalam pengembangannya memperhatikan keberlanjutan lingkungan selain itu ecotourism sangat bekaitan dengan aspek sosial dan aspek ekonomi sehingga menjadi suatu dimensi yang saling berhubungan (Almeyda et al. 2010)[30]. Kegiatan ecotourism ini dapat dibarengi dengan edukasi bagi pengunjung dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga perekonomian warga bisa meningkat. Hal tersebut merupakan salah satu upaya ekowisata yaitu mentransfer ilmu pengetahuan kepada pengunjung dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan, pembangunan dan operasional kegiatan wisata (Sugiarto 2016)[31].

Contoh kegiatan edukasi yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian materi mengenai pemanfaatan kawasan yang dilakukan, pemberian informasi mengenai sumberdaya yang ada serta kegiatan-kegiatan pelatihan kerajinan. Kegiatan edukasi ini diharapakan menjadi kegiatan yang berkelanjutan dan bukan hanya kegiatan selingan saja. . Kegiatan ekonomi masyarakat sekitar juga dapat ditingkatkan melalui menjual souvenir dan jasa tour guide. Sebelum itu masyrakat diberikan pelatihan dalam pembuatan buah tangan atau public speaking serta informasi-informasi yang dapat menginterpretasikan kawasan tersebut. Namun dalam penerapannya, diperlukan lembaga yang menaungi masyarakat sehingga semua kegiatan tertata dengan baik dalam kata lain tidak ada kegiatan yang bersifat liar sehingga rasa aman dan nyaman dapat dirasakan oleh masyarakat maupun pengunjung yang datang (Sutiarso et al. 2018)[32]. Ketiga cara pemanfaatan ini diharapakan dapat berjalan dan saling berhubungan satu sama lain. Maka dari itu perlu dilakukan kegiatan evaluasi yang rutin secara berkala. Hasil evaluasi ini nantinya dapat digunakan untuk pengembangan kawasan kembali sehingga pengembangan yang dilakukan akan lebih optimal (Munthe 2015)[33].

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Conacher, Arthur (1995). Rural Land Degradation in Australia. South Melbourne, Victoria: Oxford University Press Australia. hlm. 2. ISBN 0-19-553436-0. 
  2. ^ Johnson, D.L., S.H. Ambrose, T.J. Bassett, M.L. Bowen, D.E. Crummey, J.S. Isaacson, D.N. Johnson, P. Lamb, M. Saul, and A.E. Winter-Nelson. 1997. Meanings of environmental terms. Journal of Environmental Quality 26: 581-589.
  3. ^ Eswaran, H. (2001). Land degradation: an overview. New Delhi, India: Oxford Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-20. Diakses tanggal 2012-02-05. 
  4. ^ Ian Sample (2007-08-31). "Global food crisis looms as climate change and population growth strip fertile land". The Guardian. Diakses tanggal 2008-07-23. 
  5. ^ FAO. 1994. Land degradation in South Asia, its severity, Causes, and effects upon the people. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.
  6. ^ a b c Wahyunto, Dariah A. 2014. Degradasi lahan di Indonesia: kondisi existing, karakteristik, dan penyeragaman definisi mendukung gerakan menuju satu peta. Jurnal Sumberdaya Lahan. 8(2): 81-93.
  7. ^ World Resources Institute (WRI). 2012. How to Identify Degraded Land for Sustainable Palm Oil in Indonesia. WRI/Sekala Working Paper. April 2012. World Resources Institute and Sekala, Woshington D.C. USA.
  8. ^ Nurida N L, Mulyani A, Widiastuti F, Agus F. Potensi dan model agroforestri untuk rehabilitasi lahan di Kabupaten Berau, Paser, dan Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Tanah dan Iklim. 42(1): 13-26.
  9. ^ Kementerian Kehutanan. 2015. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: SK.4/V-DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013. Jakarta.
  10. ^ Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan. 2011. UNCCD Asia Pacific Regional Consultation Meeting Prepatory to COP-10 di Bali pada tanggal 14 September 2011.
  11. ^ Brabant Pierre, 2010. A land degradation assessment and mapping method. A standard guideline proposal Diarsipkan 2017-07-07 di Wayback Machine.. Les dossiers thématiques du CSFD. N°8. November 2010. CSFD/Agropolis International, Montpellier, France. 52 pp.
  12. ^ ILRI (1989), Effectiveness and Social/Environmental Impacts of Irrigation Projects: a Review (PDF), In: Annual Report 1988 of the International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), Wageningen, The Netherlands, hlm. 18–34 
  13. ^ Terminski, Bogumil, Towards Recognition and Protection of Forced Environmental Migrants in the Public International Law: Refugee or IDPs Umbrella (December 1, 2011). Policy Studies Organization (PSO) Summit, December 2011
  14. ^ Del Barrio G, Sanjuán ME, Martínez-Valderrama J, Ruiz A, Puigdefábregas J. 2021. Land degradation means a loss of management options. J Arid Environ. 189(March):1–10. doi:10.1016/j.jaridenv.2021.104502.
  15. ^ Suradisastra K, Pasaribu SM, Sayaka B, Dariah A, Las I, Haryono, Pasandaran E. 2010. Membalik kecenderungan degradasi sumber daya lahan dan air. Bogor : IPB Press.
  16. ^ Iriadenta E. 2013. Degradasi ekosistem rawa pesisir di kec. Jorong Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Fish scientiae. 4(6) : 157-170.
  17. ^ Baransano HK, Mangimbulude JC. 2011. Eksploitasi dan konservasi sumberdaya hayati laut dan pesisir di Indonesia. Jurnal biologi papua. 3(1): 39-45.
  18. ^ Vatria B. 2010. Berbagai kegiatan manusia yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem pantai serta dampak yang ditimbulkannya. Jurnal Belian. 9(1) : 47-54.
  19. ^ Hermawan B. 2011. Peningkatan Kualitas Lahan Bekas Tambang melalui Revegetasi dan Kesesuaiannya Sebagai Lahan Pertanian Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian | Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
  20. ^ Hermawan B. 2002. Buku Ajar Dasar-dasar Fisika Tanah. Bengkulu : Lemlit UB Press.
  21. ^ Whitmore AP, Whalley WR, Bird NRA, Watts CW, Gregory AS. 2011. Estimating soil strength in the rooting zone of wheat. J Plant Soil. 33(9): 363–375
  22. ^ Taylor MD, Kim ND, Hill RB, Chapman R. 2010. A review of soil quality indicators and five key issues after 12 yr soil quality monitoring in the Waikato region. Soil Use and Management .26: 212–224.
  23. ^ Marfai MA. 2019. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogjakarta : Universitas Gajah Mada Press.
  24. ^ Andrade OB, Overbeck GE. 2015. Grassland degradation and restoration: a conceptual framework of stages and thresholds illustrated by southern Brazilian grasslands. Natureza & Conservacao. 13: 95-104.
  25. ^ Soerianegara I. 1977. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
  26. ^ Kaban MS. 2006. “Hutan di Pulau Jawa Tinggal 18% Menhut, “Penyelamatannya Harus Gerak Cepat”. Harian Pikiran Rakyat Bandung, 7 April 2006.
  27. ^ Crook, C, Clapp R. 1998. Is market-oriented forest conservation a contradiction interms Environmental Conservation. Foundation for Environmental Conservation. 25 (2) 131-145.
  28. ^ Sandy IM. 1982. DAS, Ekosistem, Penggunaan Tanah. Proceedings Lokakarya Pengelolaan Terpadu DAS di Indonesia. Bogor.
  29. ^ Harini MEKS, Rachmawati E, Meilani R, Mardiastuti A, Rushayati SB, Sunkar A, Kosmaryandi N. 2014. Rekreasi Alam Dan Ekowista. Bogor : IPB Press.
  30. ^ Ameldya AM, Broadbent EN, Wyman MS, Durham WH. 2010. Ecotourism impact in the Nicoya Peninsula, Costa Rica. International Journal of Tourism Research. 12 : 803 – 819.
  31. ^ Sugiarto E. 2016. Pengantar Ekowisata. Yogjakarta : Khitah Publishing.
  32. ^ Sutiarto MA, Arcana KTP, Juliantari NPE, Gunantara IMB. 2018. Strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya di Desa Selumbung, Karangasem. J Pariwisata Budaya. 3(2) : 15 - 23.
  33. ^ Munthe AP. 2015. Pentingnya evaluasi program di institusi pendidikan: sebuah pengantar, pengertian, tujuan dan manfaat. J Scholaria. 5(2) : 1 - 14.

Bahan bacaan terkait

sunting