Pengguna:Crisco 1492/Belenggu

Revisi sejak 12 Februari 2012 09.40 oleh Crisco 1492 (bicara | kontrib) (terjemahan)
Belenggu
PengarangArmijn Pane
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel
PenerbitPoedjangga Baroe
Dian Rakyat
Tanggal terbit
1940
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman150 (cetakan ke-21)
ISBNISBN 979-523-048-8 (cetakan ke-21) Invalid ISBN

Belenggu merupakan salah satu novel Indonesia oleh Armijn Pane. Diilhami oleh teori psikoanalisis milik Sigmund Freud, novel ini menceritakan cinta segitiga antara seorang dokter, istrinya, dan temannya; cinta segitiga ini akhirnya membuat semua mereka kehilangan orang yang paling dicintai. Pertama kali diterbitkan oleh majalah sastra Poedjangga Baroe dalam tiga bagian dari April hingga Juni 1940, Belenggu merupakan satu-satunya novel yang diterbitkan majalah tersebut dan novel psikologis Indonesia pertama.

Dasar-dasar cerita Belenggu sudah wujud dalam dua cerpen yang ditulis Armijn sebelumnya, yaitu "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936). Novel yang dihasilkan, yang ditulis untuk mencerminkan aliran pikiran manusia dan dengan menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mewujudkan konflik batin, sangat berbeda daripada karya-karya sebelum nya. Dibanding karya sastra Indonesia sebelumnya, yang terbatas pada tema tradisional seperti "yang baik melawan yang jahat", Belenggu mengutamakan konflik psikis tokoh. Novel ini juga menunjukkan kalau sifat modern dan tradisional itu sebenarnya berlawanan.

Setelah diselesaikan, Belenggu ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia Belanda, pada tahun 1938. Namun, buku ini ditolak karena dianggap tidak bermoral. Novel ini kemudian diambil oleh Poedjangga Baroe. Pada awalnya, penerimaan Belenggu oleh masyarakat cukup tercampur. Pihak yang mendukungnya beranggapan bahwa novel ini benar-benar mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak beranggapan bahwa novel ini porno karena memasuki tokoh pelacur dan perselingkuhan. Tanggapan sekarang lebih positif, dengan penulis Muhammad Balfas menyebutnya "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1] Belenggu sudah diterjemahan dalam berbagai bahasa.

Alur

Sukartono (Tono), seorang dokter berpendidikan Belanda, dan istrinya Sumartini (Tini), yang tinggal di Batavia (sekarang Jakarta), sedang menjauh. Tono terlalu sibuk merawat pasien sehingga dia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab dia ingin Tini menjadi istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di rumah.

Suatu hari, Tono dipanggil oleh seseorang bernama Nyonya Eni, yang minta dirawat. Ketika Tono mendatanginya, dia menyadari bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah Rohayah (Yah), temannya waktu masih kecil. Yah, yang sudah mencintai Tono sejak mereka masih di sekolah rakyat, mulai menggoda Tono sehingga dokter itu jatuh cinta. Mereka mulai bertemu secara diam-diam dan sering pergi ke bandar Tanjung Priok. Ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita, Tono mengambil langkah untuk hidup bersama Yah selama satu minggu.

Selama di rumah Yah, Tono dan Yah membahas masa lalu. Tono menjelaskan bahwa setelah tamat sekolah rakyat di Bandung, dia berpindah ke Surabaya dan belajar di sekolah kedokteran di sana. Dia menikah dengan Tini karena kecantikannya. Sementara, Yah dijodohkan dengan pria yang lebih tua dan berpindah ke Palembang. Setelah meninggalkan suami, dia pindah ke Batavia dan menjadi pelacur; selama tiga tahun dia menjadi simpanan pria Belanda. Melihat tingkah laku Yah yang sopan santun, Tono menjadi semakin cinta padanya karena beranggapan bahwa Yah adalah istri yang tepat untuknya. Namun, Yah merasa dirinya belum siap untuk menikah.

Tono, yang merupakan penggemar musik keroncong, diminta menjadi juri suatu lomba keroncong di Pasar Gambir. Di sana, dia bertemu dengan Hartono, seorang aktivis politik dan anggota Partindo, yang bertanya tentang istri dokter itu. Beberapa hari kemudian, Hartono mengunjungi rumah Tono dan bertemu dengan Tini. Ternyata Tini pernah menjalin hubungan dengan Hartono saat kuliah, sehingga mereka berhubungan seks; hal ini membuat Tini jengkel dengan dirinya sehingga tidak dapat mencintai laki-laki. Hartono pun semakin mengacaukan keadaan ketika dia memutuskan Tini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ketika Hartono minta agar dapat kembali bersama Tini, Tini menolak.

Setelah mengetahui bahwa Tono selingkuh, Tini menjadi sangat marah dan pergi untuk berbincang dengan Yah. Namun, setelah berbicara panjang dengan Yah, Tini mulaiberanggapan bahwa Yah lebih cocok untuk Tono dan minta agar Yah segera menikahinya; Tini lalu berpindah ke Surabaya, dengan Tono ditinggalkan di Batavia. Namun, Yah merasa bahwa mempunyai hubungan dengannya akan membuat citra baik Tono hancur, sebab latar belakangnya yang pelacur itu. Dia lalu ambil keputusan untuk pindah ke Kaledonia Baru, dengan meninggalkan sepucuk surat dan sebuah piring hitam yang membuktikan bahwa Yah sebenarnya penyanyi favorit Tono, Siti Hajati. Dalam perjalanan ke Kaledonia Baru, Yah kangen pada Tono dan mendengar suaranya di radio. Tono ditinggal sendiri dan mulai bekerja sangat keras, dalam usaha untuk mengisi kesepiannya.

Tokoh

Sukartono
Sukartono (disingkat Tono) adalah seorang dokter yang merupakan suami Tini dan cinta Yah. Dokter ini suka merawat pasien miskin tanpa memunggut biaya, sehingga menjadi terkenal. Dia juga penggemar berat lagu-lagu keroncong; waktu dia masih di sekolah kedokteran, dia lebih suka bernyanyi daripada belajar dan sampai sekarang ada radio di ruang periksa. Kegemarannya atas musik tradisional mencerminkan keinginannya untuk mempunyai istri yang berwawasan tradisional untuk menjaganya. Karena merasa tersiksa dari pernikahannya tanpa cinta dengan Tini, dia jatuh hati pada Yah, sebab Yah dianggap lebih mampu menjadi istri tradisional. Namun, akhirnya dia ditinggal sendiri.[2]
Sumartini
Sumartini (disingkat Tini) adalah istri Tono yang sangat modern. Waktu masih mahasiswi, dia sangat populer dan suka berpesta. Pada masa itu, Tini menyerahkan keperawanannya kepada Hartono, sehingga setelah dia diputuskan dia menjadi semakin tidak acu pada keinginan laki-laki. Setelah dinikahi Tono, Tini menjadi semakin kesepian dan mulai bergerak di bidang sosial supaya hidupnya berarti. Ketika mengetahui ketidaksetiaan Tono dan beranggapan bahwa Yah lebih cocok dengan suaminya, Tini meninggalkan Tono dan pindah ke Surabaya.[3]
Menurut Yoseph Yapi Taum, seorang dosen di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, sikap tidak acu Tini adalah alasan utama mengapa Tono menjadi tertarik pada Yah; gaya hidup Tini, yang tidak memasuki Tono, membuatnya berasa terasing dan mendorongnya untuk mencari wanita yang lebih tradisional.[4] Tham Seong Chee, seorang kritikus dari Singapura, beranggapan bahwa Tini adalah tokoh yang lemah sebab dia tidak bisa mengambil keputusan tanpa pengaruh luar, dan sampai kapan pun tidak mau menyelesaikan masalahnya dengan Tono. Dia juga menyatakan kalau Tini dibatasi oleh nilainya sendiri, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia pada umumnya.[5] Menurut penyair dan kritikus sastra Goenawan Mohamad, Tini didorong oleh harapan suaminya akan istri yang tradisional.[6]
Rohayah
Rohayah (juga dikenal dengan nama samaran Nyonya Eni dan Siti Hayati; disingkat Yah) adalah teman Tono dari sekolah rakyat yang kemudian menjadi simpanannya; dia juga seorang penyanyi keroncong terkemuka. Setelah Tono, yang lebih tua tiga tahun, lulus dari sekolah Rakyat, Yah dipaksakan untuk menikah dengan pria yang lebih tua 20 tahun dan dibawa ke Palembang. Setelah melarikan diri, Yah kembali ke Bandung; akan tetapi, orang tuanya sudah meninggal. Dia kemudian berpindah ke Batavia dan menjadi seorang pelacur sekaligus penyanyi keroncong dengan nama samaran Siti Hayati. Ketika mengetahui bahwa Tono telah menjadi dokter di Batavia, dia menggoda dokter itu. Biarpun mereka saling jatuh cinta, Yah mengambil langkah untuk pergi sebab dia takut Tono akan diremehkanapabila dia menikah dengan seorang mantan pelacur. Yah berpindah ke Kaledonia Baru.[7]
Tham beranggapan bahwa Yah sebenarnya cocok menjadi istri Tono, sebab dia bersudi menjadi istri tradisional. Namun, dia tidak dapat menjalani hubungan tersebut karena dulu menjadi pelacur. Menurut Tham, hal ini mencerminkan bahwa "moral dan nilai etis tidak mudah dipahami intelek, akal, atau rasio".[5] Goenawan beranggapan bahwa Yah sebenarnya seorang fatalis, yang merendahkan diri dengan menyatakan bahwa ada seribu perempuan di Tanjung Priok yang mempunyai cerita serupa. Dia juga beranggapan bahwa tokoh tersebut menjadi mengharukan tanpa menjadi berlebihan. Menurutnya, Yah adalah pelacur pertama yang digambarkan secara simpatetis dalam suatu karya sastra Indonesia.[6]

Pengaruh

Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada Berharga" juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan watak yang mirip Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama Sukartono.[9] Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel.[10]

Gaya

Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca. Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]

Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka, Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia lebih menekankan penggunaan simile. Cara lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis Armijn dengan penulis-penulis Balai Pustaka ialah dengan membatasi penggunaan bahasa Belanda murni; sebelumnya penulis seperti Abdul Muis dan Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan bahasa kolonialis itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama yang intelektual. Sementara, dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat daftar istilah yang berisikan istilah-istilah langkah atau sulit.[1][13] Siregar menulis bahwa bahasa Armijn lebih mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.[13]

Analisis

Simbolisme

According to Taum, the title Belenggu reflects the inner conflicts faced by all of the main characters, causing them to be limited in their actions. Taum points to the climax of the novel--in which Rohayah has the chance to marry Sukartono but refuses because if she were to marry him he would lose face by virtue of her formerly being a prostitute--as a prime example of these limitations.[14] Siregar notes that this is supported by dialogue between Hartono and Sukartono, in which they note that humans are inherently held back by their reminiscences of the past.[15]

Uncommonly for Indonesian literature during this time period, Belenggu's chapters were labeled with only a number – other works, such as Abdul Muis' 1928 novel Salah Asuhan, gave both a number and subtitle to the chapters. According to Taum, this change in style represents humanity's stream of consciousness, as opposed to the earlier style which kept chapters separate.[16]

Tema

Teeuw notes that, unlike most Indonesian novels at the time, Belenggu did not feature a theme of a good and pure protagonist struggling against an evil antagonist or deal with conflict and differences between different generations.[17] It also did away with the common themes of forced marriage and the youth's nonacceptance of adat (traditional culture).[1] Instead, it showed a love triangle – common in Western literature but unheard of in Indonesian literature at the time – without an indication of whether any characters were good, evil, right, or wrong. He writes that the novel portrayed the interior struggle of a "new kind of human"[B], one who is the result of a mixture of Eastern and Western cultures.[17]

Taum indicates that Belenggu presents modernity and traditionalism as a binary system, contrasting the new with the old. For example, Sukartono, a doctor (considered a symbol of modernity), is obsessed with the past, including his schoolmate Rahayah, and prefers traditional kroncong music over other, more modern genres. Through the contrast of Sukartono and his ultra-modern and emancipatory wife Sumartini, Pane emphasizes that modernity does not necessarily bring happiness. Taum writes that this may have been influenced by or even written as a response to Sutan Takdir Alisjahbana's 1936 novel Layar Terkembang, which dealt with a similar theme but was for modernization.[18]

Clive Christie, a lecturer on Southeast Asian Studies at the School of Oriental and African Studies in London, notes that Belenggu also contains a strong sense of alienation. He writes that the characters seem to part of a "society suspended in a vacuum", without an explicit connection to colonialism but also unable to come to terms with traditional mores. Christie describes Sukartono's relationship with Rohayah as symbolic of intellectuals trying to engage with the masses through a shared popular culture, but ultimately failing.[10]

Peluncuran

Belenggu diserahkan kepada Balai Pustaka pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi tidak diterima sebab dianggap berlawanan dengan moral umum;[19] hal ini disebabkan penggambaran perselingkuhan sebagai hal yang umum, sehingga menjadi bagian penting dalam alur. Akhirnya novel ini diterbitkan oleh majalah Poedjangga Baroe, yang Armijn telah bantu mendirikan pada tahun 1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial dari bulan April sampai Juni 1940.[17][19] Belenggu adalah satu-satunya novel yang diterbitkan majalah sastra itu,[19] dan merupakan novel psikologis Indonesia pertama.[20]

Pada tahun 1965, Belenggu diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Sampai pada tahun 1988, novel ini sudah terjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan, pada tahun 1989, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn dengan judul Shackles, lalu diterbitkan Yayasan Lontar.[21]

Penerimaan

Upon its release, there were two main reactions. Proponents of the novel stated that it was daring, as it dealt with themes based on societal realities.[22] For example, journalist S. K. Trimurti wrote that the novel well reflected issues faced by highly educated Indonesians in dealing with traditional culture.[23] Meanwhile, opponents of the novel dismissed it as "pornographic", putting emphasis on traditionally taboo acts like prostitution and adultery.[22] Alisjahbana wrote that it was fatalistic and defeatist as he felt it did not portray the freedom of spirit necessary for people to choose their own destiny,[24] and he decried the plot as lacking causality.[19] According to Teeuw, the initial mixed reception was due in part to Indonesian readers, having been accustomed to reading idealized literature, being shocked by the realistic portrayals in Belenggu.[24]

Later reviews have generally been more positive. Literary documentarian HB Jassin wrote in 1967 that, although the characters came across as caricatures, Belenggu was capable of making readers stop and think about modern conditions.[25] In 1969 the novel received an award for outstanding literature from the Indonesian government;[26] that same year, Indonesian writer and literary critic Ajip Rosidi wrote that the novel was more interesting than earlier works because its ending was open to interpretation.[25] Indonesian poet and literary critic Muhammad Balfas wrote in 1976 that Belenggu was "in every respect the best novel of pre-war Indonesian literature".[1] In his 1980 book on Indonesian literature, Teeuw wrote that despite several flaws in the psychological portrayal of the main characters, Belenggu was the only novel from before the Indonesian National Revolution in which a reader from the West would feel truly involved.[24] Tham wrote in 1981 that the novel was the best reflection of the growing consciousness of the Indonesian people that Western values such as individualism and intellectualism contradicted with traditional values.[27]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ a b c d Balfas 1976, hlm. 69.
  2. ^ Taum 2008, hlm. 139–141.
  3. ^ Taum 2008, hlm. 142–143.
  4. ^ Taum 2008, hlm. 142.
  5. ^ a b Tham 1981, hlm. 114.
  6. ^ a b Mohamad 1985, Yah.
  7. ^ Taum 2008, hlm. 144–146.
  8. ^ Siregar 1964, hlm. 103.
  9. ^ Balfas 1976, hlm. 70.
  10. ^ a b Christie 2001, hlm. 69.
  11. ^ Teeuw 1980, hlm. 122.
  12. ^ Siregar 1964, hlm. 102.
  13. ^ a b Siregar 1964, hlm. 103–104.
  14. ^ Taum 2008, hlm. 147.
  15. ^ Siregar 1964, hlm. 105.
  16. ^ Taum 2008, hlm. 138.
  17. ^ a b c Teeuw 1980, hlm. 119.
  18. ^ Taum 2008, hlm. 148–150.
  19. ^ a b c d Balfas 1976, hlm. 68.
  20. ^ Rampan 2000, hlm. 92.
  21. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 2007, hlm. 83–84.
  22. ^ a b Taum 2008, hlm. 113.
  23. ^ Tham 1981, hlm. 115.
  24. ^ a b c Teeuw 1980, hlm. 121.
  25. ^ a b KS 2010, hlm. 99.
  26. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 2007, hlm. 83.
  27. ^ Tham 1981, hlm. 112.
Daftar pustaka