Sumpah Palapa
Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).[1]
Isi sumpah
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi:[2]
Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya:
[Akhirnya] Gajah Mada menjadi patih mangkubumi, [tetapi] tidak ingin amukti palapa. Gajah Mada [bersumpah], "Jika sudah takluk Nusantara, [maka] aku amukti palapa. Jika [sudah] takluk Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku amukti palapa".
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Arti nama-nama tempat
Berikut arti nama-nama tempat yang dimaksud dalam Sumpah Palapa:[3]
- Gurun = Kerajaan Gurun, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
- Seran = Pulau Seram, pulau besar Maluku
- Tanjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
- Haru = Kerajaan Aru, Kabupaten Karo, Sumatera Utara
- Pahang = Pahang, Malaysia
- Dompo = Kerajaan Dompo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat
- Bali = Pulau Bali
- Sunda = Kerajaan Sunda
- Palembang = Palembang
- Tumasik = Singapura
Arti amukti palapa
Petrus Josephus Zoetmulder memaknai amukti palapa sebagai "menikmati suatu keadaan dimana segalanya bisa diambil", atau secara sederhana "menikmati kesenangan"; sedangkan menurut Slamet Muljana bermakna "menikmati istirahat".[2]
Akhir Karir
Sumpah Palapa diikrarkan oleh Gajah Mada ketika ia dilantik sebagai Patih kerajaan Majapahit pada tahun 1331 M. Intisari sumpah tersebut adalah bahwa Gajah Mada bersumpah untuk tidak akan makan palapa (semacam jenis rempah-rempah yang manis), tidak juga bersenang-senang atau beristirahat sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah kekuasaan Majapahit.
Upaya terakhirnya yaitu dengan upaya penyatuan, melalui perkawinan antara Raja Hayam Wuruk dengan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda.
Namun upaya tersebut gagal dan ditandai dengan tragedi Bubat. Tragedi tersebut yaitu peristiwa tewasnya rombongan pengantin Sunda akibat penyerangan oleh pasukan Gajah Mada sebagai Patih Majapahit yang terjadi pada 1357 M di Bubat.
Tragedi ini menewaskan Raja Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi. Peristiwa ini disebutkan dalam naskah kuno seperti Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Carita Parahyangan, dan Serat Keraton. Tragedi inilah yang menandai kegagalan Gajah Mada dalam memenuhi Sumpah Palapa yang diikrarkannya.
Sumpah Palapa sebagaimana juga Perang Bubat disinggung di dalam salah satu pupuh Pararaton, tarikh Jawa dari abad ke-15. Jati diri penulisnya tidak diketahui.
Pararaton disusun dalam bentuk catatan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1474–1486, sementara bagian sastrawinya disusun sebagai uraian sejarah antara tahun 1500–1613. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1896 oleh J.L.A. Brandes, seorang filolog Belanda, lengkap dengan terjemahan, keterangan, dan ulasan.
Beberapa sejarawan mempertanyakan keaslian Pararaton, serta berpendapat bahwa Kidung Sunda hanyalah sebuah novel fiksi kuno dan Perang Bubat tidak pernah terjadi.
Demi merukunkan beragam kajian ini, penting untuk dipahami bahwa Nagarakretagama adalah sebuah pujasastra. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto memaparkan di dalam Sejarah Nasional Indonesia II bahwa "peristiwa ini tampaknya sengaja dikesampingkan Prapanca dalam Nagarakretagama, karena tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politis Gajah Mada untuk menundukkan orang Sunda."
Menurut tradisi, wafatnya Dyah Pitaloka ditangisi oleh Hayam Wuruk dan seluruh penduduk kerajaan Sunda yang telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaannya.
Kemudian, raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, sepupunya sendiri. Perbuatan Pitaloka dan keberanian ayahnya dipuja sebagai tindakan mulia kehormatan, keberanian dan martabat dalam tradisi Sunda.
Ayahnya, Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dipuja oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi (Sunda: raja dengan aroma yang menyenangkan) karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit.
Keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut Siliwangi (Sunda: penerus Wangi).
Gajah Mada menghadapi tentangan, ketidakpercayaan dan ejekan di istana Majapahit karena tindakannya yang ceroboh, yang tidak sesuai selera para bangsawan Majapahit, telah mempermalukan martabat Majapahit, dan merusak pengaruh raja Hayam Wuruk.
Peristiwa malang ini juga menandai berakhirnya karir Gajah Mada, karena tidak lama setelah peristiwa ini, raja memaksa Gajah Mada untuk pensiun dini melalui pemberian sebidang tanah di Madakaripura (hari ini Probolinggo), sehingga diasingkan jauh dari urusan istana ibu kota.
Sumber berita Gajah mada dengan Sumpah Palapa untuk menaklukan Kerajaan Sunda termuat dalam Kidung Sunda.
Kidung Sunda ditulis dalam 3 pupuh, berbahasa Jawa pertengahan, yang berasal dari Bali bukan dari Sunda dan ditemukan di Bali.
Pupuh I berisi kisah Hayam Wuruk yang mencari permaisuri dan tentang putri Sunda yang melakukan bunuh diri setelah seluruh rombongan Sunda mati belapati membela kehormatan dalam Perang Bubat.
Pupuh II berisi kisah Perang Bubat antara rombongan pengiring pengantin dari Sunda dan pasukan Majapahit.
Pupuh III berisi tentang Hayam Wuruk yang meratapi putri Sunda karena melakukan bunuh diri.
Rombongan kerajaan Sunda bertempur habis-habisan walau tanpa bekal alat perlengkapan berperang, bela pati melakukan puputan demi membela kehormatan mereka di Lapangan Bubat.
Meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, rombongan kerajaan Sunda akhirnya gugur dalam kepungan tentara Majapahit. Hampir seluruh rombongan kerajaan Sunda tewas dalam tragedi ini.
Tradisi dan kisah-kisah lokal menyebutkan bahwa dalam kesedihan dan hati yang remuk redam, Sang Putri melakukan bunuh diri untuk membela kehormatan dan harga diri negaranya.
Bubat
Mengutip buku 'Perang Bubat 1279 Saka: Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit' yang ditulis Sri Wintala Achmad, perang itu terjadi di sebuah padang rumput di sebelah utara kerajaan yang biasanya digunakan untuk acara olah raga tahunan.
Menurut naskah tersebut, Bubat merupakan pelabuhan sungai di ibu kota Kerajaan Majapahit. Dengan demikian Bubat merupakan tempat bertemunya para pedagang yang berniaga di Majapahit.
Nigel Bullough, seorang naturalis asal Inggris yang berganti nama menjadi Hadi Sidomulya, menyebut dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca bahwa Bubat berada di selatan Kali Brantas.
Kemungkinan besar lokasinya berada di Desa Tempuran, yang dahulu terletak 10 kilometer di sebelah utara Kerajaan Majapahit dan sekitar 8 kilometer barat daya pelabuhan di Canggu.
Sumber lain menyebut, Bubat terletak di Desa Trowulan, Mojokerto. Tempat tersebut difungsikan oleh Gajah Mada untuk mengatur pasukan Majapahit. Selain itu, tempat tersebut semula digunakan untuk pelaksanaan upacara Sradah, saat raja Majapahit dan raja bawahan berkumpul.
Keberadaan Bubat sebagai tempat nyata pada masa lampau dikuatkan oleh Catatan Perjalanan Bujangga Manik, seorang pangeran Pajajaran, petualang alam dan penjelajah dari Kerajaan Sunda abad 15 masehi.
Dalam catatan perjalanan itu yang tersimpan di salah satu Perpustakaan di negara Inggris, Bujangga Manik mengunjungi ibu kota Kerajaan Majapahit. Lapangan Bubat disebutnya menjadi petunjuk kuat keberadaan dirinya sesudah melewati empat daerah selepas dari Kali Brantas.
Selepas Jombang, ia berjalan ke timur hingga mencapai Trowulan dan di sana ia tinggal di Bubat. Dari Bubat, Bujangga Manik ini berjalan menuju Manguntur. Di wilayah kotaraja Majapahit, ia mencatat nama-nama Darma Anar, Karang Kajraman, Karang Jaka, dan Palintahan.
Dari nama-nama itu, hanya Palintahan yang memiliki petunjuk sebagai Plintahan, nama wilayah di tenggara Gunung Penanggungan atau sering disebut pawitra.
Lihat pula
Referensi
- ^ Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diakses tanggal 5 February 2015.
- ^ a b Purwanto, Heri (2023). Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit. Tangerang Selatan: Javanica. ISBN 978-623-98438-4-7.
- ^ "Bakamla Akan Kunjungi Titik Maritim yang Terucap di Sumpah Palapa Patih Gajah Mada". Badan Keamanan Laut Republik Indonesia. 26 Mei 2015. Diakses tanggal 26 Maret 2020.