Pabrik Gula Cepiring

perusahaan asal Indonesia
Revisi sejak 6 Agustus 2024 05.40 oleh AABot (bicara | kontrib) (Cagar)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pabrik Gula Cepiring atau Suikerfabriek Tjepiring merupakan pabrik gula yang berada di Desa Cepiring, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal. Wilayah Kabupaten Kendal pada abad 19 M dikenal sebagai wilayah dengan jumlah Pabrik Gula (suikerfabriek) terbanyak se-Karesidenan Semarang. Untuk mendukung pabrik-pabrik tersebut, maka di wilayah-wilayah sekitar banyak dibuka lahan tebu baru. Berdasarkan dokumen Residen Semarang tahun 1921-1930 di Kabupaten Kendal memiliki beberapa pabrik gula yaitu Pabrik Gula Kaliwungu, Pabrik Gula Puguh, Pabrik Gula Cepiring, dan Pabrik Gula Gemuh. Sepertinya halnya dengan pabrik-pabrik gula kolonial di Jawa, kebanyakan pabrikpabrik tersebut telah hilang. Penyebabnya hilangnya pabrik-pabrik tersebut antara lain karena kebangkrutan di masa krisis malaise 1930-an ataupun hancur pada saat masa perang kemerdekaan dan agresi. Pabrik Gula Cepiring, meski sempat berhenti ketika krisis malaise melanda. Ternyata hingga saat ini pabrik tersebut masih beroperasi dan dikelola oleh perusahaan BUMN, yaitu PT. Industri Gula Nusantara (IGN). Sebelum menjadi seperti sekarang, Pabrik Gula Cepiring pada masa kolonial menjadi suatu kawasan industri dengan situasi yang berbeda dari sekitarnya, seperti adanya kehidupan dan pemukiman masyarakat industri di kawasan pabrik tersebut.

Pabrik Gula Cepiring pada masa Kolonial

Sejarah

sunting

Penanaman tebu di Kabupaten Kendal dimulai pada masa cultuurstesel yang dilakukan oleh pemerintah Afdeeling Kendal dan Karesidenan Semarang tahun 1835 M. Pada masa tersebut hanya Afdeeling Kendal yang menjadi satu-satunya wilayah di Karesidenan Semarang yang ditanami perkebunan tebu milik Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dengan mengujicoba penanaman tebu di distrik Puguh.[1] Tahun 1835 M, dibangunlah sebuah pabrik gula pertama di wilayah ini yaitu Pabrik Gula Cepiring. Pembangunan pabrik ini sebagai alokasi lanjutan program pemerintah terhadap Afdeeling Kendal sebagai wilayah perkebunan tebu di Karesidenan Semarang. Lokasi pabrik ini berada di Desa Cepiring, yang lebih tepatnya berada di sebelah utara Jalan Pantura dan di barat aliran Sungai Bodri. Pemilihan lokasi ini dianggap strategis dikarenakan wilayah desa yang berada di dataran rendah dan cenderung datar, akan mempermudah pembangunan pabrik dibandingkan di daerah yang memiliki pola berkontur. Kemudian lokasi pabrik yang dekat dengan Sungai Bodri, berkaitan dengan ketersediaan air dibutuhkan untuk menggerakan roda mesin pabrik. Dimana pada saat itu masih menggunakan mesin-mesin penggiling tebu bertenaga uap, yang dalam pengoperasiaannya memerlukan air. Keberadaan Jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) yang menjadi bagian dari rute Jalan Pos yang melewati wilayah Kendal, merupakan akses jalur transportasi darat yang penting dan digunakan sebagai sarana akses pengangkutan gula menuju pusat perdagangan di Semarang. Selain jalur darat, transportasi air melalui Sungai Bodri menuju Laut Jawa juga menjadi akses lain dalam pengangkutan gula.

 
Proses pembangunan Pabrik Gula Cepiring pada tahun 1917

Sejalan dengan diberlakukannya sistem ekonomi liberal pada tahun 1870-an, yang membuka kesempatan bagi swasta untuk memiliki dan mendirikan pabrik-pabrik perkebunan. Pabrik Gula Cepiring pada tahun 1894 M, mengalami pengalihan kepemilikan. Pabrik yang pada awalnya dimiliki oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ini, kemudian beralih ke perusahaan swasta berbentuk N. V. (Naamlooze Vennotchaap) yang bernama N. V. tot Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken. Pada masa krisis malaise pada tahun 1930-an, pabrik-pabrik gula di Jawa banyak mengalami kebangkrutan hingga kemudian banyak yang tidak beroperasi. Hal seperti ini juga dialami oleh pabrik-pabrik gula yang terdapat di Kabupaten Kendal, yang salah satunya adalah Pabrik Gula Cepiring. Lahan-lahan tebu yang biasanya ramai akan buruh-buruh pekerja tebu, pada akhirnya harus tidak terurus akibat banyaknya pengurangan buruh. Selain buruh, pengurangan juga dilakukan pada luasan lahan tebu. Lahan-lahan tebu yang banyak tidak terpakai tersebut kemudian banyak ditanami persawahan kembali. Bahkan dalam catatan luas perkebunan oleh Pabrik Gula Cepiring, pasca tahun 1934 M tidak ditemukan riwayat luas perkebunan tebu. Penanaman tebu baru benar-benar dilakukan kembali pasca kemerdekaan pada tahun 1952 M.

Masyarakat Industri

sunting

Keberadaan Pabrik Gula Cepiring yang didirikan pada tahun 1835, memerlukan buruh pekerja yang akan dipekerjakan pada setiap bagian industri. Dalam industri gula, sering kali memerlukan jumlah pekerja yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan pada masa kolonial, lahan tebu yang sangat luas memerlukan perawatan intensif dan juga pekerjaan produksi gula yang didorong untuk memberikan hasil yang maksimal. Desa-desa yang saat itu masuk di wilayah Distrik Kendal terutama bagian Kecamatan Patebon dan Kecamatan Cepiring, turut menjadi awal penyumbang buruh yang dilaksanakan secara kerja paksa pada waktu itu. Pengkoordinasian buruh tersebut dilakukan oleh para penguasa desa yang saat itu menjadi elit pribumi. Hal ini dikarekan penduduk yang dibebaskan dari pekerjaan menanam tebu adalah anggota administrasi desa, seperti lurah, bekel, modin, pemungut pajak, dan ulu-ulu.[2] Buruh-buruh kerja paksa selain dipekerjakan didalam pabrik, juga dimanfaatkan untuk menebang dan mengangkut pohon. Sehingga dalam pelaksanaan pembukaan lahan tebu, selain memaksakan masyarakat untuk melepaskan tanahnya sebagai lahan tebu. Proses penebangan kayu di lingkungan hutan yang mendominasi Kecamatan Patebon dan Kecamatan Cepiring waktu itu, sekaligus bertujuan untuk memperluas jangkauan lahan budidaya tebu. Dimana pabrik gula saat itu masih membutuhkan bahan bakar untuk mesin gilingnya. Selain itu penggunaan kayu diperlukan untuk pembuatan bangunan, gudang-gudang besar, perumahan, dan jembatan. Tentunya dari aktivitas inilah, kemudian lingkungan Kecamatan Patebon dan Kecamatan Cepiring yang pada saat itu masih didominasi hutan, mulai berkurang dan akhirnya hilang. Dengan demikian, pabrik gula merupakan faktor yang penting dalam proses penebangan hutan di dataran rendah, yang akibatnya pada 1838 banyak hutan yang lenyap.[2]

Keberadaan buruh, kemudian memunculkan pemukiman-pemukiman baru di sekitar lahan tebu yang didasari efisiensi waktu dan tenaga. Sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya mereka dapat lebih cepat selesai ketika harus mengurusi lahan tebu, hal demikian juga termasuk dengan para buruh pekerja yang bekerja di dalam pabrik gula. Mereka juga mulai mendirikan pemukiman yang letaknya sedekat mungkin dengan pabrik gula. Dari alasan inilah, kemudian pada 1917 bersama dengan pembangunan bangunan pabrik baru, pengelola Pabrik Gula Cepiring pada akhirnya membangun perumahan-perumahan buruh yang lokasinya berada di dalam kompleks pabrik gula. Dimana keberadaan penyediaan perumahan ini juga digunakan sebagai alat kontrol sosial.[3] Yang selanjutnya dalam pengaturan dan pengontrolannya diserahkan kepada mandor. Dari pembentukan perumahan buruh ini, secara tidak langsung pada akhirnya membentuk adanya suatu aktivitas dalam pabrik tidak dapat terlepas dari tersedianya sumber daya manusia, yaitu buruh-buruh pekerja. Mereka biasanya disebut masyarakat industri.[4]

 
Kegiatan masyarakat industri di lahan tebu

Ketika masa kolonial tedapat penggolongan-penggolongan pada masyarakat Industri. Penggolongan sosial ini, didasari oleh jenis pekerjaan yang ada dalam pengelolaan industri. Golongan atas dimiliki oleh administratur sebagai pimpinan tertinggi pabrik dan perkebunan tebu. Administratur pada masa kolonial dijabat oleh orang Belanda atau Eropa. Kemudian pada golongan menengah terdiri dari orang-orang yang bekerja dengan keahlian khusus seperti ahli tanaman tebu (sinder), ahli mesin dan kereta uap (masinis), dan ahli pengolahan gula (chemicer). Golongan menengah ini juga didominasi oleh orang-orang Eropa, yang biasanya mereka disebut sebagai tuan kecil. Suatu hal yang penting dalam industri gula di Jawa yang dilakukan oleh pemerintah, dengan adanya upaya mengembangkan infrastruktur serta riset pengetahuan di seluruh tahap proses produksi. Dimana pekerja ahli yang ditugasi untuk maintenance pabrik, baik dari berbagai ahli seperti ahli kimia ataupun mesin direkrut dari universitas terbaik di Belanda. Sedangkan pada golongan bawah dimiliki oleh orang-orang yang menjadi bawahan dari golongan menengah, mereka terdiri dari mandor tanaman tebu dan buruh pengolahan yang berada di dalam pabrik. Golongan bawah ini umumnya berasal dari orang-orang pribumi. Dalam prateknya pekerjaan berat dilakukan oleh buruh laki-laki, sedang pekerjaan ringan seperti pemangkasan pucuk, penanaman, pengairan, dan penyiangan, dikerjakan oleh buruh wanita. Anak-anak juga dipekerjakan umumnya untuk membasmi serangga atau hama dan juga mengerjakan pekerja yang serupa. Biasanya anak-anak bekerja untuk membantu orang tuanya, dalam mempercepat pekerjaan yang dilakukan.

Permukiman Industri

sunting

Permukiman masyarakat industri muncul dengan adanya pembangunan perumahan buruh yang dibangun di dalam kawasan Pabrik Gula Cepiring. Keberadaan perumahan buruh ini tidak lain untuk mempermudah pengawasan dan pengontrolan kinerja buruh pabrik. Konsep strategi pengawasan ini disebut panopticon. Istilah ini pada awalnya muncul sebagai penyebutan bangunan penjara berbentuk melingkar dan di tengah-tengahnya terdapat menara pengawas yang dirancang oleh filsuf Inggris, Jeremy Bethan pada tahun 1785. Perkembangan selanjutnya, penjara panopticon dijadikan sebagai suatu konsep metode pengawasan dan pendisiplinan masyarakat secara keruangan arsitektural dan sosial.[5] Pada industri gula di Jawa, konsep panopticon diwujudkan dalam bentuk pemisahan ruang, antara ruang untuk pimpinan pabrik dalam bentuk rumah dinas dan ruang untuk buruh pabrik.[6] Sedangkan lingkungan sosial Pabrik Gula Cepiring diketahui terdapat penggolongan sosial yang terbagi dari jenis pekerjaan yang ada dalam pengelolaan industri. Penggolongan sosial ini kemudian juga dimunculkan oleh perumahan yang ditinggali oleh masyarakat industri tersebut. Pengaruh penggolongan sosial ini dapat dilihat dari penempatan dan bentuk arsitektur bangunan yang ada di dalam kawasan pabrik. Berdasarkan denah diketahui, bahwa perumahan masyarakat industri di Pabrik Gula Cepiring berlokasi di beberapa bagian kawasan yang terpisah dengan bentuk yang berkelompok sesuai golongan sosial pekerjaannya.

 
Rumah Kepala Pabrik Gula Cepiring

Rumah administrateur atau kepala pabrik, diketahui berada di antara dua perumahan masyarakat industri. Disebelah timur terdapat deretan perumahan yang berjajar padat dengan lokasi yang lebih dekat dengan bangunan pabrik gula. Sedangkan pada bagian barat terdapat perumahan dengan bentuk ukuran lebih besar dari sebelumnya dan tersusun lebih renggang antar sebelahnya. Di perumahan bagian ini, juga memiliki akses yang dekat dengan beberapa akses fasilitas pabrik, seperti lapangan, kolam renang, dan gedung societeit (pertunjukan). Peletakan pola lokasi seperti ini tidak lain merupakan bentuk konsep panopticon yang diterapkan di pabrik. Kepala pabrik atau administrateur yang dalam penggolongan masyarakat industri berada di bagian paling atas atau tinggi, memiliki tugas mengawasi proses penanaman, penggilingan, pembukuan, pengangkutan, dan segala urusan internal pabrik secara keseluruhan. Tentu karena tugas ini, kemudian rumah administratur diletakan di bagian tengah di antara perumahan masyarakat industri lain yang berada digolongan bawahnya. Adanya rumah pimpinan pabrik yang berada di dekat pabrik menciptakan perasaan selalu terawasi walau tanpa kehadiran orang Belanda pada rumah tersebut.[7]

Dibagian timur dari rumah administrateur atau kepala pabrik, terdapat perumahan masyarakat industri dengan yang berjajar padat dengan ukuran yang terbilang kecil. Perumahan ini berada paling dekat dengan bangunan pabrik pengolahan. Tentu dari bentuknya yang lebih minimalis dapat diketahui bahwa perumahan ini disediakan sebagai tempat tinggal bagi masyarakat industri golongan bawah, yang sebagian besar merupakan buruh pengolahan. Seperti pada pabrik-pabrik gula lain di Jawa, Pabrik Gula Cepiring selama musim giling akan melakukan penggilingan sepanjang hari. Dalam sehari pekerjaan, di pabrik dibagi menjadi dua pembagian kerja yaitu bagian malam dan siang yang setiap pembagiannya mencapai 12 jam.[8] Akibat tuntutan pekerjaan ini, kemudian mengaharuskan para pegawai agar selalu berada di dekat tempat kerjanya, yaitu bangunan pabrik pengolahan. Untuk memudahkan pergerakan, maka dipakailah konsep permukiman industri, yakni permukiman pekerja dibangun di dekat pabrik.[6]

 
Deretan Permukiman Buruh

Pada permukiman buruh ini terdapat mandor sebagai pemimpin mereka. Meski kenyataannya mandor merupakan dalam penggolongan sosial masyarakat indutri termasuk kalangan bawah, namun kenyataannya pekerjaan sebagai mandor adalah posisi pekerjaan tertinggi yang dapat diraih dari kalangan pribumi. Hal ini bermula sejak tahun 1910-an, industri pabrik mulai melakukan sendiri rekrutmen pekerja terampil dengan bentuk sistem magang dan pelatihan industri secara formal, yang sebagian besar pekerja direkrut langsung oleh mandor. Dimana mandor menjadi sebuah jaringan informal di luar masyarakat industri di Pabrik Gula Cepiring saat itu. Mereka biasanya merekrut ketika saat sedang mudik atau pulang kampung ke wilayah mereka. Mandor adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan patronase.[3] Mandor merupakan status sosial tertinggi untuk kelompok pribumi yang menjadi buruh lahan ataupun pabrik. Mandor pun menjadi penghubung perantara pengelola manajemen pabrik yang notabene orang Belanda atau Eropa dengan para buruh. Meski komunikasi langsung antara kedua pihak tersebut memang terbatas akibat kendala bahasa, namun tetap menjadi pekerja kunci dalam perusahaan indutri gula. Keberadaan mandor selain sebagai penghubung pihak perantara pengelola manajemen pabrik dengan para buruh, juga menjadi wadah aspirasi dalam mendengarkan keluhan-keluhan dari para buruh secara langsung. Mandor sebagai orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan patronase, yang berhubungan langsung untuk mengelola buruh. Hubungan ini terjalin karena adanya interes realistis, yaitu keuntungan kekuasaan dari mandor yang memberikan sebuah pengayoman sedangkan dari lapisan bawah (buruh) perlu menunjukan loyalitas dan kedisiplinannya.[9] Mandor memang diberi tanggung jawab oleh pengelola pabrik gula untuk dapat menjaga kedisiplinan, serta pembagian tugas kerja para buruh secara umum. Selama para buruh memiliki strata sosial yang berada dibawahnya.

 
Rumah pekerja Eropa.

Lalu di sebelah barat rumah administrateur atau kepala pabrik, terdapat perumahan dengan bentuk bangunan yang lebih besar ketimbang perumahan buruh sebelumnya. Perumahan seperti dapat diasosiasikan sebagai perumahan yang ditujukan bagi masyarakat industri golongan menengah. Golongan ini merupakan para pekerja ahli yang ditugasi untuk maintenance pabrik, baik dari berbagai ahli seperti ahli kimia ataupun mesin yang berasal dari orang-orang Belanda atau Eropa. Perumahan pada bagian ini, memiliki keletakan yang dekat akan sarana fasilitas pabrik, seperti lapangan tenis, kolam renang, dan gedung societeit. Keberadaan fasilitas ini tidak lain karena kebiasaan orang Belanda atau Eropa yang membutuhkan hiburan selepas bekerja. Selain itu keberadaan fasilitas ini juga dimaksudkan agar hanya dapat dinikmati oleh para golongan menengah tersebut. Dikarenakan golongan pekerja yang terdiri dari orang-orang Belanda atau Eropa, membatasi interaksinya dengan pekerja pribumi karena orang-orang pribumi dipandang lebih rendah dari golongan mereka.[7]

Salah satu tokoh yang pernah tinggal di kompleks ini adalah Jan Ruff O'Herne, seorang wanita Belanda yang di kemudian hari menjadi aktivis kemanusiaan untuk wanita korban pelecehan seksual dalam masa pendudukan Jepang.

Armada Lokomotif

sunting

Berikut daftar Lokomotif/Lori yang dimiliki oleh Pabrik Gula Cepiring

Nomor Plat nama Merek Tahun Pembuatan Seri Roda Tenaga Status
1 Orenstein & Koppel 1921 0-8-0T Uap ex Pabrik Gula Comal.

Afkir, Dipreservasi

2 TJEPIRING 2 DuCroo & Brauns 1922 0-8-0T Uap Afkir, Dipreservasi
3 Orenstein & Koppel 1912 0-8-0T Uap ex Pabrik Gula Prembun.

Afkir, Dipreservasi

4 TJEPIRING 4 DuCroo & Brauns 1925 0-8-0T Uap Afkir, Dipreservasi
5 TJEPIRING 5 DuCroo & Brauns 1923 0-8-0T Uap Afkir, Dipreservasi
6 Henschel & Sohn 1925 0-4-0T Uap Afkir, Dipreservasi
7 Orenstein & Koppel 1911 0-8-0T Uap ex Pabrik Gula Tangarang, Nasibnya tidak diketahui
8 Orenstein & Koppel 1913 0-8-0T Uap ex Pabrik Gula Prembun.

Afkir, Dipreservasi

9 Orenstein & Koppel 1929 0-8-0T Uap Afkir, Dipreservasi
1 Orenstein & Koppel Montania ??? 4wDM Diesel Aktif
? Orenstein & Koppel Montania ??? 4wDM Diesel Afkir, Dipreservasi
? Christoph Schöttler Maschinenfabrik 1969 4wDH Diesel Afkir, Dipreservasi
? Brookville Locomotive Company ??? 4wDM Diesel Afkir, Dipreservasi
? Ateliers Moës-Freres 1984 4wDH Diesel Afkir, Dipreservasi

Rujukan

sunting
  1. ^ Susatyo, Rachmat (2007). Industri Pabrik Gula di Kendal Masa Kolonial. Kipas. 
  2. ^ a b Hiroyosi dkk, Kano (1996). Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad Ke-20. Yogyakarta: UGM Press. 
  3. ^ a b Ingleson, John (2015). Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an - 1930an. Tangerang: Marjin Kiri. 
  4. ^ Farida, Lina (2012). "Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 1957 - 2008". Jurnal Of Indonesia History. 
  5. ^ Foucault, Michel (1972). The Archaeology Of Knowledge And The Discourse On Language. New York: Pantheon Books. 
  6. ^ a b Ginaris, Lengkong (2019). "Permukiman Emplasemen Pabrik Gula Purworejo (1910-1933)". Berkala Arkeologi. 32 (2): 154–171. 
  7. ^ a b Inagurasi, Libra Hari (2010). Pabrik Gula Cepiring di Kendal Tahun 1835-1930: Sebuah Studi Arkeologi Indutri. Depok: Universitas Indonesia. 
  8. ^ Wertheim, Wim. F. (1993). "Condition on Sugar Estates in Colonial Java: Comparation with Deli". Journal of Southeast Asian Studies. 24 (2): 268–284. 
  9. ^ Alrianingrum, Septiana (2008). Patronase: Tinjauan Suatu Hubungan Simbiosis Mutualis tentang Suatu Kekuasaan, Kepemimpinan, dan Struktur Masyarakat Jawa. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.