Kerajaan Blambangan
Kerajaan Blambangan atau Balambangan atau Belambangan adalah sebuah kerajaan yang berada di Ujung Timur Pulau Jawa. Karena berbagai sebab Kerajaan Blambangan memiliki pusat pemerintahan yang berpindah-pindah ke beberapa titik di sekitar Tapal Kuda. Kerajaan Blambangan diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Rajasa Majapahit.
Kerajaan Blambangan | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1478–1768 (dejure) / 1777 (defacto) | |||||||||
Blambangan di ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi) pada abad 16 masa Kesultanan Mataram | |||||||||
Ibu kota |
| ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno, Osing | ||||||||
Agama | Hindu (resmi)[1] Buddha Islam | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Menak/Gusti/Susuhunan/Prabu | |||||||||
• 1478-1489 | Mas Sembar | ||||||||
• 1489-1501 | Bima Koncar | ||||||||
• 1501-1531 | Menak Pentor | ||||||||
• 1531-1546 | Menak Pangseng | ||||||||
• 1546-1601 | Menak Pati | ||||||||
• 1601-1633 | Menak Lumpat | ||||||||
• 1633-1647 | Menak Seruyu / Tawang Alun I | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• 1478, Majapahit Runtuh dan Blambangan Berdiri | 1478 | ||||||||
• Blambangan mendapat serangan dari Bali | 1501 | ||||||||
• Batara Wijaya Girindrawardhana Ranawijaya mengungsi ke Panarukan (wilayah Blambangan) setelah Daha dikuasai oleh Demak | 1527 | ||||||||
• Blambangan kehilangan Pasuruan dan Pajarakan karena direbut Demak, namun Sultan Trenggana tewas saat berusaha merebut Panarukan | 1545-1546 | ||||||||
1635-1639 | |||||||||
• Perang Saudara di Blambangan | 1691-1697 | ||||||||
• menjadi wilayah kekuasaan Hindia Belanda | 1768 (dejure) / 1777 (defacto) | ||||||||
Luas | |||||||||
- Total | 5.000 km2 | ||||||||
| |||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Blambangan dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Lamajang Tigangjuru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja dan Pu Nambi tahun 1293-1316. Lamajang Tigangjuru beribukota di Lamajang (Lumajang). Selain Blambangan, dua Juru (kadipaten) lainnya adalah Sadeng (di Puger, Jember), dan Keta (di Besuki, Situbondo).
Namun karena tidak terlibat dalam Perang Nambi (1316) dan Perang Sadeng-Keta (1318), maka oleh Prabu Jayanagara, raja kedua Majapahit, daerah ini dianugerahi status sebagai Perdikan Sima.
Tahun 1352 Balambangan bersama Pasuruan, Sumbawa, dan Bali mendapat Adipati baru dari trah Kepakisan Kediri. Adipati Blambangan pertama itu bernama Sira Dalem Sri Bima Chili Kepakisan (1352-1406).
Ketika Kerajaan Patron-nya, Majapahit, runtuh akibat pemberontakan Sang Muggwing Jinggan dan saudara-saudaranya tahun 1478 dan raja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466-1478) gugur di istana, lalu Pada tahun 1478 pemerintahan dilanjutkan Oleh Prabu Brawijaya Bhre Kertabhumi kemudian Bhre Daha / Girindrawardana Ranawijaya melakukan pemberontakan lalu Ibukota Kerajaan Majapahit dipindahkan Ke Kediri / Dahanapura ,maka kerajaan-kerajaan vasal Majapahit seperti Kesultanan Demak, Kerajaan Bali, Kadipaten Surabaya, Kesunanan Giri, Kesultanan Cirebon, Kerajaan Blambangan, dll memilih menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri dan tidak mau mengakui kekuasaan para pemberontak yang mendirikan kerajaan baru di Keling Kediri (Kerajaan Daha).
Pada tahun 1527, raja Majapahit-Daha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, yang tersingkir karena diserang oleh Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak melarikan diri ke Panarukan, Situbondo di wilayah utara Kerajaan Blambangan.Pada Era Kasultanan Demak , Daerah Blambangan Dan Madura diambil Alih Oleh Ratu Pambayun Atau Dewi Maskumambang yang meupakan Putri sulung dari Brawijaya Bhre Kerthabumi [2] sampai dengan tahun 1559, setelah itu Kerajaan kerajaan Vasal Bekas Kerajaan Majapahit yaitu Blambangan memilih untuk mendirikan pemerintahan masing masing.
Sejarah Blambangan
suntingMenurut Babad Sembar, penguasa pertama Blambangan adalah Mas Sembar dengan ibukota daerah Semboro (di Jember), suatu daerah di sebelah timur wilayah ayahnya, Lembu Miruda, (Lumajang).
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, putra Mas Sembar yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa Blambangan kedua yang memerintah hingga tahun 1501.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Pate Pimtor (Menak Pentor), memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah kekuasaan Menak Pentor, Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi Canjtam (Keniten/Pasuruan Timur) dan Lumajang di bagian barat hingga ke Supitan Blambangan (sekarang Selat Bali) di ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Di antara pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Blambangan yang paling terkenal adalah Panarukan (di Situbondo) di pesisir utara , Ulu Pangpang, (di Muncar) di pesisir timur, dan Puger (di Jember) di pesisir Pantai Selatan.
Pada saat Sultan Trenggana raja ke-3 Kesultanan Demak pada 1546, memperluas wilayah kekuasaannya ke timur, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk merebut Pasuruan dan Pajarakan (di Probolinggo) dari tangan Blambangan pada tahun 1545 dan sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala karena kerajaan ini mampu bertahan walaupun telah dikepung selama seratus hari. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan. Pemimpin Panarukan yang terkenal kala itu bernama Sontoguno.
Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dari Bali yang menyerang dan berusaha merebut Blambangan dari tangan Menak Pangseng putra Menak Pentor.
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan namun Blambangan dapat mengatasinya. Setelah mengalahkan Pasuruan, terjadi huru-hara di internal Blambangan dan tampillah Menak Pati atau Sang Dipati Lampor dan putranya Menak Lumpat.
Selanjutnya Menak Lumpat digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Singosari atau Menak Seruyu bergelar Prabu Tawang Alun I.
Kemudian pada tahun 1638-1639, giliran Kesultanan Mataram menyerang Blambangan, hingga membuat Tawang Alun I terpaksa melarikan diri ke timur gunung (wilayah Banyuwangi saat ini di daerah Kedawung Sraten, Cluring, Banyuwangi), sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.
Blambangan dapat bertahan di sebelah timur gunung dan usaha-usaha Mataram melebarkan kekuasaan ke daerah ini tidak pernah berhasil. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan Timur (Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku.
Selanjutnya, di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1649, Mas Kembar naik tahta dengan gelar Pangeran Tawang Alun II Prabu Tawangalun II.
Sepeninggal Sultan Agung dari Mataram, ketika Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat Agung (Amangkurat I), ketika menghadiri Pisowanan (tahun 1652) di istana Mataram, Tawang Alun II mendeklarasikan diri di hadapan sang Sunan, bahwa mulai sejak saat itu Blambangan adalah wilayah yang merdeka. Sepulangnya ke Balambangan dia menyandang gelar sebagai Susuhunan Macanputih untuk menunjukkan bahwa tahtanya sederajat dengan tahta Mataram.
Selanjutnya Kangjeng Suhunan Tawang Alun II membantu Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong melawan Mangkurat Agung (Amangkurat I) dalam Perang Trunajaya sehingga Blambangan dapat merebut daerah-daerah kekuasaannya kembali dari tangan Mataram. Di bawah pemerintahan Kangjeng Suhunan Tawang Alun II, kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Banyuwangi, hingga ke Kediri.
Keruntuhan Blambangan
suntingPerang Saudara keturunan Tawang Alun II
suntingKetika Kangjeng Sunan Tawang Alun II wafat tahun 1691, Pangeran Senapati Sasranagara tampil menjadi raja tanpa bermusyawarah dengan adik-adiknya. Karena itu kemudian terjadi huru-hara perang saudara sehingga Sunan Macanputih kedua itu gugur dan tampillah adiknya yang bernama Pangeran Mas Macanapura bergelar Pangeran Pati I.
Setelah berkuasa selama tujuh tahun, Pangeran Pati I dikalahkan oleh putra Pangeran Senapati Sasranagara yang bernama Pangeran Mas Purba. Setelah berhasil merebut tahta, dia bergelar Prabu Danureja. Perang saudara setelah meninggalnya Kangjeng Sunan Tawang Alun II, membuat kedaton Macan Putih menjadi rusak.
Pangeran Prabu Danureja (Pangeran Mas Purba) memiliki permasuri:
- Mas Ayu Gadhing (putri Untung Suropati dari Pasuruan) dari perkawinan tersebut memiliki Putra:
- Pangeran Mas Noyang (Pangeran Prabu Danuningrat)
- Dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja Kerajaan Mengwi) dia berputra:
- Pangeran Putra II/Wong Agung Wilis.
Sepeninggal Pangeran Prabu Danureja, Pangeran Mas Noyang diangkat sebagai raja yang baru bergelar Pangeran Prabu Danuningrat memerintah Blambangan pada tahun 1736-1763, sementara adiknya yang bernama Pangeran Putra II diangkat sebagai patih bergelar Pangeran Patih Agung Wilis.
Perang melawan VOC
suntingDi akhir abad ke-17, setelah meninggalnya Prabu Danuningrat pada tahun 1763, VOC secara sepihak menyatakan bahwa Blambangan adalah wilayah kekuasaannya (berdasarkan Perjanjian Ponorogo tahun 1743), maka pada pada tahun 1767 terjadi puputan Kabakaba di Ulupangpang, disusul Perang Wilis tahun 1768, yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis melawan VOC.[3]
VOC membelah wilayah Kerajaan Blambangan menjadi dua bagian, Blambangan Barat atau Kanoman dipimpin oleh bupati boneka bernama Mas Weka dan beribukota di Puger (di Jember selatan). Sedangkan Blambangan Timur atau Kasepuhan juga dipimpin oleh bupati boneka bernama Mas Aneng/Mas Uno dengan ibukota di Teluk Pangpang (di Muncar, Banyuwangi).
Setelah Pangeran Agung Wilis dikalahkan, kemudian meletuslah Perang Bayu pada tahun 1771-1772, dan menjadi perang habis-habisan rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati melawan pasukan VOC.
Setelah Mas Rempeg Jagapati kalah dan terbunuh, VOC mengisi kekosongan pemerintahan dan menggabungkan Blambangan ke dalam karesidenan Besuki, dengan mengangkat Mas Alit sebagai Bupati Kelima Kasepuhan bergelar KRT Wiroguno. Dialah Bupati pertama yang tinggal di Kota Banyuwangi, dekat markas dan benteng VOC di Benteng Utrecht.
Runtuhnya Kerajaan Blambangan, bagi kerajaan-kerajaan di Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa nenek-moyang mereka berasal dari Jawa Majapahit. Dengan masuknya Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari Jawa.
Silsilah Kerajaan Blambangan
suntingKeturunan Lembu Miruda
sunting- Minak Sembar/Mas Sembar (memerintah Semboro, Jember pada 1478-1489), menurunkan:
- Bima Koncar (Penguasa Lumajang pada tahun 1489-1501), menurunkan:
- Minak Pentor (memerintah di Babadan, Lumajang tahun 1500-1546)
- Minak Pangseng, Menurunkan:
- Menak Jebolang di Panarukan
- Minak Pangseng, Menurunkan:
- Minak Cucu (memerintah di Panarukan, Candi Bang (Kedathon Baluran))
- Minak Gadru (memerintah di Prasada, Lumajang), menurunkan:
- Minak Pati/Sang Dipati Lampor yang memerintah di (Werdati, Teposono, Lumajang), Menurunkan:
- Minak Lumpat/Sunan Rebut Payung (memerintah di Werdati, Lumajang), berputra:
- Minak Seruyu/Pangeran Singosari (Tawang Alun I)
- Minak Luput (Sebagai Senopati)
- Minak Sumendhe (sebagai Karemon/Agul Agul)
- Minak Lumpat/Sunan Rebut Payung (memerintah di Werdati, Lumajang), berputra:
- Minak Pati/Sang Dipati Lampor yang memerintah di (Werdati, Teposono, Lumajang), Menurunkan:
- Minak Pentor (memerintah di Babadan, Lumajang tahun 1500-1546)
Silsilah Tawang Alun I
suntingMinak Lumpat mempunyai putra yaitu Minak Seruyu disebut juga Pangeran Singosari bergelar Prabu Tawang Alun I. Pada masa pemerintahannya, Tawang Alun I menaklukkan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya. Kemudian Prabu Tawang Alun I menjadi penguasa wilayah Kedawung (di Paleran, Umbulsari, Jember).
Prabu Tawang Alun I memiliki Putra Kembar (Mas Kembar) :
- Mas Senepo Handoyokusumo (Pangeran Tawang Alun II)
- Mas Lego (Pangeran Wilabrata)
Silsilah Tawang Alun II
suntingPutra Tawang Alun I yang bernama Mas Senepo inilah yang kemudian memindahkan ibukota Blambangan ke Kedhaton Macan Putih (sekarang daerah Macanputih, Kabat, Banyuwangi) bergelar Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, di mana dia memerintah pada wilayah Kerajaan Blambangan 1655 hingga 1691. Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II memiliki 2 orang istri dan beberapa selir, sehingga menjadi beberapa garis keturunan. Di antaranya adalah;
Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari:
- Dewi Sumekar/Mas Ayu Rangdiyah (Ratu Kulon, dari Mataram), berputra:
- Pangeran Adipati Mas Macanapura/Pangeran Pati I
- Sekardewi Irawuni (Ratu Wetan, dari Blater-Blambangan) menurunkan:
- Pangeran Senapati Sasranagara (Pangeran Dipati Rayi), berputra
- Pangeran Mas Purba (Prabu Danureja)
- Pangeran Mas Noyang (Prabu Danuningrat)
- Pangeran Putra II (Wong Agung Wilis)
- Pangeran Mas Purba (Prabu Danureja)
- Pangeran Macanagara (Keta)
- Pangeran Kertanegara
- Pangeran Gajah Binarong
- Pangeran Senapati Sasranagara (Pangeran Dipati Rayi), berputra
- Dari para selir menurunkan:
- Mas Dalem Jurang mangun
- Mas Dalem Puger, Ki Janingrat
- Mas Dalem Wiroguno, menurunkan:
- Mas Bagus Puri, menurunkan:[4]
- Mas Rempeg (Pangeran Jagapati)
- Mas Suratman
- Mas Ayu Nawangsari
- Mas Ayu Rahinten
- Mas Ayu Patih.
- Mas Alit (Temenggung Wiraguna I, Bupati Banyuwangi pertama)
- Mas Talib (Temenggung Wiraguna II, Bupati Banyuwangi kedua)
- Mas Bagus Puri, menurunkan:[4]
- Mas Dalem Wiroluko
- Mas Dalem Wiroludro
- Mas Dalem Wilokromo
- Mas Dalem Wilo Atmojo
- Mas Dalem Wiroyudo
- Mas Dalem Wilotulis
Arkeologi
suntingBeberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan Blambangan adalah,
Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari masjid pasar Muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo.
Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan Setinggil (Stinggil) yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi. Objek Setinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan).
Disebut Setinggil namun tidak dalam arti sama dengan Setinggil pada kraton umumnya sebagai tempat tahta raja. Setinggil di sini hanya tanah tinggi di tepi pantai yang konon dahulu merupakan pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan. Di bagian puncaknya terdapat batu-batu cukup besar untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk Pang Pang dan Semenanjung Blambangan.
Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di Museum Blambangan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi berupa Bata, Gerabah, Guci, dan Asesoris gelang lengan, dan sebagainya. Sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih di daerah Kabat, Banyuwangi di dapati relief arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hektar yang telah menjadi persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi era kerajaan, beberapa puing tembok batas kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau menyimpan puing-puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefak Keraton Macan Putih.
Setelah Kerajaan Blambangan hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Rempeg (Pangeran Jagapati) mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu (Bayu, Songgon, Banyuwangi), kerajaan ini tidak bertahan lama hanya beberapa bulan saja, karena terjadi perang Perang Bayu 1771-1772. Disini dapat ditemukan beberapa sisa artefak dan bekas peperangan dengan VOC.
Hingga kini meskipun Kerajaan sudah hancur para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.
Lihat pula
suntingSumber
sunting- Hasan Basri (Ed), Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan, 2006, Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi.
- I Made Sudjana, Nagari tawon madu: sejarah politik Blambangan abad XVIII blambangan&hl=id&source=gbs similarbooks, Larasan-Sejarah, 2001, ISBN 978-979-96250-0-7
- M. Hidayat Aji Ramawidi, Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi, 2022, ISBN 978-623-978-422-5
- Purwasastra, Muji Rahayu, Sriyanto, Cariyosipun tanah Balambangan jamanipun wong Agung Wilis, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Michigan 1996, ISBN 978-979-459-609-8
- Purwasastra, Babad Wilis,Wilis.html?id=3LotAAAAMAAJ&redir esc=y Naskah dan Dokumen Nusantara: Textes et Documents Nousantariens, I.pp. lxxxviii, 393, 9 pl., map. Jakarta, Bandung, Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh: École Française d'Extrême-Orient, 1980.
- Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
- Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan, 2011, ISBN 979-722-356-6
- Siwi Sang, Girindra, Pararaja Tumapel Majapahit, 2013, ISBN 978-602-98200-6-5
- Sri Margana, Java's last Frontier, Universiteit Leiden
- Winarsih Arifin, Babad Sembar: chroniques de l'est javanais, Presses de l'École française d'Extrême-Orient, 1995, ISBN 978-2-85539-777-1
- Winarsih Arifin, Babad Blambangan, 1995, ISBN 979-8793-11-1
- https://balambangan.id/prabu-tawangalun/ (Prabu Tawangalun)
- https://balambangan.id/mengenal-kerajaan-blambangan/ (Mengenal Kerajaan Blambangan)
Referensi
sunting- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaStatus Resmi agama kerjaan Blambangan
- ^ Madura, Lontar (2022-09-14). "Kisah Cinta; Penyebab Gugurnya Pangeran Siding Puri". Lontar Madura (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-08-27.
- ^ Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ^ Babad Tawang Alun (ditulis pada tahun 1826) dalam Winarsih PA, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995.