Abdullah Sanusi Hanandjoeddin

Untuk nama bandara, lihat: Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin.

Letnan Kolonel Pas (Purn.) Haji Abdullah Sanusi Hanandjoeddin (H. A.S. Hanandjoeddin) (5 Agustus 1910 – 5 Februari 1995) adalah tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Dia pernah menjabat sebagai Bupati Belitung sejak 1967 hingga 1972. Namanya kini diabadikan sebagai nama Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin di Tanjung Pandan.[1][2]

H.A.S. Hanandjoeddin
Bupati Belitung ke-8
Masa jabatan
1967–1972
Sebelum
Pendahulu
Wahab Aziz
Pengganti
Koesnio Hadi
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1910-08-05)5 Agustus 1910
Tanjung Tikar, Sungai Samak, Badau, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Hindia Belanda
Meninggal5 Februari 1995(1995-02-05) (umur 84)
Tanjung Pandan, Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia
Suami/istriMusriah
Anak10
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Udara
Pangkat Letnan Kolonel
SatuanKopasgat
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan Awal

Masa kecil

 
Kehidupan para Peladang Belitong yang dikenal juga sebagai "Urang Darat", warga yang tinggal di perkampungan pedalaman Pulau Belitung.[3]

Hanandjoeddin dilahirkan di perkampungan peladang Tanjungtikar, Sungai Samak, Badau, Belitung, pada pukul 05:00 WIB, 05 Agustus 1910 dari ayah bernama Mohammad Djoeddin bin Ali dan Ibu, Selamah.[4][2][5] Ayahnya adalah seorang peladang berkemauan keras dan tinggal di kampung yang berbeda dari Ibunya. Ibu Selamah adalah satu dari empat bersaudara putra-i dari Bapak Idris, seorang peladang yang sejak abad ke-19 sudah membuka ladang-ladang di hutan-hutan sekitar Mempiu. Pak Idris memilliki empat orang anak, yaitu Selamah, Ba'ie, Minah dan Makhmud. Waktu itu, setelah menikah, Pak Idris mengajak ayah Hanandjoeddin untuk membuka ladang di dekat kawasan hutan Tanjungtikar yang berdekatan dengan laut untuk menanam padi. Ladang yang dibuka dengan laut sehingga memungkinkan mereka bisa mencari ikan di laut. Tanjungtikar berada di Kampung Telok Dalam, Distrik Tanjungpandan, Belitung. Daerah ini berjarak sekitar 15 Km dari pusat kotanya, dan setelah kemerdekaan daerah ini masuk ke wilayah Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung. Ketika lahir, Hanandjoeddin memiliki kulit yang bersih, coklat kemerahan dan montok serta mengeluarkan tangisan yang keras. Persalinannya dibantu oleh seorang pengguling atau dukun beranak wanita kenalan baik keluarga kakeknya, dimana ia sejak sore sebelumnya sudah ada di pondok Selamah ketika terlihat adanya tanda-tanda ia akan melahirkan. Tradisi saat itu di masyarakat Belitong, selalu memilih kata yang sederhana dalam menamai putra/putrinya, tak terlepas dengan Hanandjoeddin, dimana pada awalnya cuma diberi nama Hanan, dan para tamu yang berkunjung mengenalnya sebagai "Hanan bin Mohammad Djoeddin". Acara syukuran atas kelahirannya diadakan setelah bayi berusia 40 hari dan ketika pesta banyak tamu lelaki. yang memakai Songkok sesam, yaitu peci yang terbuat dari anyaman pohon Resam dan pada duduk bersila di lantai gelegar, lantai dari kayu gelondongan yang bersusun. Dalam acara syukuran itu para lelaki melaksanakan lebai kampong, julukan tetua adat Melayu Bitong di Islam, membaca doa Berzanji.[6]

 
Sebuah rumah warga di distrik Dendang, Belitung Timur

Ketika belum genap berumur dua tahun, Hanan diajak orangtuanya berkunjung ke sanak keluarganya di Distrik Dendang, Belitung Timur menemui Kik Tagor, kerabat dekat dari Pak Ali, kakek Hanan, yang merupakan orang terpandang di kampungnya. Kik Tgor, dikabarikan memiliki kekuatan Supranatural, dimana ketika Hanan digendongnya, spontan, ia menyampaikan bahwasanya kelak Hanan akan menjadi pemimpin Belitong suatu hari. Dimana hal ini akhirnya menjadi kenyataan, ketika Hanan akhirnya menjadi Bupati Belitung ke delapan.[7]

Selain Hanan, pasangan Djoeddin - Salamah memiliki dua orang anak lagi, yaitu Redinah, seorang anak perempuan yang dilahirkan pada tahun 1912 dan Hasri Djoeddin atau sering dipanggil Seri, seorang anak laki-laki yang dilahirkan pada tahun 1914. Sebagai anak dari keluarga peladang, kehidupannya di masa kecilnya cukup sederhana namun tidak pernah kekurangan makanan. Karena untuk padi bisa dengan mudah didapatkannya di "perregasan" (lumbung padi) dan untuk lauk pauknya cukup mudah memperoleh jenis-jenis ikan mengkawak, kelik dan linggang (sejenis Ikan Lele) dengan cara memancingnya di danau sekitar ladang. Ketika Hanan berusia enam tahun, Djoeddin dan Selamah bercerai karena Djoeddin menikah lagi dengan Madiyah dan tinggal di Kampung Ibul. Sedangkan Selamah dengan tiga orang anaknya kembali tinggal di Mempiu bersama kakeknya Pak Idris. Sebagai orang tua tunggal kehidupan mereka cukup kekurangan, bahkan Seri, adik bungsu Hanan, seringnya hanya diberi minum air tajin, karena Selamah tidak mampu untuk membeli susu. Untuk menopang perekonomian keluarganya, Selamah akhirnya berdagang kain hingga ke Pulau Betang. Dan ketika akhirnya pihak Kolonial Belanda membuka Passarlodsen di tengah kota Tanjungpandan, maka ia cukup berdagang dengan membeli barang dagangan di sana untuk kemudian dijual kembal di kampungnya.[8]

 
Pasukan Komando Pasukan Gerak Cepat yang sedang berlatih di hutan

Hanan sering sekali membantu kakeknya membersihkan rerumputan liar yang tumbuh diantara sayur-sayuran yang ditanam di ladang. Di usianya yang menginjak umur sembilan tahun, ia dikhitan (sering dikenal sebagai tradisi "putong lancau") ala kampung. Dimana proses tersebut dilakukan tanpa peralatan medis maupun pembiusan lokal. Sebelum seseorang dikhitan, ia diwajibkan untuk berendam di air minimal selama lima jam. Setelah itu ia akan dibaringkan terlentang di meja kayu dan Pak Kadim, juru sunat setempat, memulai operasi kecilnya dengan alat sederhana yaitu jepitan bambu dan sebilah pisau kecil yang sangat tajam, dan untuk menhentikan perdarahan, dilakukan dengan menaburkan kopi bubuk di sekitar luka bekas sayatan. Proses khitan tersebut pada umumnya dilakukan dalam kurun waktu tak kurang dari lima menit saja. Dan sebagai hadiah atas "kedewasaannya" tersebut, Hanan mendapatkan hadiah katapel ("peletikan" namanya di pulau Belitong) dari kakeknya, Pak Idris. Hingga menginjak usia sepuluh tahun, ia belum bersekolah di sekolah resmi dan hanya belajar dari alam bersama kakeknya, dan hal ini membuatnya unggul untuk bisa hidup bertahan di hutan, pada masa dewasanya ketika ia menjadi anggota Komando Pasukan Gerak Cepat nantinya.[9]

Masa remaja

 
Volk School atau dikenal juga dengan nama De Inlandse School di Tanjungpandan dimana Hanan memulai pendidikannya

Ketika remaja, Hanan mulai rindu dengan sosok ayahnya, Djoeddin, dan akhirnya mereka bisa bertemu lagi dengannya di kampung Ibul. Disana mereka mengetahui bahwa Hanan telah memiliki adik perempuan bernama Masinah. Semasa di Ibul, Hanan mendapatkn teman sebaya, yaitu anak laki-laki bernama Serok dan anak perempuan, Sami. Bersama-sama, mereka membantu Hanan untuk bisa bersepeda. Sejak tahun 1921, Hanan mulai diasuh dan tinggal bersama Haji Hasyim dan istrinya Aminah, di Tanjungpandan, yang masih berkerabat dengan Selamah. Selama tinggal bersama mereka, banyak perubahan besar terjadi pada Hanan dan kehidupannya.[10]

Genap sebulan tinggal disana, Hanan mulai belajar mengaji bersama Kek Udin, seorang ustad yang juga dikenal dengn sebutan Kakek Moenir karena ia memiliki seorang cucu bernama Moenir. Selain belajar mengaji, Hanan juga mulai bisa membaca huruf Arab gundul dan hal itu ia praktekkan dengan membaca koleksi syair-syair Melayu yang dimiliki oleh keluarga Haji Hasyim. HIngga tahun kelima atau tahun 1926, Hanan trus belajar mengaji sembari ia belajar berdagang dengan menjajakan kue-kue buatan Ibu angkat, Aminah keliling kampung. Dari sanalah ia belajar banyak mengenai kedisplinan dan keteguhan serta etos kerja yang baik.[11]

Di usianya menjelang 16 tahun atau tahun 1926, Hanan didaftarkan ke kelas 1 Sekolah Rakyat di Kampung Ume, Tanjungpandan, bernama Volk School atau dikenal juga dengan nama De Inlandsche School.[12] Ini adalah sekolah satu-satunya untuk kaum pribumi di masa itu dengan masa belajar selama lima tahun. Pada tiga tahun pertama belajar menulis dengan alat tulis batu lai dan baru di kelas empat dan lima bisa mulai mempergunakan pensil dan pulpen. Untuk tingkat empat dan lima, sekolahnya dinamakan Ver Volks School. Hanan menjadi satu-satunya orang kampung/pedalaman (urang darat) yang menempuh pendidikan disana, dan murid-murid lainnya adalah orang kota atau anak-anak karyawan NV Gameenchapppelijke Mijnbouwmaschaappij Biliton (GMB), Perusahaan Timah Hindia Belanda. Dan pada tahun 1931, ia berhasil meraih ijasahnya dengan susah payah.[13]

Masa sekolah dan bekerja

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat, Hanan awalnya ingin langsung mencari pekerjaan agar ia bisa membantu ekonomi keluarganya di kampung yang menghidupinya, Ibu, dan kedua adik-adiknya. Namun keinginan ini ditentang oleh ayah asuhnya.dan menyarankan agar ia melanjutkan pendidikannya ke Ambacht School (AC), sekarang menjadi SMKS Stannia, di Manggar pada tahun 1931.[5] Sekolah ini adalah salah satu sekolah teknik terbaik, bonafit dan langka di era 1930-an, karena sekolah yang sama hanya ada di Batavia dan Surabaya. AS adalah sekolah berasrama yang mewajibkan para pelajarnya tinggal di asrama, tidak dipungut biaya bahkan mereka mendapatkanuang saku, semacam beasiswa dari GMB. AS yang di Manggar, memiliki dua jurusan, yaitu Machine bankwerken dan Electric bankwerken, dimana Hanan memilih jurusan machine bankwerken. Pada 21 Juli 1934, Hanan lulus dari sekolah tersebut dengan hasil baik, serta berhak menyandang predikat lulusan Teknik Mesin. Dimana pada tahun 1934 baru ada empat angkatan, dengan masing-masing angkatan terdiri atas 30 siswa, maka jumlah alumninya baru 120 orang saja. Lulusan AS ini akhirnya disebar untuk bekerja di seluruh unit kerja dari NVGMB, dimana mereka adalah ahli-ahli teknik profesional yang menjadi pemimpin pada usaha pertambangan timah Hindia Belanda. Keahlian mereka juga masih terpakai hingga era Perusahaan Negara Tambang Timah, puuhan tahun yang akan datang. Tahun 1934, adalah tahun dimana NV GMB sedang mengalami masa kejayaan, dimana tiga perempat sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berlokasi di Batavia, sehingga mereka mempunyai banyak instalasi tambang yang berada di seantero Pulau Belitung.[14][12]

Lulus dari AC, Hanan ditempatkan sebagai karyawan teknik di perusahaan GMB, wilayah Tanjungpandan, Belitung, pada bagian instalasi bengkel bangunan sejak 1 Agutus 1934.[2] Hanan mengawali karirnya sebagai bankwerken (pekerja teknik). Walaupun sebagai karyawan baru, Hanan dipercaya sebagai koordinator para montir mesin di bengkel kayu tersebut. Setelah beberapa waktu, ia lalu dipindahkan ke gudang transport, masih dengan tugas yang sama. Ketika di gudang transport inilah, Hanan banyak mempelajari pelbagai mesin kendaraan buatan Eropa. Pada saat itu, Hanan memiliki gaji sebesar 30,50 Gulden per bulan dan sebagiannya dipergunakannya untuk membantu ibunya di kampung. Selain Hanan yang dibantu pendidikannya oleh ayah asuhnya, Haji Hasyim, adiknya Seri, juga disekolahkan di Sekolah Rakyat hingga lulus. Selain bekerja di GMB, Hanan juga terus menimba ilmu agamanya yang dilakukannya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia belajar mengenainya di Madrasah AlIslamiah Tanjungpandan, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan rumah dari Haji Hasyim. Namun sayangnya keberadaan madrasah ini hanya bertahan hingga tahun 1937 saja sehingga terputuslah kesempatan Hanan untuk memperdalam ilmu Agama Islam.[15]


Dari GMB, H.A.S. Hanandjoeddin bekerja di NV Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM) di Pulau Bintan. H.A.S. Hanandjoeddin dikirim kembali ke Belitung setelah kontrak kerja di NV NIBEM sebelum akhirnya hijrah ke Bandung dan bekerja di Wolter & Co disamping sebagai terdaftar Partai Indonesia Raya (Parindra). Karena dianggap sebagai ancaman dan incaran pemerintah Belanda, H.A.S. Hanandjoeddin akhirnya pindah ke Malang dan bekerja pada Ozawa Butai (Satuan Permukaan Darat Jepang) setelah pihak Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Di Ozawa Butai, H.A.S. Hanandjoeddin diangkat sebagai Hancho (pimpinan kelompok pekerjaan). Pada masa itu, Pangkalan Udara Bugis menjadi pusat penerbangan Angkatan Darat Jepang di wilayah Jawa Timur.

Jepang akhirnya menyerah pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom. Pada saat itu juga satuan udara darat angkatan darat termasuk Ozawa Butai dibubarkan dan Lapangan Udara Bugis, Malang dikuasai Angkatan Laut Jepang. Beberapa saat setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menyerukan untuk menggelar Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Komite Nasional Indonesia di daerah. Kelompok Pemoeda Bagian Oedara pimpinan H.A.S. Hanandjoeddin bergabung dengan BKR Malang yang kemudian berubah menjadi Divisi VIII Jawa Timur dan masuk dalam Panitia Persiapan Kaum Teknik Penerbangan Indonesia yang menjadi inti pembentukan BKR Oedara Divisi VIII Suropati. Pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) Malang (BKRO kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKRO)). H.A.S. Hanandjoeddin menjadi bagian BKRO Malang sebagai pelaksana teknis lapangan. Pada saat itu ia bersama teknisi yang lain berhasil memperbaiki beberapa pesawat peninggalan Jepang antara lain Cukiu 003 dan Cukiu 004.

Pasca jatuhnya Surabaya ke tangan Sekutu pada 12 November 1945, Panglima Divisi VIII membuka sekolah militer selama dua bulan. H.A.S. Hanandjoeddin mengikuti pendidikan di Sekolah Kadet Perwira Divisi VIII dan lulus dengan pangkat Letnan Satu TKR Angkatan Darat. H.A.S. Hanandjoeddin kemudian ditugaskan sebagai Komandan Pertahanan Teknik Udara Pangkalan Bugis dengan pangkat Letnan I TKR pada Januari 1946. Setelah TKR berubah nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) (sebelumnya sempat bernama Tentara Keselamatan Rakyat), TKR Oedara Malang berada di bawah TKR Oedara di Jogjakarta namun Pangkalan Bugis masih di bawah komando Divisi VIII. Tapi hal itu tidak menghalangi H.A.S. Hanandjoeddin untuk berbuat sesuatu bagi perjuangan bangsa Indonesia, diantaranya berhasil memperbaiki pesawat pembom Shoki (Ki-48) yang diberi nama Pangeran Diponegoro I atau PD-I, menyumbang pesawat Cukiu kepada Sekolah Penerbangan Darurat Jogjakarta pimpinan Adisutjipto, memberikan sebuah pesawat Cukiu dengan nomor registrasi TK-007 kepada Pangkalan Udara Panasan, Solo atas permintaan Letnan Soejono, dan memberi pesawat untuk diperbaiki kepada Hardjono dari Pangkalan Udara Maospati, Madiun dan Warma dari Pangkalan Udara Cibeureum, Tasikmalaya. TRI Oedara lalu berubah menjadi TRI Angkatan Oedara pada tanggal 9 April 1946 dengan Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf TRI Angkatan Oedara-nya. H.A.S. Hanandjoeddin diberi pangkat Opsir Moeda Oedara III (OMU) III (setara Letnan Muda Udara) atau turun dua tingkat dari sebelumnya setahun kemudian karena penyesuaian pangkat.

23 Mei 1946, Divisi VII Malang berganti nama menjadi Divisi VII Untung Suropati. Pada masa itu, H.A.S. Hanandjoeddin bersama anggotanya berhasil membawa pesawat Pangeran Diponegoro II (sebelumnya bernama Rocojunana) ke Yogyakarta atas permintaan Wakil Kepala Staf TRI Angkatan Oedara Komodor Muda Udara Adisutjipto yang berujung pada penahanan H.A.S. Hanandjoeddin selama tujuh hari di Markas Polisi Tentara di Malang. Sebenarnya sejak 5 Mei 1946, Prof. Dr. Abdulrachman Saleh ditugaskan untuk memimpin Pangkalan Udara Bugis disamping sebagai Komandan Pangkalan Udara Maospati, Madiun. Namun, baru tanggal 9 April 1947, Komodor Muda I Prof. Dr. Abdulrachman Saleh resmi memegang kendali komando Pangkalan Bugis. Pada tanggal 17 Maret 1947, setelah penyerbuan kota Mojokerto oleh Belanda pasca sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan hasil Perjanjian Linggarjati, Abdulrachman Saleh berhasil membawa pesawat pemburu Hayabusa dengan nomor registrasi HN-201 yang telah diperbaiki H.A.S. Hanandjoeddin dan anggotanya ke Jogjakarta untuk menambah kekuatan udara. Pada saat itu pusat pemerintahan Jawa Timur berada di kota Malang.

21 Juli 1947, Agresi Militer Belanda I dimulai. Dalam perlawanan ini, H.A.S. Hanandjoeddin dan anggota teknik lainnya berhasil menyelamatkan 15 pesawat terbang yang berada di Pangkalan Udara Bugis. H.A.S. Hanandjoeddin sebagai pimpinan Pasukan Pertahanan Teknik PPU III/930 Malang ditunjuk sebagai Komandan Pertempuran Sektor I STC III Front Malang Timur dan sebagai Komandan Pertempuran Sektor II. Karena Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, yang salah satu isinya adalah TNI (TRI berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 3 Juni 1947) ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, pasukan H.A.S. Hanandjoeddin akhirnya pindah dari Malang Timur ke Tulung Agung untuk meneruskan pembangunan pangkalan udara darurat. Dari Tulung Agung H.A.S. Hanandjoeddin ditugaskan sebagai Komandan Detasemen Pertahanan Udara Prigi untuk melakukan pengamanan wilayah Pantai Prigi. Pada masa itu, H.A.S. Hanandjoeddin sebagai Komandan Sektor II Pantai Selatan juga turut serta dalam misi pemusnahan Pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso. Pada tanggal 19 Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II. Sebagai Komandan Sektor II Pantai Selatan H.A.S. Hanandjoeddin juga memimpin pasukan di Sektor Watulimo. Pasca Belanda menguasai Pangkalan Udara Campurdarat, H.A.S. Hanandjoeddin ditunjuk untuk menangani urusan pertahanan AURI sebagai Wakil Danlanud Campurdarat. Tanggungjawab H.A.S. Hanandjoeddin tidak sampai di situ, masih sebagai Wakil Danlanud Campurdarat, Beliau juga ditugaskan sebagai Komandan Pertempuran Sub I pada Sektor V. Instruksi Panglima Besar Jenderal Soedirman tanggal 19 Desember 1948 agar seluruh Angkatan Perang RI melakukan perang gerilya membuat H.A.S. Hanandjoedin dipercaya sebagai Komandan Onder Distrik Militer (ODM) Pakel.

Walaupun pada tanggal 7 Mei 1948 ditandatanganinya Perjanjian Roem-Roijen, tapi Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mengeluarkan seruan agar seluruh prajurit Angkatan Perang RI tidak angkat tangan. Pada masa itu H.A.S. Hanandjoeddin ditunjuk sebagai Komandan Sektor VIII Tulungagung, juga merangkap sebagai Komandan KDM Campurdarat. Setelah Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949 dan Pangkalan Bugis Malang diserahkan Belanda kepada AURI, H.A.S. Hanandjoeddin kembali ke Malang dan menjabat Kepala Jawatan Teknik Udara Pangkalan Udara Bugis, H.A.S. Hanandjoeddin berpangkat OMU II atau Letnan Udara II (naik dari OMU III). Itulah beberapa perjuangan H.A.S. Hanandjoeddin dalam memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia disamping perjuangan lainnya untuk AURI, juga negara Republik Indonesia.

Gambar-gambar

Berikut adalah beberapa gambar yang terkait dengan kehidupan H.A.S. Hanandjoeddin :

Lihat juga

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "Lanud Tanjung Pandan Berganti Nama Menjadi Lanud H. AS. Hananjoeddin". TNI.mil.id. 2012-10-24. Diakses tanggal 2024-02-04. 
  2. ^ a b c Adryamarthanino, Verelladevanka (2022-01-10). Ningsih, Widya Lestari, ed. "HAS Hanandjoeddin: Kehidupan dan Perjuangannya". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-01-31. 
  3. ^ Andersen 2015, hlm. 4.
  4. ^ Wirayudha, Randy (2022-02-19). "Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan". Historia - Majalah Sejarah. Diakses tanggal 2024-01-31. 
  5. ^ a b Julianti, Shindy Aulia. Setiawan, Muri, ed. "Kisah Heroik HAS Hanandjoeddin, Pemuda asal Belitung yang Ikut Berperang Melawan Penjajah". inews.id. Diakses tanggal 2024-02-03. 
  6. ^ Andersen 2015, hlm. 3-15.
  7. ^ Andersen 2015, hlm. 17-24.
  8. ^ Andersen 2015, hlm. 25-31.
  9. ^ Andersen 2015, hlm. 32-40.
  10. ^ Andersen 2015, hlm. 41-60.
  11. ^ Andersen 2015, hlm. 61-70.
  12. ^ a b Swastiwi, Rohana, Arman 2018, hlm. 61-67.
  13. ^ Andersen 2015, hlm. 71-75.
  14. ^ Andersen 2015, hlm. 76-89.
  15. ^ Andersen 2015, hlm. 90-104.

Daftar pustaka

  1. Andersen, Haril M. (2015). Sang Elang; Serangkaian Kisah Perjuangan H. AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI. Tanjungpandan: Yayasan Melati. ISBN 978-979-17175-3-3. 
  2. Swastiwi, Anastasia Wiwik; Rohana, Sita; Arman, Dedi (2018). Harto, Zulkifli, ed. INVENTARISASI TOKOH SEJARAH DAN BUDAYA Wilayah Kerja Balai Pelestarian Budaya Kepulauan Riau (PDF). Tanjung Pinang. 

Pranala luar