Pengguna:The Bangsawan/sandbox

Persenjataan

 
Sebuah Keris Melayu, dengan sarungnya di sebelah kiri. Keris ini dulunya milik seorang bangsawan Melayu dari Sumatra.

Keris adalah salah satu senjata paling dihormati dalam persenjataan Melayu. Meskipun awalnya dikembangkan oleh orang Jawa di selatan, penyebaran keris ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina dikaitkan dengan pengaruh yang semakin besar dari Majapahit di Jawa sekitar tahun 1492.[1] Pada masa Kesultanan Malaka abad ke-15, evolusi Keris Melayu mencapai kesempurnaan, dan kepemilikan keris menjadi bagian penting dari budaya Melayu, sebagai simbol filosofi yang menggambarkan prestise, keterampilan, maskulinitas, dan kehormatan.[2][3][4]

Pada era klasik, seorang pria Melayu tidak pernah terlihat tanpa keris di luar rumah. Tidak membawa keris dianggap sebagai hal yang memalukan, seolah-olah dia berparade tanpa busana di hadapan umum. Secara tradisional, seorang pria Melayu memiliki tiga jenis keris: Keris Pusaka (Keris Dinasti, diwariskan dari generasi ke generasi), Keris Pangkat (Keris Status, diberikan sesuai kedudukannya dalam masyarakat Melayu), dan Keris Perjuangan Dirinya (Keris Pribadi). Ada banyak aturan ketat, regulasi, dan pantangan yang harus diikuti dalam kepemilikan keris.[4] Bilah keris biasanya dilapisi racun arsenik, menjadikannya senjata yang sangat mematikan bagi musuhnya.[3] Selain itu, setiap keris juga dianggap memiliki roh, yang dikenal sebagai semangat. Ritual khusus dilakukan untuk merawat, menjaga, dan melindungi "jiwa" senjata tersebut.[4] Pendekatan spiritual ini biasanya dilakukan setiap Malam Jumaat (malam Jumat), dengan bilah keris dibersihkan dengan jeruk nipis dan diasapi dengan dupa, disertai doa-doa khusus dan mantra yang diucapkan untuk melengkapi ritual mistik tersebut.[5]

 
Mekanisme pelatuk Istinggar, senjata api kuno Melayu jenis matchlock yang dipamerkan di Muzium Warisan Melayu (Museum Warisan Melayu), Serdang, Selangor

Orang Melayu dan Jawa memiliki nilai-nilai filosofis yang berbeda terkait penggunaan keris. Secara tradisional, orang Melayu menyelipkan keris mereka di depan, yang melambangkan bahwa senjata tersebut lebih penting daripada pemakainya dan sebagai pengingat bahwa seseorang selalu siap menghadapi musuh. Sementara itu, orang Jawa menganggap bahwa keris hanya boleh digunakan saat diperlukan, sehingga mereka menyelipkan keris di belakang. Mereka percaya bahwa dengan membawa keris di posisi tersebut, musuh akan bingung.[4]

Namun, kedua kelompok tersebut memiliki ideologi yang serupa mengenai hulu keris. Jika hulu keris menghadap ke depan, itu menandakan kesiapan untuk bertarung. Namun, jika hulu menghadap ke belakang, itu berarti orang tersebut siap untuk berdamai.[4]

Selain keris, ada berbagai jenis senjata lain dalam persenjataan Melayu yang sama-sama dihormati. Orang Melayu mengklasifikasikan senjata tradisional mereka dalam 7 kategori: Tuju (Langsung, artileri besar seperti meriam Melayu Meriam, Ekor Lotong, Lela dan Rentaka), Bidik (Senjata api, senjata dengan pipa logam yang menembakkan amunisi seperti Terakor dan Istinggar), Setubuh (Tubuh, senjata berukuran seperti tubuh manusia, seperti tombak Melayu Tongkat Panjang dan Lembing), Selengan (Lengan, pedang besar sepanjang bahu hingga ujung jari seperti Pedang dan Sundang), Setangan (Tangan, pedang berukuran dari siku hingga tiga jari seperti Badik Panjang dan Tekpi), Sepegang (Pegangan, lebih kecil dari Setangan, pisau belati seperti Keris dan Badik), dan Segenggam (Genggaman, senjata berukuran tangan seperti Lawi Ayam, Kerambit, Kuku Macan dan Kapak Binjai).[6] Senjata tradisional lain dalam persenjataan Melayu termasuk sumpit (tiupan) dan Busur panah, yang berbeda dari tujuh kategori senjata utama. Selain itu, orang Melayu juga menggunakan Zirah, sejenis baju besi sebagai pelindung, serta Perisai (tameng) dalam peperangan.

Permainan Tradisional

 
Bengkel pembuat Wau di Kelantan, Malaysia. Jenis layang-layang ini ditemukan di pesisir timur Semenanjung Melayu.

Permainan tradisional Melayu umumnya memerlukan keterampilan kerajinan tangan dan kelincahan fisik, dan dapat ditelusuri asal-usulnya sejak zaman Kesultanan Malaka. Sepak Raga dan layang-layang adalah di antara permainan tradisional yang disebutkan dalam Hikayat Melayu sebagai permainan yang dimainkan oleh bangsawan dan keluarga kerajaan Kesultanan Melayu.[7][8][9]

Sepak Raga adalah salah satu permainan Melayu yang paling populer dan telah dimainkan selama berabad-abad. Secara tradisional, Sepak Raga dimainkan dalam lingkaran dengan menendang dan menjaga bola rotan tetap di udara menggunakan bagian tubuh selain tangan dan lengan. Saat ini, permainan ini diakui sebagai olahraga nasional Malaysia[10][11] dan dimainkan di ajang olahraga internasional seperti Asian Games dan SEA Games.

Permainan populer lainnya adalah Gasing (bermain gasing), yang biasanya dimainkan setelah musim panen. Dibutuhkan keterampilan kerajinan yang tinggi untuk membuat gasing yang paling kompetitif, beberapa di antaranya bisa berputar selama dua jam.[12]

Mungkin permainan Melayu yang paling terkenal adalah Wau (sejenis layang-layang khas dari pantai timur Semenanjung Melayu). Kompetisi Wau sering diadakan, di mana juri memberikan nilai berdasarkan keterampilan kerajinan (Wau yang indah dihias dan dibuat dari rangka bambu), suara (semua layang-layang Melayu dirancang untuk menciptakan suara tertentu saat tertiup angin), dan ketinggian.[12]

Orang Melayu juga memiliki varian dari permainan papan Mancala yang dikenal sebagai Congkak. Permainan ini dimainkan dengan memindahkan batu, kelereng, manik-manik, atau cangkang di papan kayu yang terdiri dari dua belas atau lebih lubang. Mancala diakui sebagai salah satu permainan tertua di dunia dan dapat ditelusuri asal-usulnya sejak zaman Mesir Kuno. Saat permainan ini menyebar ke seluruh dunia, setiap budaya menciptakan variasi mereka sendiri, termasuk orang Melayu.[13]

  1. ^ Tantri Yuliandini (April 18, 2002). "Kris, more than just a simple dagger". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 July 2014. Diakses tanggal 30 July 2014. 
  2. ^ Niza 2016.
  3. ^ a b Zakaria 2016.
  4. ^ a b c d e Angahsunan 2017.
  5. ^ Irma Musliana 2016
  6. ^ Kerawang Merah (2017), 7 Kelas Senjata Alam Melayu [perlu rujukan lengkap]
  7. ^ Leyden 1821, hlm. 261.
  8. ^ Lockard 2009, hlm. 48.
  9. ^ Ooi 2004, hlm. 1357.
  10. ^ Ziegler 1972, hlm. 41.
  11. ^ McNair 2002, hlm. 104.
  12. ^ a b Alexander 2006, hlm. 51.
  13. ^ Alexander 2006, hlm. 52.