Kwee Thiam Tjing
Kwee Thiam Tjing (lahir 9 Februari 1900 di Pasuruan, meninggal 28 Mei 1974 di Jakarta). Ia menempuh pendidikannya di ELS (Europeesch Lagere School) di kota Malang dan kemudian terjun ke dunia jurnalisme. Ia menguasai bahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian. Bahan-bahan tulisannya mencakup segala lapisan masyarakat: kawan-lawan, lelaki-perempuan, tua-muda dll.
Pada 1926 ia dikenai sembilan delik pers, sehingga terpaksa mendekam selama sepuluh bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan penjara Cipinang, Jakarta.
Tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai penerbitan saat itu, seperti Pewarta Soerabaia, Soeara Poeblik, Sin Tit Po, Matahari Semarang hingga Indonesia Raja. Kwee sendiri mengelola langsung Pembrita Djember.
Dipertengahan taon 1941, Uniforem Stadwacht Waak ia kenaken demi seboewah persamaan hak dan koeadjiban manoesia, hingga setengah djam sebeloem balatentara Da`i Nippon indjak kota Malang.
Nonton Loedroek orah ken`o `nggoejoe, ia gambarken soeasana saat Sang petroek ingkang dadoes ratoe. Djamino dan Djoliteng ia namaken pada sebagean kaoem dari bangsa jang baroe memoelai soeatoe Revoloesi.
Pada pertengahan 1947 kota Malang berubah menjadi lautan api. Kwee melaporkan kejadian-kejadian itu dengan cermat hingga tragedi Mergosono yang mungkin telah banyak dilupakan orang.
Berbagai kejadian yang diamatinya itu, termasuk masa-masa sebelumnya yang terjadi pada masa paling kacau di Indonesia (1939-1947) tulisnya dalam sebuah buku setebal 200 halaman dengan menggunakan kertas merang, tanpa penerbit dan nama pengarang. Isinya adalah sebuah catatan peringatan untuk anak-cucunya, sebuah kenangan yang diberinya judul "Indonesia dalem Api dan Bara".
Setelah terbitnya buku kenangan itu, Kwee lama menghilang dari dunia jurnalisme Indonesia. Baru 24 tahun kemudian ia mendadak muncul kembali dalam sebuah tulisan semacam obituari di harian "Indonesia Raya" yang dikelola Mochtar Lubis. Tulisannya muncul dalam 34 judul dengan 91 edisi penerbitan selama 1971-1973.
Pada akhir Mei 1974, Kwee meninggal dunia dan dikebumikan di pemakaman Tanah Abang I (kini Taman Prasasti) di Jakarta. Ketika pemakaman Tanah Abang I digusur, makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasikan dan abunya dibuang ke Laut Jawa.
NB: saja heran kenapa moesti diantjem aken dihapoes? saja sebetoelnja tida bisa berkata laen dan kenapa para siansing disini sanget menghormati "EYD" jang kebetoelan diboeat oleh pengoeasa Orde baroe, apa kah bahasa melajoe rendah soedah tida boleh bernapas sebentaran di masa kini?, saja pertjaja oleh siansing2 jang terhormat, ternama dan terpeladjar pasti bisa menbedaken apa-apa jang dipaksa dan apa apa jang tida ( berdjalan sesoeai kemaoean penoelis), disini saja tida aken padjang lebar berharep sesoeatoe dari toean2 jang ternama, terhormat, saja tida aken maoe merobah-robah jang belon tentoe bagoes dari toelisan asal dari opa Kwee, tapi djika siansing disini tida soeka tak perloe antjem antjem, biar esok atawa loesa saja liat toelisan jang pernah saja tampilken soedah tida ada, dan itoe makin teges saja taoe sifat siansing disini. karena saja paham saja sekarang tjoeman noempang jang kapan waktoe bisa dilempar ke djalan besar.