Jam kanonis

Revisi sejak 1 Mei 2010 03.11 oleh TjBot (bicara | kontrib) (bot kosmetik perubahan)

Ibadah harian telah lama dipraktikkan oleh jemaat mula-mula dengan mengambil kebiasaan agama Yahudi. Sebagaimana masing-masing mazhab dalam agama Yahudi, tidak semua tempat memakai tata waktu dan praktik yang seragam untuk ibadah harian sejak gereja awal.[1]

Ibadah Harian

Tujuan ibadah harian adalah agar umat selalu berkomunikasi dengan Tuhan di dalam hidup sehari-hari. Manusia hendaknya berkomunikasi dengan Tuhan selagi manusia bekerja dan dilakukan di dalam keheningan.[1] Praktek Ibadah harian atau doa individual telah dilakukan sejak zaman Perjanjian Lama antara lain tertulis di Kitab Daniel 6 ayat 11 yang menuliskan bahwa “...tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya...”.[2]

Hingga awal abad ke-3 waktu doa yang lazim adalah sebagai berikut:[2]

  • Doa pagi dilakukan pada jam pertama, pukul 06.00, untuk mengingat Tuhan telah bangkit.
  • Doa jam ke-3 (Kisah Para Rasul 2:15) dan doa ke-6 (Kisah Para Rasul 10:9), sebab Ia adalah matahari dan terang yang benar.
  • Doa jam ke-9 (Kisah Para Rasul 3:1), sebab Tuhan telah menanggung sengsara yang hebat.
  • Doa Malam (Kisah Para Rasul 16:25), dilakukan pada pukul 17.00-18.00 atau pada malam hari sebab bagi anak-anak terang, malam adalah sama dengan siang.

Tradisi Hippolytus

Tradisi Rasuli dari Hippolytus (tahun 215) menguraikan hal waktu doa menjadi 7 kali sehari antara lain:

A. Doa pembuka saat ayam berkokok, galli cantu, hal ini mengingat Petrus menyangkal Yesus

B. Doa pagi dulu biasa disebut Laudes. Doa pagi dimaksudkan dan diatur untuk menyucikan pagi hari dan idealnya dilaksanakan sekitar fajar menyingsing , sesaat setelah bangun tidur, atau yang biasa kita sebut saat teduh pagi

C. Doa jam ketiga (tertia) dilakukan di rumah dengan berdoa dan bernyanyi, jika sedang keluar rumah cukup berdoa di dalam hati, hal ini mengingat Kristus dipaku di salib.

D. Doa jam keenam (sextia) hal ini mengingat saat penyaliban, maka berdoa dengan kuasa yang besar.

E. Doa jam kesembilan (nona) hal ini mengingat air dan darah mengucur dari tubuh Kristus.

F. Doa senja dilakukan pada sore hari, lazim disebut Vesper. Maksud doa ini adalah menyesal dan mengakui dosa-dosa kita serta bersyukur atas anugerah yang telah kita terima pada hari tersebut. Hal ini mengingat saat Yesus dikubur.

G. Doa completorium, doa penutup hari.

Ibadah harian di Gereja-gereja Reformasi, terutama Lutheran tetap diperhatikan. Martin Luther (1483-1546) dalam buku liturgi Deutsche Messe (1526) menetapkan dua kali doa sehari.[1] Ibadah pagi (matutinum) dengan pembacaan Perjanjian Lama, menyanyikan hymne Jerman dan hymne Latin. Ibadah senja (verperas) dengan pembacaan Perjanjian Baru dan menyanyikan Magnificat.[1]

Doa adalah hal pertama yang kita lakukan pada pagi hari dan hal terakhir pada malam hari. Dan hati kita jangan tergoda pikiran salah yang suka menipu seperti itu: Tunggu sedikit, setelah satu jam aku mulai berdoa; sebelumnya aku masih harus membereskan ini atau itu dulu. Sebab, dengan pikiran seperti ini kita pindah dari doa kepada urusan yang tidak akan melepaskan kita lagi, sehingga sepanjang hari kita tidak jadi berdoa. Bisa jadi, ada perbuatan yang sama baiknya atau malah lebih baik daripada berdoa, khususnya dalam keadaan darurat.

S. Hieronimus pernah berkata: Semua karya orang beriman adalah doa. Dan sebuah pepatah berbunyi: Orang yang tekun bekerja, doanya berlipatganda. Maka hal ini harus kita katakan tentang seorang beriman yang waktu bekerja menghormati Allah dan mengindahkan hukum-Nya, supaya jangan merugikan orang lain dan jangan mencuri, merugikan atau menipunya, tentu saja pikiran dan iman seperti ini membuat kerja menjadi doa dan pujian (bagi Allah)... Tentang doa tanpa henti, Yesus berkata (Luk 11:9-13):”Berdoalah tanpa henti” Maka, tanpa berhenti kita harus menghindari berbuat dosa dan ketidakadilan.

Hal ini mustahil, kalau orang tidak takut kepada Allah dan tidak memperhatikan perintah-Nya, seperti dikatakan dalam Mazmur 1,2:”Berbahagialah orang yang siang-malam suka melakukan perintah Tuhan dan merenungkannya...” Kalau hati menjadi hangat karena kita berkata demikian dan sudah menjadi tenang, maka berlututlah atau berdirilah dengan tangan terkatup, mata terarah ke atas dan berkata atau berpikir dengan singkat: Bapa di surga, Allah terkasih, aku ini seorang yang kurang pantas, orang berdosa yang malang dan tidak layak mengangkat mata dan tangan ke ke hadirat-Mu atau pun berdoa. Tetapi karena Engkau menyuruh kita semua untuk berdoa dan karena berjanji akan mengindahkan doa kita dan pula karena kata-kata serta caranya yang telah dianjurkan Yesus, Putra-Mu yang tercinta dan Tuhan kami, maka aku datang karena disuruh dan taat. Aku percaya pada janji-janji-Mu dan atas Nama Yesus Kristusku. Dan aku berdoa bersama semua orang Kristen yang kudus di atas bumi ini, seperti diajarkan oleh Kristus: “Bapa kami yang ada di surga...” Kata demi kata! Lalu, ulangilah bagian-bagiannya sebanyak kamu suka.”

Referensi

  1. ^ a b c d Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
  2. ^ a b Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar, 1999.