Pengguna:The Bangsawan/sandbox

Festival dan Perayaan

 
Deretan Pelita dinyalakan selama Malam Tujuh Likur (malam ke-27 Ramadhan), di mana lampu minyak secara tradisional digunakan untuk menerangi rumah dan jalanan selama bulan Ramadhan. Terlihat di sini di Muar, Johor, Malaysia.

Kebangkitan Islam pada abad ke-15 berhasil mendefinisikan ulang identitas Kemelayuan. Akibatnya, sebagian besar festival dan perayaan Melayu mulai mengikuti kalender Islam, namun tetap memiliki ciri khas Melayu yang kuat. Perayaan Hari Raya (Idulfitri dan Iduladha) merupakan perayaan terbesar yang dirayakan oleh komunitas Melayu secara luas. Kedua hari raya ini memperingati peristiwa penting dalam ajaran Islam. Idulfitri menandakan kemenangan umat Muslim setelah menjalankan puasa dan kesabaran selama bulan Ramadhan, sedangkan Iduladha memperingati pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim atas perintah Allah.

Perayaan Raya biasanya dimulai dengan acara Balik Kampung atau Balik Raya yang dilakukan beberapa hari sebelum hari besar. Pada Hari Raya, umat Melayu biasanya melaksanakan salat id, mengadakan jamuan besar, serta berkunjung ke rumah teman, kerabat, dan tetangga. Ziarah ke makam orang tercinta yang telah meninggal juga menjadi bagian penting dari perayaan sebagai bentuk penghormatan dan cinta.

 
Upacara penobatan antara Tengku Otteman, sebagai Tengku Mahkota (Putra Mahkota) dari Kesultanan Deli, Hindia Belanda; dengan istrinya, Raja Amnah, anggota keluarga kerajaan Kesultanan Perak sebagai Tengku Puan Indera pada tahun 1925

Perayaan keagamaan besar lainnya yang dirayakan oleh orang Melayu termasuk Ramadhan, bulan suci yang diisi dengan puasa dan berbagai aktivitas keagamaan; Maulid Nabi, prosesi besar untuk memperingati kelahiran Muhammad; Asyura, peringatan Muharram di mana orang Melayu menyiapkan hidangan khusus yang disebut Bubur Ashura; Nisfu Sya'ban, peringatan pertengahan bulan Sya'ban, sebagai hari puasa khusus untuk memohon pengampunan; Nuzulul Quran, peringatan wahyu pertama Quran; Isra' dan Mi'raj, peristiwa naiknya Muhammad ke langit; dan Awal Muharram. Ketiga perayaan terakhir biasanya diisi dengan shalat sunat, ceramah agama, dan diskusi Islam di masjid.

Selain itu, terdapat berbagai festival budaya regional dan acara sosial yang berbeda di berbagai wilayah Melayu. Wilayah pesisir misalnya, dulunya dikenal dengan upacara Mandi Safar atau Puja Pantai, yaitu mandi penyucian selama bulan Safar, yang diadaptasi dari ritual penyucian kuno Melayu pra-Islam, mirip dengan tradisi Mandi Belimau sebelum Ramadhan. Di wilayah pedalaman dan agraris, terdapat perayaan pesta panen, yang dirayakan dengan permainan tradisional, teater, Joget, dan berbagai tarian lainnya. Namun, kedua praktik tersebut perlahan mulai menghilang akibat perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di kalangan masyarakat Melayu pada abad ke-20.

Perayaan-perayaan Islam juga mempengaruhi acara-acara individu di kalangan masyarakat Melayu, yang biasanya diselenggarakan dalam bentuk kenduri, sebuah jamuan keagamaan untuk merayakan atau memohon berkah atas suatu peristiwa. Terdapat berbagai variasi kenduri, seperti Doa Selamat (memohon perlindungan), Kesyukuran (syukuran), Melenggang Perut (upacara untuk ibu hamil anak pertama), Aqiqah dan Cukur Jambul (upacara kelahiran bayi), Bertindik (upacara penindikan pertama untuk anak perempuan), Khatam Quran (upacara kelulusan setelah membaca penuh Quran), Khitan (khitan) dan Tahlil (doa untuk orang yang meninggal).

Seni bela diri

 
Seorang pesilat perempuan dari Singapura

Silat dan berbagai variannya ditemukan di seluruh dunia Melayu: Semenanjung Malaya (termasuk Singapura), Kepulauan Riau, Sumatra, dan daerah pesisir Kalimantan. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak abad ke-6, seni bela diri formal telah dipraktikkan di Semenanjung Malaya dan Sumatra.[1] Bentuk awal Silat diyakini telah dikembangkan dan digunakan oleh angkatan bersenjata kerajaan-kerajaan Melayu kuno seperti Langkasuka (abad ke-2)[2][3] dan Sriwijaya (abad ke-7).

Pengaruh kesultanan-kesultanan Melayu seperti Kesultanan Malaka, Johor, Pattani, dan Brunei turut menyebarkan seni bela diri ini di Nusantara. Melalui jalur laut dan sungai yang kompleks yang memfasilitasi perdagangan di seluruh wilayah, Silat menyebar hingga ke hutan hujan lebat dan pegunungan. Laksamana legendaris Hang Tuah dari Malaka adalah salah satu pesilat paling terkenal dalam sejarah[4] dan bahkan dianggap oleh beberapa orang sebagai bapak Silat Melayu.[5] Sejak era klasik, Silat Melayu mengalami banyak diversifikasi dan diakui secara tradisional sebagai sumber dari Pencak Silat Indonesia dan berbagai bentuk Silat di Asia Tenggara.[6][7]

Selain Silat, Tomoi juga dipraktikkan oleh orang Melayu, terutama di wilayah utara Semenanjung Malaya. Seni bela diri ini merupakan varian dari Indo-Cina kickboxing yang diyakini telah menyebar ke daratan Asia Tenggara sejak masa Kerajaan Funan (68 M).

Kerajinan Logam

 
Bunga Mas, Museum Negara Malaysia. Bunga Mas diberikan oleh negara-negara Melayu utara seperti Terengganu, Kelantan, Kedah, Pattani, Nong Chik, Yala, Rangae, Kubang Pasu dan Satun kepada Raja Ayutthaya (Siam) sebagai simbol kesetiaan.

Pada pergantian abad ke-17, emas, perak, besi dan kuningan telah menjadi bagian penting dari masyarakat Melayu. Era ini menyaksikan karya seni logam menerima dukungan kerajaan yang signifikan. Beragam karya logam Melayu menjadi bukti dari era ini, mulai dari keris khas Melayu yang terbuat dari besi hingga perhiasan halus yang rumit terbuat dari emas dan perak. Bagi bangsawan Melayu pada periode ini, karya pending (gesper sabuk hias yang dihiasi batu permata), keronsang (bros), dan cucuk sanggul (peniti rambut) menjadi barang mode yang paling dicari. Era ini juga menampilkan sejumlah benda terkenal lainnya dalam regalia Melayu yang terbuat dari emas, termasuk kotak upacara, Tepak Sirih (wadah sirih), dan bagian dari keris. Seni pengolahan emas dilakukan terutama dengan teknik repoussé dan granulasi, di mana metode tradisional ini masih dapat disaksikan hingga saat ini. Di era kontemporer, perhiasan emas Melayu umumnya berbentuk gelang kaki, gelang tangan, cincin, kalung, liontin, dan anting-anting.[8][9]

Untuk kerajinan perak Melayu, karya-karya perak terkenal karena desainnya yang rumit dan halus. Biasanya dibuat dengan teknik repoussé, pending dan niello. Barang-barang tradisional Melayu yang biasa dibuat dari perak termasuk ujung bantal, gesper sabuk, sudut tikar, sumbat bejana air, sarung keris, dan kotak tembakau. Pola Awan Larat (pola awan) dan Kerawang (motif tumbuhan) merupakan desain populer untuk ujung bantal dekoratif perak Melayu dan kotak tembakau.[8]

Penggunaan barang-barang kuningan melampaui berbagai kelas sosial Melayu klasik, digunakan oleh bangsawan maupun rakyat biasa. Popularitas barang-barang kuningan didorong oleh daya tahannya, kualitas, dan keterjangkauannya. Barang-barang kuningan terbagi menjadi dua jenis, kuningan kuning untuk barang fungsional dan kuningan putih untuk tujuan dekoratif. Kuningan sering dipahat dan dihias dengan motif dekoratif religius dan bunga. Penggunaan kuningan paling dikenal untuk Tepak Sirih, nampan upacara untuk sirih, dan untuk membuat instrumen musik seperti gong dalam orkestra tradisional Melayu Gamelan. Selain itu, barang-barang tradisional Melayu lainnya yang terbuat dari logam termasuk vas bunga, penyemprot parfum, nampan saji, panci masak, ketel, dan pembakar dupa.[8][9]

  1. ^ James 1994, hlm. 73.
  2. ^ Alexander 2006, hlm. 225.
  3. ^ Abd. Rahman Ismail 2008, hlm. 188.
  4. ^ Green 2001, hlm. 802.
  5. ^ Sheikh Shamsuddin 2005, hlm. 195.
  6. ^ Draeger 1992, hlm. 23.
  7. ^ Farrer 2009, hlm. 28.
  8. ^ a b c "Kerajinan Tangan Malaysia ~ Emas Perak & Kuningan". Go2Travelmalaysia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Mei 2018. Diakses tanggal 31 Mei 2018. 
  9. ^ a b Karyaneka. "Kerajinan Logam". Syarikat Pemasaran Karyaneka Sdn. Bhd. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2018. Diakses tanggal 31 Mei 2018.