Hamengkubuwana I
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Sri Sultan Hamengkubuwana I (bahasa Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧇, 6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792
Hamengkubuwana I ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧑꧇ | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Susuhunan Kabanaran Sri Sultan Hamengkubuwana I | |||||||||
Sultan Yogyakarta | |||||||||
Bertakhta | 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792 | ||||||||
Penobatan | 13 Maret 1755[1] | ||||||||
Pendahulu | Amangkurat IV | ||||||||
Penerus | Hamengkubuwana II | ||||||||
Kelahiran | Raden Mas Sujana 4 Agustus 1717 (Rabu Pon, 26 Ruwah Wawu 1641) Kartasura, Mataram | ||||||||
Kematian | 24 Maret 1792 Karaton Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat[1] | (umur 74)||||||||
Pemakaman | |||||||||
Permaisuri |
| ||||||||
| |||||||||
Wangsa | Mataram | ||||||||
Ayah | Amangkurat IV | ||||||||
Ibu | Mas Ayu Tejawati[1] | ||||||||
Agama | Islam |
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram kedelapan, yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 Keraton Kartasura diserbu kelompok pemberontak. Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukawati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukawati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Sambernyawa pada tahun 1746, tetapi ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut PB II supaya membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Raden Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Kehidupan Pribadi
Permaisuri
(garwa padmi)
- Gusti Kanjeng Ratu Kencana
putri Bendara Pangeran Harya Dipanegara Madiun. Kakek dari pihak ayah adalah Pakubuwana I - Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten
putri Ki Ageng Drepayuda. Ia juga dikenal sebagai Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau Gusti Kanjeng Ratu Hageng setelah kematian suaminya
Selir
(garwa ampeyan)
- Bendara Raden Ayu Tilarsa
- Bendara Mas Ayu Sawerdi
- Bendara Raden Ayu Srenggara
putri Ki Tumenggung Natayudha, Bupati Kedu - Bendara Mas Ayu Mindaka
- Bendara Mas Ayu Asmarawati
- Bendara Raden Ayu Jumanten
- Bendara Mas Ayu Wilapa
- Bendara Mas Ayu Ratnawati
- Bendara Mas Ayu Chindaka
- Bendara Mas Ayu Tandhawati
- Bendara Mas Ayu Turunsi
- Bendara Raden Ayu Ratna Puryawati
- Bendara Raden Ayu Daya Asmara
- Bendara Mas Ayu Gandasari
- Bendara Mas Ayu Karnakawati
- Bendara Mas Ayu Setyawati
- Bendara Mas Ayu Padmasari
- Bendara Mas Ayu Sari
- Bendara Mas Ayu Pakuwati
- Bendara Mas Ayu Chitra Kusuma
Anak
- Gusti Raden Mas Intu
lahir dari GKR. Kencana, kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra. Ia meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti[2]. - Gusti Pangeran Hangabehi
lahir dari BRAy. Tilarsa - Gusti Raden Mas Sundara
lahir dari GKR. Kadipaten. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana II - Bendara Pangeran Harya Demang Tanpanangkil
lahir dari BMAy. Sawerdi - Bendara Pangeran Harya Dipasanta
lahir dari BMAy. Asmarawati - Bendara Pangeran Harya Natakusuma
lahir dari BRAy. Srenggara. Diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I - Bendara Pangeran Harya Kusumayudha
lahir dari BMAy. Wilapa. Ia juga dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Hadikusuma - Bendara Pangeran Harya Silarang
lahir dari BMAy. Cindhaka. Ia juga dikenal sebagai Bendara Pangeran Harya Dipawijaya I atau Pangeran Harya Haji Muhammad Abu Bakar - Bendara Raden Mas Adiwijaya
lahir dari BMAy. Tandhawati. Kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panular, seorang Wakil Dalem untuk Hamengkubuwana V - Bendara Pangeran Harya Mangkukusuma
lahir dari BMAy. Turunsi. Ia juga seorang Wakil Dalem - Bendara Pangeran Harya Hadikusuma II
lahir dari BRAy. Daya Asmara - Bendara Pangeran Harya Dipasana
lahir dari BMAy. Gandasari - Bendara Pangeran Harya Blitar
lahir dari BRAy. Daya Asmara - Bendara Raden Mas Sudarma
lahir dari BMAy. Setyawati. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Santakusuma - Bendara Raden Mas Sabiril
lahir dari BMAy. Padmasari. Ia kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panengah - Bendara Raden Mas Suwardi
lahir dari BMAy. Sari - Gusti Raden Ajeng Inten
lahir dari GKR. Kencana. Ia kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Menikah dengan Mangkunegara I lalu bercerai, menikah lagi dengan Kanjeng Pangeran Harya Dipanegara (Panembahan Herucokro Madiun)[3] - Bendara Raden Ayu Jayaningrat
lahir dari BRAy. Tilarsa - Bendara Raden Ayu Purbayasa
lahir dari BRAy. Srenggara. Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Dhanukusuma. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanukusuma, putra sulung Danurejo I - Bendara Raden Ayu Sasradiningrat
lahir dari BMAy. Mindaka - Bendara Raden Ayu Rangga Prawiradirja
lahir dari BRAy. Srenggara - Bendara Raden Ayu Natayudha I
lahir dari BRAy. Jumanten - Bendara Raden Ayu Yudhakusuma I
lahir dari BRAy. Srenggara - Bendara Raden Ayu Sasrakusuma I
lahir dari BMAy. Ratnawati - Bendara Raden Ayu Yudhakusuma II
lahir BMAy. Trisnawati - Bendara Raden Ajeng Sutiya
Ia juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Jayadiwira - Bendara Raden Ayu Pringgalaya
lahir dari BRAy. Daya Asmara - Bendara Raden Ayu Dhanunegara
lahir dari BMAy. Turunsi - Bendara Raden Ayu Mangkundirja
lahir dari BMAy. Pakuwati - Bendara Raden Ayu Ratnadinigrat
lahir dari BMAy. Chitra Kusuma - Bendara Raden Ayu Purwadipura
lahir dari BMAy. Sari - Bendara Raden Mas Surodirjo (Bupati Muneng)
lahir dari Bendara Raden Ayu Retno Jumanten
Perlawanan
Perang antara Mangkubumi dan Sambernyawa melawan kedudukan Pakubuwana II yang disebut para sejarawan disebut sebagai Perang Takhta Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan Mataram kepada VOC untuk melindungi segenap keluarganya pada tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai susuhunan bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di basis pertahanannya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II yang bernama Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Raden Mas Suryadi disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kabanaran, karena bermarkas di desa Banaran di daerah Sukawati (sekarang Sragen).
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.
Perselisihan
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Sambernyawa terjadi perselisihan. Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Sambernyawa akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua 10.000 real untuk Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwana III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah Mataram yang dikuasai Pakubuwana III dibagi menjadi dua. Mangkubumi mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwana III dan VOC menjadi persekutuan untuk menghancurkan pemberontakan kelompok Pangeran Sambernyawa.
Bersekutunya Mangkubumi dengan Pakubuwana III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Mendirikan Yogyakarta
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III sebagai susuhunan tetap melanjutkan pemerintahan di Surakarta, sedangkan Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I menjadi sultan di Yogyakarta. Kemudian, Mangkubumi resmi menjadi sultan namun ia belum mendirikan keraton untuk tempat pemerintahnya. Untuk mendirikan keraton Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya. Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ayogya sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya.[4] Oleh karena itu, ibu kota baru dari kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari desa Banaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kesultanan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
Usaha Menaklukkan Surakarta
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berambisi ingin mengembalikan Mataram menjadi kerajaan yang utuh. Surakarta saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III yang mendapat perlindungan dari Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk memerangi Surakarta sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunagara I yang memiliki ambisi yang sama, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwana IV sebagai susuhunan memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwana I. Pakubuwana IV juga berambisi mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwana IV mengabaikan atas berdirinya Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwana I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi pangeran, Pakubuwana IV juga tidak mengakui hak waris takhta adipati anom (putra mahkota) Yogyakarta. Pihak VOC mulai resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka di Jawa kembali bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras.
Pakubuwana IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kesultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung jawab kerajaan.
Sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini beriring dengan munculnya penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I kembali bersekutu bersama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Pakubuwana IV memiliki penasihat spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasihat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasihat spiritual dengan golongan bangsawan yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwana III dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan pewaris takhta Pakubuwana III lahir untuk menggantikan peran ayahnya.
Sebagai Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai sultan terbesar Yogyakarta layaknya Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang sultan bijaksana yang ahli dalam strategi perang, tetapi juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Yogyakarta. Taman Sari Yogyakarta di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan kesultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.[5]
Penghargaan
- Bintang Mahaputera Adipurna (2006)
Referensi
- ^ a b c Biografi singkat HB I Diarsipkan 2019-04-07 di Wayback Machine.. kratonjogja.id. 2019. Diakses tanggal 19/07/2019
- ^ crew, kraton. "Sri Sultan Hamengku Buwono II". kratonjogja.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-07. Diakses tanggal 2022-07-07.
- ^ "Ratu Bendara, Perempuan Korban Pernikahan Politis". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2023-01-19. Diakses tanggal 2024-02-23.
- ^ Surjomihardjo, Abdurracham. 2008. Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe, Sejarah Sosial 1880–1930. Jakarta: Komunitas Bambu.
- ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional Diarsipkan 2007-03-10 di Wayback Machine., 10 November 2006
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Pranala luar
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: - |
Sultan Yogyakarta 1755-1792 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwana II |