Pemberontakan di Aceh
Pemberontakan di Aceh oleh pemerintah Indonesia, adalah konflik yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) antara tahun 1976 dan 2005, dengan tujuan menjadikan provinsi Aceh merdeka dari Indonesia. Pasca serangan militer yang kuat pada tahun 2003 dan gempa bumi Samudra Hindia 2004 menghasilkan kesepakatan damai dan diakhirinya pemberontakan.[11]
Pemberontakan di Aceh | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Prajurit wanita Gerakan Aceh Merdeka bersama Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999 | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
|
| ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Soeharto B. J. Habibie Abdurrahman Wahid Megawati Sukarnoputri Susilo Bambang Yudhoyono Try Sutrisno Endriartono Sutarto Sutiyoso Bambang Darmono Da'i Bachtiar |
Hasan di Tiro Zaini Abdullah Abdullah Syafi'i †[1] Muzakir Manaf Sofyan Daud Ayah Muni †[2] Ishak Daud †[3] | ||||||
Kekuatan | |||||||
12.000 (1990)[4] 30.000 (2001)[4] 15.000 (2002)[5] 35.000[6]–50.000 (2003)[4] |
25 (1976)[7] 200 (1979–1989)[7] 750 (1991)[5] 15.000–27.000 (1999)[7] 3.000 (2005)[8] | ||||||
Korban | |||||||
kurang dari 100 orang terbunuh[9] |
Warga sipil dan militer terbunuh: |
Latar belakang
Ada perbedaan budaya dan agama antara Aceh dan daerah lain di Indonesia. Bentuk Islam yang lebih konservatif dianut di Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kebijakan sekuler yang bersifat umum pada rezim Soeharto Orde Baru (1965–1998) khususnya tidak populer di Aceh karena banyak orang yang membenci kebijakan pemerintah pusat yang mempromosikan persatuan dan kesatuan 'Budaya Indonesia'.[12] Lebih jauh lagi, mengingat letak provinsi ini yang berada di ujung utara Indonesia, terdapat perasaan yang tersebar luas di provinsi ini bahwa para pemimpin di wilayah yang jauh dari Jakarta tidak memahami permasalahan Aceh dan kurang atau tidak mempunyai simpati terhadap kebutuhan dan adat istiadat setempat di Aceh.[13]
Garis waktu
Tahap pertama
Kecenderungan sentralistik pemerintahan Soeharto, serta keluhan-keluhan lainnya, menyebabkan Hasan di Tiro membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dirasakan adalah terhadap agama dan budaya Aceh dari pemerintahan "neo-kolonial" dan meningkatnya jumlah migran Orang Jawa yang datang ke Aceh. Permasalahan lainnya adalah distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam Aceh yang melimpah. Operasi pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.[butuh rujukan]
Pada tahap ini, jumlah yang dimobilisasi oleh GAM sangat terbatas. Meskipun terdapat banyak ketidakpuasan dan simpati masyarakat Aceh terhadap perjuangan GAM, hal ini tidak berarti partisipasi aktif masyarakat.[14] Menurut penuturan Di Tiro sendiri, hanya 70 orang laki-laki yang bergabung dengannya dan mereka sebagian besar berasal dari Kabupaten Pidie dan terutama dari desa tempat Di Tiro sendiri—ada yang bergabung karena kesetiaan pribadi kepada keluarga di Tiro dan ada pula yang karena alasan kesetiaan pribadi kepada keluarga Di Tiro kekecewaan terhadap pemerintah pusat.[14] Banyak pemimpin GAM adalah para profesional muda dan berpendidikan tinggi yang merupakan anggota masyarakat kelas atas dan menengah di masyarakat Aceh.[15]
Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro selama berada di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari Pemberontakan Darul Islam berikut:[16]
- Teungku Hasan di Tiro: Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan panglima tertinggi
- Dr. Muchtar Hasbi: wakil presiden; Menteri Dalam Negeri
- Tengku Muhamad Usman Lampoih Awe : Menteri Keuangan
- Tengku Haji Ilyas Leube : Menteri Kehakiman
- Dr. Husaini M. Hasan : Menteri Pendidikan dan Penerangan
- Dr. Zaini Abdullah : Menteri Kesehatan
- Dr. Zubir Mahmud : Menteri Sosial
- Dr. Asnawi Ali : Menteri Pekerjaan Umum dan Perindustrian
- Amir Ishak: Menteri Perhubungan
- Amir Rasyid Mahmud : Menteri Perdagangan
- Malik Mahmud : Menteri Negara
Kalangan menengah dan rakyat jelata pernah bertempur dalam Pemberontakan Darul Islam tahun 1953–1959.[14] Banyak dari mereka adalah orang-orang lanjut usia yang tetap setia kepada bekas Aceh. gubernur militer dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh Daud Beureueh.[17] Tokoh yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.[17] Beberapa anggota Darul Islam kemungkinan memiliki hubungan dengan Di Tiro melalui ikatan keluarga atau daerah, namun kesetiaan mereka terutama diberikan kepada Beureueh.[17] Orang-orang ini memberikan pengetahuan militer, pengetahuan lokal, dan keterampilan logistik yang yang tidak dimiliki oleh para pemimpin muda terpelajar.[17]
Pada akhir tahun 1979, tindakan penindasan yang dilakukan Indonesia telah menghancurkan GAM—para pemimpinnya diasingkan, dipenjarakan, atau dibunuh; pengikutnya dibubarkan dan didorong ke bawah tanah.[18] Para pemimpin seperti di Tiro, Zaini Abdullah (Menteri Kesehatan GAM), Malik Mahmud (Menteri Negara GAM), dan Dr. Husaini M. Hasan (Menteri Pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli tidak lagi berfungsi.[19]
Tahap kedua
Pada tahun 1985, di Tiro mendapatkan dukungan Libya untuk GAM—memanfaatkan kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui apa yang disebut Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme.[20] Tidak jelas apakah Libya kemudian mendanai GAM, namun yang jelas Libya menyediakan tempat perlindungan di mana anggota GAM dapat menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.[20] Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah pejuang yang dilatih oleh Libya selama periode 1986 hingga 1989 atau 1990.[20] Perekrut GAM menyatakan bahwa ada sekitar 1.000 hingga 2.000 orang, sementara laporan pers yang diambil dari laporan militer Indonesia menyatakan bahwa jumlah mereka berjumlah 600 orang. hingga 800.[20] Di antara para pemimpin GAM yang bergabung pada fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM Peureulak, Aceh Timur).[21]
Insiden pada tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya para peserta pelatihan dari Libya.[22] Operasi yang dilakukan GAM meliputi perampasan senjata, penyerangan terhadap pos polisi dan militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan terhadap personel polisi dan militer, informan pemerintah dan individu lainnya.[22]
Meskipun gagal mendapatkan dukungan luas, tindakan kelompok ini menyebabkan pemerintah Indonesia melakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 dikenal sebagai era "Daerah Operasi Militer" (DOM) ketika militer Indonesia meningkatkan upaya pemberantasan pemberontakannya. tindakan.[18] Tindakan ini, meskipun secara taktis berhasil menghancurkan GAM sebagai kekuatan gerilya, namun mengasingkan masyarakat Aceh setempat yang membantu GAM membangun kembali dirinya ketika militer Indonesia hampir ditarik seluruhnya dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir tahun 1998.[23] Komandan penting GAM terbunuh (Komandan Distrik Pasè Yusuf Ali dan Panglima Senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah Ibrahim) atau melarikan diri (Robert, Arjuna dan Daud Kandang).[24]
Tahap ketiga
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.[25] Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.[26]
Tahun 1999 juga merupakan tahun dimulainya proses dialog pertama antara Pemerintah Indonesia dan GAM.[27] Proses ini diprakarsai oleh Pusat Dialog Kemanusiaan (HD) sebuah organisasi diplomasi swasta yang memfasilitasi pembicaraan damai antara kedua belah pihak hingga tahun 2003.[28]
Selama fase ini, terdapat dua periode penghentian permusuhan singkat yang ditengahi oleh HD: "Humanitarian Pause"[28][29] pada tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA). COHA ditandatangani pada bulan Desember 2002. Penerapan Jeda Kemanusiaan dan COHA menghasilkan berkurangnya bentrokan bersenjata dan kekerasan di Aceh.[30] COHA berakhir pada bulan Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia mendeklarasikan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa mereka ingin menghancurkan GAM untuk selamanya.[31]
Untuk melepaskan diri dari penekanannya pada cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM mengubah posisinya menjadi mendukung diadakannya referendum. Pada demonstrasi pro-referendum tanggal 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi bagi pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibu kota provinsi.[32] Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan Perwakilan Aceh Sedunia di Stavanger, Norwegia.[33] Dalam deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa "Negara Aceh menerapkan sistem demokrasi."[33] Aspinall melihat bahwa dorongan demokrasi dan hak asasi manusia di dalam tubuh GAM merupakan dampak dari upaya masyarakat Aceh yang berbasis perkotaan. kelompok yang mempromosikan nilai-nilai tersebut di lingkungan yang lebih bebas dan terbuka setelah jatuhnya Soeharto dari kekuasaan.[34] Tindakan keras keamanan pada tahun 2001 dan 2002 mengakibatkan ribuan warga sipil tewas. Sepanjang konflik diperkirakan 15.000 orang telah terbunuh. Pemerintah melancarkan sebuah serangan dan keadaan darurat diumumkan di Provinsi tersebut. Selama periode ini, GAM mengalami cacat parah dengan komandannya Abdullah Syafei terbunuh dalam penyergapan pemerintah pada bulan Januari 2002, sementara berbagai komandan daerah seperti Tengku Jamaika dan Ishak Daud juga terbunuh. Menurut pengakuan GAM sendiri, GAM kehilangan 50% kekuatannya selama serangan pemerintah pada tahun 2003–2005. Pemberontakan masih berlangsung ketika bencana tsunami tahun 2004 melanda provinsi tersebut. Pada bulan November 2003, darurat militer diperpanjang selama enam bulan berikutnya. Menurut laporan Human Rights Watch,[35] militer Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas selama invasi dan pendudukan, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi dalam tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar proses hukum merupakan hal biasa.
Kesepakatan damai dan pilkada pertama
Setelah tsunami dahsyat pada bulan Desember 2004, GAM mendeklarasikan gencatan senjata sepihak, dan anggota komunitas internasional menegaskan kembali perlunya menyelesaikan konflik tersebut. Dari sekian banyak kisah proses negosiasi, salah satunya dari pihak Indonesia terdapat dalam buku yang ditulis oleh negosiator utama Indonesia, Hamid Awaludin.[36] Penjelasan berbeda ditulis oleh penasihat GAM, Damien Kingsbury: 'Perdamaian di Aceh: Kisah Pribadi Proses Perdamaian Aceh[37] Meskipun ada gencatan senjata sepihak yang dilakukan GAM, TNI terus melakukan serangan terhadap personel dan posisi GAM. Karena adanya gerakan separatis di wilayah tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka wilayah tersebut untuk menerima bantuan internasional.[38] Tsunami menarik perhatian internasional terhadap konflik tersebut. Upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, namun karena sejumlah alasan, termasuk tsunami, ketidakmampuan kedua belah pihak untuk memenangkan konflik secara militer dan, terutama, keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjamin perdamaian di Indonesia, sebuah perdamaian. kesepakatan dicapai pada tahun 2005 setelah 29 tahun perang. Indonesia pasca-Soeharto dan periode reformasi demokrasi liberal, serta perubahan dalam militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung perundingan perdamaian. Peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang baru terpilih sangatlah penting.[39] Pada saat yang sama, kepemimpinan GAM sedang mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang ada, dan Militer Indonesia telah menempatkan gerakan pemberontak di bawah tekanan yang signifikan sehingga mendorong GAM untuk menerima hasil yang tidak berarti kemerdekaan penuh.[40] Pembicaraan damai difasilitasi oleh Crisis Management Initiative dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perjanjian perdamaian yang dihasilkan[41] ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, dan pasukan pemerintah non-organik (yaitu non-asli Aceh) akan ditarik dari provinsi tersebut (hanya menyisakan 25.000 tentara) sebagai imbalan atas perlucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau. Misi mereka berakhir pada 15 Desember 2006, setelah pemilihan kepala daerah.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui Peraturan Pemerintah Aceh yang mencakup hak-hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, para aktivis hak asasi manusia menggarisbawahi bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di provinsi ini perlu diatasi.[42]
Pada pemilihan gubernur provinsi yang diadakan pada bulan Desember 2006, mantan GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilu ini dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis pendukungnya sebagian besar adalah mantan anggota GAM.[43]
Kemungkinan penyebab konflik
Sejarah
Kawasan ini pertama kali jatuh ke tangan kekuasaan Belanda akibat ekspedisi Belanda di pantai barat Sumatera pada tahun 1831.
Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.[44]
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:
- 1945–1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.[45]
- 1953–1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan pan-Indonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme.[46][47]
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat.[48] Tim Kell juga menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.[49]
Agama
Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun, secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk ke kepulauan Melayu. Kerajaan Islam pertama yang dikenal adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk mendukung pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan Melayu melihat untuk belajar.[50] Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.
Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tahun 1939 oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat terobosan di Aceh di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya beretnis non-Aceh.[51] Namun, juga perlu dicatat bahwa meskipun organisasi PUSA bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi berhaluan pan-Islamisme di mana tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di bawah syariah.[52]
Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru rezim Presiden Soeharto. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Anggota dan simpatisan partai politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan.[53] Walaupun Aceh mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah) dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.[54]
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan Orde Baru terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang Sabi ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional Indonesia, Indonesia Raya.[22] Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan Pancasila, ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran politeistik" yang dilarang oleh Islam.[55]
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan syariah di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya referendum kemerdekaan Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) di Aceh.[56] Demikian pula, posisi GAM pada syariah juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 44/1999 tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.[57] Meskipun mengubah sikap terhadap syariah, posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh. [58] Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.[59]
Keluhan ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab pemberontakan Aceh.[60] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[61] Meskipun demikian, hampir semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[62] Selain itu, pemerintah pusat tidak kembali menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh.[63] Hal ini menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran.[64]
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[65] Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan.[66] Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
- Aceh, Sumatra, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa.[67]
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.[68] Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik.[69] Dia melanjutkan bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.[69]
Peran GAM dalam memprovokasi keluhan
Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik terhadap GAM.
Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau.[70] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (1873-1914).[70] Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh Belanda tersebut.[70] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum internasional.
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
- ""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name."[71] (BI: ""Indonesia" adalah sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa. Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.")
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.[72] Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah Aceh") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara.[73] Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.[74]
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat.[75] Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif Indonesia tahun 1977.[76] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.[76]
Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan
Daya tahan jaringan GAM
Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi.[77] Banyak yang merasa bahwa mereka sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau sepupu laki-laki yang biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM; dan orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan negara telah mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM.[77] Konstituen GAM juga sering merupakan penduduk masyarakat pedesaan di mana semua orang tahu dan kenal erat dengan tetangga mereka.[77] Adanya pertalian erat ini memungkinkan kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi terhadap infiltrasi oleh aparat intelijen negara.
Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer regional (atau panglima wilâyah) adalah satuan yang diperintah oleh komandan junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah (Panglima Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas mereka.[78] Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai sebuah organisasi meskipun ada di bawah upaya penekanan kuat oleh aparat keamanan negara Indonesia.
Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia
Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM.[79] Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.[79] Amnesty International mencatat:
- Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.[80]
Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh Amnesty International:
- "Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai berikut. Mayat-mayat korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di samping jalan utama, di ladang dan perkebunan, sungai atau tepi sungai - tampaknya sebagai peringatan kepada orang lain untuk tidak bergabung atau mendukung pemberontak. Sebagian besar jelas adalah tahanan ketika mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadang-kadang kaki mereka, diikat dengan jenis simpul tertentu. Sebagian besar telah ditembak dari jarak dekat, meskipun peluru jarang ditemukan di tubuh mereka. Kebanyakan juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli dengan benda tumpul atau disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali. Dalam banyak kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman, baik karena takut pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya dibuang agak jauh dari desa asal mereka.[80]
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty International berikut:
- ....Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" - digunakan sebelumnya di Timor Timur - di mana penduduk desa biasa dipaksa menyapu melalui daerah tertentu di depan pasukan bersenjata, baik dalam rangka untuk menghalau pemberontak dan juga untuk menghambat mereka untuk membalas tembakan. Elemen penting dalam keberhasilan operasi ini adalah kelompok-kelompok lokal yang "main hakim sendiri" dan patroli malam yang terdiri dari warga sipil, tetapi dibentuk di bawah perintah dan pengawasan militer. Antara 20 dan 30 pemuda dimobilisasi dari setiap desa di daerah yang dicurigai daerah pemberontak. Dalam kata-kata seorang komandan militer setempat: "Para pemuda adalah garis depan. Mereka adalah yang terbaik dalam mengetahui siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian menyelesaikan masalah tersebut." Menolak untuk berpartisipasi dalam kelompok-kelompok tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen yang cukup untuk menghancurkan musuh dengan mengidentifikasi, menangkap atau membunuh terduga pemberontak kadang-kadang mengakibatkan hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan umum, penangkapan dan eksekusi.[80]
Kepentingan militer Indonesia di Aceh
Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM di Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut.[81] ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran ."[82]
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:[83]
- Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja.
- Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
- Pembalakan liar: Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.
- Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk "mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.
- Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.
- Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.
Kemungkinan faktor resolusi damai
Melemahnya posisi militer GAM
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.[84] GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya.[84] Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah.[84] Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe-nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.[84]
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak.[85] Meski meragukan keakuratan jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM.[86]
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah.[87] Mantan pemimpin GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka.[87] Walaupun pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah Indonesia.[87] Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan".[88] Saat diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:
- "Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak, tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi kenyataan. Inilah yang kami lakukan.[89]
Tekanan internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani bulan Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat junior.
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh.[90] Tentang hal ini, Malik berkata:
- Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka, jadi kami berpikir selama proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di hadapan kami.[90]
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh komunitas internasional.[91]
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004
Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama.[92]
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.[92] Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung dimulainya kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat militer masih diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung).[93] Saat itu, Kalla, melalui orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus pemimpinnya di Swedia.[92] Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki.
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi.[94] Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu, sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.[95]
Laporan Time To Face The Past
Pada April 2013, Amnesty International meluncurkan laporan Time To Face The Past ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, Amnesty International menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai lembawa swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, pengacara, anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, jurnalis, dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai nota kesepahaman 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.[96]
Selain itu, laporan Time To Face The Past berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur Asia Pasifik Amnesty International Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan BBC bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut.[97]
Lihat pula
Referensi
- ^ Indonesia – OCHA consolidated situation report No. 60 http://reliefweb.int/report/indonesia/indonesia-ocha-consolidated-situation-report-no-60#sthash.zrgPBcJj.dpuf ReliefWeb, 25 Januari 2002
- ^ TNI claims to have shot GAM commander Diarsipkan 3 Juni 2015 di Wayback Machine. The Jakarta Post, 30 Mei 2011
- ^ "ISHAK DAUD, War of the End in Alue Nireh". steemit (dalam bahasa Inggris). 2018-12-02.
- ^ a b c Uppsala conflict data expansion. Non-state actor information. Codebook pp. 295–296
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaREF1
- ^ Global Security – Free Aceh Movement
- ^ a b c d e f g h i Michael L.Ross (2007). "Resources and Rebellion in Aceh , Indonesia" Diarsipkan 30 Oktober 2008 di Wayback Machine. (PDF), pp. 6. The World Bank.
- ^ ECP. Annuario 2006 de procesos de paz. Vicenç Fisas Diarsipkan 4 March 2016 di Wayback Machine. pág. 75.
- ^ Paul, Christopher; Clarke, Colin P.; Grill, Beth; Dunigan, Molly (2013). "Indonesia (Aceh), 1976–2005". Paths to Victory. RAND Corporation. hlm. 403–414. ISBN 9780833081094. JSTOR 10.7249/j.ctt5hhsjk.47.
- ^ "Indonesia agrees Aceh peace deal". BBC News. 17 Juli 2005. Diakses tanggal 11 Oktober 2008.
- ^ "Insurgency in Aceh | The Resilience of Nature". blogs.ntu.edu.sg. Diakses tanggal 13 Mei 2020.
- ^ "Indonesia: The War In Aceh – Summary and Recommendations". www.hrw.org. Diakses tanggal 13 Mei 2020.
- ^ "CNN.com – Aceh: A timeline of insurgency – 19 Mei 2003". edition.cnn.com. Diakses tanggal 13 Mei 2020.
- ^ a b c Schulze (2004), hlm. 14
- ^ di Tiro (1984), hlm. 108
- ^ Schulze (2004), hlm. 10
- ^ a b c d Aspinall (2009), hlm. 63
- ^ a b Schulze (2004), hlm. 4
- ^ Schulze (2004), hlm. 11
- ^ a b c d Aspinall (2009), hlm. 105
- ^ Schulze (2004), hlm. 15–16
- ^ a b c Aspinall (2009), hlm. 110
- ^ Leonard Sebastian, "Realpolitik: Indonesia's Use of Military Force", 2006, Institute of Southeast Asian Studies
- ^ Aspinall (2009), hlm. 113
- ^ Miller, Michelle Ann. op. cit.
- ^ The Indonesian Observer. 2 Desember 1999. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ Amer, Ramses; Zou, Keyuan (2011). Conflict Management and Dispute Settlement in East Asia. Ashgate Publishing, Ltd. hlm. 87. ISBN 978-1409419976.
- ^ a b Aspinall, Edward; Crouch, Harold (2003). "The Aceh Peace Process: Why it Failed" (PDF). Policy Studies. East-West Center Washington. 1: 18–20. ISBN 1-932728-01-5.
- ^ "SECRETARY-GENERAL WELCOMES "HUMANITARIAN PAUSE" AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN GOVERNMENT, FREE ACEH MOVEMENT". www.un.org. Diakses tanggal 14 Oktober 2015.
- ^ "Military operations in Aceh to start soon". www.thejakartapost.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 November 2015. Diakses tanggal 14 October 2015.
- ^ Aspinall (2005), hlm. vii
- ^ "Millions demand referendum in Aceh". Green Left. 27 November 1996. Diakses tanggal 23 Oktober 2012.
- ^ a b "Acheh: The Stavanger Declaration". Unrepresented Nations and Peoples Organization. Diakses tanggal 23 Oktober 2012.
- ^ Aspinall (2009), hlm. 142
- ^ Human Rights Watch
- ^ Awaludin (2009)
- ^ Kingsbury (2006), hlm. 15
- ^ "Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 28 Februari 2008. Diakses tanggal 16 Maret 2008.
- ^ Lihat Awaludin (2009).
- ^ Asia Times Online :: Southeast Asia news – A happy, peaceful anniversary in Aceh
- ^ Text of the MOU Diarsipkan 18 April 2013 di Wayback Machine. (PDF format)
- ^ "Next steps for Aceh after the peace pact". 26 Agustus 2005.
- ^ Ansori, Mohammad (1 November 2012). "From Insurgency to Bureaucracy: Free Aceh Movement, Aceh Party and the New Face of Conflict". Stability: International Journal of Security and Development (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 31–44. doi:10.5334/sta.ah . ISSN 2165-2627.
- ^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 47.
- ^ ibid. hlm. 31.
- ^ Aspinall (2009), hlm. 48
- ^ Jo, Hendi (9 Oktober 2015). "Bung Karno's Tears Melt in Aceh". Historia.id.
- ^ Robinson, Geoffrey (1998). "Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Aceh". Indonesia (66): 130.
- ^ Kell, Tim (1995). Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project. hlm. 28. ISBN 978-6028397179. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 23.
- ^ Morris, Eric Eugene (1983). Islam and Politics in Aceh: A Study of Center-Periphery Relations in Indonesia. Ithaca, N.Y.: PhD Dissertation, Cornell University. hlm. 78.
- ^ ibid. hlm. 84.
- ^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 52.
- ^ Morris. Islam and Politics in Aceh. hlm. 276–281.
- ^ Aspinall (2009), hlm. 199
- ^ ibid. hlm. 197.
- ^ ibid. hlm. 194.
- ^ "Islamic Law and Criminal Justice in Aceh". International Crisis Group (117): 5. 31.
- ^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 200–202.
- ^ Robinson (1998), hlm. 160
- ^ Dawood & Syafrizal (1989), hlm. 117
- ^ Dawood & Syafrizal (1989), hlm. 115
- ^ Robinson (1998), hlm. 136
- ^ Kell (1995), hlm. 30
- ^ Robinson (1998), hlm. 137
- ^ Robinson (1998), hlm. 138
- ^ di Tiro (1984), hlm. 16
- ^ Robinson (1998), hlm. 139
- ^ a b Aspinall (2007), hlm. 964–967
- ^ a b c Aspinall. Islam and Nation. hlm. 76.
- ^ Tiro. The Price of Freedom. hlm. 248.
- ^ Drexler, Elizabeth (2008). Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State. Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. hlm. 69. ISBN 978-0-8122-4057-3.
- ^ Sulaiman, M. Isa (2006). "From Autonomy to Periphery". Verandah of Violence: The Background of the Aceh Problem. ed Anthony Reid. Singapore: Singapore University Press: 138.
- ^ Aspinall. Islam and Nation. hlm. 78.
- ^ Morris. Islam and Politics in Aceh. hlm. 301.
- ^ a b Aspinall. Islam and Nation. hlm. 79.
- ^ a b c ibid. hlm. 91. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ ibid. hlm. 90. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ a b Robinson. "Rawan is as Rawan Does". Indonesia: 140.
- ^ a b c Document - Indonesia: "Shock Therapy": Restoring Order in Aceh 1989-1993. Amnesty International. 1993. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-11-14. Diakses tanggal 2013-04-24.
- ^ Kingsbury, Damien (2006). "Military Business in Aceh". Verandah of Violence: The Background to the Aceh Conflict. ed Anthony Reid: 212.
- ^ Indonesian Crisis Group (3). "Aceh: How Not to Win Hearts and Minds". Indonesia Briefing: 7.
- ^ Kingsbury. "Military Businesses in Aceh". Verandah of Violence: 212–217.
- ^ a b c d International Crisis Group (15). "Aceh: A New Chance for Peace". Crisis Group Asia Briefing (40): 4.
- ^ Kompas. 10 June 2005. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ Aspinall, Edward (2005). The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? (PDF). Washington: East-West Center Washington. hlm. 8. ISBN 978-1-932728-39-2.
- ^ a b c Aspinall. Islam and Nation. hlm. 231.
- ^ ibid. hlm. 232.
- ^ "Salinan arsip". Jakarta Post. 28 May 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-03. Diakses tanggal 2013-04-24.
- ^ a b Aspinall. Islam and Nation. hlm. 234.
- ^ ibid. hlm. 235.
- ^ a b c Aspinall. A More Promising Basis for Peace in Aceh?. hlm. 13–14.
- ^ ibid. hlm. 16.
- ^ Kingsbury, Damien (2006). Peace in Aceh: A Personal Account of the Helsinki Peace Process. Jakarta: Equinox. hlm. 15. ISBN 979-3780-25-8.
- ^ ibid. hlm. 15–16.
- ^ "Time To Face The Past" (PDF). Amnesty International. Amnesty International. 2013. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-25. Diakses tanggal 18 April 2013.
- ^ Amnesty: Indonesia 'failing to uphold' Aceh peace terms
Pranala luar
- INDONESIA: THE WAR IN ACEH (HRW report, 2001)
- Aceh Peace Diarsipkan 2010-06-16 di Wayback Machine. From Reuters Alertnet Diarsipkan 2009-03-11 di Wayback Machine.
- Full text of the Agreement between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 18 August 2005, UN Peacemaker
- Full text of the Cessation of Hostilities Agreement Between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, 9 December 2002, UN Peacemaker