Suriname
Republik Suriname (Surinam) adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis di timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik. Suriname ini disebut sebagai "Indonesia Sebelah Barat".
Republiek Suriname | |
---|---|
Ibu kota | Paramaribo |
Bahasa resmi | Belanda |
Pemerintahan | Republik |
Kemerdekaan | |
1,1% | |
Populasi | |
- Perkiraan 2005 | 438.144 (163) |
- Sensus Penduduk 2004 | 487.024 |
PDB (KKB) | 2005 |
- Total | US$2.812.000.000 (161) |
6.025 (98) | |
Mata uang | Dolar Suriname ( SRD ) |
Zona waktu | ART (UTC-3) |
- Musim panas (DST) | UTC-3 (tidak ada) |
Kode telepon | 597 |
Kode ISO 3166 | SR |
Ranah Internet | .sr |
Di Suriname tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia-Belanda antara tahun 1890 - 1939.
Sejarah Singkat
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke 15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazone, Sungai Rio Negro, Sungai Cassiquiare dan Sungai Orinoco. Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Karibania (Guyana yang berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak sungai dan Karibania dari kata Caribs yaitu nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut).
Dalam suatu cerita fiktif “El Dorado”, Guyana digambarkan sebagai suatu wilayah yang kaya akan kandungan emas. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa cerita fiktif tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasai Guyana.
Pada tahun 1449 pelaut Spanyol, Alonzo de Hojeda dan Juan de la Cosa berlayar menyusuri pantai timur laut Amerika Selatan, yang saat itu mereka sebut Wild Coast, dan mendarat di wilayah Guyana. Vincent Juan Pinzon kemudian menguasai Guyana atas nama Raja Spanyol. Selama abad ke 16 dan 17, Guyana dikuasai secara silih berganti oleh Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis dan Portugal.
Pada tahun 1530 Belanda mendirikan pusat perdagangan pertama di dataran tersebut. Pada tahun 1593 raja Spanyol mengambil alih dan menguasai Guyana hingga tahun 1595, yaitu ketika para bangsawan Inggris datang dan mulai mengusai daerah-daerah pantai. Sementara itu, Belanda mulai mengembangkan perdagangannya secara bertahap di daerah pedalaman. Daerah Guyana sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris sejak tahun 1630 hingga tahun 1639.
Pada tahun yang sama Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar Guyana sedangkan Perancis menguasai daerah-daerah di samping sungai Suriname. Akibat dari persaingan tersebut, wilayah Guyana saat ini terbagi menjadi lima bagian yaitu Guyana Espanola (bagian dari Venezuela sekarang); Inglesa (Guyana sekarang); Holandesa (Suriname); Francesa (Cayenne) dan Portuguesa (bagian dari wilayah Brazil). Suriname terletak di bagian tengah dari wilayah Guyana yang telah terbagi-bagi tersebut, terbentang antara dua derajad hingga enam derajad Lintang Utara, dan antara 54 derajad hingga 58 derajad Bujur Barat dengan luas wilayah kurang lebih 163.265 kilometer persegi. Batas bagian timur wilayah Suriname adalah Sungai Marowijne yang memisahkan Suriname dengan Cayenne; di bagian selatan terdapat deretan pegunungan Acarai dan Toemoe hoemak yang memisahkan Suriname dengan wilayah Brazil. Di bagian barat berbatasan dengan wilayah Guyana yang ditandai oleh aliran Sungai Corantijne, sementara di bagian utara dibatasi oleh garis pantai Samudera Atlantik.
Pada tahun 1651 Suriname diserang oleh Inggris dan sejak saat itu, menjadi wilayah kekuasaan Inggris hingga penandatanganan perjanjian perdamaian Breda tahun 1667. Berdasarkan perjanjian itu, Suriname menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Namun Inggris kembali memasuki Suriname pada tahun 1781 hingga 1783 dan Suriname kemudian dijadikan daerah protektorat Inggris dari tahun 1799 hingga 1802. Melalui perjanjian Amiens, 27 Maret 1802, Suriname, Barbice, Demerara dan Essquibo berada di bawah kekuasaan Belanda, namun setahun kemudian Inggris kembali merebut wilayah-wilayah itu dan sejak tahun 1804 Suriname menjadi koloni Inggris dengan sebutan the British Interregnum.
Selama Suriname berada di bawah kekuasaan Inggris, situasi ekonomi Suriname mengalami kemunduran. Penyebab utama adalah pelarangan perdagangan budak, sementara kebun - kebun masih sangat memerlukan tenaga buruh untuk dikelola. Selanjutnya melalui perjanjian London pada tanggal 13 Agustus 1814 dan diratifikasi dalam perjanjian Viena, Suriname dikembalikan lagi kepada pihak Belanda. Pemerintahan Suriname dipimpin langsung oleh seorang gubernur dengan didampingi oleh sebuah dewan kepolisian yang bertugas sebagai penasehat gubernur.
Dengan dihapusnya perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, kehidupan ekonomi semakin tidak menentu. Pada tahun 1870, pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian ini diimplementasikan secara resmi pada tahun 1873 sampai 1914, di mana rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan. Kedatangan rombongan berikutnya adalah para imigran dari Jawa pada tahun 1890.
Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan pula dalam beberapa bidang lainnya. Telekomunikasi, pembuatan jalan raya dan pembukaan jalur hubungan laut langsung antara Suriname dan Belanda merupakan contoh.
Pecahnya perang dunia pertama tidak mempengaruhi situasi ekonomi-politik Suriname. Pada tanggal 15 Desember 1954, pemerintah Belanda bersama beberapa wakil dari Suriname menandatangani sebuah memorandum yang isinya rencana pengakhiran penjajahan. Dalam sebuah konferensi meja bundar pada tahun 1961, para wakil Suriname yang dipimpin oleh Perdana Menteri Pengel menuntut dibentuknya sebuah pemerintahan sendiri. Tuntutan itu semakin menjadi setelah didirikannya beberapa parpol yang dibentuk pada dasawarsa itu, semakin gencar menyampaikan tuntutan agar Suriname diberikan kebebasan penuh secepatnya.
Tuntutan ini ditanggapi secara serius dengan diadakannya sebuah konferensi di Belanda pada tahun 1970. Konferensi ini diadakan untuk membicarakan persiapan pelepasan Suriname sekaligus menyusun kabinet yang terdiri dari wakil-wakil partai. Suriname selanjutnya menjadi negara merdeka sejak tanggal 25 Nopember 1975. Walaupun demikian, perekonomian negara yang baru merdeka ini tetap sangat tergantung pada bantuan pembangunan Belanda.
Pada tanggal 25 Pebruari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya, Suriname diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer. Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Situasi menjadi semakin panas dengan tampilnya penduduk suku Bushnegro dan Amerindian yang tinggal di daerah-daerah pedalaman, sebagai penentang utama kekuasaan militer. Sekitar 35.000 penduduk Bushnegro dan 6500 Amerindian telah menjadi pelaku utama pemberontakan terhadap penguasa militer.
Kelompok-kelompok militan dari kedua golongan itu adalah kelompok Mandela (Bushnegro) di bawah pimpinan mantan anggota militer Ronny Bruswijk dan kelompok Tukayana Amazones (Amerindian). Sebagai reaksi terhadap pemberontakan tersebut, pada tanggal 8 Desember 1982 pihak militer melakukan penembakan terhadap 15 tokoh demonstran.
Peristiwa ini telah mengakibatkan dihentikannya bantuan pembangunan Belanda kepada Suriname, yang berdampak semakin buruknya kondisi perekonomian Suriname. Puncak dari konflik bersenjata tersebut terjadi pada tahun 1986, yaitu ketika Pihak Militer terpaksa harus berhadapan dengan pemberontak Bushnegro yang telah bersatu dan menamakan dirinya Jungle Commando. Sementara itu, dalam tahun yang sama kelompok Amerindian juga meningkatkan aksi pemberontakannya. Kemelut ini telah mengakibatkan sekitar 7000 orang Bushnegro melarikan diri ke Cayenne (Guyana Perancis) dan meminta suaka politik kepada pemerintah setempat.
Pemerintah militer diakhiri dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan Nopember 1987, yang telah mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada golongan sipil. Namun demikian, pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama. Pada bulan Desember 1990, pihak militer kembali melancarkan kudeta tidak berdarah yang dikenal dengan sebutan Kudeta Telepon. Akibatnya pemerintah yang demokratis kembali lumpuh. Pihak militer kemudian membentuk Pemerintah Sementara yang salah satu tugasnya adalah mempersiapkan Pemilihan Umum yang demokratis.
Pada bulan Mei 1991, Pemerintah Sementara telah berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan militer, karena kemenangan berada di tangan golongan sipil.
Pada bulan September tahun yang sama, telah terbentuk pemerintah yang baru, dan Drs. R.R. Venetiaan terpilih sebagai Presiden dan dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan militer.
Langkah terpenting yang segera diupayakan oleh Pemerintah Venetiaan adalah melanjutkan usaha-usaha ke arah perdamaian yang telah dirintis oleh pemerintah sipil sebelumnya. Hal ini tentunya merupakan tugas berat bagi pemerintah yang baru terbentuk tersebut, terutama karena kondisi ekonomi dan keuangan Suriname yang sangat memprihatinkan, sebagai akibat dari kemelut politik yang berkepanjangan. Dalam melaksanakan upaya perdamaian tersebut, Presiden R.R. Venetiaan telah membentuk suatu Komisi Khusus yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi terkait lainnya.
Dalam Pemilu bulan Mei 1996 koalisi penguasa New Front (NF) dan Presiden Venetiaan mengalami kekalahan dan pemerintahannya digantikan oleh calon dari oposisi Drs. Jules Wijdenbosch Nationale Demokratische Partij (NDP) dan Radakishun Vooruitstrevende Hervorming Partij (VHP), yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 25 Mei 2000, kekuasaan berhasil diraih kembali oleh kombinasi pengusa New Front yang terdiri dari parpol Nationale Partij Suriname (NPS), VHP, Pertjajah Luhur dan Surinaamse Partij van de Arbeid (SPA). Kemenangan New Front ini mengantarkan kembali R.R. Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi kepresidenan dan memimpin Suriname untuk masa 5 tahun (tahun 2000 - 2005). Sebagai Wakil Presiden telah terpilih Jules Rattankoemar Ajodhia dari partai VHP.
Demografi
Populasi Suriname terdiri dari beberapa grup minoritas. Grup terbesarnya adalah Hindustani, turunan dari imigran abad ke-19 dari India, sekitar 37% dari populasi. Kreol, campuran antara kulit putih dan hitam membentuk sekitar 31 persen, suku Jawa (yang "diangkut" ke sana dari Hindia-Belanda) dan Maroon (turunan dari budak Afrika yang kabur) membentuk 15 dan 10 persen, beurutan. Sisanya merupakan Indian-Amerika, Tionghoa dan kulit putih. Komunitas Yahudi yang kecil yang terdiri dari beberapa keluarga, turunan dari kaum Sefardim yang dulunya lari dari Iberia ke Belanda, juga tinggal di negara ini.
Karena banyaknya kelompok etnis di negara ini, tidak ada agama utama di sini. Kebanyakan Hindustani beragama Hindu, tetapi Islam dan Kristen juga tersebar luas. Kristen merupakan agama dominan dalam kalangan Kreol dan Maroon.
Bahasa Belanda merupakan bahasa resmi di Suriname. Orang Suriname juga berbicara bahasa mereka: Sranang Tongo, bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan lainnya. Dan juga bahasa asal bahasa Karibia dan bahasa Arawakan, orang Indian Suriname juga bicara bahasa mereka sendiri. Sebagai tambahan bahasa Inggris juga digunakan luas, terutama dalam fasilitas dan toko yang berorientasi turis.
Jumlah Penduduk
Berdasarkan data statistik dari biro Pusat Administrasi Kependudukan Suriname, jumlah penduduk Suriname pada sensus tahun 2003 tercatat 481.146 orang dengan rata–rata pertumbuhan penduduk 1,3 %, di samping orang asing antara lain : Brasil ( ± 45.000), Guyana ( ± 40.000) dan lain-lain (Caribea, Venezuela, Columbia dan lain-lain ± 10.000)
Etnis Suku
Berdasarkan Sensus Tahun 1990, sekitar 143.640 orang (34,2%) adalah keturunan India, 140.700 orang (33,5%) adalah Kreol, 74.760 orang (17,8%) adalah keturunan Jawa, 35.700 orang (8,5%) merupakan keturunan Bushnegro dan 7.560 orang (1,8%) adalah Amerindian. Sisanya 17.640 orang (4,2%) merupakan keturunan Cina, Eropa dan Lebanon .
Lambang Negara
Lambang negara Suriname digambarkan dalam bentuk dua orang Amer-Indian yang memegang busur panah dan mengapit sebuah perisai berbentuk oval, berdiri di atas pita dengan tulisan Justitia Pietas, Fides.
Tergambar dalam perisai tersebut, di sisi kiri sebuah kapal layar dan di sisi sebelah kanan sebuah pohon sejenis palm. Kedua gambar tersebut dipisahkan oleh garis vertikal mengikat sebuah segi empat belah ketupat tepat di tengah perisai, dan di dalam segi empat belah ketupat tersebut tergambar bintang segi lima.
Topografis
Daratannya dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
- Daerah pesisir/pantai
Daerah pesisir / pantai muda, terbentuk dari tanah liat yang pekat, antara pasir pantai dan gugusan karang yang terletak di bawah permukaan laut. Sedangkan pantai tua sebagian besar wilayahnya terletak di atas permukaan laut. Kedua daerah ini, sejak diperkenalkannya sistim “polder“ dan pompanisasi, berkembang menjadi daerah pertanian subur dan wilayah pemukiman penduduk. Namun 2 tahun belakangan ini, lahan-lahan pertanian tersebut banyak yang terlantar akibat krisis keuangan untuk pengelolaan sistem irigasi yang bergantung kepada pompa.
- Daerah Savana
Daerah Savana merupakan daerah yang tertutup pasir dan sangat gersang. Di daerah ini hanya tumbuh jenis rumput-rumput tertentu.
- Daerah dataran tinggi
Daerah dataran tinggi, terletak di sebelah selatan, sepanjang perbatasan dengan wilayah Brazil. Sebagian besar daerah ini tertutup oleh hutan tropis yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi (kayu keras).
Lebih dari 80 % tanah Suriname masih berupa hutan belukar yang di dalamnya hidup berbagai jenis/species tumbuhan dan satwa. Suriname terkenal kaya akan jenis floranya. Di lain jenis tumbuhan yang terkenal adalah jenis kayu keras seperti Bruinhard, Purplehard dan Zwartekabes. Kayu–kayu tersebut diekspor dan merupakan sumber devisa negara yang sangat penting. Di samping itu, Suriname juga terkenal dengan berbagai jenis satwa, baik yang sudah diternakkan maupun yang masih merupakan binatang liar.
Sejarah
Sejarah Orang Jawa di Suriname
Adanya orang Jawa di Suriname ini tak dapat dilepaskan dari adanya perkebunan-perkebunan yang dibuka di sana. Karena tak diperbolehkannya perbudakan di sana, dan orang-orang keturunan Afrika dibebaskan dari perbudakan. Di akhir 1800an Belanda mulai mendatangkan para kuli kontrak asal Jawa, India dan Tiongkok. Orang Jawa awalnya ditempatkan di Suriname tahun 1880-an dan dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah Suriname.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, Batak, dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Orang Jawa menyebar di Suriname, sampai ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari, ada lagi yang berkumpul di Marienburg. Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya Bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah 'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia, dan hanya sedikit orang-orang yang bisa kembali, itu saja malahan di tanah Sumatra dan daerah-daerah Indonesia lainnya. Kemudian, di tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada yang beragama lain namun sedikit.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah.
Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.
Lihat pula
Pranala luar
- (Belanda) Situs Kabinet