Mukhtaran Bibi (مختاران بی‌بی, lahir sekitar 1972) adalah seorang perempuan Pakistan dari sebuah desa kecil dan miskin Meerwala, yang terletak di tehsil (kabupaten) pedesaan Jatoi di Distrik Muzaffargarh, Pakistan. Ia juga dikenal sebagai Mukhtar Mai, Mukhtiar atau Mukhtaran saja. Ia diperkosa beramai-ramai atas tuntutan orang-orang sesukunya — atau, menurut sebagian laporan, atas perintah panchayat (dewan kesukuan) — dari sebuah klan setempat yang dikenal sebagai Mastoi. Klan Mastoi dilaporkan pernah bertikai sengit dengan klan Mukhtaran, Tatla.

Mukhtaran Mai, Perempuan Tahun 2005 pilihan Majalah Glamour

Ringkasan cerita, berdasarkan catatan pengadilan

Laporan-laporan berita memuat cerita yang sangat berbeda-beda tentang kejadian pemerkosaan tersebut. Karenanya, laporan berikut ini didasarkan pada kesaksian yang diberikan para saksi di pengadilan yang menghukum mati para pemerkosa Mukhtaran, ditopang dengan rincian dari teks amaran Pengadilan Tinggi Lahore.

Mukhtaran bersaksi bahwa pada bulan Juni saudara lelakinya yang masih remaja Shakoor dicurigai dan dituduh oleh klan Mastoi melakukan ziadti (pemerkosaan, sodomi atau hubungan seks tidak sah) atau zinah dengan seorang gadis Mastoi, yang juga dikenal sebagai Nasim. Tuduhan ini hampir pasti bohong (dan pada proses peradilan, hakim mengatakan bahwa tuduhan ini tidak berdasar.)

Sabtu sore, 22 Juni 2002

Sore hari Sabtu, 22 Juni 2002, Shakoor diculik oleh tiga lelaki Mastoi. Ia dibawa ke tempat tinggal tertutudh utama, Abdul Khaliq, kakak lelaki Salma. (Shakoor bersaksi bahwa ia telah diculik oleh tiga lelaki Mastoi, yang masing-masing menyodominya di sebuah kebun tebu. Pengadilan menetapkan, berdasarkan kesaksian seorang dokter, bahwa Shakoor memang telah disodomi dan/atau diserang. Para penyerangnya dinyatakan bersalah dalam sebuah peradilan terpisah)

Shakoor berteriak-teriak minta tolong ketika ia dibawa ke rumah Abdul Khaliq, dan sanak keluarganya mendengar teriakannya ini. Mukhtaran, ibundanya, dan perempuan-perempuan lain di dalam rumah itu bergegas keluar, dan di situ beberapa lelaki Mastoi mengatakan kepada mereka bahwa Shakoor telah melakukan ziadti dengan Salma. Kaum perempuan itu segera pergi ke rumah Abdul Khaliq untuk menuntut agar Shakoor dibebaskan, tetapi Abdul Khaliq menolak. Ibunda Mukhtaran lalu mengirim saudara lelakinya untuk meminta bantuan polisi. Di Meerwala tidak ada telepon ataupun polisi dan stasiun polisi Jatoi jauhnya 13 km di sebelah utara dengan menempuh jalan berdebu.

Klan Mukhtaran, Tatla, berkumpul bersama dalam sebuah akath (rapat kecil). Kepada mereka diberitahukan bahwa seorang sanak mereka, Shakoor ditahan oleh klan Mastoi karena ia dituduh melakukan ziadti atau zinah dengan Salma.

Di pihak lain, sebuah akath Mastoi berlangsung dan dihadiri oleh sekitar 200 hingga 250 anggota klan Mastoi yang berkumpul di luar rumah, kurang dari 100 meter dari rumah Abdul Khaliq. Menurut beberapa laporan, sebuah dewan kesukuan Mastoi dibentuk, yang terdiri atas tiga orang tertuduh: Ramzan Pachar, G.F. Mastoi dan seorang ketua klan Mastoi, Faiz M. Mastoi, yang juga dikenal sebagai Faiza atau Faizan. Akath ini diberi tahu bahwa Shakoor telah melakukan ziadti dengan Salma.

Polisi tiba sebelum magrib, membebaskan Shakoor dari klan Mastoi, dan membawanya ke kantor polisi dan menahannya dengan kemungkinan menjatuhkan tuduhan kejahatan seks kepadanya.

Malam

Hari itu matahari terbenam pada pk. 19.20, dan senja berlangsung hingga sekitar pk. 19.48. Karena tak ada listrik, keadaan pun gelap. (Di peradilan oleh Pengadilan Tinggi, pembela menyatakan bahwa para saksi penuntut tak mungkin melihat beberapa hal yang mereka klaim telah lihat.)

Keluarga Mukhtaran mengusulkan penyelesaian masalahnya dengan klan Mastoi dengan cara menikahkan Shakoor dengan Salma, dan menikahkan Mukhtaran dengan salah seorang lelaki Mastoi, dan - bila Shakoor terbukti bersalah - memberikan sejumlah tanah kepada keluarga Salma. Usul ini disampaikan kepada Faizan, tua-tua Mastoi. Menurut beberapa saksi penuntut, Faizan mulanya setuju, tetapi dua lelaki dari keluarga Salma - tertuduh Ramzan Pachar dan G.F. Mastoi - menolak dan menuntut balas dendam dengan cara zinah ganti zinah. Beberapa alelaki Mastoi lainnya konon bergabung dengan mereka dalam tuntutan ini.

Ramzan Pachar dan G.F. Mastoi lalu mendatangai keluarga Mukhtaran, dan mengatakan kepada mereka bahwa klan Mastoi akan menerima usulan itu bila Mukhtaran secara pribadi mau datang dan meminta maaf kepada keluarga Salma dan kepada akath Mastoi. Mukhtaran pergi ke akath itu bersama ayahnya dan paman dari pihak ibunya.

Faizan, yang berbicara kepada akath, yang kini telah mulai bubar dan saat itu jumlahnya hanya sekitar 70 orang, menyatakan bahwa pertikaian itu sudah diselesaikan, dan keluarga Mukhtaran harus "dimaafkan".

Pemerkosaan

 
Tertuduh para pemerkosa Mukhtar Mai

Segera sesudah itu dan kurang dari 100 meter dari akath, Abdul Khaliq, dengan membawa pistol kaliber 30, dengan paksa membawa Mukhtaran masuk ke sebuah kamar yang gelap dengan lantai tanah, dan di sana ia G.F. Mastoi dan dua orang tertuduh lainnya memperkosanya. Ayah dan paman Mukhtaran dihalang-halangi dari usaha untuk menyelamatkannya, dan dibiarkan di luar, oleh para lelaki Mastoi. (Sebuah pernyataan oleh Dr. Shahida Safdar, yang secara medis memeriksa Mukhtaran pada 30 Juni, sembilan hari setelah pemerkosaan itu, menyatakan bahwa ia menemukan dua abrasi yang telah sembuh pada diri korban, 1,5 cm x 0,5 cm dan 3 cm x 1 cm. Ia juag mengambil contoh-contoh pada potongan kain yang ternyata bernoda air mani. Tapi pada pakaiannya tidak ditemukan bekas air mani, karena saudara perempuan Mukhtaran telah mencucinya.)

Setelah sekitar satu jam berada di dalam, ia didorong keluar dengan hanya mengenakan qameez (baju yang panjang) yang telah robek-robek. Sisa pakainnya dilemparkan keluar bersamanya. Ayahnya menutupi tubuhnya dan membawanya pulang. (Pakaian-pakaian itu diajukan sebagai barang bukti di pengadilan.)

Pada malam yang sama, polisi diberi tahu bahwa kedua klan itu telah menyelesaikan pertikaian mereka, dan bahwa kelaurga Salma menarik pengaduannya terhadap Shakoor. Pamannya membawanya keluar dari pos polisi sekitar pk. 2 atau 3 pagi.

Minggu berikutnya

Seorang imam setempat, Abdul Razzaq, mengutuk pemerkosaan itu dalam ceramahnya pada hari Jumat setelah hal itu terjadi. Ia membawa seorang wartawan setempat, Mureed Abbas, untuk menemui ayah Mukhtaran, dan membujuk keluarganya untuk mengajukan pengaduan terhadap para pemerkosa.

Mukhtaran dan keluarganya pergi ke pos polisi Jatoi pada 30 Juni 2002 untuk menyampaikan pengaduan.

Liputan media

Dalam beberapa hari berikutnya, cerita ini menjadi topik utama di Pakistan, hingga berbulan-bulan lamanya. Banyak versi dari cerita ini dilaporkan pada hari-hari berikutnya, dan varian-variannya masih tetap ada hingga sekarang.

Pada 3 Juli, BBC mengangkat berita ini dalam laporannya.[1] Time melaporkan kasus ini pada pertengahan Juli.[2] Surat-surat kabar dan jaringan internasional melaporkan perkembangan kasusnya.

Unsur-unsur dalam media Barat telah dituduh mereduksi penderitaan Mai dan mengisahkan ceritanya hanya sebagai naratif korban.[3]

Reaksi pemerintah

Awal Juli 2002, Ketua Mahkamah Agung Pakistan menyebut pemerkosaan Mukhtaran sebagai kejahatan yang paling keji pada abad ke-21. Ia memanggil para pejabat polisi senior dan mengecam mereka karena inkompetensi mereka dalam menangani kasus ini.

Pemerintah Pakistan memberikan ganti rugi kepada Mukhtaran sejumlah 500.000 rupee (AS$8.200) pada 5 Juli 2002. Mukhtaran konon mengatakan kepada Attiya Inayatullah, Menteri Pengembangan Perempuan yang memberikan cek itu kepadanya bahwa ia "tentu sudah bunuh diri andaikan pemerintah tidak datang untuk menolongnya." [4]

Keputusan pengadilan

Pengadilan anti-terorisme

Para penyerang Mukhtaran, dan apa yang disebut panchayat Mastoi yang berkomplot dalam pemerkosaannya, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Anti-Teroris Dera Ghazi Khan.

Pengadilan Anti Teroris (ATC) adalah sejenis pengadilan di Pakistan yang mengkhususkan diri dalam menuntut kasus-kasus yang berkaitan dengan teror atau intimidasi massa. Pengadilan ini telah dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia karena menggunakan standar pembuktian yang lebih rendah daripada pengadilan-pengadilan biasa. ATC menerima kabar angin sebagai bukti, dan tidak menuntut bahwa kesalahan harus terbukti dengan sangat meyakinkan.

Jalur ATC dianggap tepat dalam kasus ini karena klan Mastoi telah mengintimidasi dan meneror (dan terus mengancam) klan Mukhtaran dan orang-orang di wilayah itu. ATC mennyatakan bersalah enam laki-laki dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka pada 31 Agustus 2002.

Setelah hukuman dijatuhkan

Setelah hukuman dijatuhkan kepada para penyerangnya, Mukhtaran menjadi lambang bagi para pembela kesehatan dan keamanan perempuan di wilayahnya, sehingga perhatian nasional dan internasional tertuju kepada masalah-masalah ini. Mukhtaran menggunakan uang ganti rugi yang diterimanya dari Presiden Musharraf untuk membangund ua sekolah setempat, satu untuk anak-anak perempuan, dan satu lagi untuk anak-anak lelaki. Sebelum ini tak ada sekolah untuk anak perempuan di desa Mukhtaran dan ia sendiri tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Sejumlah donor Barat telah ikut pula memberikan sumbangannya.


Pada 2 Mei 2006, Mukhtaran berbicara di markas besar PBB di New York. Dalam sebuah wawancara dengan TV PBB, Mai mengatakan bahwa "ia ingin menyampaikan pesan ke seluruh dunia bahwa orang harus berjuang demi hak-haknya dan demi hak-hak dari generasi yang akan datang."[5] Ia disambut oleh Wakil Sekjen PBB Shashi Tharoor, yang berkata, "Saya pikir tepat dikatakan bahwa siapapun yang memiliki keberanian moral dan kekuatan batin untuk mengubah serangan brutal seperti itu menjadi sebuah senjata untuk membela orang lain dalam posisi yang serupa, memang benar-benar seorang pahlawan, dan layak memperoleh penghormataan dan penghargaan kita yang terdalam".[6]

Pada 31 Oktober 2006, memoar Mukhtaran diterbitkan untuk pertama kalinya di Amerika Serikat dengan judul "In the Name of Honor: A Memoir."

Pada 15 November 2006, majelis rendah parlemen Pakistan memutuskan untuk mengubah undang-undang pemerkosaannya dan menugubahnya dari hukum agama ke hukum pidana, dan dengan demikiran praktis memisahkan antara pemerkosaan dengan zinah. Majelis rendah juga memodifikasikan hukum sehingga tidak lagi mengharuskan si korban mengajukan empat orang saksi tentang penyerangan itu, dan memungkinkan bukti-bukti keadaan dan forensik digunakan untuk penyelidikan. Perubahan ini membutuhkan persetujuan dari majelis tinggi Parlemen sebelum bisa disahkan sebagai hukum.[7] Perubahan-perubahan ini disambut oleh kelompok-kelompok hak-hak sipil sebagai langkah positif.[8]

Pada Maret 2007, Mukhtaran secara resmi menerima Penghargaan Utara-Selatan 2006 dari of Dewan Eropa atas kontribusinya kepada hak-hak asasi manusia.[9]

Rujukan

Pranala luar

Garis waktu

Blog Mukhtaran

Wawancara

Berita

Berita terpilih, disusun secara kronologis.

Komentar

Teks keputusan pengadilan

Lihat pula