Gwanggaeto yang Agung
Gwanggaeto yang Agung dari Goguryeo (lahir tahun 374 – wafat tahun 413) (memerintah dari tahun 391–413) merupakan Raja ke-19 Kerajaan Goguryeo, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea di bagian paling utara. Nama Anumerta lengkapnya berarti "Raja yang Sangat Agung, Ekaspander wilayah yang luas, dimakamkan di Gukgangsang.", kadang-kadang disingkat menjadi Hotaewang atau Taewang. Ia memilih Yeongnak sebagai nama eranya, dan disebut Raja Yeongnak yang Agung selama masa pemerintahannya.
Dibawah pimpinan Gwanggaeto, Goguryeo sekali lagi menjadi kekuasaan penting di Asia Timur, menikmati status yang hebat tersebut di abad ke-2. Setelah Raja Gwanggaeto wafat pada usianya yang ke-39 di tahun 413, Goguryeo mengontrol seluruh wilayah antara Amur dan Han Sungai-sungai (dua pertiga dari modern Korea, Manchuria, dan bagian dari propinsi maritim Rusia dan Mongolia Pusat).
Sebagai tambahan, di tahun 399, Silla menyerah pada Goguryeo untuk perlindungan razia dari Baekjae. Gwanggaeto merebut ibukota Baekje yang sekarang adalah Seoul dan menjadikan Baekje sebagai kaki tangannya. Banyak yang berpendapat bahwa penyatuan longgar ini dibawah Goguryeo merupakan penyatuan yang sebenarnya dari Tiga Kerajaan.
Prestasi Gwanggaeto dicatat di Prasasti Gwanggaeto, yang didirikan pada tahun 414 di kompleks pemakamannya di Ji'an yang sekarang adalah perbatasan antara Cina-Korea Utara. Tugu ini merupakan tugu peringatan yang terbesar di dunia.
Gwanggaeto yang Agung | |
Hangul | 광개토대왕 |
---|---|
Hanja | 廣開土大王 |
Alih Aksara | Gwanggaeto-daewang |
McCune–Reischauer | Kwanggaet'o-taewang |
Nama lahir | |
Hangul | 고담덕 or 안 |
Hanja | 高談德 or 安 |
Alih Aksara | Go Damdeok or An |
McCune–Reischauer | Ko Tamdǒk or An |
Nama anumerta | |
Hangul | 국강상광개토경평안호태왕 |
Hanja | 國岡上廣開土境平安好太王 |
Alih Aksara | Gukgangsang-gwangaetogyeong-pyeongan-hotaewang |
McCune–Reischauer | Kukkangsang-kwangaetogyŏng-p'yŏngan-hot'aewang |
Kelahiran & Latar Belakang
Ketika Gwanggaeto lahir, Goguryeo belum memiliki cukup kekuasaan. Sesaat sebelum kelahirannya, Baekje, Raja Geunchogo mengalahkan Goguryeo dengan telak, merebut benteng keduanya yang paling besar di Pyongyang dan membunuh Raja Goguryeo, Gogugwon. Raja Goguryeo Sosurim, yang mewarisi Gogukwon setelah kematian pendahulunya di tahun 371, menyimpan ketentuan luar negerinya sebagai isolasi sebagai kemungkinan untuk membangun kembali negara yang sangat lemah oleh invasi Baekje di tahun 371. Gogugyang, yang menggantikan Sosurim, menerapkan ketentuan yang sama, memilih untuk fokus pada rehabilitasi dan remobilisasi pasukan Goguryeo.
Setelah mengalahkan Goguryeo di tahun 371, Baekje menjadi kekuasaan dominan di Asia Timur, yang pengaruhnya tidak terbatas di Peninsula Korea. Dengan keadaan itu, Raja Geunchogo menyita beberapa kota pesisir di Cina, tercatat Liaoxi dan Shandong, untuk mempertahankan keunggulannya atas Goguryeo dan berbagai dinasti Cina selatan, yang baru muncul di dalam konteks perang saudara penyebab jatuhnya Dinasti Han di tahun 220 dan invasi serentak dari suku asing, termasuk tapi tidak terbatas ke Xiongnu dan Xianbei (Wu Hu). Baekje dibawah pimpinan Geunchogo juga sepertinya memiliki hubungan dekat dengan Jepang dan membina hubungan baik dengan kerabat dari kepulauan tersebut. Dengan demikian, Goguryeo dikepung oleh pasukan Baekje yang berkuasa di selatan dan barat, yang cenderung menghindari konflik dengan tetangga Semenanjung yang sementara membina hubungan yang konstruktif dengan Xienpei dan Rouran, untuk mempertahankan diri dari invasi di masa depan, dan bahkan mungkin kehancuran negara tersebut.
Menjadi Berkuasa dan kampanye melawan Baekje
Gwanggaeto menggantikan ayahnya, Raja Gogukyang, ketika ia wafat di tahun 391. Segera setelah ia dimahkotai sebagai Raja Goguryeo, Gwanggaeto memberikan gelar pada dirinya sendiri Raja Tertinggi Yeongnak, menegaskan dirinya sendiri setara dengan penguasa Cina dan raja Baekje. Ia kemudian mulai membangun dan melatih unit pasukan berkuda dan armada angkatan laut Goguryeo, dan mereka ditempatkan ke dalam aksi pada tahun berikutnya, tahun 392, melawan Baekje.
Di tahun 392, atas perintah pribadi Gwanggaeto, Goguryeo menyerang Baekje dengan 50,000 pasukan berkuda, merebut 10 kota berdinding bersama dengan perbatasan antara dua negara. Serangan ini membangkitkan amarah Asin dari Baekje dan raja itu merencanakan sebuah serangan balasan terhadap Gwanggaeto, sebuah rencana yang terpaksa ia abaikan ketika pasukan invasinya dikalahkan oleh Goguryeo di tahun 393. Raja Asin menyerang Goguryeo kembali di tahun 394, dan dikalahkan sekali lagi. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan hebat, Baekje mulai hancur secara politik dan kepemimpinan Asin mulai diragukan. Asin kalah dengan Goguryeo kembali di tahun 395, dan ia akhirnya dapat didorong sampai ke muka Sungai Han, dimana Wiryeseong, kemudian lokasi ibukota Baekje di bagian selatan dari kota yang modern Seoul.
Pada tahun berikutnya, Gwanggaeto memimpin armadanya menyerang ke Wiryesong, di jelang oleh laut dan sungai. Asin mengharapkan invasi darat dan tertangkap ketika pertahanannya sedang melemah. Pasukan Gwanggaeto membakar sekitar 58 benteng berdinding di bawah kontrol Baekje, dan mengalahkan pasukan Raja Asin. Asin menyerah pada Gwanggaeto, bahkan menyerahkan adiknya sebagai tawanan Goguryeo sebagai kondisi untuk menjaga pemerintahannya di Baekje. Gwanggaeto akhirnya berhasil mendapatkan keunggulan atas saingan lamanya Baekje di Peninsula Korea.
Kampanye Di Bagian Tenggara
Di tahun 400, Silla, kerajaan Korea lainnya yang berada di selatan peninsula, meminta bantuan Goguryeo untuk membela melawan persekutuan pasukan Jepang, Kerajaan Baekje ke bagina barat, dan Gaya konfederasi barat daya. Pada tahun yang sama, Raja Gwanggaeto menjawab dengan 50,000 pasukan, mengalahkan baik Jepang dan unit pasukan berkuda Gaya, dan membuat keduanya baik Silla dan Gaya menyerah pada kekuasaannya. Di tahun 401, ia mengembalikan Raja Silseong ke Silla, untuk membangun hubungan perdamaian dengan kerajaan selagi ia melanjutkan mengembangkan kekuasaannya ke utara, tapi pasukan Goguryeo tinggal dan terus mempengaruhi Silla.
Kematian & Warisan
Raja Gwanggaeto wafat karena sakit di tahun 413, pada usia 39 tahun. Meskipun Gwanggaeto hanya memerintah selama 22 tahun dan meninggal pada usai yang relatif masih muda, perjuangannya menandai gelombang besar di dalam sejarah Korea. Kecuali selama periode 200 tahun dimulai dengan putranya dan pewaris, Raja Jangsu, dan kerajaan kemudian Balhae, Korea tidak pernah sebelumnya atau sejak saat itu memerintah wilayah yang sedemikian besar. Terdapat bukti bahwa secara maksimal Goguryeo berbaring ke arah lebih jauh kebarat, yang sekarang Mongolia, berbatasan dengan Rouran dan Göktürk. Gwanggaeto juga diberikan kredit dalam mendirikan gelar kerajaan yang dicatat untuk pertama kalinya di dalam sejarah Korea, sikap simbolis seorang raja Goguryeo yang setara dengan rekan-rekan China mereka.
Di hari ini, Raja Gwanggaeto yang Agung merupakan satu dari kedua pemimpin di Korea yang diberikan gelar 'Agung' setelah nama mereka (yang lainnya adalah Sejong yang Agung dari Joseon, yang membuat alfabet Korea). Ia dianggap oleh bangsa Korea sebagai salah satu pahlawan sejarah, dan seringkali diambil sebagai simbol ampuh nasionalis Korea. Belakangan ini, bangsa Cina melancarkan programnya dengan berusaha untuk menggabungkan sejarah Goguryeo dengan konteks sejarah Cina, yang menyulut keberangan bangsa Korea.
Prasasti Gwanggaeto, adalah monumen setinggi enam meter yang didirikan oleh Raja Jangsu di tahun 414, ditemukan oleh Manchuria di tahun 1875 oleh seorang pelajar Cina. Meskipun prasasti itu memberikan kita sejumlah besar informasi di masa pemerintahannya, hal ini juga menyebabkan kontroversial tentang pandangan bersejarah dikarenakan mengandung beberapa referensi yang berasal dari Jepang. Kisah-kisah Jepang tersebut adalah:
- Tahun 391 Jepang menyeberangi lautan dan mengalahkan Baekje dan Silla dan membuat mereka takluk.
- Tahun 399 tentara sekutu Baekje dan Jepang menyerang Silla. Silla minta bantuan Goguryeo.
- Tahun 400 Goguryeo mengusir Jepang dari Silla ke selatan Korea.
- Tahun 404 Jepang kalah perang melawan Goguryeo di selatan Lelang (Pyongyang).
Diantara mereka, kisah di tahun 391 menjadi sangat kontroversial karena teks dari prasasti tersebut tidak jelas dan menyinggung keberadaan Jepang di Peninsula Korea di abad ke-4, dimana para pelajar Korea menolaknya. Juga, keberadaan Jepang di Peninsula Korea dengan kekuatan di tahun 391 tidak mungkin untuk setiap Silla dan Baekje berdasarkan kesusastraan sejarah mengindikasikan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Banyak orang menganggap hal ini aneh bahwa buatan yang di dedikasikan untuk prestasi Goguryeo yang hebat akan menyinggung prestasi Jepang yang tidak ada sangkut pautnya dengan Goguryeo atau Raja Gwanggaeto. Juga, para sejarawan mengindikasikan perbedaan tehnologi antara Jepang dan Korea pada saat itu. Ini akan menjadi mustahil bagi Jepang untuk memiliki negara yang ditundukkan yang memiliki teknologi yang unggul di atas penghalang laut. Para pelajar Korea menuntut bahwa prasasti tersebut sengaja dirusak oleh tentara kerajaan Jepang untuk memberikan preseden sejarah di jaman penjajahan Jepang di Korea. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Jepang telah memanipulasi beberapa dokumen sejarah di era kerajaan pada awal abad ke-20. Para pelajar Korea menuntut bahwa bagian itu harus ditafsirkan sebagai berikut :
- Di tahun 391 Goguryeo menyeberangi lautan dan mengalahkan Baekje dan Silla dan membuat mereka takluk pada kerajaan Goguryeo.
Sekarang hampir mustahil untuk mengkonsensus atas masalah di antara Korea dan para pelajar Jepang karena perbedaan nasionalisme. Ketidak setujuan tersebut mempengaruhi proyek penulisan buku sejarah umum antara Korea, Jepang, dan Cina.
Lihat Pula