Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan atau Kyai Gede Pamanahan[1] (dikenal juga sebagai Kyai Gede Mataram) adalah seorang tokoh perintis wangsa Mataram yang berasal dari Sela (sebuah desa di Grobogan) dan kemudian hijrah ke Pengging. Ia dijuluki sebagai "Pamanahan" karena bertempat tinggal di desa Manahan, suatu tempat di utara Laweyan (sekarang menjadi salah satu kelurahan di Surakarta).
Ki Ageng Pamanahan ꦥꦩꦤꦲꦤ꧀ | |
---|---|
Lahir | Bagus Kacung Castioeng |
Meninggal | 1584 |
Makam | Pasarean Mataram |
Tempat tinggal | Manahan, Kotagede |
Nama lain | Kiyai Gede Mataram |
Zaman | Demak-Pajang |
Pendahulu | Ki Ageng Enis |
Pengganti | Panembahan Senapati |
Suami/istri | Nyai Ageng Pamanahan |
Orang tua |
|
Pada tahun 1556 ia mendapat mandat dari Sultan Adiwijaya (raja Pajang) untuk membuka pemukiman di hutan Mentaok.[1] Putranya, Raden Ngabehi Saloring Pasar, kelak menjadi keturunan pertama darinya yang memimpin daerah tersebut dan di kemudian hari mendirikan kerajaan yang disebut Kesultanan Mataram bergelar Panembahan Senapati.
Awal kehidupan
Pada Babad Tanah Jawi diketahui bahwa Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng Enis, ayahnya merupakan keturunan Ki Ageng Sela yang pindah dan bertempat tinggal di Laweyan. Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu desa yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Grobogan. Mereka hijrah ke Pengging untuk membantu Sultan Adiwijaya.
Pamanahan menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah (Nyai Ageng Pamanahan), putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Enis). Menurut Sadjarah Dalem,[2] nama kecilnya adalah Bagoes Katjoeng, atau Castioeng menurut van der Horst.[1] Ia memiliki saudara angkat bernama Ki Panjawi. Keduanya belajar pada Ki Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ki Ageng Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratamtama di Pajang.
Nama "Pamanahan" diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat di utara Laweyan bernama Manahan, sekarang menjadi kelurahan di Kota Surakarta yang dikenal sebagai kawasan pusat keolahragaan. Suatu petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Ageng Pamanahan biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan di Kampung Ngumbul. Atas prakarsa RM. Ng. Poerbatjaraka, Mangkunagara VII membangun tembok yang mengelilingi tempat tersebut.[1]
Setelah membuka hutan Mentaok, ia dijuluki sebagai Kyai Gede Mataram. Bersama putra dan para pengikutnya, ia membuka hutan tersebut menjadi sebuah permukiman. Peristiwa "Babad Alas Mentaok" ini populer dalam lakon-lakon panggung ketoprak Mataraman di masa kini. Daerah tersebut sekarang terletak di Kotagede, Yogyakarta. Permukiman baru ini lalu menjadi pusat pemerintahan baru ketika Kerajaan Pajang mulai runtuh.
Peran awal
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami krisis politik akibat perebutan takhta. Ia digantikan putranya yang naik takhta, bergelar Sunan Prawata. Ia tewas dibunuh atas perintah sepupunya sendiri, yaitu Arya Panangsang, dari Jipang. Arya Panangsang juga membunuh Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana.
Arya Panangsang juga mengirim utusan untuk menumpas Sultan Adiwijaya di Pajang namun gagal. Panembahan Kudus bersiasat mengundang keduanya untuk berdamai. Adiwijaya akhirnya menerima tawaran tersebut ke Kudus didampingi Pamanahan. Pada kesempatan itu, Pamanahan berhasil menyelamatkan Adiwijaya dari siasat yang ternyata sebuah jebakan.
Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Demak. Ia kemudian membuat sayembara, untuk menumpas Arya Panangsang dan yang berhasil memenangkan sayembara tersebut akan diberi sebuah tanah perdikan. Pamanahan dan Ki Panjawi mengikuti sayembara atas dorongan Ki Juru Martani (kakak ipar Pamanahan). Putra Pamanahan yang bernama Sutawijaya ikut serta membantunya. Perang antara pasukan Pajang dan Arya Panangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.
Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Adiwijaya bahwa Arya Panangsang tewas oleh Pamanahan dan Panjawi. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari jika sebenarnya yang menumpas Arya Panangsang adalah Sutawijaya yang merupakan anak angkat Adiwijaya.
Merintis Mataram
Sultan Adiwijaya memberikan hadiah sayembara berupa tanah perdikan. Ki Panjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota. Sedangkan Ki Pamanahan, merasa lebih tua mengalah dan memilih daerah Mentaok yang masih berupa hutan lebat.
Mentaok merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang telah runtuh. Seiring berjalannya waktu, daerah tersebut makin sepi dan akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi daerah tersebut dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Panangsang tahun 1549, Adiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindahkan ke Pajang, ke arah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), meramalkan kelak di daerah Mentaok akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Adiwijaya resah. Sehingga penyerahan tanah perdikan Mentaok kepada Pamanahan tertunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Adiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Pamanahan beserta keluarganya, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Mentaok dan membuka pemukiman yang semakin berkembang yang kemudian disebut Kotagede. Pamanahan menjadi pemimpin pertama bergelar Kiyai Gede Mataram. Adapun status Mataram adalah tanah perdikan atau daerah otonom yang bebas pajak, di mana Kiyai Gede Mataram hanya memiliki kewajiban menghadap saja kepada Sultan Adiwijaya.
Kiyai Gede Mataram memimpin Mataram hingga meninggal pada tahun 1584 dan dimakamkan di Pasarean Mataram. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin selanjutnya. Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senapati, yang memerdekakan diri dari Pajang.
Referensi
Kutipan
- ^ a b c d Graaf, H.J. de (1985). Awal Kebangkitan Mataram: masa pemerintahan Senapati. Seri Terjemahan Javanologi nr. 3. Jakarta: Grafiti Pers. (Terjemahan dari "De Regering van Panembahan Sénapati Ingalaga". Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel XIII. s'-Gravenhage - Martinus Nijhoff, 1954.)
- ^ Padmasoesastra (1912). Sadjarah Dalem Pangiwa lan Panengen.
Sumber
- Graaf, H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati. Seri Terjemahan Javanologi nr. 3. Terjemah dari KITLV. 1954. De Regering van Senapati Ingalaga. Grafiti Pers. Jakarta
- Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu