Soedharmono

Wakil Presiden Indonesia ke-5 (1988–1993)

Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. Soedharmono, S.H. (12 Maret 1927 – 25 Januari 2006) adalah Wakil Presiden Indonesia kelima yang menjabat selama periode 1988–1993 mendampingi Soeharto.

Soedharmono
Sudharmono
Wakil Presiden Indonesia ke-5
Masa jabatan
11 Maret 1988 – 11 Maret 1993
PresidenSoeharto
Menteri Sekretaris Negara Indonesia ke-4
Masa jabatan
8 April 1972 – 21 Maret 1988
PresidenSoeharto
Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-18
Masa jabatan
1 Oktober 1982 – 19 Maret 1983
PresidenSoeharto
Ketua Umum Partai Golongan Karya ke-4
Masa jabatan
1983–1988
Sebelum
Pendahulu
Amir Murtono
Pengganti
Wahono
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1927-03-12)12 Maret 1927
Cerme, Gresik, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal25 Januari 2006(2006-01-25) (umur 78)
Jakarta, Indonesia
Partai politikPartai Golongan Karya
Suami/istriEmma Norma
Orang tua
  • Soepijo Wirodiredjo (ayah)
  • Raden Nganten Sukarsi (ibu)
ProfesiMiliter
Tanda tangan
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1945–1968
Pangkat Letnan Jenderal
NRP16078[1]
Komando
  • Divisi Ronggolawe
  • Komando Operasi Tertinggi (KOTI)
Pertempuran/perang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

Awal kehidupan

Lahir di Cerme, Gresik pada tanggal 12 Maret 1927, Ia adalah anak dari Soepijo Wirodiredjo, yang merupakan anak seorang carik atau sekretaris Desa. Sedang ibunya bernama Raden Nganten Sukarsi yang merupakan putri asisten wedana.

Ayahnya mengawali karier menjadi pegawai magang di kantor Kecamatan. Saat itulah Soepijo bertemu dengan Sukarsi. Waktu bertemu, Sukarsi adalah seorang janda karena suami terdahulu meninggal dunia. Cinta Soepijo dan Sukarsi akhirnya menjalin cinta dan menikah. Soepijo lalu diterima kerja menjadi juru tulis di Kecamatan Cerme, Gresik. Di sinilah pada tahun 1927 Sudharmono lahir. Kakaknya, Mbak Siti, lahir pada tahun 1924. Dan kakak tertuanya, Mas Sunar yang lahir pada tahun 1921. Ketika ia berusia 2 tahun, sang ayah dipindah ke Tuban menjadi juru tulis di Kepatihan (Wakil Bupati). Tapi di Tuban inilah sang ibu meninggal dunia saat melahirkan anak keempat. ia sudah menjadi yatim piatu dari kecil. Ibunya Soekarsi meninggal ketika melahirkan adik bungsu Soedharmono (1930). Ayahnya R. Wiroredjo meninggal 6 bulan kemudian karena sakit. beberapa bulan kemudian saat dirawat di Surabaya.

Masa kecil

Masa kecil sering berpindah-pindah tempat tinggal karena sudah yatim piatu. Sehingga ia dan Mbak Siti berpindah dari Surabaya ke Jombang, lalu ke Wringinanom (Gresik) kemudian ke Rembang. Perjalanan hidup yang keras dan penuh kesedihan dialami sang wapres kecil. Saat di Jombang, Sudharmono kemudian pergi untuk tinggal bersama pamannya, seorang juru tulis yang bekerja untuk Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Walaupun demikian, selama dibesarkan ia banyak berpindah-pindah untuk tinggal bersama sejumlah sanak keluarganya, baik dari pihak ibu maupun ayahnya.

Soedharmono baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertama ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1945. Setelah memutuskan untuk berhenti dari pendidikan lanjutan, Soedharmono turut membantu mengumpulkan senjata dari tentara Jepang dalam persiapan pembentukan Tentara Nasional Indonesia. Hasilnya, ia menjadi Panglima Divisi Ronggolawe, posisi yang terus dipegangnya selama Perang Kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Belanda yang kembali menyerang Indonesia.

Karier

Masa awal

Setelah Belanda mundur pada tahun 1949, Soedharmono menyelesaikan pendidikan lanjutan sebelum pergi ke Jakarta pada tahun 1952 untuk bergabung dengan Akademi Hukum Militer. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 1956 sebelum bertugas di Medan, Sumatera Utara sebagai Jaksa Militer pada 1957–1961. Pada tahun 1962, Soedharmono memperoleh gelar dalam bidang hukum setelah menyelesaikan studinya di Universitas Hukum Militer. Setelah ini, Soedharmono diangkat Ketua Personil Pesanan Satuan Kerja Pemerintah Pusat dan memberikan bantuan administrasi kepada pemerintah.

Selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang merupakan perintah perang segera di bawah kendali Soekarno. Pada tahun 1963, Sudharmono bergabung KOTI dan diberi peran Anggota Pusat Operasi Bersama untuk Operasi Agung

Masa Orde Baru

Dalam zaman Orba, kariernya menanjak. Pada Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat dan bergabung dengan KOTI sebagai Kepala Staf. Soeharto menjalin hubungan dengan Sudharmono pada saat masa-masa tegang dalam sejarah Indonesia. Dengan hal ini jelaslah bahwa Sudharmono mendapatkan kepercayaan Soeharto. Pada 11 Maret 1966, ketika Soeharto menerima Supersemar dari Soekarno, Sudharmono yang menyalin salinan surat yang akan didistribusikan kepada Perwira Militer lainnya. Keesokan harinya, pada tanggal 12 Maret tahun 1966, Sudharmono juga ikut untuk menulis dekret pelarangan PKI.

Dengan naiknya Soeharto ke kekuasaan, KOTI dibubarkan tetapi keterampilan administrasi Sudharmono dan kepercayaan dari Soeharto memastikan kedudukannya dalam pemerintahan Soeharto. Ketika Soeharto menjadi presiden pada tahun 1968, Sudharmono menjadi Sekretaris Kabinet serta Ketua Dewan Stabilitas Ekonomi. Pada tahun 1970, Sudharmono dipindahkan dari posisi Sekretaris Kabinet menjadi Sekretaris Negara, posisi yang memungkinkan ia untuk membantu Soeharto. Selain menjadi Mensesneg, Sudharmono juga menggantikan menteri lain secara sementara ketika mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya seperti menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Dalam Negeri serta membantu untuk membuat pidato pertanggungjawaban Soeharto sebelum Sidang Umum MPR. Pada tahun 1980, posisi Sudharmono sebagai Sekretaris Negara menerima dorongan signifikan melalui Keputusan Presiden yang memberikan Sekretaris Negara kekuatan untuk mengawasi pembelian pemerintah melebihi 500 juta rupiah.

Ketua Umum Golkar (1983-1988)

Pada tahun 1980, Sudharmono telah membuktikan kesetiaannya kepada Soeharto dan juga menunjukkan bahwa ia tidak memiliki suatu ambisi. Pada Munas Golkar III (1983), dengan dukungan Soeharto, Sudharmono terpilih sebagai Ketua Golkar.

Sebagai Ketua, Sudharmono banyak melakukan inspeksi keliling cabang Golkar di daerah. Sudharmono juga menggerakan anggota Golkar untuk mendapatkan lebih banyak pemilih Golkar, hasilnya suara Golkar meningkat dari 64% menjadi 72% pada Pemilu 1987.

Wakil Presiden Indonesia

Kontroversi pencalonan

Ketika sidang Umum MPR tahun 1988, banyak yang yakin Soeharto akan terpilih kembali untuk periode kelima dan terakhir sebagai presiden. Dengan begitu, Wakil Presiden menjadi posisi yang penting. Pada tahun 1988, Soeharto mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia ingin Sudharmono menjadi wakil presidennya. Meskipun tidak pernah menyebutkan Sudharmono, Soeharto mengatakan bahwa ia ingin Wapres-nya mempunyai dukungan dari kekuatan sosial politik yang besar.

Kemungkinan Sudharmono menjadi Wakil Presiden tidak disenangi banyak orang di ABRI. Meskipun Sudharmono sendiri seorang tentara dan telah mengakhiri kariernya dengan pangkat Letnan Jenderal, ia telah menghabiskan sebagian besar kariernya di belakang meja bukannya memimpin pasukan. Hal ini membuat dirinya dipandang rendah oleh ABRI. Soeharto menyadari hal ini dan sebelum ABRI bisa melakukan apa saja, Panglima ABRI Benny Moerdani diganti dengan Try Sutrisno. Langkah ini menghalangi ABRI karena Moerdani lebih kuat saat tidak menyetujui presiden sementara Try akan lebih pasif.

Sudharmono sendiri dijagokan partai Golkar unsur sipil (jalur G) dan birokrat (jalur B). Sementara Jenderal TNI Try Sutrisno yang menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab), dijagokan oleh Partai Golkar unsur militer (jalur A) yang dimotori Menkopolkam LB Moerdani. Masing-masing kubu punya kepentingan dalam kancah politik nasional. Puncaknya adalah ketika Sudharmono dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu ditepis dengan adanya penunjukan Sudharmono untuk menjabat sebagai Wakil Presiden oleh Soeharto.[2]

Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, kontroversi terus mewarnai nominasi Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Ketua Partai Persatuan Pembangunan, Jaelani Naro mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Kemudian Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh menginterupsi sidang. Dia mengucapka pidato yang tidak jelas. Intinya, tidak setuju calon wakil presiden yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin.[3] Kemudian Sarwo Edhie Wibowo, seorang jenderal yang telah membantu Soeharto mendapatkan kekuasaan di pertengahan 60-an mengundurkan diri dari MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai protes.

Soeharto akhirnya turun tangan. Ia mencontohkan keputusan MPR yang dibuat pada tahun 1973 bahwa salah satu kriteria untuk Wakil Presiden adalah ia harus mampu bekerja dengan Presiden. Dengan pengunduran diri Naro, Sudharmono akhirnya terpilih sebagai Wakil Presiden.

Jabatan Wakil Presiden

 
Sudharmono dan Wapres terpilih Try Sutrisno pada Sidang Umum MPR 1993.

Sebagai Wakil Presiden, Sudharmono sangat aktif. Ia memulai kunjungan ke provinsi RI serta ke Departemen, Kantor Negara dan Lembaga Departemen Non Pemerintah, dan membentuk Tromol Pos 5000,[2] tempat di mana orang-orang dapat mengirim saran dan keluhan dan pemerintah mereka. Sudharmono yang merupakan spesialis dalam memberikan bantuan administratif, juga diberi tugas oleh Soeharto untuk mengawasi birokrasi pemerintah.

Namun ABRI tetap menunjukkan ketidaksenangan mereka pada pemilihan Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Di Munas Golkar (Oktober 1988), ABRI membalas dendam mereka kepada Sudharmono ketika mereka menjaga pemilihan Wahono sebagai Ketua Golkar. Anggota ABRI juga bertanggung jawab untuk kampanye kotor yang menuduh Sudharmono sebagai seorang komunis. Akhirnya pada Maret 1993 untuk mencegah harus berurusan dengan Wakil Presiden, Try Sutrisno segera dicalonkan oleh ABRI sebagai Wakil Presiden tanpa menunggu Soeharto untuk membuat pilihannya.

Kemungkinan menjadi Presiden

Dalam bukunya "Suharto: A Political Biography", Robert Elson berteori tentang kemungkinan jabatan Wakil Presiden Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum menjadi Presiden Indonesia sendiri dan bahwa Soeharto melanjutkan jabatannya hanya karena reaksi terhadap pencalonan Sudharmono. Ada dua alasan untuk ini:

  • 1: Sebagai Sekretaris Negara, tugas Sudharmono adalah membantu Presiden dalam administrasi sehari-hari pemerintah. Setelah memegang posisi ini selama 18 tahun sebelum terpilih Wakil Presiden, Sudharmono yakin dirinya akrab dengan rezim Soeharto.
  • 2: ABRI tidak akan secara ekstrem menunjukkan ketidaksenangan mereka pada Wapres terpilih Sudharmono jika mereka tidak mengharapkan efek jangka panjang.

Pasca wakil presiden

Pada tahun 1997, Sudharmono merilis otobiografi dirinya, berjudul "Pengalaman Dalam Masa Pengabdian". Secara bersamaan suatu buku juga dirilis berjudul "Kesan Dan Kenangan Bahasa Dari Teman: 70 Tahun H. Sudharmono SH" yang berbicara tentang Sudharmono dari sudut pandang orang-orang yang memperkerjakannya. Karena penerbitan buku-buku ini terjadi setahun sebelum Sidang Umum MPR 1998, ada rumor bahwa Sudharmono akan membuat comeback politik dan menjadi wapres sekali lagi.

Pada Mei 1998, pada malam jatuhnya Soeharto, Sudharmono, bersama dengan mantan wakil presiden Umar Wirahadikusumah dan Try Sutrisno mengunjungi Soeharto di kediamannya untuk membahas opsi yang memungkinkan. Sudharmono juga terus mengelola 7 yayasan milik Soeharto.

Meninggal

 
Makam Sudharmono di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Rabu malam, 25 Januari 2006, sekitar pukul 19.40 WIB, Sudharmono meninggal dunia setelah menjalani perawatan selama dua pekan di Rumah Sakit MMC, Jakarta, sejak 10 Januari 2006. Ia meninggalkan seorang istri, Emma Norma, dan tiga orang anak. Esok paginya, ia dimakamkan di TMP Kalibata dengan pimpinan upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penghargaan

Tanda jasa

Ia mendapatkan sejumlah tanda jasa baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[4][5][6]

 
       
       
       
       
       
       
       
       
       
       
Baris ke-1 Bintang Republik Indonesia Adipradana (29 Maret 1988)[7]
Baris ke-2 Bintang Mahaputera Adipurna (29 Maret 1988)[8] Bintang Mahaputera Adipradana (10 Maret 1973)[8] Bintang Gerilya Bintang Dharma
Baris ke-3 Bintang Jalasena Pratama Bintang Swa Bhuwana Paksa Pratama Bintang Kartika Eka Paksi Pratama Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia
Baris ke-4 Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun Satyalancana Perang Kemerdekaan I Satyalancana Perang Kemerdekaan II Satyalancana G.O.M I
Baris ke-5 Satyalancana G.O.M II Satyalancana Sapta Marga Satyalancana Satya Dharma Satyalancana Wira Dharma
Baris ke-6 Satyalancana Penegak Satyalancana Wira Karya Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (1989)[9] Officer (Maginoo) of the Order of Sikatuna (O.S.) - Filipina
Baris ke-7 Johan Mangku Negara (J.M.N.) - Malaysia Grand Officer of the Royal Order of Sahametrei - Kamboja Commander of the Imperial Order of Emperor Menelik II - Kekaisaran Etiopia Knight Commander of the Most Exalted Order of the White Elephant (K.C.E.) - Thailand
Baris ke-8 Knight Commander of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany - Jerman Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau - Belanda Grand Cross of the National Order of Merit - Prancis Grand Decoration of Honour in Silver with Sash of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria - Austria
Baris ke-9 Grand Cross of the Order of Leopold II - Belgia Grand Cross of the Order of Merit of the Italian Republic - Italia First Rank of the Order of the Yugoslav Flag with Sash - Yugoslavia Order of Diplomatic Service Merit - 2nd Class (Gwang-Hwa Medal) - Korea Selatan
Baris ke-10 Grand Cross of the Order of the Crown - Belgia Order of Kuwait, 1st Class - Kuwait Order of Merit, 1st Class - Qatar Order of Civil Merit 1st Class- Syria
Baris ke-11 Order of the Republic, 1st Class - Mesir Order of Abdulaziz Al Saud, 3rd Class - Arab Saudi Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany - Jerman Grand Cordon of the Order of the Star of Jordan (G.C.S.J.) - Yordania

Referensi

  1. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1978, hlm. 78.
  2. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-27. Diakses tanggal 2015-05-08. 
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-18. Diakses tanggal 2015-05-08. 
  4. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1978, hlm. 79-80.
  5. ^ Yonas 2019.
  6. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1988, hlm. 451-454.
  7. ^ Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia 1959 - sekarang (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 3 September 2021. 
  8. ^ a b Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-08-05. Diakses tanggal 3 September 2021. 
  9. ^ Tempomedia. "Penghargaan bintang LVRI". majalah.tempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-18. 

Bibliografi

Lihat pula

Pranala luar

Jabatan politik
Didahului oleh:
Umar Wirahadikusumah
Wakil Presiden Republik Indonesia
1988—1993
Diteruskan oleh:
Try Sutrisno
Didahului oleh:
Alamsyah Ratu Perwiranegara
Menteri Sekretaris Negara
1972—1988
Diteruskan oleh:
Moerdiono