Pesanggrahan Ngeksiganda

rumah singgah di Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia
Revisi sejak 26 Juli 2024 04.31 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (ganti infobox tahap 1)

Pesanggarahan Ngeksiganda (bahasa Jawa: ꦥꦱꦁꦒꦿꦃꦲꦤ꧀ꦔꦺꦏ꧀ꦱꦶꦒꦤ꧀ꦢ, translit. Pasanggrahan Ngèksiganda), atau dieja juga sebagai Pesanggrahan Ngeksigondo,[1] merupakan salah satu bangunan pesanggrahan bersejarah yang dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta. Bangunan berasitektur lokal dengan luas bangunan 1.104 m2 dan luas lahan sebesar 17.888 m2 ini terletak di kawasan peristirahatan Kaliurang, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Pesanggrahan ini merupakan saksi bisu tempat berlangsungnya perundingan antara Komisi Tiga Negara dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1947 sebagai pendahulu bagi perundingan di kapal Renville. Pada tahun 2011 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI secara resmi menetapkan Pesanggrahan Ngeksiganda sebagai cagar budaya dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan SK Menteri Nomor PM.89/PW.007/MKP/2011.[3]

Pesanggrahan Ngeksiganda
ꦥꦱꦁꦒꦿꦃꦲꦤ꧀ꦔꦺꦏ꧀ꦱꦶꦒꦤ꧀ꦢ
Tampak depan Pesanggrahan Ngeksiganda
Peta
Nama sebelumnyaPesanggrahan Harjapurna
Informasi umum
JenisPesanggrahan
Gaya arsitekturTradisional Jawa
AlamatJalan Raya Yogyakarta-Solo
KotaCaturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
NegaraIndonesia
Koordinat7°35′54″S 110°25′20″E / 7.5982788°S 110.4222338°E / -7.5982788; 110.4222338
Peletakan batu pertama1859
Rampung1860
PemilikKesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Tuan tanahAmbarrukmo Group
Cagar budaya Indonesia
Kompleks Pesanggrahan Ambarukmo
KategoriSitus
No. RegnasRNCB.20070326.04.000120
Lokasi
keberadaan
Sleman, Yogyakarta
Tanggal SK2007
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Arti nama

Ngeksiganda adalah suatu kata samar bagi Mataram. Berdasarkan buku Serat Wedhatama,[4] kata ngeksiganda terdiri dari dua kata dari asal bahasa Sansekerta, yaitu ngeksi dan ganda. Ngeksi yang berasal dari kata aksa / eksi / iksi, berarti mata. Sementara ganda berarti harum. Jika kedua kata tersebut dibaca berturutan, berbunyi mata arum yang terbaca menjadi Mataram.

Sejarah Bangunan

Bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda

Pada abad XX zaman kolonial Belanda, bangunan Pesanggrahan Ngeksiganda ini awalnya milik seorang Belanda yang dibangun untuk tempat beristirahat. kemudian pada sekitar tahun 1927 bangunan ini kemudian dibeli oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII untuk dimodifikasi menjadi tempat pesanggrahan Keraton Yogyakarta. Modifikasi berupa penambahan ruangan untuk ruang gamelan, pagar seketheng, pendapa, dan pemandian atau pasiraman. Pesanggrahan biasanya digunakan oleh sultan untuk tempat beristirahat bagi Raja beserta keluarganya.

Komisi Tiga Negara (KTN) tahun 1947

Dimasa Agresi Militer Belanda I atau disebut clash 1, Sri Sultan Hamengku Buwana IX berinisiatif untuk meminjamkan Pesaggrahan Ngeksiganda beserta Wisma Kaliurang kepada pemerintah Indonesia untuk mengadakan perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari negara Australia menunjuk Richard Kirby untuk mewakili pemerintah Indonesia, negara Belgia menunjuk Paul van Zeeland mewakili Kerajaan Belanda, dan negara Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham sebagai pihak penengah kedua belah pihak.[3] Perundingan KTN diselenggarakan tepat pada tanggal 26 Agustus 1947 ini kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. KTN dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) sebagai penengah antara pihak kerajaan Belanda dengan pemerintah Indonesia dengan dalih ingin membentuk pemerintahan federal sementara sampai terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan agresi militer.

Tradisi

Berawal ketika Sri Sultan Hamengku Buwana IX beristirahat di Pesanggrahan Ngeksiganda, tiap bulan Ruwah (Syaban) diselenggarakan uyon-uyon pada pukul 08.00 - 14.00 dan 19.00 - 24.00. Ketika malam, diselenggarakan pembacaan tembang.[5] Uyon-uyon itu sendiri merupakan salah satu kesenian tradisional Jawa.

Bagian Bangunan

Bangunan yang menghadap barat daya ini terdiri dari 4 bangunan utama yaitu Gedung Induk, Gedung Gamelan atau Gongso, Gedung Diesel, dan Gedung Telepon.

Gedung Induk

Gedung induk sendiri terdiri dari 3 bagian yaitu gedung utama, gedung tambahan, dan paviliun.

Gedung Utama

Gedung utama merupakan gedung inti yang berukuran paling besar dibandingkan gedung induk lainnya. Gedung yang memliki cerobong asap dengan luas 1,5 m² ini terdiri dari dapur, kamar tidur, ruang keluarga, ruang makan, ruang tamu atau duduk, dan teras dengan dinding yang terbuat dari triplek dan bata. Bagian atap gedung ini masih beratapkan seng dengan kuda-kuda kayu jati. Lantai gedung ini juga masih kuno dengan tegel berwarna merah tua, abu-abu berdimesi panjang 20 cm dan lebar 20 cm serta tebal sekitar 1 cm. Untuk bagian ventilasi, gedung utama ini memiliki jendela lapisan luar dan jendela lapisan dalam yang terbuat dari kaca setebal kurang lebih 2 mm ditopang dengan panil kayu. Berikut kusen lainnya seperti pintu juga terbuat dari kayu yang sama.

Bangunan Tambahan

Gedung tambahan ini terdiri dari ruang istirahat atau tetirah, ruang servis, dapur, selasar, garasi, dan kamar mandi. Gedung ini terletak di sebelah timur dari gedung utama. Bagian atap gedung ini masih beratapkan seng dengan kuda-kuda kayu jati. Demikian halnya dengan kusen lainnya juga terbuat dari kayu jati yang sama. Bagian sekat juga terbuat dari triplek dan bata dengan ketebalan setengahnya. Bagian lantainya berupa tegel berwarna abu-abu setebal 1 cm.

Paviliun

Gedung berbentuk limasan ini terdiri dari 2 kamar tidur, sebuah teras dengan tambahan atap miring, dan koridor. Semua konstruksi gedung ini masih sama persis seperti gedung utama. Bagian atap gedung ini masih beratapkan seng dengan kuda-kuda kayu jati dialasi plafon berupa plat logam tipis. Bagian lantai gedung ini juga masih berupa tegel berwarna abu-abu dengan dimensi panjang 20 cm dan lebarnya 20 cm setebal 1 cm. Untuk kusennya seperti pintu dan jendela juga terbuat dari bahan kayu jati.

Gedung Gamelan atau Gedung Gongso

Bangunan Gongso inilah yang dijadikan sebagai tempat konferensi yang terbatas bagi para delegasi Komisi Tiga Negara (KTN). Sesuai nama gedung ini, gedung berbentuk limasan ini dulunya diadakan pementasan musik gamelan diiringi tarian Jawa dalam agenda konferensi tersebut sebagai sambutan dari pihak Yogyakarta. Gedung yang masih beratapkan seng dengan kuda-kuda kayu jati ini terdiri dari teras di halaman belakang, kamar mandi, serta ruang utama sebagai ruang pertemuan. Untuk kusennya juga sebagian besar terbuat dari panil kayu jati.

Gedung Diesel

Gedung yang memiliki dimensi panjang 4 meter dan lebar 4,5 meter ini masih digunakan sebagai tempat instalasi diesel untuk keperluan listrik cadangan untuk gedung utama dan gedung lainnya.

Gedung Telepon

Dahulu gedung ini adalah tempat penerima pesan telepon dari operator pusat mengingat masih terbatasnya akses telepon dikala itu. Gedung berbentuk limasan ini digunakan sebagai tempat untuk menelepon dikarenakan akses telepon zaman dahulu masih terpusat menggunakan operator. Bangunan berbentuk limasan ini masih beratapkan seng dengan kuda-kuda kayu jati ditopang plafon plat logam tipis bergaris. Di sebelah utara gedung, juga terdapat garasi. Untuk kusennya juga semuanya terbuat dari panil kayu jati dengan kaca setebal 2 mm. Untuk lantainya juga masih berupa tegel bermotif dengan dimensi panjang 20 cm dan lebar 20 cm.

Referensi

  1. ^ "Pesanggrahan Ngeksigondo Yogyakarta". Informasi Situs Budaya Indonesia. 2018-05-03. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  2. ^ "Pesanggrahan Ngeksiganda Sleman". Informasi Situs Budaya Indonesia. 2018-05-11. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  3. ^ a b "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  4. ^ Serat Wedhatama. Indonesia: Narasi. 2010. hlm. 85. ISBN 9789791682206. 
  5. ^ Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa: Suatu Kajian Terhadap Serat Sakeber. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. 1993. hlm. 47.