Organisasi Papua Merdeka
Organisasi Papua Merdeka (disingkat sebagai OPM) adalah sebuah gerakan separatis yang didirikan di 6 provinsi di Papua, yang sebelumnya dikenal sebagai Papua, Irian Jaya dan Irian Barat.[10]
Organisasi Papua Merdeka | |
---|---|
Pemimpin militer |
|
Waktu operasi | 26 Juli 1965 – sekarang |
Kelompok | |
Markas | Papua Barat |
Wilayah operasi | Papua barat (klaim) |
Ideologi | Etno-nasionalisme Papua Separatisme Anti-imperialisme |
Status | Aktif |
Sekutu | Kepulauan Marshall[1] Nauru[1] Vanuatu[2][3] Kepulauan Solomon[4] Senegal[5] Tonga[6] Saint Vincent dan Grenadines[7] Libya (hingga 2011)[8] |
Lawan | Indonesia Uni Soviet (1962–1964) Amerika Serikat (1969–1992[butuh rujukan]) Fiji |
Dicap sebagai organisasi teror oleh | Indonesia[9] |
Gerakan ini terdiri dari tiga elemen: kelompok unit bersenjata yang berbeda, masing-masing dengan kontrol teritorial terbatas tanpa komandan tunggal; beberapa kelompok di wilayah yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri yang meningkatkan kesadaran akan isu-isu di wilayah tersebut sambil berjuang untuk dukungan internasional untuk kemerdekaan.[10]
Sayap Militer gerakan ini biasa disebut oleh Pemerintah Indonesia sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata, dan Kelompok Separatis Teroris Papua atau disingkat masing-masing KKB, KKSB, dan KSTP.
Sejak awal, OPM juga menempuh upaya jalur diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan aksi terorisme sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari separatis Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York. Gerakan militan ini dianggap sebagai organisasi separatis di Indonesia, dan aktivitasnya telah menimbulkan tuduhan makar.[11]
Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan[12] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[13] Organisasi ini awalnya merupakan gerakan spiritual kargoisme, kelompok kebatinan yang menggabungkan kepercayaan adat dan kristiani, yang dibentuk oleh kepala distrik Demta, Aser Demotekay. Walau begitu pihak Aser kooperatif dengan pemerintah Indonesia dan melarang kekerasan. Walau pengikut Aser, Jacob Prai kemudian melanjutkan gerakan tersebut dengan kekerasan.
Kelompok kedua berasal dari Manokwari pada tahun 1964, tokohnya adalah Terianus Aronggear. Dia mendirikan 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat'. Organisasi ini juga bergerak secara klandestin. Belakangan, organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok ini mengirim dokumen ke PBB meminta peninjauan kembali persetujuan New York, yang juga berisi rancangan susunan kabinet Papua Barat, susunannya antara lain Markus Kaisiepo sebagai Presiden, Nicolaas Jouwe sebagai Wakil Presiden, Terianus Aronggear sebagai Menteri Luar Negeri, dan Permenas Ferry Awom sebagai Panglima Perang.[14] Berdasarkan pengakuan Nicolas Jouwe, ada campur tangan pihak Belanda dalam pelatihan pemuda Papua yang kemudian diminta mendirikan OPM.[15]
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[16] Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice" (Penentuan Pendapat Rakyat), Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[17] Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua. Menurut laporan Human Rights Watch, Polri berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.[18]
Deklarasi Republik Papua Barat
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.[19]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[19]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[20]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa pemerintah menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[21]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal Sumatera Barat.[22]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.[23]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.[24]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.[25]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.[26]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[27]
Sayap Militer
Gerakan Papua Merdeka memiliki 3 sayap bersenjata yaitu:[28]
- Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (bahasa Inggris: West Papua National Liberation Army; disingkat sebagai TPNPB) (TPNPB-OPM) dipimpin oleh Goliath Tabuni.
- Tentara Revolusi West Papua (bahasa Inggris: West Papua Revolutionary Army; disingkat sebagai TRWP) dipimpin oleh Mathias Wenda.
- Tentara Nasional Papua Barat (bahasa Inggris: West Papua National Army; disingkat sebagai TNPB) dipimpin oleh Fernando Worobay.
Hierarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi' OPM adalah Mathias Wenda.[29] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.[29] Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan.[29] Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat.[29]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakar, dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda. Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-Papua Barat.
Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II (Jayapura – Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain. Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16 Desember 2009.[30]
Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang gerakan kemerdekaan Papua Barat.[31]
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah sayap militer dari Organisasi Separatisme Papua Merdeka. TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Goliath Tabuni diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
Hari jadi
Lihat pula
Referensi
- ^ a b "Pacific nations back West Papuan self-determination". RNZ. 6 May 2017.
- ^ Manning, Selwyn (22 June 2010). "Vanuatu to seek observer status for West Papua at MSG and PIF leaders summits". Pacific Scoop. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 October 2017. Diakses tanggal 20 October 2017.
- ^ "Fiery debate over West Papua at UN General Assembly". Radio New Zealand 2017. 27 September 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 October 2017. Diakses tanggal 7 October 2017.
- ^ "Solomon Islands Prime Minister softens support for West Papua self-determination". abc.net.au. 29 April 2019. Diakses tanggal 10 February 2020.
- ^ "President of Senegal – "West Papua is now an issue for all black Africans"". 19 December 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-21. Diakses tanggal 2020-10-01.
- ^ "Tonga's PM highlights Papua issue at UN". RNZ. 1 Oct 2015. Diakses tanggal 7 Oct 2020.
- ^ "St Vincent & The Grenadines supports West Papuan self-determination at the United Nations General Assembly". 26 September 2017 – via www.freewestpapua.org.
- ^ "Libyan terrorism: the case against Gaddafi. - Free Online Library". www.thefreelibrary.com.
- ^ "Detik.com".
- ^ a b Institute for Policy Analysis of Conflict (24 August 2015). "The current status of the Papuan pro-independence movement" (PDF). IPAC Report No.21. Jakarta, Indonesia. OCLC 974913162. Diakses tanggal 24 October 2017.
- ^ Lintner, Bertil (January 22, 2009). "Papuans Try to Keep Cause Alive". Jakarta Globe. Diakses tanggal 2009-02-09.
- ^ Report on Netherlands New Guinea for the year 1961 http://wpik.org/Src/un_report_1961.html
- ^ "Free Papua Movement (OPM)". Global Terrorism Database. University of Maryland, College Park. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-24. Diakses tanggal 2011-04-10.
- ^ Damarjati, Danu (2018-12-15). "Kelahiran OPM: Gerakan Spiritual Rahasia hingga Angkat Senjata". detikcom. Diakses tanggal 2022-08-19.
- ^ Purwanto, Heru, ed. (12 May 2014). "Papuan leader says Netherlands created OPM to oppose Indonesia". ANTARA News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 May 2020. Diakses tanggal 5 March 2021.
- ^ U.S. Dept. of State Foreign Relations, 1961–63, Vol XXIII, Southeast Asia http://wpik.org/Src/950306_FRUS_XXIII_1961-63.html#Indonesia
- ^ Teks Perjanjian New York
- ^ Protest and Punishment Political Prisoners in Papua, Laporan oleh Human Rights Watch
- ^ a b Bishop, R. Doak (2005). Foreign Investment Disputes: Cases, Materials, and Commentary. Wolters Kluwer. hlm. 609–611.
- ^ Richard Chauvel (6 April 2011). "Filep Karma and the fight for Papua's future". Inside Story. Diakses tanggal 18 April 2011.
- ^ Bagus BT Saragih and Nethy Dharma Somba. "Police hunt for OPM rebels". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2011-10-26.
- ^ Radja, Aditia Maruli (ed.). "OPM gunmen kill civilian in kurilik, Papua". ANTARA News (dalam bahasa Indonesian).
- ^ "Anggota TNI Tewas dalam Serangan OPM". Liputan6.com.
- ^ "Anggota OPM Tertangkap Bawa Ganja Sekilo di Perbatasan" (dalam bahasa Indonesian). 1 Februari 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-01.
- ^ Kusumadewi, A., dan Ambarita, B. "Ditembaki OPM, Pesawat Trigana Tabrak Rumah". Vivanews (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-11.
- ^ "巨B交 - 网站地图" (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-02.
- ^ "1 Anggota TNI & 2 Sipil Tewas Dianiaya di Papua, Salah Satunya Bocah". detikcom (dalam bahasa Indonesian). 9 Juli 2012. Diakses tanggal 30 Maret 2023.
- ^ "KKB Papua Punya Tiga Sayap Militer, Damianus Magai Yogi Klaim Sebagai Panglima Tertinggi". POS-KUPANG.com. 5 January 2023.
- ^ a b c d van Klinken, Gerry (1996). "OPM information". Inside Indonesia. 02. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-08. Diakses tanggal 2014-10-19.
- ^ Indonesia police 'kill' Papua separatist Kelly Kwalik BBC News, 16 December 2009
- ^ "Papua's struggle for independence". BBC News. 2009-03-13. Diakses tanggal 2010-05-02.
Daftar pustaka
- Bell, Ian; Herb Feith; and Ron Hatley (1986). The West Papuan challenge to Indonesian authority in Irian Jaya: old problems, new possibilities. Asian Survey 26(5):539-556.
- Bertrand, Jaques (1997). "Business as Usual" in Suharto's Indonesia. Asian Survey 37(6):441-452.
- Evans, Julian (1996). Last stand of the stone age. The Guardian Weekend. August 24:p. T20.
- Monbiot, George. Poisoned Arrows: An Investigative Journey to the Forbidden Territories of West Papua
- van der Kroef, Justus M (1968). West New Guinea: the uncertain future. Asian Survey 8(8):691-707.