Gaullisme
Gaullisme (bahasa Prancis: Gaullisme) adalah pendirian politik Prancis yang didasari pada pemikiran dan tindakan pemimpin Gerakan Pemberontak Prancis di Perang Dunia II Charles de Gaulle, yang nantinya akan menjadi Presiden pertama dan pendiri dari Republik Prancis Kelima.[1] De Gaulle menarik pasukan Prancis dari Struktur Komando NATO, memaksa pembubaran pangkalan-pangkalan Sekutu dari Prancis, dan juga menginisiasi program ketahanan nuklir mandiri milik Prancis. Tindakan-tindakannya ini didasarkan pada pandangan bahwa Prancis tidak akan tunduk pada negara lain.[2]
Menurut Serge Berstein, Gaullisme "bukanlah sebuah doktrin ataupun ideologi politik" dan tidak dapat digolongkan sebagai ideologi kiri atau kanan. Melainkan, "mengingat perkembangan historisnya, adalah sebuah pelaksanaan kekuasaan yang pragmatis yang tidak bebas dari pertentangan maupun dari kompromi terhadap kebutuhan sesaat bahkan jika kata-kata angkuh sang jenderal memberikan bagi praktik Gaullisme semacam daya tarik berupa program yang tampaknya mendalam dan sepenuhnya terwujud." Gaullisme adalah "fenomena Prancis yang khas, dan tanpa keraguan merupakan fenomena politik Prancis yang hakiki di abad ke-20"[1]
Lawrence D. Kritzman berpendapat bahwa Gaullisme dapat dilihat sebagai sebuah bentuk patriotisme Prancis dalam tradisi Jules Michelet. Ia menulis: "Meskipun sejalan dengan sayap kanan dalam spektrum politik, Gaullisme berkomitmen pada nilai-nilai republik dari Revolusi Prancis, dan dengan demikian menjauhkan diri dari ambisi khusus sayap kanan tradisional dan tujuan-tujuan xenofobianya." Lebih lanjut lagi ia menulis, "Gaullisme melihat misinya sebagai penegasan atas kedaulatan dan persatuan nasional, yang bertentangan secara diametral dengan perpecahan yang diciptakan oleh komitmen sayap kiri terhadap perjuangan kelas."[3]
Gaullisme bersifat nasionalis. Pada periode pasca-PD II, kaum Gaullisme menganjurkan agar Kekaisaran Prancis tetap dipertahankan.[4] De Gaulle mengubah pendiriannya tentang kekaisaran pada pertengahan tahun 1950-an, dengan menyarankan kemungkinan pembentukan negara federal atau penentuan nasib sendiri dan keanggotaan dalam Komunitas Prancis.[4]
Sejarah
Berstein menulis bahwa Gaullisme telah berkembang dalam beberapa tahap:
- Fase pertama (1940–45) berlangsung ketika Perang Dunia II. Pada periode ini, Gaullisme diidentikkan dengan orang Prancis yang menolak gencatan senjata dengan Jerman Nazi, dan menolak kolaborator Vichy yang dipimpin oleh Philippe Pétain, dan bergabung dengan Jenderal Charles De Gaulle dan Pasukan Kemerdekaan Prancis, yang ingin membawa Prancis masuk ke dalam perang di sisi Sekutu.[1]
- Di fase kedua (1946–1958), Gaullisme adalah bentuk oposisi terhadap Republik Prancis Keempat. Para Gaullis di periode ini menentang pemerintahan parlementer yang tidak stabil dan menganjurkan penggantiannya dengan "presiden republik dengan kekuasaan konstitusional yang kuat."[1]
- Di fase ketiga (1958–69), "Gaullisme tidak lain adalah dukungan yang diberikan terhadap kebijakan De Gaulle setelah ia kembali berkuasa di tahun 1958 dan menjabat sebagai presiden dari Republik Kelima yang baru didirikan dari 1959 hingga pengunduran dirinya di tahun 1969."[1]
Sejak 1969, Gaullisme digunakan untuk menggambarkan mereka yang mengidentifikasi diri sebagai pewaris gagasan De Gaulle.[1] Salib Lorraine, yang digunakan oleh Prancis Merdeka (1940–1944) selama Perang Dunia II, telah digunakan sebagai simbol dari banyak partai dan gerakan Gaullis, termasuk partai Pertemuan Rakyat Prancis (1947-1955), Persatuan untuk Republik Baru (1958–1967), atau Pertemuan untuk Republik (1976–2022).[5]
Prinsip
Negara yang kuat
"Prinsip fundamental" dari Gaullisme adalah sebuah "gagasan tertentu tentang Prancis" sebagai negara yang kuat. Dalam bukunya War Memoirs, de Gaulle menggambarkan Prancis sebagai "entitas yang gigih, 'orang' yang dialog mistisnya terus terjalin sepanjang sejarah. Oleh karena itu, tujuan Gaullisme adalah untuk mengutamakan kepentingannya, memastikan bahwa suaranya didengar, membuatnya dihormati, dan memastikan kelangsungan hidupnya... agar tetap layak terhadap masa lalunya, bangsa harus memberikan dirinya sendiri sebuah negara yang kuat."[1] Kritzman menulis bahwa "gagasan Gaullisme tentang Prancis bertujuan untuk memulihkan kehormatan bangsa dan menegaskan keagungan dan kemerdekaannya" dengan de Gaulle berusaha untuk "membangun pandangan mesianis tentang takdir historis Prancis, menegaskan kembali martabatnya di dunia, dan melampaui penghinaan nasional di masa lalu."[3] Oleh karena itu, de Gaulle mendesak persatuan Prancis atas "pertengkaran partisan" yang memecah belah dan menekankan warisan Prancis, termasuk Ancien Régime dan Revolusi Prancis.[1] Tokoh politik Prancis yang paling dikagumi oleh de Gaulle "adalah mereka yang bertanggung jawab atas konsensus nasional—Louis XIV, Napoleon, Georges Clemenceau—yang melihat tujuan mereka adalah terciptanya persatuan politik dan sosial oleh negara yang kuat."[3]
Untuk memperkuat Prancis, kaum Gaullis juga menekankan perlunya "ekonomi yang kuat dan masyarakat yang stabil." Menurut Berstein, kaum Gaullis percaya bahwa "merupakan keharusan negara, sebagai penjaga kepentingan nasional, untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi dan memimpinnya. Pendapat ekonomi liberal dapat diterima jika menjanjikan lebih banyak efisiensi daripada ekonomi terencana. Mengenai keadilan sosial, selama ketidakpercayaan alami terhadap bisnis besar dapat diredakan, hal itu bukan sekadar masalah doktrin, melainkan sarana untuk menegakkan stabilitas. Untuk mengakhiri perjuangan kelas, kaum Gaullis berharap untuk memanfaatkan partisipasi, sebuah konsep abad kesembilan belas yang sering dibicarakan oleh sang jenderal, tetapi ia biarkan rekan-rekannya mengabaikannya."[1]
Sebagai bagian dari negara yang kuat, de Gaulle menyoroti perlunya mendirikan lembaga negara dengan lembaga eksekutif yang kuat, yang berlawanan dengan tradisi republik Prancis, yang menekankan peran majelis terpilih. Selama masa jabatannya, de Gaulle berusaha membangun otoritas dengan mengadakan pemungutan suara universal langsung dan referendum dan dengan terlibat langsung dengan rakyat (melalui pidato yang disiarkan melalui radio, konferensi pers, dan perjalanan ke provinsi-provinsi).[1] Meskipun ia sering berbicara tentang rasa hormatnya terhadap demokrasi, lawan-lawan politiknya melihat kecenderungan ke arah kekuasaan diktator dalam pemerintahannya; banyak yang takut akan kebangkitan Bonapartis atau monarki terpilih. Namun, Prancis tetap menjadi negara demokrasi, dan keputusan de Gaulle untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah penolakan pemilih terhadap referendum konstitusional April 1969 menunjukkan bahwa komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi bukan sekadar taktik retorika belaka.[1]
Eksepsionalisme Prancis
Dalam kebijakan luar negeri, kaum Gaullis dikenali dengan gagasan realisme dan eksepsionalisme Prancis, dan de Gaulle berusaha untuk memaksakan pengaruh Prancis pada tatanan global.[1][3] Kaum Gaullis mendukung dekolonisasi, yang membebaskan Prancis dari beban imperium kolonial.[1] Hal ini tercermin dalam penyelesaian de Gaulle atas krisis Aljazair (1954–1962), yang sangat dipengaruhi oleh realpolitiknya de Gaulle, atau "insting kebermanfaatan politik yang tajam."[3] Menyadari bahwa dekolonisasi tidak dapat dihindari, dan bahwa krisis yang berkelanjutan dan Perang Aljazair yang berkepanjangan akan merugikan ekonomi Prancis dan memperpanjang perpecahan nasional,[3] "de Gaulle merasa bahwa adalah kepentingan terbaik Prancis untuk memberikan kemerdekaan dan menghentikan keterlibatan militer," dengan demikian menjaga persatuan dan kemegahan Prancis.[3]
Para penganut paham Gaullisme menekankan perlunya Prancis untuk "menjamin kemerdekaan nasionalnya tanpa bergantung pada sekutu yang kepentingannya mungkin tidak sejalan dengan Prancis." Pengembangan kemampuan nuklir Prancis yang independen, yang dilakukan dengan upaya signifikan meskipun banyak kritik internasional, merupakan hasil dari pandangan ini. Namun, de Gaulle secara bersamaan memulai salah satu upaya nonproliferasi internasional pertama dengan diam-diam melepaskan dan menjauhkan program nuklir Prancis dari keterlibatan rahasia yang merepotkan secara diplomatik dengan mitra juniornya Israel, dengan mencoba untuk melakukan demiliterisasi dan membuka pengawasan internasional terhadap program senjata nuklir Israel.[6]
Prancis di bawah de Gaulle berusaha menghindari tatanan politik global bipolar pasca-Perang Dunia II yang didominasi oleh dua negara adikuasa Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan berusaha menghindari ketergantungan pada Amerika Serikat.[1] Kritzman menulis: "Kebijakan luar negeri Gaulle dimotivasi oleh kebutuhannya untuk membedakan dirinya dari ... dua negara adikuasa besar. Paradoksnya, [de Gaulle] ingin menjadi bagian dari aliansi Barat dan mengkritiknya pada saat yang sama pada isu-isu utama seperti pertahanan."[3] Yang paling menonjol, de Gaulle menarik Prancis dari operasi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada tahun 1966, dan memerintahkan pasukan NATO non-Prancis untuk meninggalkan Prancis, meskipun Prancis tetap menjadi anggota NATO. Para Gaullis juga kritis terhadap pengaruh ekonomi luar negeri AS dan peran dolar AS dalam sistem moneter internasional. Di bawah de Gaulle, Prancis menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok lebih awal daripada kebanyakan negara Barat lainnya; memberlakukan embargo senjata terhadap Israel (1967); dan mencela imperialisme Amerika di Dunia Ketiga.[1]
De Gaulle dan para Gaullis tidak mendukung Eropa sebagai entitas supranasional,[1][3] namun mendukung integrasi Eropa dalam bentuk "konfederasi negara-negara berdaulat yang saling terlibat dalam "kebijakan bersama, otonom dari negara adikuasa," dan sangat dipengaruhi oleh Prancis.[1] Namun, harapan De Gaulle untuk memajukan persatuan semacam ini sebagian besar gagal, "dalam menghadapi keinginan negara-negara Eropa lainnya untuk tetap bersekutu erat dengan Amerika Serikat."[1]
Warisan poltik setelah de Gaulle
Warisan politik De Gaulle mempunyai dampak yang sangat mendalam di Prancis dan secara bertahap memengaruhi keseluruhan spektrum politik.[1][7] Penggantinya sebagai presiden, Georges Pompidou, mengonsolidasikan Gaullisme selama masa jabatannya dari tahun 1969 hingga 1974. Ide-ide Gaullis yang pernah kontroversial telah diterima sebagai bagian dari konsensus politik Prancis dan "tidak lagi menjadi fokus kontroversi politik." Misalnya, jabatan presiden yang kuat dipertahankan oleh semua penerus de Gaulle, termasuk politisi sosialis François Mitterrand (1981–1995). Kemampuan nuklir independen Prancis dan kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh Gaullisme–meskipun diungkapkan "dalam istilah yang lebih fleksibel"–tetap menjadi "kekuatan penuntun hubungan internasional Prancis." Selama pemilihan presiden tahun 2017, warisan de Gaulle diklaim oleh seluruh kandidat mulai dari sayap kiri radikal hingga sayap kanan radikal, termasuk Jean-Luc Mélenchon, Benoît Hamon, Emmanuel Macron, François Fillon dan Marine Le Pen.[7]
Menurut Berstein, "Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Gaullisme telah membentuk Prancis pascaperang. Pada saat yang sama, mengingat bahwa esensi ide-ide Gaullisme sekarang diterima oleh semua orang, mereka yang ingin menjadi pewaris sah de Gaulle (misalnya, Jacques Chirac dari RPR) sekarang mengalami krisis identitas. Sulit bagi mereka untuk membedakan diri dari perspektif politik lainnya." Namun, tidak semua ide Gaullisme bertahan. Antara pertengahan 1980-an dan awal 2000-an, ada beberapa periode cohabitation (1986–1988, 1993–1995, 1997–2002), di mana presiden dan perdana menteri berasal dari partai yang berbeda, sebuah pergeseran yang nyata dari "kepresidenan kekaisaran" de Gaulle. Kebijakan ekonomi de Gaulle, yang didasarkan pada gagasan dirigisme (pengelolaan ekonomi oleh negara), juga telah melemah. Meskipun bank-bank besar di Perancis, begitu juga dengan perusahaan-perusahaan asuransi, telekomunikasi, baja, minyak dan farmasi, dimiliki oleh negara hingga pertengahan tahun 1980-an, pemerintah Prancis telah memprivatisasi banyak aset negara.[8]
Aliran
Gaullisme tradisional
Istilah "Gaullisme tradisional" (bahasa Prancis: Gaullisme traditionnel) telah digunakan oleh para pakar untuk menggambarkan nilai-nilai inti Gaullisme yang diwujudkan oleh tindakan dan kebijakan Charles de Gaulle, secara umum berbeda dengan aliran Gaullisme lainnya seperti "Gaulisme sosial" dan "neo-Gaullisme".[9][10]
Gaullisme Resisten (bahasa Prancis: Gaullisme de Résistance) menekankan perlunya kemerdekaan politik dan militer Prancis dari kekuatan yang berpotensi bermusuhan, yang diilhami oleh peran de Gaulle dalam perang melawan Jerman Nazi dan Prancis Vichy selama Perang Dunia II. Istilah "Gaullisme Chiraquian generasi pertama" (bahasa Prancis: Gaullisme chiraquien de première génération) telah digunakan untuk menggambarkan politisi yang setia pada sikap populis dan oposisi terhadap integrasi Eropa dan pasar bebas seperti yang awalnya dianjurkan oleh Jacques Chirac pada akhir tahun 1970-an.[7][11] Posisi ini khususnya diwujudkan oleh Charles Pasqua dan Philippe Séguin, yang menentang pergeseran Chirac ke neo-Gaullisme selama tahun 1990-an.[12]
Gaullisme sosial
Gaullisme sosial, atau "Gaullisme sayap kiri", berfokus pada dimensi sosial Gaullisme, dan sering dikaitkan oleh para pakar dengan ideologi demokrasi sosial.[7][11] Bertentangan dengan analisis konflik kelas Marxisme, yang dianggap sebagai ancaman bagi persatuan nasional, de Gaulle malah menganjurkan "asosiasi kapital-buruh", yaitu perlunya partisipasi langsung pekerja dalam hasil keuangan dan pengelolaan perusahaan mereka, yang ia yakini sebagai kondisi yang diperlukan bagi mereka untuk menaruh minat pada fungsi dan perkembangannya.[13] Aspek Gaullisme ini telah dipromosikan oleh partai Persatuan untuk Republik Baru antara tahun 1959 dan 1967,[7] dan oleh politisi seperti René Capitant, Jacques Chaban-Delmas, Jean Charbonnel, Léo Hamon, Philippe Dechartre atau Jean Mattéoli.[13] Baru-baru ini, partai Gerakan Warga Negara dan Republik serta Jean-Pierre Chevènement mengusung ideologi Gaullisme-kiri.
Neo-Gaullisme
"Neo-Gaullisme" telah digunakan dalam literatur untuk menggambarkan gerakan yang muncul setelah kematian de Gaulle pada tahun 1970 dan menarik lebih banyak pengaruh dari liberalisme ekonomi. Banyak aspek neo-Gaullisme, seperti dukungan untuk Perjanjian Maastricht (1992) dan pemulihan hubungan Prancis dengan NATO di bawah kepresidenan Chirac, sulit untuk diselaraskan dengan gagasan historis Gaullisme.[14][15][16] Namun, komponen-komponen utama Gaullisme tetap ada, termasuk konsep negara yang kuat dan independen, persatuan rakyat Prancis dan referensi terhadap kepemimpinan de Gaulle.[7] Neo-Gaullis juga telah melestarikan dalam beberapa aspek gagasan bahwa Prancis memiliki peran dalam membendung "negara-negara adikuasa" dunia, seperti yang terlihat dalam penolakan Chirac untuk mengikuti AS dalam Perang Irak pada tahun 2003.[17]
Gaullisme Pompidolian (bahasa Prancis: Gaullisme pompidolien) menyoroti perlunya Prancis untuk mengadaptasi ekonominya dalam dunia yang semakin kompetitif yang dapat mengancam perdamaian sosial di dalam negeri, sebagai warisan presiden Prancis Georges Pompidou (1969–1974). "Gaulisme Chiraquian generasi kedua" (atau "neo-Gaullisme Chiraquian"), yang muncul pada pertengahan 1980-an, telah dipengaruhi oleh neoliberalisme dan lebih terbuka terhadap integrasi Eropa, sebagai warisan presiden Prancis Jacques Chirac (1995–2007).[5][7][11]
Partai politik
Berikut ini adalah daftar partai politik Gaullis dan penerusnya:
- 1947–1955: Pertemuan Rakyat Prancis (RPF)
- 1954–1958: Pusat Nasional Republik Sosial (RS)
- 1958–1962: Persatuan untuk Republik Baru (UNR)
- 1958–1962: Serikat Buruh Demokratik (UDT)
- 1962–1967: Persatuan untuk Republik Baru – Serikat Buruh Demokratik (UNR – UDT)
- 1967–1976: Persatuan Demokrat untuk Republik (UDR)
- 1974-1980-an: Gerakan Demokrat (MDD)
- 1976–2002: Pertemuan untuk Republik (RPR)
- 1993-2003: Gerakan Warga (MDC)
- 1994-2018: Gerakan untuk Prancis (MPF)
- 1999–2011: Pertemuan untuk Prancis (RPF)
- 2002–2015: Persatuan Gerakan Masyarakat (UMP): Nicolas Sarkozy terpilih sebagai Presiden Prancis pada tahun 2007. Selama kepemimpinannya, partai Gaullis bergeser ke kanan dengan kebijakan yang lebih konservatif. Sarkozy dikalahkan pada tahun 2012. Meskipun kalah, Nicolas Sarkozy tetap berpengaruh dalam politik partai. Ia kembali menjadi Presiden UMP pada tahun 2014 dan mengganti nama partai Gaullis menjadi Republikan/Les Républicains pada tahun 2015.
- 2003–sekarang: Gerakan Warga Negara dan Republik (MRC)
- 2008–2014: Debout la République (DLR)
- 2014–sekarang: Debout la France (DLF)
- 2015–sekarang: Republikan/Les Républicains (LR): Pada tahun 2016, Sarkozy dikalahkan dalam pemilihan pendahuluan. Laurent Wauquiez terpilih sebagai pemimpin pada tahun 2017. Sejak saat itu, partai tersebut semakin condong ke kanan.
- 2017–sekarang: Patriot (LP)
- 2018–sekarang: Gerakan Warga (MDC)
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Krieger, Joel; Crahan, Margaret E., ed. (2001). The Oxford companion to politics of the world (edisi ke-2nd ed). Oxford ; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511739-4.
- ^ Herb, Guntram H.; Kaplan, David H. (2008). Nations and Nationalism: A Global Historical Overview. Santa Barbara, California: ABC-CLIO, Inc. hlm. 1059.
- ^ a b c d e f g h i Kritzman, Lawrence D.; Reilly, Brian J.; DeBevoise, M. B., ed. (2006). The Columbia history of twentieth-century French thought. European perspectives. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-10791-4.
- ^ a b "Book sources - Wikipedia". en.wiki-indonesia.club (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-16.
- ^ a b c Lachaise, Bernard (1998). "Contestataires et compagnons : les formes de l'engagement gaulliste". Vingtième Siècle. Revue d'histoire. 60 (1): 71–81. doi:10.3406/xxs.1998.2759.
- ^ "Nuclear Weapons - Israel". nuke.fas.org. Diakses tanggal 2024-10-16.
- ^ a b c d e f g "Book sources - Wikipedia". en.wiki-indonesia.club (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-16.
- ^ "French wrestle with De Gaulle's legacy" (dalam bahasa Inggris). 2002-04-15. Diakses tanggal 2024-10-16.
- ^ Bréchon, Pierre; Derville, Jacques; Lecomte, Patrick (1987). "L'univers idéologique des cadres RPR. Entre l'héritage gaulliste et la dérive droitière". Revue française de science politique. 37 (5): 675–695. doi:10.3406/rfsp.1987.411575.
- ^ Lavillatte, Bruno (2006). "Un gaullisme intransmissible". Médium (dalam bahasa Prancis). 7 (2): 96–105. doi:10.3917/mediu.007.0096. ISSN 1771-3757.
- ^ a b c Knapp, Andrew; Wright, Vincent (2006). The government and politics of France (edisi ke-5. ed). London: Routledge. ISBN 978-0-415-35732-6.
- ^ Lachaise, Bernard (1994). "Le RPR et le gaullisme. Les infortunes d'une fidélité". Vingtième Siècle. Revue d'histoire. 44 (1): 25–30. doi:10.3406/xxs.1994.3107.
- ^ a b Pozzi, Jérôme (2020-05-12). "Le gaullisme social : le rendez-vous manqué de la droite française ?". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-16.
- ^ Berstein, Serge (2001). Histoire du gaullisme. Paris: Perrin. ISBN 978-2-262-01155-0.
- ^ Tiersky, Ronald (1996). "A Likely Story: Chirac, France-NATO, European Security, and American Hegemony". French Politics and Society. 14 (2): 1–8. ISSN 0882-1267.
- ^ Jackson, Julian (1999-12). "General De Gaulle and his Enemies: Antigaullism in France Since 1940". Transactions of the Royal Historical Society (dalam bahasa Inggris). 9: 43–65. doi:10.2307/3679392. ISSN 1474-0648.
- ^ Miller, John J. (3 Januari 2005). "Liberté, Egalité, Absurdité". The New York Times.
Bibiliografi
- Berstein, Serge, Histoire du gaullisme, Perrin, Paris, 2001.
- Berstein, Serge (2001b). "Gaullism". The Oxford Companion to Politics of the World second edition ed. Joel Krieger. Oxford University Press. ISBN 0-195-11739-5
- Choisel, Francis, Bonapartisme et gaullisme, Paris, Albatros, 1987.
- Choisel, Francis, Comprendre le gaullisme, L'Harmattan, 2016.
- Gordon, Philip H. A Certain Idea of France: French Security Policy and the Gaullist Legacy (1993) edisi daring Diarsipkan 21 April 2008 at the Wayback Machine
- Grosser, Alfred. French foreign policy under De Gaulle (1977)
- Jackson, Julian. De Gaulle (2018) 887pp; biografi utama yang paling terkini.
- Kritzman, Lawrence D; Reilly, Brian J (2006). "Gaullism". The Columbia History of Twentieth-century French Thought. Columbia University Press. ISBN 0-231-10791-9.
- Kulski, W. W. De Gaulle and the World: The Foreign Policy of the Fifth French Republic (1966) dapat dipinjam gratis secara daring
- Touchard, Jean, Le gaullisme (1940–1969), Paris, Seuil, coll. Points Histoire.1978.