Global Mediacom

perusahaan asal Indonesia
Revisi sejak 17 November 2024 10.07 oleh WillsonEP09 (bicara | kontrib)

PT Global Mediacom Tbk (IDX: BMTR), lebih dikenal sebagai MNC Media & Entertainment adalah perusahaan media massa asal Indonesia yang didirikan sejak 1981. Perusahaan ini masih berada dalam naungan MNC Asia Holding dan merupakan induk dari Media Nusantara Citra.

PT Global Mediacom Tbk
MNC Media & Entertainment
Sebelumnya
Bimantara Citra (1981—2007)
Publik
Kode emitenIDX: BMTR
IndustriMedia
Didirikan30 Juni 1981; 43 tahun lalu (1981-06-30) di Jakarta, Indonesia
Pendiri
Kantor pusatMNC Tower, Jl. Kebon Sirih No. 17—19, ,
Indonesia
Pemiliklihat daftar
Karyawan
6.980 (2024)
Anak usahalihat daftar
Situs webwww.mediacom.co.id

Sejarah

1981—1998

Global Mediacom didirikan pada 30 Juni 1981 dengan nama PT Bimantara Citra oleh Bambang Trihatmodjo, Rosano Barack, dan Mochammad Tachril Sapi'ie.[1] Nama Bimantara Citra sendiri diberikan oleh Bambang Trihatmodjo, yang artinya siap mengemban tugas yang berat dengan citra yang baik. Bisnis Bimantara awalnya hanya bergerak di bidang teknik dan kontrakto terutama untuk pertambangan.[2] Namun, seiring berjalannya waktu perusahaan ini semakin diperluas ke berbagai bidang, seperti pabrik mobil, pabrik petrokimia, transportasi udara, keuangan, perdagangan, perkapalan, bahkan pernah terlibat dalam monopoli perdagangan jeruk pontianak, menjadikannya salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia pada era Orde Baru. Selain itu, Bimantara juga mendapatkan saham dalam sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, seperti Nestle. Pada 17 Juli 1995, perusahaan resmi mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia).[1]

 
Logo Bimantara Citra (30 Juni 1981—27 Maret 2007)

Pada masa Orde Baru juga, Bimantara bisa dikatakan merupakan sebuah perusahaan yang kontroversial karena bisa bertumbuh beranak-pinak dalam waktu yang cepat. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan Bambang Tri sebagai pendiri usaha ini, yang kebetulan merupakan anak ketiga Presiden Soeharto merupakan faktor penting dari "keberhasilan" Bimantara menjadi salah satu konglomerat terbesar di Indonesia pada era Orde Baru. Walaupun ada yang menganggap Bambang sesungguhnya orang yang pintar mengelola bisnis sehingga bisnisnya berhasil, sifat bisnis Bimantara yang "lebih terbuka" dibanding konglomerasi yang lain,[3] dan ia melakukannya untuk kemajuan Indonesia, namun tetap saja faktor koneksi sebagai putra Presiden membuatnya selalu terbawa dalam isu negatif, apalagi pasca kejatuhan Orde Baru. Bahkan, ada yang menyebut Bimantara merupakan singkatan dari Bambang (Trihatmodjo) Ingin Menguasai Nusantara.[4]

Beberapa perusahaan dan tindakan bisnis Bimantara yang dianggap kontroversial, seperti:

  • Stasiun TV Bimantara, RCTI merupakan TV swasta pertama yang diizinkan berdiri, dan seperti "dibolehkan" untuk "memaksa" pemerintah mengubah berbagai aturan, seperti dari awalnya stasiun TV berlangganan, lalu stasiun televisi lokal terestrial, dan terakhir stasiun TV nasional. Menurut Ade Armando, efek dari hal ini adalah munculnya sentralisasi siaran seperti saat ini.[5] RCTI merupakan stasiun televisi swasta pertama, yang merupakan hasil kerjasama Bimantara dengan bekerjasama dengan Rajawali Corpora dan diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1989.
  • Perusahaan mobil Bimantara, PT Citramobil Nasional merupakan satu dari dua perusahaan mobil (yang lain adalah Timor yang dikuasai oleh adiknya, Tommy Soeharto) yang diizinkan meluncurkan mobil nasional bernama Bimantara Cakra dan Bimantara Nenggala pada 1996 bekerjasama dengan Hyundai.[6]
  • Perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Bambang, Guinness Peat Aviation yang berpusat di Republik Irlandia, merupakan perusahaan yang menyewakan sejumlah pesawatnya kepada perusahaan BUMN, Garuda Indonesia. Menurut sebuah estimasi, dalam transaksi ini Bambang telah mengeruk keuntungan sekitar Rp 96 miliar.
  • Perusahaan kerjasama Bambang (Bimantara) dan Tommy, PT Multi Nirotama Kimia dan Tridaya Esta merupakan satu-satunya perusahan swasta yang boleh memperdagangkan bahan peledak dari PT Dahana.
  • Keppres 1/1997 mengizinkan perusahaan Bambang/Bimantara sebagai kontraktor tunggal dari pembangunan calon ibukota di Jonggol, Jawa Barat.[7]
  • PT Satelindo, yang dikendalikan saham mayoritasnya oleh anak usaha Bimantara PT Bimagraha Telekomindo merupakan perusahaan pertama yang diberi izin untuk mengelola bisnis satelit Palapa tanpa tender walaupun Bimantara bukannya perusahaan yang ahli maupun berpengalaman dalam bidang ini.[8] Selain itu, PT Komselindo yang sebagian besar sahamnya milik Bambang (via PT Elektrindo Nusantara) telah diizinkan untuk membangun jaringan CDMA pertama di Indonesia.
  • Bambang diizinkan untuk mengimpor mobil mewah pada 1996 untuk SEA Games 1997 tanpa bea masuk.[9]
  • PT Bima Citra Mandiri, perusahaan yang terafiliasi di Bimantara diizinkan untuk menjadi pembeli tunggal (memonopoli) dari jeruk pontianak yang ada di Kalimantan Barat. Hasilnya bukannya petani untung, malah akibatnya mereka merugi.[10]
  • Pertamina sendiri menyewa kapal tanker (miliknya sendiri yang disewakan) dari Bimantara (PT Samudera Petrindo Asia) dengan harga US$ 17.000/hari.[11]

Seperti telah disebutkan, unsur kronisme yang ditunjukkan Orde Baru telah membuat sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, harus "terpaksa" menggunakan jalur tikus lewat Bimantara. Beberapa perusahaan asing tersebut, seperti PT Food Specialities Indonesia (Nestle) dan PT Indomiwon Citra Inti yang merupakan kongsi dengan Grup Salim dan Miwon Korea.[12] Namun, kerjasama ini jauh lebih besar terlihat dalam industri kimia dan bahan bakar (gas alam, minyak bumi), misalnya pembentukan PT Trans Javagas Pipeline (dengan ARCO), PT Bimatama Graha Perkasa (dengan Exxon dan Mobil), PT Montrose Pestindo Nusantara (dengan Montrose), PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (dengan American Petroleum Institute dan Pennzoil Product Co).[7]

1998-2007

Runtuhnya rezim Orde Baru membuka lembaran baru dalam kehidupan Bimantara. Citra buruk Orde Baru membuat hanya dalam waktu 8 hari setelah ayahnya Soeharto mengundurkan diri (30 Mei 1998), Bambang mengundurkan diri dari Direktur Utama di Bimantara yang sudah dipegangnya sejak 1981.[6] Selain itu, perusahaan ini merupakan salah satu obligor terbesar BPPN senilai Rp 3,24 triliun, dan cabangnya terlalu banyak. Perubahan tersebut diiringi dengan perubahan kepemilikan di Bimantara. Bambang perlahan-lahan melepas kepemilikannya (via PT Asriland) di PT Bimantara yang pada saat itu terlilit hutang, dari 36,51% pada 2000 menjadi 14,32% pada 2003. Saham Bambang itu beralih ke orang yang kini menjadi pemilik perusahaan ini, yaitu Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoe atau HT). Hary sebenarnya bukanlah seorang industriawan atau seorang konglomerat besar dari awal, melainkan hanya seorang pemain di industri keuangan dan pasar modal lewat PT Bhakti Investama. HT lewat PT Bhakti Investama meningkatkan kepemilikannya di PT Bimantara secara bertahap: dari 10,72% pada 2001 hingga mencapai 37,60% pada 2003. Pada 30 April 2002, HT dikukuhkan sebagai Presiden Direktur Bimantara. Masuknya HT dalam PT Bimantara ini memang mengagetkan karena dia dianggap pada saat itu tidak punya kekuatan modal besar untuk menguasai "raksasa" bisnis Cendana tersebut. Ada yang menganggap upaya HT ini mendapatkan "bekingan" dari keluarga Cendana sehingga ia hanya sebagai operator, ada rumor yang menuduhnya merupakan kepanjangan tangan Salim Group,[13] rumor lain mengatakan ia diberi modal oleh investor rahasia, bahkan ada juga yang menuduhnya dibantu oleh investor kawakan George Soros.[14] Namun, HT membantah semua itu dalam wawancara tahun 2007 dan menyatakan keberhasilannya lebih disebabkan prestasinya menyehatkan Bimantara dengan meningkatkan kinerjanya dan menjual aset-asetnya yang potensial.[15]

Setelah HT masuk, pada saat itulah Bimantara melakukan "perampingan" dan menyederhanakan fokusnya pada beberapa perusahaan saja, terutama media dari sebelumnya sebuah konglomerasi di banyak bidang. Misalnya, pada 14 April 2001, Bimantara melepaskan saham di PT Danapaints Indonesia, sebuah perusahaan cat senilai Rp 41 miliar. Lalu saham di PT Bimagraha Telekomindo dijual pada Indosat senilai US$ 55,8 juta, saham di PT Samudra Petrindo Asia dijual senilai Rp 36,5 miliar serta saham di PT Bimantara Graha Insurance Brokers dijual senilai Rp 10 juta.[5][16] Selain itu, perusahaan yang bergerak di bidang aviasi seperti Cardig Air dan Jasa Angkasa Semesta dilepas. Sebenarnya, upaya divestasi ini sudah dilakukan di masa Bambang masih menjadi pemilik saham utama, misalnya pada 2000 Bimantara melepas PT Polychem Lindo, PT Aqualindo Mitra Industri, PT Bimantara Cakra Nusa, PT Plaza Indonesia Realty, PT Nestle Indonesia (ke Nestle) dan PT Citramobil Nasional (ke Hyundai). Anak perusahaan Bimantara yang di Singapura, Van der Horst Ltd dan Osprey Maritim juga dilepas. Penjualan perusahaan Bimantara ini digunakan dalam rangka untuk merestrukturisasi perusahaan dan membayar hutang ke BPPN.[16][17]

Namun, di bawah HT divestasi dipercepat pada perusahaan yang tidak berhubungan dengan media, sedangkan investasi/akuisisi di perusahaan media seperti MetroTV (dilepas pada 2003), Global TV (sejak 2001, dari tangan PT Titian Paraputra Sejahtera),[18] TPI (sejak 2003), Indovision, Radio Trijaya, serta telekomunikasi seperti Mobile-8 Telecom berusaha ditingkatkan.[15] Menurut HT, ketika ia masuk Bimantara, ia ditawari langsung oleh Bambang untuk membeli sahamnya sebesar 25%. HT menyatakan ia langsung membeli saham itu dengan dana sendiri dan ia menyesuaikan dengan situasi di mana Bimantara masih memiliki kapitalisasi pasar yang rendah. Ketika terlibat dalam pengelolaan Bimantara itulah ia tertarik dengan anak perusahaan Bimantara RCTI dan industri media penyiaran. RCTI memang dibanding perusahaan lain paling berperan memberikan untung, dengan pada 2002 40% pendapatannya berasal dari TV ini.[15][19]

2007-sekarang

 
Logo Global Mediacom (27 Maret 2007-31 Desember 2023), Logo sebelum mengadopsi jenama MNC Media & Entertainment)

Untuk mengubah fokus bisnis dari konglomerat ke media dan telekomunikasi, pada 27 Maret 2007 berganti nama menjadi Global Mediacom, yang artinya kira-kira, perusahaan media dan telekomunikasi yang menjadi pemain di tingkat global.[15] Seiring waktu, kemudian kepemilikan Global Mediacom menjadi berada di bawah pengendalian HT sedangkan saham Bambang Tri (lewat PT Asriland) semakin merosot. Walaupun awalnya sempat bertahan sampai tahun 2012 lewat saham sekitar 10-14%, saham Bambang (PT Asriland) akhirnya lenyap pada awal 2012, yang diperkuat dengan mundurnya Bambang Tri dan Mohammad Tachril Sapi'ie dari jajaran manajemen Global Mediacom pada akhir April 2012. Sejak saat itu, saham Global Mediacom berada sepenuhnya di bawah kepemilikan HT, bahkan saat ini sudah mencapai 55%. Walaupun demikian, HT masih mempertahankan beberapa "orang lama" di Global Mediacom seperti Rosano Barack.

Direktur Utama Global Mediacom saat ini adalah Hary Tanoesoedibjo.

Kepemilikan

Berikut ini merupakan daftar kepemilikan perusahaan berdasarkan laporan Keuangan per 30 September 2024.[20]

Nama Pemegang Saham Persentase Kepemilikan (%)
PT MNC Asia Holding Tbk 45,75
Hary Tanoesoedibjo (Direktur Utama) 0,29
Ruby Panjaitan (Direktur) 0,00
Indra Pudjiastuti (Direktur) 0,12
Rosano Barack (Komisaris Utama) 0,19
Lo Kheng Hong 6,53
Masyarakat/publik (di bawah 5%) 47,12
Total 100%

Anak usaha

Berikut ini merupakan daftar anak usaha perusahaan berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2024.[20]

Nama Anak Usaha Persentase Kepemilikan (%)
PT Media Nusantara Citra Tbk 52,67
Global Mediacom International Ltd 100,00
MNC International Middle East Limited 100,00
PT Infokom Elektrindo 99,99
PT MNC GS Homeshopping 60,00
Universal Media Holding Corporation 100,00

Referensi

  1. ^ a b "Company Profile". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2015-05-16. 
  2. ^ "Visualisasi hasil pembangunan Orde Baru Pelita I, Pelita II ..., Volume 2". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-02-28. 
  3. ^ "SUHARTO'S SON RISES". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  4. ^ "Kisah Hary Tanoe Singkirkan Bambang Tri, Anak Soeharto Dari "RCTI" Dan "Bimantara"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  5. ^ a b "Televisi Jakarta di atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  6. ^ a b "Historia Bisnis: Ketika Anak-Anak Pak Harto Bersaing Bikin Mobil". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  7. ^ a b "Korupsi Kepresidenan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  8. ^ "Indonesia Beyond Suharto". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  9. ^ "" KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARAGANYA"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  10. ^ "Asian Development Experience Vol. 2: The Role of Governance in Asia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  11. ^ "Menuju Riau berdaulat: Penjarahan minyak Riau, Volume 1". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  12. ^ "Harta Soeharto". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  13. ^ "Salim Tidak Membonceng Bhakti Masuk Bimantara". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-30. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  14. ^ "Bambang Tri, Pendiri RCTI, Tersingkir Atau Disingkirkan Hary Tanoe?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-30. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  15. ^ a b c d "Mengapa Orang Masih Mengira yang Lain?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-31. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  16. ^ a b "Ekonomi Politik Media Penyiaran". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  17. ^ "Gamma, Volume 2,Masalah 33-40". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  18. ^ "MNC Media New Corporate Structure". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2015-04-25. 
  19. ^ "Hary Tanoe Bantah Kekayaannya Warisan Keluarga Cendana". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2021-01-24. 
  20. ^ a b "Laporan Keuangan Global Mediacom (IDX:BMTR) Q3 2024" (PDF). Bursa Efek Indonesia. Diakses tanggal 17 November 2024 2024. 

Pranala luar