Bintang

benda astronomi yang terdiri dari bola plasma bercahaya yang diikat oleh gravitasinya sendiri
Revisi sejak 19 November 2024 23.41 oleh Kim Nansa (bicara | kontrib) (Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya yang disebabkan oleh reaksi fusi nuklir yang menghasilkan energi yang terjadi di intinya.[1] Perlu diperhatikan bahwa 'bintang semu' bukanlah bintang, tetapi planet yang memantulkan cahaya dari bintang lain dan terlihat bercahaya di langit seperti sebuah bintang.

Daerah pembentuk-bintang di Awan Magellan Besar.
Gambar warna semu dari Matahari, bintang deret utama tipe-G yang terdekat ke Bumi

Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah:

Semua benda masif (bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir.

Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang neutron yang sudah tidak menghasilkan energi tetap disebut sebagai bintang. Bintang terdekat dengan Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000 kilometer, diikuti oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Sentaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.

Sejarah pengamatan

sunting

Bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang digunakan dalam praktik-praktik keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia, adalah kalender Matahari, mendasarkan diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang terdekat, Matahari.

Astronom-astronom awal seperti Tycho Brahe berhasil mengenali ‘bintang-bintang baru’ di langit (kemudian dinamakan novae) menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal. Pada 1584 Giordano Bruno mengusulkan bahwa bintang-bintang sebenarnya adalah Matahari-matahari lain, dan mungkin saja memiliki planet-planet seperti Bumi di dalam orbitnya,[2] ide yang telah diusulkan sebelumnya oleh filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Democritus dan Epicurus.[3] Pada abad berikutnya, ide bahwa bintang adalah Matahari yang jauh mendapat kesepakatan di antara para astronom. Untuk menjelaskan mengapa bintang-bintang ini tidak memberikan tarikan gravitasi pada tata surya, Isaac Newton mengusulkan bahwa bintang-bintang tersebar secara merata di seluruh langit, sebuah gagasan yang berasal dari teolog Richard Bentley.[4]

Astronom Italia Geminiano Montanari merekam adanya perubahan luminositas pada bintang Algol pada 1667. Edmond Halley menerbitkan pengukuran pertama gerak diri dari sepasang bintang “tetap” dekat, memperlihatkan bahwa mereka berubah posisi dari sejak pengukuran yang dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang 61 Cygni dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.

William Herschel adalah astronom pertama yang mencoba menentukan sebaran bintang di langit. Selama 1780an ia melakukan pencacahan di sekitar 600 daerah langit berbeda. Ia kemudian menyimpulkan bahwa jumlah bintang bertambah secara tetap ke suatu arah langit, yakni pusat galaksi Bima Sakti. Putranya John Herschel mengulangi pekerjaan yang sama di belahan bumi langit sebelah selatan dan menemukan hasil yang sama.[5] Selain itu William Herschel juga menemukan bahwa beberapa pasangan bintang bukanlah bintang-bintang yang secara kebetulan berada dalam satu arah garis pandang, melainkan mereka memang secara fisik berpasangan membentuk sistem bintang ganda.

Penamaan

sunting

Gagasan rasi bintang telah dikenal sejak zaman Babilonia. Para pengamat langit kuno membayangkan pola tertentu terbentuk oleh susunan bintang yang menonjol, dan menghubungkannya dengan cara tertentu dari alam atau mitologi mereka. Dua belas dari susunan ini terletak pada garis ekliptika dan menjadi dasar bagi astrologi.[6] Banyak pula bintang-bintang individu yang menonjol diberi nama tersendiri, khususnya dengan penamaan Arab atau Latin.

Sebagaimana beberapa rasi bintang tertentu dan matahari, beberapa bintang juga memiliki mitologinya sendiri.[7] Bagi orang Yunani kuno, beberapa "bintang", yang dikenal sebagai planet (bahasa Yunani: πλανήτης [planētēs], pengembara), mewakili berbagai dewa penting mereka yang menjadi sumber nama bagi planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus.[7] Uranus dan Neptunus juga adalah dewa-dewa Yunani dan Romawi, tetapi belum dikenal pada masa kuno karena sinarnya yang redup. Nama keduanya diberikan oleh para astronom berikutnya.

Kira-kira tahun 1600, nama rasi bintang digunakan untuk menamakan bintang-bintang dalam wilayah langitnya. Astronom Jerman Johann Bayer menciptakan serangkaian peta bintang yang menggunakan huruf Yunani sebagai nama bagi bintang-bintang pada tiap rasi bintang. Setelah itu tata penomoran berdasarkan asensio rekta bintang diciptakan oleh John Flamsteed dan ditambahkan ke katalog bintang dalam bukunya "Historia coelestis Britannica" (edisi tahun 1712). Tata nomor ini nantinya akan dikenal sebagai Penamaan Flamsteed atau Penomoran Flamsteed.[8][9]

Satu-satunya otoritas yang diakui secara internasional dalam penamaan benda angkasa adalah Persatuan Astronomi Internasional (International Astronomical Union, IAU).[10] Terdapat sejumlah perusahaan swasta yang menjual nama-nama bintang, yang menurut Perpustakaan Britania merupakan perusahaan komersial tak teregulasi.[11][12] Namun IAU telah memutuskan hubungan dengan praktik komersial ini, dan nama-nama tersebut tidak diakui dan tidak dipergunakan oleh IAU.[13] Salah satu perusahaan penamaan yang demikian adalah International Star Registry (ISR) yang pada tahun 1980-an dituduh melakukan praktik penipuan karena membuat seolah-olah nama-nama yang mereka berikan resmi. Praktik ISR yang sudah berhenti ini secara informal dilabeli sebagai penipuan dan kecurangan,[14][15][16][17] dan Departemen Urusan Konsumen Kota New York menerbitkan sebuah peringatan bagi ISR karena melakukan praktik dagang yang menyesatkan.[18][19]

Radiasi

sunting

Energi yang dihasilkan oleh bintang dari fusi nuklir memancar ke ruang angkasa dalam bentuk radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang terwujud dalam bentuk angin bintang,[20] yang mengalirkan proton bebas, partikel alfa bermuatan listrik, dan partikel beta dari lapisan luar bintang. Terdapat juga aliran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang, walaupun neutrino-neutrino ini hampir tidak bermassa.

Bintang bersinar sangat terang akibat produksi energi pada intinya, yang menggabungkan dua atau lebih inti atom dan membentuk inti atom tunggal unsur yang lebih berat serta melepaskan foton sinar gama dalam prosesnya. Begitu energi ini mencapai lapisan luar bintang, energi ini diubah ke dalam bentuk lain sebagai energi elektromagnetik yang berfrekuensi lebih rendah, misalnya cahaya tampak.

Warna bintang, yang ditentukan oleh frekuensi cahaya tampaknya yang paling kuat, tergantung pada suhu lapisan luar bintang, termasuk fotosfernya.[21] Selain cahaya tampak, bintang juga memancarkan bentuk-bentuk lain radiasi elektromagnetik yang tidak kasatmata. Sebenarnya radiasi elektromagnetik bintang meliputi keseluruhan spektrum elektromagnetik, dari yang panjang gelombangnya terpanjang yaitu gelombang radio, ke inframerah, cahaya tampak, ultraungu, hingga sinar X dan sinar gama yang panjang gelombangnya paling pendek. Jika dilihat dari jumlah keseluruhan energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang, tidak semua komponen radiasi elektromagnetik bintang memiliki jumlah yang signifikan, tetapi seluruh frekuensi tersebut memberikan kita wawasan tentang fisik bintang.

Dengan menggunakan spektrum bintang, astronom dapat menentukan suhu permukaan, gravitasi permukaan, metalisitas, dan kecepatan rotasi sebuah bintang. Jika jarak sebuah bintang diketahui, misalnya dengan mengukur paralaksnya, maka luminositasnya dapat dihitung. Massa, jari-jari, gravitasi permukaan dan periode rotasi dapat diperkirakan dengan berdasarkan model bintang. (Massa bintang-bintang dalam sistem biner dapat dihitung dengan mengukur jarak dan kecepatan orbitnya. Efek lensa-mikro gravitasi dipergunakan untuk mengukur massa bintang tunggal.[22]) Dengan menggunakan parameter-parameter ini, astronom juga dapat memperkirakan umur sebuah bintang.[23]

Luminositas

sunting

Luminositas bintang adalah jumlah cahaya dan bentuk energi radiasi lainnya yang dipancarkan oleh bintang per satuan waktu. Luminositas bintang diukur dalam satuan daya (watt). Luminositas bintang ditentukan oleh ukuran jari-jari dan suhu permukaannya. Dengan menganggap bahwa sebuah bintang adalah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah:

 

di mana L adalah luminositas, σ adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang.

Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan

 

dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.

Namun banyak bintang yang memancarkan cahaya dengan fluks (jumlah energi yang dipancarkan per satuan luas) yang tidak seragam di seluruh permukaannya. Bintang Vega yang berputar sangat cepat, misalnya, memiliki fluks energi yang lebih tinggi pada kutub-kutubnya dibandingkan dengan ekuatornya.[24] Noda-noda di permukaan bintang yang memiliki suhu dan luminositas yang lebih rendah dari rata-rata disebut dengan bintik bintang. Bintang katai yang kecil, seperti matahari kita, umumnya memiliki permukaan yang cukup mulus dengan hanya sedikit bintik bintang. Bintang-bintang raksasa yang lebih besar memiliki bintik bintang yang lebih besar dan lebih kelihatan, [25] dan bintang-bintang ini juga menunjukkan penggelapan pinggiran yang lebih kuat. Penggelapan pinggiran adalah penurunan tingkat kecerahan cahaya pada cakram bintang mendekati daerah pinggirannya.[26] Bintang-bintang suar katai merah seperti UV Ceti dapat memiliki bintik bintang yang menonjol di permukaannya.[27]

Magnitudo

sunting

Terangnya cahaya yang tampak dari sebuah bintang disebut dengan istilah magnitudo semu, yaitu terangnya sebuah bintang yang merupakan fungsi dari luminositas bintang, jarak dari bumi dan perubahan cahayanya saat melintasi atmosfer bumi. Magnitudo mutlak atau magnitudo intrinsik adalah magnitudo semu sebuah bintang jika jarak antara bumi dengan bintang tersebut adalah 10 parsec (32,6 tahun cahaya), sehingga berhubungan langsung dengan luminositas bintang dan menyatakan kecerahan bintang yang sebenarnya.

Jumlah bintang yang lebih terang dari magnitudo:
Magnitudo
semu
Jumlah 
bintang[28]
0 4
1 15
2 48
3 171
4 513
5 1.602
6 4.800
7 14.000

Baik skala magnitudo semu maupun magnitudo mutlak adalah satuan logaritmis di mana selisih satu magnitudo sama dengan perbedaan kecerahan sekitar 2,5 kali[29] (akar pangkat 5 dari 100, atau mendekati 2,512). Hal ini berarti bintang dengan nilai magnitudo +1 kira-kira 2,5 kali lebih terang daripada bintang dengan nilai magnitudo +2, dan kira-kira 100 kali lebih terang daripada bintang dengan nilai magnitudo +6. Bintang teredup yang dapat dilihat mata telanjang dalam kondisi pengamatan yang baik adalah bintang dengan nilai magnitudo kira-kira +6.

Dalam skala magnitudo semu maupun magnitudo tampak, semakin kecil nilai magnitudonya, maka semakin terang pula bintang tersebut; semakin besar nilai magnitudonya, semakin redup. Bintang-bintang paling terang pada kedua skala tersebut memiliki nilai magnitudo yang negatif. Perbedaan terang cahaya (ΔL) antara dua bintang dihitung dengan mengurangkan nilai magnitudo bintang yang lebih terang (mb) dari nilai magnitudo bintang yang lebih redup (mf), lalu menggunakan selisihnya sebagai eksponen untuk bilangan pokok 2,512. Dapat juga ditulis dengan persamaan berikut:

 
 

Walau keduanya bergantung pada luminositas dan jarak bintang dari bumi, magnitudo mutlak sebuah bintang (M) tidaklah sama dengan magnitudo semunya (m).[29] Sebagai contoh, bintang Sirius yang terang memiliki nilai magnitudo semu −1,44, memiliki nilai magnitudo mutlak +1,41.

Matahari memiliki nilai magnitudo semu −26,7, tetapi magnitudo mutlaknya hanyalah +4,83. Sirius, bintang paling cemerlang di langit malam, kira-kira 23 kali lebih terang dari matahari, sedang Canopus, bintang paling cemerlang kedua di langit malam dengan magnitudo mutlak −5,53, kira-kira 14.000 kali lebih terang daripada matahari. Walaupun Canopus jauh lebih terang daripada Sirius, tetapi Sirius tampak lebih cemerlang daripada Canopus. Hal ini disebabkan jarak Sirius yang hanya 8,6 tahun cahaya dari bumi, sementara Canopus jauh lebih jauh dengan jarak 310 tahun cahaya.

Berdasarkan data tahun 2006, bintang dengan magnitudo absolut paling tinggi yang diketahui adalah LBV 1806-20, dengan nilai magnitudo −14,2. Bintang ini paling tidak 5.000.000 kali lebih terang dari matahari.[30] Sedang bintang-bintang dengan luminositas paling rendah yang diketahui saat ini terdapat di gugus NGC 6397. Bintang katai merah paling redup dalam gugus tersebut memiliki nilai magnitudo 26, sementara ditemukan juga bintang katai putih dengan nilai magnitudo 28. Bintang-bintang redup ini sangatlah samar sehingga cahayanya sama dengan cahaya lilin ulang tahun di bulan jika dilihat dari bumi.[31]

Satuan pengukuran

sunting

Kebanyakan parameter-parameter bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan (misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Namun pada praktiknya sering kali massa, luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan matahari, mengingat matahari adalah bintang yang paling banyak dipelajari dan diketahui parameter-parameter fisisnya. Untuk matahari, parameter-parameter berikut diketahui:

massa matahari: M = 1.9891 × 1030 kg[32]
luminositas matahari: L = 3.827 × 1026 watt[32]
radius matahari R = 6.960 × 108 m[33]

Ukuran panjang yang sangat besar, misalnya panjang sumbu semi-mayor orbit tata bintang ganda, sering kali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara bumi dan matahari.

Sifat dan karakteristik

sunting

Hampir semua hal menyangkut sebuah bintang dipengaruhi oleh massa awalnya, termasuk sifat-sifat penting seperti ukuran dan luminositas, demikian juga dengan evolusi, umur dan kondisi akhirnya.

Diameter

sunting
 
Bintang sangat beragam ukurannya. Dalam setiap panel pada gambar di atas, objek paling kanan tampil sebagai objek paling kiri pada panel berikutnya. Bumi terletak paling kanan pada panel pertama dan matahari terletak pada urutan kedua dari kanan pada panel ketiga.

Karena jaraknya yang sangat jauh dari bumi, semua bintang kecuali matahari terlihat hanya seperti titik yang bersinar di langit malam jika dilihat dengan mata telanjang, dan berkelip akibat efek dari atmosfer bumi. Matahari juga adalah sebuah bintang, tetapi berjarak cukup dekat dengan bumi sehingga terlihat seperti cakram di langit serta mampu menerangi bumi. Selain matahari, bintang dengan ukuran tampak terbesar adalah R Doradus, yang itu pun hanya 0,057 detik busur.[34]

Cakram sebagian besar bintang terlalu kecil diameter sudutnya untuk dapat diamati dengan teleskop optis bumi yang ada saat ini, sehingga dibutuhkan teleskop interferometer untuk menghasilkan citra sebuah bintang. Teknik lain untuk mengukur diameter sudut bintang adalah lewat okultasi. Dengan mengukur secara tepat penurunan terang cahaya sebuah bintang saat terjadi okultasi dengan bulan (atau peningkatan terang cahaya bintang saat bintang tersebut muncul kembali), diameter sudut bintang tersebut dapat dihitung.[35]

Ukuran bintang sangat beragam, mulai dari bintang neutron, yang hanya berdiameter antara 20 sampai 40 km, hingga bintang maharaksasa seperti Betelgeuse di rasi bintang Orion, yang berdiameter sekitar 650 kali diameter matahari atau sekitar 900 juta km. Namun Betelgeuse memiliki kepadatan yang jauh lebih rendah dari matahari.[36]

Kinematika

sunting
 
Pleiades, sebuah gugus terbuka di rasi bintang Taurus. Bintang-bintang ini bergerak bersama di angkasa.[37] Foto NASA

Gerak relatif sebuah bintang terhadap matahari dapat memberikan informasi penting mengenai asal mula dan umur bintang tersebut, bahkan juga mengenai struktur dan evolusi galaksi di sekitarnya. Komponen gerak sebuah bintang terdiri atas kecepatan radialnya menuju atau menjauhi matahari, dan pergeseran melintangnya yang disebut gerak diri.

Kecepatan radial sebuah bintang diukur lewat pergeseran doppler pada garis spektrumnya dan dinyatakan dalam satuan kilometer per detik. Gerak diri sebuah bintang ditentukan lewat pengukuran astronomis yang teliti dalam satuan milidetik busur per tahun. Dengan menentukan paralaks sebuah bintang, gerak diri dapat kemudian dikonversikan ke dalam satuan kecepatan. Bintang dengan kecepatan gerak diri yang tinggi kemungkinan besar berjarak dekat dengan matahari, sehingga cocok untuk diukur paralaksnya.[38]

Saat kecepatan kedua gerak tersebut diketahui kecepatan ruang bintang relatif terhadap matahari atau Bima Sakti dapat dihitung. Di antara bintang-bintang sekitar kita, diketahui bahwa bintang-bintang populasi I yang lebih muda biasanya memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan bintang-bintang populasi II yang lebih tua. Bintang populasi II memiliki orbit elips yang terinklinasi terhadap bidang galaksi Bima Sakti.[39] Perbandingan kinematika berbagai bintang di sekitar matahari juga menyebabkan ditemukannya himpunan bintang yang kemungkinan besar adalah kumpulan bintang dengan lokasi asal yang sama dalam awan molekul raksasa.[40]

Komposisi kimia

sunting

Saat terbentuk, bintang-bintang di galaksi Bima Sakti massanya terdiri dari sekitar 71% hidrogen dan 27% helium,[41] dan sisanya sedikit unsur-unsur yang lebih berat. Biasanya porsi unsur-unsur berat diketahui dengan mengukur jumlah muatan besi yang terkandung dalam atmosfer bintang, sebab besi adalah unsur yang umum dan garis spektrum serapannya relatif mudah untuk dihitung. Karena awan molekul tempat bintang terbentuk terus menerus diperkaya dengan unsur-unsur yang lebih berat, pengukuran terhadap komposisi kimia sebuah bintang dapat digunakan untuk menentukan umurnya.[42] Porsi unsur-unsur yang lebih berat juga dapat dijadikan sebagai petunjuk apakah sebuah bintang memiliki sistem planet atau tidak.[43]

Bintang dengan kandungan besi terendah yang pernah diukur adalah bintang katai HE1327-2326, dengan kandungan besi hanya 1/200.000 dari kandungan besi matahari.[44] Sebaliknya, bintang kaya logam μLeonis, memiliki kandungan yang hampir dua kali lipat milik matahari, sedang bintang berplanet 14 Herculis, memiliki kandungan yang hampir tiga kali lipat milik matahari.[45] Ada juga bintang yang komposisi kimianya ganjil, yang menunjukkan kelimpahan luar biasa unsur-unsur tertentu dalam spektrumnya; khususnya krom dan logam tanah jarang.[46]

Salah satu bintang paling masif yang diketahui adalah Eta Carinae.[47] Dengan massa hingga 100–150 kali massa matahari, bintang ini pun memiliki jangka hidup yang hanya beberapa juta tahun. Penelitian terhadap gugus Arches menunjukkan bahwa batas tertinggi massa bintang dalam era sekarang alam semesta adalah 150 kali massa matahari.[48] Alasan untuk batas ini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagiannya disebabkan oleh luminositas Eddington, yaitu jumlah maksimal luminositas yang dapat melewati atmosfer bintang tanpa harus melontarkan gas ke ruang angkasa. Namun, sebuah bintang bernama R136a1 dalam gugus bintang RMC136a, diukur memiliki massa 265 kali massa matahari, membuat batas tersebut dipertanyakan.[49] Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bintang-bintang dalam gugus bintang R136 yang bermassa lebih besar dari 150 kali massa matahari terbentuk akibat tabrakan dan penggabungan bintang-bintang masif dari beberapa sistem biner yang berdekatan; sehingga bintang-bintang tersebut mampu melewati batas 150 kali massa matahari.[50]

 
Nebula NGC 1999 disinari dengan terang oleh V380 Orionis (tengah), sebuah bintang variabel dengan massa sekitar 3,5 kali massa matahari. Bagian langit yang hitam adalah lubang besar ruang kosong dan bukannya nebula gelap seperti yang dikira sebelumnya. NASA image

Bintang-bintang pertama yang terbentuk setelah Dentuman besar kemungkinan berukuran lebih besar dari yang ada sekarang, mencapai hingga 300 kali massa matahari, bahkan lebih,[51] akibat tiadanya unsur yang lebih berat dari litium dalam kandungannya. Namun, generasi bintang-bintang populasi III yang masif ini sudah lama punah dan hanya ada secara teoretis.

Dengan massa hanya 93 kali massa Jupiter, AB Doradus C, bintang teman AB Doradus A, merupakan bintang terkecil yang diketahui masih melakukan fusi nuklir dalam intinya.[52] Untuk bintang dengan metalisitas yang mirip dengan matahari, massa minimum teoretis yang dapat dimiliki bintang, tetapi masih tetap dapat melakukan fusi nuklir di intinya, diperkirakan adalah sekitar 75 kali massa Jupiter.[53][54] Namun jika metalisitas sebuah bintang sangat rendah, massa minimumnya adalah sekitar 8,3% dari massa matahari atau sekitar 87 kali massa Jupiter, berdasarkan penelitian terkini atas bintang-bintang paling redup.[54][55] Bintang yang lebih kecil lagi disebut katai cokelat, yang menempati daerah abu-abu yang belum terdefenisi secara jelas antara bintang dan raksasa gas.

Besar gravitasi permukaan sebuah bintang ditentukan oleh diameter dan massanya. Bintang-bintang raksasa memiliki gravitasi permukaan yang jauh lebih rendah dari bintang-bintang deret utama, sementara kebalikannya untuk bintang-bintang kompak seperti katai putih. Gravitasi permukaan mempengaruhi tampilan spektrum sebuah bintang, dengan gravitasi yang lebih tinggi menyebabkan pelebaran garis serapan.[56]

Medan magnet

sunting
 
Medan magnet permukaan SU Aur (sebuah bintang muda jenis T Tauri), gambar dihasilkan lewat pencitraan Zeeman-Doppler

Medan magnet sebuah bintang dihasilkan di bagian dalam bintang tempat sirkulasi konveksi terjadi. Gerakan plasma konduktif ini berfungsi seperti dinamo, menghasilkan medan magnet yang meliputi seluruh bintang. Kuatnya medan magnet sebuah bintang bergantung pada massa dan kandungan bintang tersebut, dan jumlah aktivitas magnet permukaan bintang bergantung pada kecepatan rotasi bintang. Aktivitas permukaan ini menghasilkan bintik bintang, yang merupakan wilayah permukaan bintang dengan medan magnet yang kuat namun bersuhu jauh lebih rendah dari wilayah permukaan lainnya. Lengkungan korona adalah medan magnet yang melengkung dan mencapai hingga ke dalam korona dari daerah aktif bintang. Semburan bintang adalah semburan partikel-partikel tinggi energi yang terpancar akibat aktivitas magnetis yang sama..[57]

Bintang-bintang muda yang berputar cepat cenderung memiliki tingkat aktivitas permukaan yang tinggi akibat pengaruh medan magnetnya. Medan magnet ini juga dapat memengaruhi angin bintang, yang bertindak seperti rem dan perlahan memperlambat laju rotasi bintang seiring dengan menuanya sebuah bintang. Oleh karena itu, bintang-bintang yang lebih tua seperti matahari, memiliki laju rotasi yang dan aktivitas permukaan yang lebih rendah. Tingkat aktivitas permukaan bintang dengan laju rotasi yang lambat cenderung berupa sebuah siklus, dan terkadang malah tidak ada sama sekali untuk jangka waktu tertentu.[58] Sepanjang masa minimum Maunder misalnya, matahari hampir tidak menunjukkan aktivitas bintik matahari selama 70 tahun.

Rotasi

sunting

Laju rotasi bintang dapat ditentukan lewat spektroskopi, atau dapat diukur dengan lebih tepat lagi dengan mengamati laju rotasi bintik bintang. Bintang-bintang muda dapat memiliki laju rotasi yang tinggi, hingga di atas 100 km/s diukur pada ekuatornya. Bintang kelas B Achernar, misalnya, memiliki laju rotasi sekitar 225 km/s atau lebih pada ekuatornya, menyebabkan daerah ekuatornya menonjol keluar sehingga bintang ini memiliki diameter ekuator yang lebih dari 1,5 kali jarak antar kutubnya. Laju rotasi ini hanya sedikit di bawah laju rotasi kritis sebesar 300 km/s yang akan menyebabkan sebuah bintang hancur.[59] Sebaliknya, matahari hanya berputar sekali selama 25–35 hari, dengan laju rotasi ekuator 1,99 km/s. Medan magnet dan angin bintang memperlambat laju rotasi bintang-bintang deret utama secara signifikan seiring dengan berkembangnya sebuah bintang dalam deret utama.[60]

Bintang degenerat adalah bintang yang telah menyusut menjadi massa yang kompak dan mengakibatkan laju rotasi tinggi. Namun laju rotasi ini masih lebih rendah dari yang diperkirakan oleh hukum kekekalan momentum sudut. Sebagian besar momentum sudut bintang tersebut menghilang akibat hilangnya massa bintang oleh angin bintang.[61] Meskipun demikian, laju rotasi bintang pulsar bisa sangat tinggi. Bintang pulsar di pusat Nebula kepiting misalnya, berputar 30 kali dalam sedetik.[62] Laju rotasi bintang pulsar akan perlahan melambat akibat emisi radiasi.

Suhu permukaan bintang deret utama ditentukan oleh laju penghasilan energi di intinya yang umumnya diperkirakan dari indeks warna bintang.[63] Biasanya suhu ini dinyatakan dengan suhu efektif, yang merupakan suhu jika sebuah bintang dianggap sebagai benda hitam ideal yang memancarkan energi dengan luminositas yang sama di seluruh permukaannya. Jadi suhu efektif hanyalah sebuah gambaran, karena suhu pada sebuah bintang semakin tinggi jika semakin dekat dengan intinya.[64] Suhu di daerah inti sebuah bintang mencapai hingga beberapa juta derajat celsius.[65]

Suhu sebuah bintang menentukan laju ionisasi berbagai unsur di dalamnya, juga menentukan sifat garis serapan spektrumnya. Suhu permukaan, magnitudo absolut dan sifat serapan spektrografi bintang digunakan sebagai dasar untuk pengklasifikasian bintang (lihat klasifikasi bintang di bawah)[56]

Bintang masif dalam deret utama dapat bersuhu hingga 50.000 °C. Sedang bintang yang lebih kecil, seperti matahari, memiliki suhu permukaan beberapa ribu derajat celcius. Raksasa merah memiliki suhu permukaan yang relatif rendah sekitar 3.300 °C, tetapi bintang ini memiliki luminositas yang tinggi karena permukaan luarnya yang luas.[66]

Sebagian besar bintang berumur antara 1–10 miliar tahun. Beberapa bintang mungkin bahkan berumur mendekati 13,8 miliar tahun–umur teramati alam semesta. Bintang tertua yang ditemukan hingga saat ini, HE 1523-0901, diperkirakan berumur 13,2 miliar tahun.[67][68]

Semakin tinggi massa sebuah bintang maka semakin pendek pula umurnya. Hal ini terutama disebabkan karena bintang dengan massa yang tinggi akan memiliki tekanan yang tinggi pula pada intinya yang menyebabkannya membakar hidrogen dengan lebih cepat. Bintang-bintang paling masif bertahan rata-rata hanya beberapa juta tahun, sementara bintang dengan massa minimum (katai merah) membakar bahan bakarnya dengan perlahan dan bertahan hingga puluhan sampai ratusan miliar tahun.[69][70]

Klasifikasi

sunting
Rentang Suhu Permukaan dan
Warna berbagai Kelas Bintang
[71]
Kelas Suhu Contoh bintang
O lebih dari 33.000 K Zeta Ophiuchi
B 10.500–30.000 K Rigel
A 7.500–10.000 K Altair
F 6.000–7.200 K Procyon A
G 5.500–6.000 K Matahari
K 4.000–5.250 K Epsilon Indi
M 2.600–3.850 K Proxima Centauri

Sistem klasifikasi bintang yang ada saat ini berasal dari awal abad ke-20, ketika bintang diklasifikasikan dari A hingga Q berdasarkan kekuatan garis hidrogennya.[72] Pada saat itu belum diketahui bahwa yang paling berpengaruh terhadap kekuatan garis hidrogen adalah suhu; kekuatan garis hidrogen mencapai puncaknya pada suhu 9.000 K (8.730 °C) dan melemah baik pada suhu yang lebih tinggi maupun rendah. Saat sistem klasifikasi diatur ulang berdasarkan suhu, bentuknya semakin mendekati sistem modern yang kita pergunakan saat ini.[73]

Bintang diberi klasifikasi huruf tunggal berdasarkan spektrumnya, dari tipe O yang sangat panas sampai M yang begitu dingin hingga molekul dapat terbentuk pada atmosfernya. Klasifikasi utama berdasarkan suhunya, dari yang tertinggi ke terendah, adalah O, B, A, F, G, K, dan M. Beberapa bintang dengan jenis spektrum yang langka memiliki klasifikasi khusus tersendiri. Paling umumnya adalah kategori L dan T, yang meliputi bintang dengan suhu dan massa yang rendah serta katai cokelat. Tiap huruf dibagi lagi dalam 10 subbagian yang diberi nomor 0–9, dari suhu yang tertinggi ke yang terendah. Namun sistem ini kurang tepat pada suhu yang sangat tinggi, yaitu bahwa kemungkinan bintang kelas O0 dan O1 tidak ada.[74]

Selain itu bintang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan efek luminositas dalam garis spektrumnya, yang sebanding dengan ukuran dan kuat gravitasi permukaannya. Pengklasifikasian ini dikenal dengan sistem klasifikasi Yerkes dan membagi bintang ke dalam kelas-kelas berikut:

  • 0
  • Maha maha raksasa
  • I
  • Maharaksasa
  • II
  • Raksasa terang
  • III
  • Raksasa
  • IV
  • Sub-raksasa
  • V
  • Deret utama (katai)
  • VI
  • Sub-katai
  • VII
  • Katai putih

    Sebagian besar bintang masuk dalam deret utama yang terdiri dari bintang-bintang pembakar hidrogen biasa. Bintang-bintang ini membentuk pita diagonal tipis dalam grafik bintang berdasarkan magnitudo absolutnya dan jenis spektrumnya (diagram Hertzsprung-Russell).[74] Umumnya kelas bintang dinyatakan dengan dua sistem klasifikasi di atas. Matahari kita misalnya, adalah sebuah bintang katai kuning deret utama kelas G2V yang memiliki suhu dan ukuran sedang.

    Penamaan tambahan, dalam bentuk huruf kecil, dapat ditulis di belakang klasifikasi spektrum bintang untuk menunjukkan fitur khusus spektrum bintang tersebut. Misalnya, huruf "e" dapat menunjukkan adanya garis emisi; "m" menunjukkan tingkat logam (metal) yang luar biasa tinggi, dan "var" dapat berarti jenis spektrum yang bervariasi.[74]

    Bintang katai putih memiliki klasifikasi tersendiri yang dimulai dengan huruf D. Penggolongan ini dibagi lagi ke dalam kelas-kelas DA, DB, DC, DO, DZ, dan DQ, tergantung jenis garis spektrumnya yang menonjol. Lalu di belakangnya diikuti dengan nilai angka yang menunjukkan indeks suhunya.[75]

    Distribusi

    sunting
     
    Sebuah katai putih yang sedang mengorbit Sirius (konsep artis). Citra NASA.

    Selain berdiri sendiri, bintang bisa juga berada dalam sistem multibintang. Sistem multibintang dapat terdiri dari dua atau lebih bintang yang terikat secara gravitasi dan saling mengorbit satu sama lain. Jenis sistem multibintang yang paling sederhana dan sering ditemui adalah bintang biner. Selain itu telah ditemukan juga sistem multibintang yang memiliki tiga atau lebih bintang. Sistem multibintang yang demikian sering kali secara hierarkis tersusun dari beberapa bintang biner untuk mempertahankan stabilitas orbit bintang-bintangnya.[76] Terdapat juga kelompok yang lebih besar yang disebut gugus bintang. Gugus bintang berkisar dari himpunan bintang yang tidak begitu padat dengan hanya beberapa bintang, hingga gugus bola yang luar biasa besar dengan ratusan ribu bintang.

    Telah lama dianggap bahwa sebagian besar bintang berada dalam sistem multibintang yang terikat secara gravitasi. Hal ini khususnya benar untuk bintang-bintang masif kelas O dan B, yang dipercaya 80% populasinya berada dalam sistem multibintang. Namun semakin kecil bintang maka semakin banyak pula populasi jenisnya yang berada dalam sistem bintang tunggal. Hanya 25% katai merah yang diketahui berada dalam sistem multibintang dan karena 85% dari keseluruhan bintang adalah katai merah, maka mungkin sekali sebagian besar bintang dalam Bima Sakti adalah tunggal sejak terbentuk.[77]

    Bintang-bintang tidak menyebar secara merata di alam semesta, tetapi biasanya berkelompok membentuk galaksi bersamaan dengan debu dan gas antarbintang. Sebuah galaksi biasa mengandung ratusan miliar bintang, dan terdapat lebih dari 100 miliar (1011) galaksi dalam alam semesta teramati.[78] Berdasarkan sebuah cacah bintang pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 300 triyar (3 × 1023) bintang dalam alam semesta teramati.[79] Walau sering dipercaya bahwa bintang hanya terdapat dalam galaksi, telah ditemukan bintang-bintang yang berada di luar galaksi (bintang antargalaksi).[80][note 1]

    Bintang terdekat dengan bumi selain matahari adalah Proxima Centauri yang berjarak sekitar 4,2 tahun cahaya atau kira-kira 39,9 triliun kilometer. Jika jarak ini ditempuh dengan kecepatan orbit pesawat ulang-alik (8 km/s–hampir 30.000 km/jam), maka akan dibutuhkan waktu kira-kira 150.000 tahun untuk sampai.[note 2] Jarak seperti ini adalah jarak antar bintang yang umum dalam piringan galaksi, termasuk di lingkungan sekitar tata surya.[81] Bintang-bintang dapat sangat berdekatan di pusat galaksi dan dalam gugus bola atau terpisah sangat jauh dalam halo galaksi. Karena jarak antar bintang yang relatif sangat jauh dalam galaksi selain pada daerah pusat galaksi, tabrakan antar bintang diperkirakan jarang terjadi. Pada daerah yang lebih padat seperti inti gugus bola atau pusat galaksi, tabrakan antar bintang dapat sering terjadi.[82] Tabrakan seperti ini dapat menghasilkan apa yang dikenal dengan bintang pengelana biru (blue straggler).[note 1] Bintang-bintang abnormal ini memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dari bintang-bintang deret utama lainnya dalam sebuah gugus bintang dengan luminositas yang sama.[83] Istilah pengelana merujuk pada lokasinya yang berada di luar garis evolusi normal bintang lain pada diagram Hertzsprung-Russel gugus bintangya.

    Evolusi

    sunting

    Struktur, evolusi, dan nasib akhir sebuah bintang sangat dipengaruhi oleh massanya. Selain itu, komposisi kimia juga ikut mengambil peran dalam skala yang lebih kecil.

    Terbentuknya bintang

    sunting

    Bintang terbentuk di dalam awan molekul; yaitu sebuah daerah medium antarbintang yang luas dengan kerapatan yang tinggi (meskipun masih kurang rapat jika dibandingkan dengan sebuah vacuum chamber yang ada di Bumi). Awan ini kebanyakan terdiri dari hidrogen dengan sekitar 23–28% helium dan beberapa persen elemen berat. Komposisi elemen dalam awan ini tidak banyak berubah sejak peristiwa nukleosintesis Big Bang pada saat awal alam semesta.

    Gravitasi mengambil peranan sangat penting dalam proses pembentukan bintang. Pembentukan bintang dimulai dengan ketidakstabilan gravitasi di dalam awan molekul yang dapat memiliki massa ribuan kali Matahari. Ketidakstabilan ini sering kali dipicu oleh gelombang kejut dari supernova atau tumbukan antara dua galaksi. Sekali sebuah wilayah mencapai kerapatan materi yang cukup memenuhi syarat terjadinya instabilitas Jeans, awan tersebut mulai runtuh di bawah gaya gravitasinya sendiri.

    Berdasarkan syarat instabilitas Jeans, bintang tidak terbentuk sendiri-sendiri, melainkan dalam kelompok yang berasal dari suatu keruntuhan di suatu awan molekul yang besar, kemudian terpecah menjadi konglomerasi individual. Hal ini didukung oleh pengamatan di mana banyak bintang berusia sama tergabung dalam gugus atau asosiasi bintang.

    Begitu awan runtuh, akan terjadi konglomerasi individual dari debu dan gas yang padat yang disebut sebagai globula Bok. Globula Bok ini dapat memiliki massa hingga 50 kali Matahari. Runtuhnya globula membuat bertambahnya kerapatan. Pada proses ini energi gravitasi diubah menjadi energi panas sehingga temperatur meningkat. Ketika awan protobintang ini mencapai kesetimbangan hidrostatik, sebuah protobintang akan terbentuk di intinya. Bintang pra deret utama ini sering kali dikelilingi oleh piringan protoplanet. Pengerutan atau keruntuhan awan molekul ini memakan waktu hingga puluhan juta tahun. Ketika peningkatan temperatur di inti protobintang mencapai kisaran 10 juta kelvin, hidrogen di inti 'terbakar' menjadi helium dalam suatu reaksi termonuklir. Reaksi nuklir di dalam inti bintang menyuplai cukup energi untuk mempertahankan tekanan di pusat sehingga proses pengerutan berhenti. Protobintang kini memulai kehidupan baru sebagai bintang deret utama.

    Deret Utama

    sunting

    Bintang menghabiskan sekitar 90% umurnya untuk membakar hidrogen dalam reaksi fusi yang menghasilkan helium dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi di intinya. Pada fase ini bintang dikatakan berada dalam deret utama dan disebut sebagai bintang katai.

    Akhir sebuah bintang

    sunting

    Ketika kandungan hidrogen di teras bintang habis, teras bintang mengecil dan membebaskan banyak panas dan memanaskan lapisan luar bintang. Lapisan luar bintang yang masih banyak hidrogen mengembang dan bertukar warna merah dan disebut bintang raksaksa merah yang dapat mencapai 100 kali ukuran Matahari sebelum membentuk bintang katai putih. Sekiranya bintang tersebut berukuran lebih besar dari matahari, bintang tersebut akan membentuk superraksaksa merah. Superraksaksa merah ini kemudiannya membentuk Nova atau Supernova dan kemudiannya membentuk bintang neutron atau Lubang hitam.

    Bintang variabel

    sunting
     
    Tampilan yang tidak simetris dari bintang Mira, sebuah bintang variabel yang berosilasi. Citra HST NASA.

    Bintang variabel adalah bintang yang luminositasnya berubah-ubah baik secara berkala maupun secara acak, yang disebabkan oleh faktor dari dalam maupun luar bintang tersebut. Bintang-bintang variabel yang diakibatkan faktor dalam bintang itu sendiri dapat digolongkan dalam tiga kategori utama.

    Jenis yang pertama adalah bintang variabel berdenyut. Dalam evolusi bintang, beberapa bintang memasuki fase di mana mereka dapat berubah menjadi bintang variabel berdenyut. Bintang variabel jenis ini berubah-ubah radius dan luminositasnya sepanjang waktu, mengembang dan mengerut dengan selang waktu dari beberapa menit hingga bertahun-tahun, tergantung ukuran bintang tersebut. Kategori ini termasuk bintang variabel chepeid dan mirip chepeid, serta bintang variabel periode panjang seperti Mira.[84]

    Yang kedua adalah bintang variabel eruptif, yaitu bintang yang mengalami lonjakan luminositas tiba-tiba akibat peristiwa semburan maupun peristiwa pelontaran materi bintang yang berlangsung massal.[84] Kategori ini termasuk protobintang, bintang Wolf-Rayet dan bintang suar serta bintang raksasa dan maharaksasa.

    Yang terakhir adalah bintang variabel eksplosif atau kataklismis termasuk di antaranya bintang nova dan supernova. Sistem bintang biner yang salah satu di antara bintangnya adalah katai putih, dapat menghasilkan ledakan jenis tertentu secara luar biasa, termasuk nova dan supernova tipe 1a.[85] Ledakan tersebut tercipta ketika katai putih menyedot hidrogen dari bintang pasangannya, meningkatkan massanya hingga hidrogen di dalamnya mengalami fusi.[86] Beberapa nova terjadi berulang-ulang, dengan ledakan berkala yang memiliki amplitudo rendah.[84]

    Bintang juga dapat berubah-ubah luminositasnya akibat faktor-faktor luar, misalnya bintang biner gerhana, juga bintang yang memiliki bintik bintang yang luar biasa dan berotasi.[84] Contoh paling terkenal bintang biner gerhana adalah Algol yang biasanya berubah-ubah magnitudonya antara 2,5 sampai 3,5 dengan periode 2,87 hari.

    Struktur

    sunting
     
    Struktur bagian dalam bintang deret utama, zona konveksi ditunjukkan dengan lingkaran bertanda panah dan zona radiasi dengan panah merah. Sebelah kiri adalah katai merah bermassa rendah, di tengah adalah katai kuning berukuran sedang dan di sebelah kanan bintang deret utama biru-putih masif.

    Bagian dalam dari bintang stabil berada dalam keadaan setimbang secara hidrostatis, di mana gaya akibat gradien tekanan dari dalam bintang yang mendorong ke luar mengimbangi gaya gravitasi yang menarik ke dalam. Gradien tekanan ini diakibatkan oleh gradien suhu plasma bintang, yang tinggi pada bagian luarnya dan semakin dingin mendekati intinya. Suhu inti sebuah bintang deret utama atau bintang raksasa paling tidak berada dalam besaran 107 °C. Suhu dan tekanan yang dialami inti pembakar hidrogen pada bintang deret utama cukup untuk memungkinkan fusi nuklir terjadi dan untuk menghasilkan energi yang cukup guna menghindari keruntuhan bintang.[87][88]

    Ketika mengalami fusi nuklir dalam inti bintang, inti atom memancarkan energi dalam bentuk sinar gama. Foton-foton ini berinteraksi dengan plasma sekitarnya dan meningkatkan energi termal pada inti. Bintang-bintang deret utama mengubah hidrogen menjadi helium yang membuat proporsi helium dalam intinya meningkat secara perlahan namun pasti. Akhirnya muatan helium akan menjadi dominan dan produksi energi pun berhenti dalam inti. Namun bagi bintang yang bermassa lebih dari 0,4 kali massa matahari, reaksi fusi terjadi pada lapisan yang perlahan mengembang di sekitar inti helium degenerat.[89]

    Selain kesetimbangan hidrostatis, bagian dalam sebuah bintang yang stabil juga akan mempertahankan kesetimbangan termal. Terdapat gradien suhu di seluruh bagian dalam bintang yang mengakibatkan aliran energi mengalir ke bagian luar. Aliran energi yang meninggalkan tiap lapisan dalam bintang ini akan sama dengan aliran yang datang dari bawah tiap lapisan.

    Zona radiasi adalah daerah pada bagian dalam bintang di mana transfer radiatif cukup efisien untuk mempertahankan aliran energi. Dalam daerah ini plasma bintang tidak akan bergerak dan setiap gerakan massa akan terhenti. Namun, jika tidak demikian, maka plasma menjadi tidak stabil dan akan terjadi konveksi yang membentuk zona konveksi. Hal ini dapat terjadi misalnya pada daerah di mana aliran energi yang sangat tinggi terjadi, seperti dekat inti bintang atau di daerah dengan kelegapan (opacity) tinggi seperti pada lapisan luar.[88]

    Terjadinya konveksi pada lapisan luar bintang deret utama bergantung pada massanya. Bintang dengan massa berapa kali massa matahari memiliki zona konveksi jauh di bagian dalam bintang dan zona radiasi pada lapisan luar. Bintang yang lebih kecil seperti matahari adalah kebalikannya, dengan zona konveksi yang terletak di lapisan luar.[90] Katai merah dengan massa kurang dari 0,4 kali massa matahari hanya memiliki zona konveksi di seluruh lapisannya sehingga mencegah terbentuknya inti helium.[91] Pada sebagian besar bintang, zona konveksi juga akan berubah-ubah dari waktu ke waktu seiring dengan menuanya bintang dan berubahnya susunan inti bintang.[88]

     
    Diagram ini menunjukkan bagian dalam matahari. citra NASA.

    Bagian dari sebuah bintang yang terlihat bagi pengamat disebut fotosfer. Ini adalah lapisan plasma bintang yang menjadi transparan terhadap foton cahaya. Dari sini, energi yang dihasilkan oleh inti menyebar bebas ke luar ke angkasa. Di fotosfer inilah bintik bintang, atau wilayah bersuhu dibawah rata-rata, muncul.

    Di atas fotosfer adalah atmosfer bintang. Pada bintang deret utama seperti matahari, bagian terbawah atmosfer merupakan daerah kromosfer yang tipis tempat munculnya spikula dan dimulainya semburan bintang. Kromosfer ini dikelilingi oleh daerah transisi, di mana suhu meningkat dengan cepat dalam jarak hanya 100 km. Di luarnya adalah korona, volume plasma maha panas yang dapat menjangkau ke luar hingga beberapa juta kilometer.[92] Keberadaan korona tampaknya bergantung pada zona konveksi pada lapisan luar bintang.[90] Meskipun suhunya tinggi, korona hanya memancarkan sedikit sekali cahaya. Wilayah korona matahari biasanya hanya terlihat pada gerhana matahari.

    Dari korona, angin bintang bermuatan partikel plasma mengembang keluar dari bintang, menyebar hingga berinteraksi dengan medium antarbintang. Untuk matahari, pengaruh angin suryanya meluas hingga ke seluruh wilayah heliosfer yang berbentuk gelembung.[93]

    Jalur reaksi fusi nuklir

    sunting
    Diagram rantai proton-proton
    Siklus karbon-nitrogen-oksigen

    Berbagai reaksi fusi nuklir yang berbeda berlangsung dalam inti bintang sebagai bagian dari nukleosintesis bintang, dengan bergantung pada massa dan komposisinya. Massa bersih inti atom yang terfusi lebih kecil dari jumlah massa inti-inti atom pembentuknya. Massa yang hilang ini dilepaskan sebagai energi elektromagnetik, sesuai dengan hukum kesetaraan massa-energi di mana E = mc2.[94]

    Proses fusi hidrogen adalah proses yang peka suhu. Sedikit saja peningkatan suhu inti akan menyebabkan peningkatan laju fusi yang cukup besar. Akibatnya, suhu inti bintang-bintang deret utama hanya bervariasi dari 4 juta derajat celsius untuk bintang kelas M yang kecil hingga 40 juta derajat celsius untuk bintang kelas O yang masif.[65]

    Pada inti matahari yang bersuhu 10 juta derajat celsius, hidrogen di-fusi hingga membentuk helium dalam reaksi rantai proton-proton:[95]

    41H → 22H + 2e+ + 2νe (4.0 MeV + 1.0 MeV)
    21H + 22H → 23He + 2γ (5.5 MeV)
    23He → 4He + 21H (12.9 MeV)

    Reaksi-reaksi ini menghasilkan reaksi keseluruhan:

    41H → 4He + 2e+ + 2γ + 2νe (26.7 MeV)

    di mana e+ adalah positron, γ adalah foton sinar gama, νe adalah neutrino, dan H dan He masing-masing isotop hidrogen dan helium. Energi yang dilepaskan oleh reaksi adalah dalam jutaan elektronvolt, yang sebenarnya hanyalah jumlah energi yang sangat kecil. Namun reaksi ini terus-menerus terjadi dalam jumlah yang banyak, menghasilkan seluruh energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi radiasi bintang.

    Massa minimum bintang yang dibutuhkan untuk reaksi fusi
    Unsur Massa
    matahari
    Hidrogen 0,01
    Helium 0,4
    Karbon 5[96]
    Neon 8

    Dalam bintang yang lebih masif, helium dihasilkan dalam siklus reaksi yang dikatalisasi oleh karbon yang disebut siklus karbon-nitrogen-oksigen.[95]

    Dalam bintang yang sudah berkembang, dengan suhu inti 100 juta derajat celsius dan massa antara 0,5 dan 10 kali massa matahari, helium dapat diubah menjadi karbon lewat proses tripel alfa yang menggunakan berilium sebagai unsur perantaranya:[95]

    4He + 4He + 92 keV → 8*Be
    4He + 8*Be + 67 keV → 12*C
    12*C → 12C + γ + 7.4 MeV

    Dengan keseluruhan reaksi berupa:

    34He → 12C + γ + 7.2 MeV

    Dalam bintang masif, unsur-unsur yang lebih berat dapat juga dibakar dalam inti yang mengerut lewat proses pembakaran neon dan proses pembakaran oksigen. Tahapan akhir proses nukleosintesis bintang adalah proses pembakaran silikon yang mengakibatkan dihasilkannya isotop besi-56 yang stabil. Setelah itu reaksi fusi tidak dapat diteruskan lagi kecuali lewat proses endotermik, sehingga energi yang lebih banyak hanya dapat dihasilkan lewat runtuhan gravitasi.[95]

    Contoh di bawah ini menunjukkan waktu yang dibutuhkan bintang bermassa 20 kali massa matahari untuk menghabiskan seluruh bahan bakar nuklirnya. Bintang ini masuk dalam kategori bintang kelas O yang berukuran delapan kali jari-jari matahari dan memiliki lumonisitas 62.000 kali matahari.[97]

    Materi
    bahan bakar
    Suhu
    (juta derajat celsius)
    Massa jenis
    (kg/cm3)
    Jangka waktu pembakaran
    (τ dalam tahun)
    H 37 0,0045 8,1 juta
    He 188 0,97 1,2 juta
    C 870 170 976
    Ne 1.570 3.100 0,6
    O 1.980 5.550 1,25
    S/Si 3.340 33.400 0,0315[98]

    Bintang terdekat dari Matahari

    sunting
    Alpha Centauri

    Alpha Centauri dikenal juga sebagai Rigil Kentaurus adalah bintang paling cerah dalam rasi Centaurus. Walaupun tampak seperti satu titik dilihat dengan mata telanjang, bintang ini sebenarnya memiliki tiga komponen bintang. Antara lain; Alpha Centauri A (α Cen A), Alpha Centauri B (α Cen B) komponen ketiga disebut Proxima Centauri (α Cen C). Alpha Centauri adalah sistem bintang terdekat dari Bumi kita, dengan jarak 4,2 sampai 4,4 tahun cahaya.

    Bintang Barnard

    Bintang Barnard adalah bintang katai merah yang memiliki massa sangat kecil. Terletak sekitar 6 tahun cahaya dari Bumi. Bintang ini merupakan bintang terdekat yang terletak di rasi bintang Ophiuchus, dan bintang keempat terdekat dari Matahari, setelah ketiga komponen Bintang dalam sistem Alpha Centauri.

    Wolf 359

    Wolf 359 adalah bintang katai merah yang terletak di konstelasi Leo, dekat ekliptika. Berjarak sekitar 7,8 tahun cahaya dari Bumi, dan memiliki magnitudo tampak sebesar 13,5 dan hanya dapat dilihat dengan teleskop besar. Wolf 359 adalah salah satu bintang terdekat dengan tata surya kita, setelah Alpha Centauri, Proxima Centauri, dan bintang Barnard. Kedekatannya pada Bumi menyebabkan Bintang ini banyak disebut dalam beberapa karya fiksi.

    Lalande 21185

    Lalande 21185 adalah bintang merah kecil di konstelasi Ursa Major. Berjarak sekitar 8,3 tahun cahaya dari Bumi. Walaupun relatif dekat, tetapi demikian terlalu redup dilihat dengan mata telanjang. Dalam waktu sekitar 19.900 tahun, Lalande 21185 akan berada pada jarak terdekatnya sekitar 4,65 ly (1,43 pc) dari Matahari.

    Sirius

    Sirius adalah bintang paling terang di langit malam yang terletak di rasi Canis Major. Sirius dapat dilihat hampir di semua tempat di permukaan Bumi kecuali oleh orang-orang yang tinggal pada lintang di atas 73,284° utara. Sirius adalah salah satu sistem bintang terdekat dengan Bumi pada jarak 2,6 parsec atau 8,6 tahun cahaya.

    Peta 3D dari bintang-bintang terdekat menggunakan koordinat dalam daftar diatas. Bintang di depan memiliki asensiorekta 18h. Sebuah versi animasi dari gambar ini tersedia di disini.   Kacamata 3D red green direkomendasikan untuk bisa melihat gambar ini dengan baik.

    Catatan kaki

    sunting
    1. ^ a b Blue straggler lebih sering diterjemahkan sebagai pengelana biru daripada pengembara biru untuk membedakannya dari bintang pengembara (rogue star) yang merujuk pada bintang antargalaksi
    2. ^ 3,99 × 1013 km ÷ (3 × 104 km/jam × 24 × 365,25) = 1,5 × 105 tahun.

    Referensi

    sunting
    1. ^ DInwiddle, Robert (2012). Universe-The Definitive Visual Guide. London: Sarah Larter. hlm. 232. ISBN 978-1-4093-7650-7. 
    2. ^ Drake, Stephen A. (17 Agustus, 2006). "A Brief History of High-Energy (X-ray & Gamma-Ray) Astronomy". NASA HEASARC. Diakses tanggal 2006-08-24. 
    3. ^ "Exoplanets". ESO. 24 Juli, 2006. Diakses tanggal 2006-10-11.  [pranala nonaktif permanen]
    4. ^ Hoskin, Michael (1998). "The Value of Archives in Writing the History of Astronomy". Space Telescope Science Institute. Diakses tanggal 2006-08-24. 
    5. ^ Proctor, Richard A. (1870). "Are any of the nebulæ star-systems?". Nature: 331–333. 
    6. ^ Koch-Westenholz, Ulla; Koch, Ulla Susanne (1995). Mesopotamian astrology: an introduction to Babylonian and Assyrian celestial divination. Carsten Niebuhr Institute Publications. 19. Museum Tusculanum Press. hlm. 163. ISBN 87-7289-287-0. 
    7. ^ a b Coleman, Leslie S. "Myths, Legends and Lore". Frosty Drew Observatory. Diakses tanggal 2012-06-15. 
    8. ^ "Naming Astronomical Objects". International Astronomical Union (IAU). Diakses tanggal 2009-01-30. 
    9. ^ "Naming Stars". Students for the Exploration and Development of Space (SEDS). Diakses tanggal 2009-01-30. 
    10. ^ Lyall, Francis; Larsen, Paul B. (2009). "Chapter 7: The Moon and Other Celestial Bodies". Space Law: A Treatise. Ashgate Publishing, Ltd. hlm. 176. ISBN 0-7546-4390-5. 
    11. ^ "Star naming". Scientia Astrophysical Organization. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-18. Diakses tanggal 2010-06-29. 
    12. ^ "Disclaimer: Name a star, name a rose and other, similar enterprises". British Library. The British Library Board. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-19. Diakses tanggal 2010-06-29. 
    13. ^ Andersen, Johannes. "Buying Stars and Star Names". International Astronomical Union. Diakses tanggal 2010-06-24. 
    14. ^ Pliat, Phil (September–October 2006). "Name Dropping: Want to Be a Star?". Skeptical Inquirer. 30.5. Diakses tanggal 2010-06-29. 
    15. ^ Adams, Cecil (April 1, 1998). "Can you pay $35 to get a star named after you?". The Straight Dope. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    16. ^ Golden, Frederick; Faflick, Philip (January 11, 1982). "Science: Stellar Idea or Cosmic Scam?". Times Magazine. Time Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-25. Diakses tanggal 2010-06-24. 
    17. ^ Di Justo, Patrick (December 26, 2001). "Buy a Star, But It's Not Yours". Wired. Condé Nast Digital. Diakses tanggal 2010-06-29. 
    18. ^ Plait, Philip C. (2002). Bad astronomy: misconceptions and misuses revealed, from astrology to the moon landing "hoax". John Wiley and Sons. hlm. 237–240. ISBN 0-471-40976-6. 
    19. ^ Sclafani, Tom (May 8, 1998). "Consumer Affairs Commissioner Polonetsky Warns Consumers: "Buying A Star Won't Make You One"". National Astronomy and Ionosphere Center, Aricebo Observatory. Diakses tanggal 2010-06-24. 
    20. ^ Koppes, Steve (June 20, 2003). "University of Chicago physicist receives Kyoto Prize for lifetime achievements in science". The University of Chicago News Office. Diakses tanggal 2012-06-15. 
    21. ^ "The Colour of Stars". Australian Telescope Outreach and Education. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-10. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    22. ^ "Astronomers Measure Mass of a Single Star—First Since the Sun". Hubble News Desk. July 15, 2004. Diakses tanggal 2006-05-24. 
    23. ^ Garnett, D. R.; Kobulnicky, H. A. (2000). "Distance Dependence in the Solar Neighborhood Age-Metallicity Relation". The Astrophysical Journal. 532 (2): 1192–1196. arXiv:astro-ph/9912031 . Bibcode:2000ApJ...532.1192G. doi:10.1086/308617. 
    24. ^ Staff (January 10, 2006). "Rapidly Spinning Star Vega has Cool Dark Equator". National Optical Astronomy Observatory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-24. Diakses tanggal 2007-11-18. 
    25. ^ Michelson, A. A.; Pease, F. G. (2005). "Starspots: A Key to the Stellar Dynamo". Living Reviews in Solar Physics. Max Planck Society. 
    26. ^ Manduca, A.; Bell, R. A.; Gustafsson, B. (1977). "Limb darkening coefficients for late-type giant model atmospheres". Astronomy and Astrophysics. 61 (6): 809–813. Bibcode:1977A&A....61..809M. 
    27. ^ Chugainov, P. F. (1971). "On the Cause of Periodic Light Variations of Some Red Dwarf Stars". Information Bulletin on Variable Stars. 520: 1–3. Bibcode:1971IBVS..520....1C. 
    28. ^ "Magnitude". National Solar Observatory—Sacramento Peak. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-06. Diakses tanggal 2006-08-23. 
    29. ^ a b "Luminosity of Stars". Australian Telescope Outreach and Education. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-09. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    30. ^ Hoover, Aaron (January 15, 2004). "Star may be biggest, brightest yet observed". HubbleSite. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-07. Diakses tanggal 2006-06-08. 
    31. ^ "Faintest Stars in Globular Cluster NGC 6397". HubbleSite. August 17, 2006. Diakses tanggal 2006-06-08. 
    32. ^ a b Sackmann, I.-J.; Boothroyd, A. I. (2003). "Our Sun. V. A Bright Young Sun Consistent with Helioseismology and Warm Temperatures on Ancient Earth and Mars". The Astrophysical Journal. 583 (2): 1024–1039. arXiv:astro-ph/0210128 . Bibcode:2003ApJ...583.1024S. doi:10.1086/345408. 
    33. ^ Tripathy, S. C.; Antia, H. M. (1999). "Influence of surface layers on the seismic estimate of the solar radius". Solar Physics. 186 (1/2): 1–11. Bibcode:1999SoPh..186....1T. doi:10.1023/A:1005116830445. 
    34. ^ "The Biggest Star in the Sky". ESO. March 11, 1997. Diakses tanggal 2006-07-10. 
    35. ^ Ragland, S.; Chandrasekhar, T.; Ashok, N. M. (1995). "Angular Diameter of Carbon Star Tx-Piscium from Lunar Occultation Observations in the Near Infrared". Journal of Astrophysics and Astronomy. 16: 332. Bibcode:1995JApAS..16..332R. 
    36. ^ Davis, Kate (December 1, 2000). "Variable Star of the Month—December, 2000: Alpha Orionis". AAVSO. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-07-12. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    37. ^ Loktin, A. V. (2006). "Kinematics of stars in the Pleiades open cluster". Astronomy Reports. 50 (9): 714–721. Bibcode:2006ARep...50..714L. doi:10.1134/S1063772906090058. 
    38. ^ "Hipparcos: High Proper Motion Stars". ESA. September 10, 1999. Diakses tanggal 2006-10-10. 
    39. ^ Johnson, Hugh M. (1957). "The Kinematics and Evolution of Population I Stars". Publications of the Astronomical Society of the Pacific. 69 (406): 54. Bibcode:1957PASP...69...54J. doi:10.1086/127012. 
    40. ^ Elmegreen, B.; Efremov, Y. N. (1999). "The Formation of Star Clusters". American Scientist. 86 (3): 264. Bibcode:1998AmSci..86..264E. doi:10.1511/1998.3.264. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-03-23. Diakses tanggal 2006-08-23. 
    41. ^ Irwin, Judith A. (2007). Astrophysics: Decoding the Cosmos. John Wiley and Sons. hlm. 78. ISBN 0-470-01306-0. 
    42. ^ "A "Genetic Study" of the Galaxy". ESO. 2006-09-12. Diakses tanggal 2006-10-10. 
    43. ^ Fischer, D. A.; Valenti, J. (2005). "The Planet-Metallicity Correlation". The Astrophysical Journal. 622 (2): 1102–1117. Bibcode:2005ApJ...622.1102F. doi:10.1086/428383. 
    44. ^ "Signatures Of The First Stars". ScienceDaily. April 17, 2005. Diakses tanggal 2006-10-10. 
    45. ^ Feltzing, S.; Gonzalez, G. (2000). "The nature of super-metal-rich stars: Detailed abundance analysis of 8 super-metal-rich star candidates". Astronomy & Astrophysics. 367 (1): 253–265. Bibcode:2001A&A...367..253F. doi:10.1051/0004-6361:20000477. 
    46. ^ Gray, David F. (1992). The Observation and Analysis of Stellar Photospheres. Cambridge University Press. hlm. 413–414. ISBN 0-521-40868-7. 
    47. ^ Smith, Nathan (1998). "The Behemoth Eta Carinae: A Repeat Offender". Mercury Magazine. Astronomical Society of the Pacific. 27: 20. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-18. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    48. ^ "NASA's Hubble Weighs in on the Heaviest Stars in the Galaxy". NASA News. March 3, 2005. Diakses tanggal 2006-08-04. 
    49. ^ "Stars Just Got Bigger". European Southern Observatory. July 21, 2010. Diakses tanggal 2010-17-24. 
    50. ^ Wolchover, Natalie (August 7, 2012). "Mystery of the 'Monster Stars' Solved: It Was a Monster Mash". LiveScience.com. 
    51. ^ "Ferreting Out The First Stars". Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics. September 22, 2005. Diakses tanggal 2006-09-05. 
    52. ^ "Weighing the Smallest Stars". ESO. January 1, 2005. Diakses tanggal 2006-08-13. 
    53. ^ Boss, Alan (April 3, 2001). "Are They Planets or What?". Carnegie Institution of Washington. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-28. Diakses tanggal 2006-06-08. 
    54. ^ a b Shiga, David (August 17, 2006). "Mass cut-off between stars and brown dwarfs revealed". New Scientist. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-14. Diakses tanggal 2006-08-23. 
    55. ^ Leadbeater, Elli (August 18, 2006). "Hubble glimpses faintest stars". BBC. Diakses tanggal 2006-08-22. 
    56. ^ a b Unsöld, Albrecht (2001). The New Cosmos (edisi ke-5th). New York: Springer. hlm. 180–185, 215–216. ISBN 3-540-67877-8. 
    57. ^ Brainerd, Jerome James (July 6, 2005). "X-rays from Stellar Coronas". The Astrophysics Spectator. Diakses tanggal 2007-06-21. 
    58. ^ Berdyugina, Svetlana V. (2005). "Starspots: A Key to the Stellar Dynamo". Living Reviews. Diakses tanggal 2007-06-21. 
    59. ^ "Flattest Star Ever Seen". ESO. June 11, 2003. Diakses tanggal 2006-10-03. 
    60. ^ Fitzpatrick, Richard (February 13, 2006). "Introduction to Plasma Physics: A graduate course". The University of Texas at Austin. Archived from the original on 2010-01-04. Diakses tanggal 2006-10-04. 
    61. ^ Villata, Massimo (1992). "Angular momentum loss by a stellar wind and rotational velocities of white dwarfs". Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. 257 (3): 450–454. Bibcode:1992MNRAS.257..450V. 
    62. ^ "A History of the Crab Nebula". ESO. May 30, 1996. Diakses tanggal 2006-10-03. 
    63. ^ Strobel, Nick (August 20, 2007). "Properties of Stars: Color and Temperature". Astronomy Notes. Primis/McGraw-Hill, Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-26. Diakses tanggal 2007-10-09. 
    64. ^ Seligman, Courtney. "Review of Heat Flow Inside Stars". Self-published. Diakses tanggal 2007-07-05. 
    65. ^ a b "Main Sequence Stars". The Astrophysics Spectator. February 16, 2005. Diakses tanggal 2006-10-10. 
    66. ^ Zeilik, Michael A.; Gregory, Stephan A. (1998). Introductory Astronomy & Astrophysics (edisi ke-4th). Saunders College Publishing. hlm. 321. ISBN 0-03-006228-4. 
    67. ^ Frebel, A.; et al. (May 11, 2007). "Nearby Star Is A Galactic Fossil". Science Daily. Diakses tanggal 2007-05-10. 
    68. ^ Frebel, Anna; et al. (May, 2007). "Discovery of HE 1523-0901, a Strongly r-Process-enhanced Metal-poor Star with Detected Uranium". Astrophysical Journal Letters. 660 (2): L117–L120. arXiv:astro-ph/0703414 . Bibcode:2007ApJ...660L.117F. doi:10.1086/518122. 
    69. ^ Naftilan, S. A.; Stetson, P. B. (July 13, 2006). "How do scientists determine the ages of stars? Is the technique really accurate enough to use it to verify the age of the universe?". Scientific American. Diakses tanggal 2007-05-11. 
    70. ^ Laughlin, G.; Bodenheimer, P.; Adams, F. C. (1997). "The End of the Main Sequence". The Astrophysical Journal. 482 (1): 420–432. Bibcode:1997ApJ...482..420L. doi:10.1086/304125. 
    71. ^ Smith, Gene (April 16, 1999). "Stellar Spectra". University of California, San Diego. Diakses tanggal 2006-10-12. 
    72. ^ Fowler, A. (1891–2). "The Draper Catalogue of Stellar Spectra". Nature. 45: 427–8. Bibcode:1892Natur..45..427F. doi:10.1038/045427a0. 
    73. ^ Jaschek, Carlos; Jaschek, Mercedes (1990). The Classification of Stars. Cambridge University Press. hlm. 31–48. ISBN 0-521-38996-8. 
    74. ^ a b c MacRobert, Alan M. "The Spectral Types of Stars". Sky and Telescope. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-22. Diakses tanggal 2006-07-19. 
    75. ^ "White Dwarf (wd) Stars". White Dwarf Research Corporation. Archived from the original on 2009-10-08. Diakses tanggal 2006-07-19. 
    76. ^ Szebehely, Victor G.; Curran, Richard B. (1985). Stability of the Solar System and Its Minor Natural and Artificial Bodies. Springer. ISBN 90-277-2046-0. 
    77. ^ "Most Milky Way Stars Are Single" (Siaran pers). Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics. January 30, 2006. Diakses tanggal 2006-07-16. 
    78. ^ "What is a galaxy? How many stars in a galaxy / the Universe?". Royal Greenwich Observatory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-09. Diakses tanggal 2006-07-18. 
    79. ^ Borenstein, Seth (December 1, 2010). "Universe's Star Count Could Triple". CBS News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-15. Diakses tanggal 2011-07-14. 
    80. ^ "Hubble Finds Intergalactic Stars". Hubble News Desk. January 14, 1997. Diakses tanggal 2006-11-06. 
    81. ^ Holmberg, J.; Flynn, C. (2000). "The local density of matter mapped by Hipparcos". Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. 313 (2): 209–216. arXiv:astro-ph/9812404 . Bibcode:2000MNRAS.313..209H. doi:10.1046/j.1365-8711.2000.02905.x. 
    82. ^ "Astronomers: Star collisions are rampant, catastrophic". CNN News. June 2, 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-07. Diakses tanggal 2006-07-21. 
    83. ^ Lombardi, Jr., J. C.; et al. (2002). "Stellar Collisions and the Interior Structure of Blue Stragglers". The Astrophysical Journal. 568 (2): 939–953. arXiv:astro-ph/0107388 . Bibcode:2002ApJ...568..939L. doi:10.1086/339060. 
    84. ^ a b c d "Types of Variable". AAVSO. May 11, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-17. Diakses tanggal 2010-08-20. 
    85. ^ Iben, Icko, Jr. (1991). "Single and binary star evolution". Astrophysical Journal Supplement Series. 76: 55–114. Bibcode:1991ApJS...76...55I. doi:10.1086/191565. 
    86. ^ "Cataclysmic Variables". NASA Goddard Space Flight Center. 2004-11-01. Diakses tanggal 2006-06-08. 
    87. ^ Hansen, Carl J.; Kawaler, Steven D.; Trimble, Virginia (2004). Stellar Interiors. Springer. hlm. 32–33. ISBN 0-387-20089-4. 
    88. ^ a b c Schwarzschild, Martin (1958). Structure and Evolution of the Stars. Princeton University Press. ISBN 0-691-08044-5. 
    89. ^ "Formation of the High Mass Elements". Smoot Group. Diakses tanggal 2006-07-11. 
    90. ^ a b "What is a Star?". NASA. 2006-09-01. Diakses tanggal 2006-07-11. 
    91. ^ Richmond, Michael. "Late stages of evolution for low-mass stars". Rochester Institute of Technology. Diakses tanggal 2006-08-04. 
    92. ^ "The Glory of a Nearby Star: Optical Light from a Hot Stellar Corona Detected with the VLT" (Siaran pers). ESO. August 1, 2001. Diakses tanggal 2006-07-10. 
    93. ^ Burlaga, L. F.; et al. (2005). "Crossing the Termination Shock into the Heliosheath: Magnetic Fields". Science. 309 (5743): 2027–2029. Bibcode:2005Sci...309.2027B. doi:10.1126/science.1117542. PMID 16179471. 
    94. ^ Bahcall, John N. (June 29, 2000). "How the Sun Shines". Nobel Foundation. Diakses tanggal 2006-08-30. 
    95. ^ a b c d Wallerstein, G.; et al. (1999). "Synthesis of the elements in stars: forty years of progress" (PDF). Reviews of Modern Physics. 69 (4): 995–1084. Bibcode:1997RvMP...69..995W. doi:10.1103/RevModPhys.69.995. Diakses tanggal 2006-08-04. 
    96. ^ Girardi, L.; Bressan, A.; Bertelli, G.; Chiosi, C. (2000). "Evolutionary tracks and isochrones for low- and intermediate-mass stars: From 0.15 to 7 Msun, and from Z=0.0004 to 0.03". Astronomy and Astrophysics Supplement. 141 (3): 371–383. arXiv:astro-ph/9910164 . Bibcode:2000A&AS..141..371G. doi:10.1051/aas:2000126. 
    97. ^ Woosley, S. E.; Heger, A.; Weaver, T. A. (2002). "The evolution and explosion of massive stars". Reviews of Modern Physics. 74 (4): 1015–1071. Bibcode:2002RvMP...74.1015W. doi:10.1103/RevModPhys.74.1015. 
    98. ^ 11.5 days is 0.0315 years.

    Daftar pustaka

    sunting

    Pranala luar

    sunting