Angklung (gamelan)

Untuk jenis orkestra bernama sama lihat Angklung (gamelan).

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Angklung

Asal-usul

Versi Sunda

 
Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[butuh rujukan]

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Versi Jawa

Berawal pada saat raja Bantarangin bernama Kelana Sewandana memahami, bahwa prajuritnya kalah banyak dengan prajurit yang dimiliki oleh raja Singa Barong dari kerajaan Lodaya. kelana sewandana memerintahkan Warok yang menjabat sebagai kemiliteran untuk mencari senjata yang dapat dengan cepat melumpuhkan lawan, namun tidak di berkenankan dari baja karena berat dalam perjalanan serta tidak tajam dikarenakan prajurit singo barong yang juga warok kebal akan senjata tajam. akhirnya sang warok bersemedi dan mendapat sebuah petunjuk untuk ke "barongan" (hutan bambu) yang di kuasi oleh raja raden druwa atau Gendruwo. sang warok pun bergegas pergi ke barongan di temani dengan seorang pemuda cantik yang biasa di sebut dengan gemblak, seorang istri dari raja kelana sewandana. setiba di hutan bambu, pemuda cantik ini berjalan sendiri ke tengah hutan untuk memancing keluar Raden druwa sambil di awasi dari jauh oleh sang warok. pemuda cantik tersebut di temui oleh raden druwa yang tergila-gila dengan pemuda tersebut yang di kiranya seorang putri tulen yang cantik, setelah di amati ternyata raden druwa mengetahui bahwa yang di hadapinya ialah seorang pria, dan akhirnya geram dan marah sontak hendak memukul sang warok yang memata-matainya pun keluar dan bertarung dengan raden druwa yang sakti. di saaat sang warok kelelahan akhirnya warok mengeluarkan seutas tali panjang dan besar berwarna putih dan di cambukan ke bdana raden druwa dan mengena serta melilit leher sang raden druwo, tanpa berpikir panjang sang warok pun menarik dan memutar-mutarkan tubuh raden druwa serta menjatuhkan ketanah dan di lemparkan berulang-ulang ke hutan bambu tersebut, alhasil bambu-bambu sebagai istana raden druwa tersebut hancur patah berantakan dan mengakui kekalahannya terhadap sang warok. patah-patahan bambu hasil dari pertarungan di bawa oleh prajurit raja raden druwa ke istana bantaranagin, dan di rangkain menyerupai pagar kecil pada rumah-rumah ponorogo kala itu dengan di tali sebuah pusaka koloran dengan erat dan ujung koloran dari benang yang berumbai rumbai pada 4 bambu kecil serta 3 tabung bambu besar di buat panjang se kaki orang dewasa.

setelah persiapan sudah matang, prajurit warok yang membawa senjata bambu sejenis pagar rumah (Angklung) tersebut di barisan paling depan karena sebagai benteng pertahanan pasukan. di saat perang antara kerajaan bantarangin dan Lodaya berlangsung, senjata angklung langsung di pukulkan ke badan prajurit Lodaya yang sangat banyak membuahkan hasil mengalahkan prajurit lodaya hingga muntah darah dan mengenai tali hiasan koloran berumbai-rumbai pada ujung bambu kecil angklung dan menyebabkan berwarna merah. karena bagian angklung yang terdiri dari 3 tabung bambu besar patah karena tidak di ikat dengan pusaka koloran. setelah pertarungan perorangan raja singa barong kalah dan dimenangkan oleh raja kelana sewandana yang menggunakan pusaka dari gunung lawu "cambuk ki samandiman", sontak seluruh prajurit dari raja kelana sewandana gembira, terutama para warok yang memegang senjata angklung, karena gembiranya para prajurit menggenggam angklung dengan kuat tanagn diatas dengan gerakan kedepan kebelakang, karena kuatnya kekuatan para warok yang membawa angklung, angklung pun logo dari ikatan dan berbunyi "klong-klung...klok-kluk..klong-klung", karena senjata bambu menyerupai pagar tersebut belum mempunyai nama, akhirnya di beri kan sebuah nama dengan jenis suaranya"ongklong-ungklung /oklok-ukluk" dalam bahasa jawa dengan tulisan "Angklung"

Reyog bantarangin tercipta sebelum kerajaan Kadiri berdiri pada abad ke-10, kerajaan bantarangin dan loadaya ada pada era kerajaan Daha abad 8-9an. raja singa barong yang di penjara di kerajaan bantarangin tersadar setalah putri dari kerajaan Daha meninggal bunuh diri karena kedi (mandul). dan disaat raja kelana sewandana besarta patih dan jajaran kerajaan menyampaikan info duka ke kerajaan Daha, raja singa barong menghancurkan kerajaan Bantarangin seorang diri dengan kekuatannya dan meratakannya menjadi tanah yang rata yang sekarang ini di kenal dengan "SumoRoto" di daerah ponorogo, dan kerajaan Lodaya sekarang ini dikeanal sebagai kecamatan di kota blitar. dan dapat dipastikan Angklung tercipta pada tahun antara 800masehi-900Masehi.

Jenis Angklung

Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Ponorogo

Berkas:Angklung ponorogo.jpg
Angklung Ponorogo.

Angklung Ponorogoan ini di daerah WaWengkeran (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Wonogiri, karanganyar) pada dahulu menyebutnya sebagai "ongklong" atau "oklok" dikarenakan berbunyi klong-klung (nada tinggi untuk mengiringi Gong) dan kluk-klok (nada rendah yang juga mengiringi kenong) yang sering digunakan sebagai perangkat alat musik pada kesenian reog ponorogo yang terdiri dari selompret, kendang, kempul, gong, kenong yang bernada selendro dan pelog. Angklung jenis ponorogo ini mempunyai 3 buah tabung bambu besar yang di ikat serta apit oleh 4 potongan bambu kecil pada ujung atas di beri hiasan benang warna-warni berumbai-rumbai sebagai identitas Angklung ponorogo, sangat berbeda dengan Angklung Tradisional sunda yang hanya memiliki 2 tabung bambu besar dan bernada not. Dalam hal suara Angklung ponorogo sangat menggelegar dan dapat menmbangkitkan semangat serta dapat membuat merinding bagi yang mendengarnya.

cara memegang Angklung ponorogoan berbeda dengan angklung sunda yang di mainkan dengan dua tangan serta di taruh di depan perut, sedangkan angklung Ponorogoan di pegang pada ujung bawah angkulng menggunakan tangan satu dengan cara di menggenggam, seperti memegang senjata, memang pada awalnya angklung di gunakan sebagai senjata pada kerajaan Bantarangin melawan kerajaan Lodaya untuk memperebutkan putri dari kerajaan Daha kediri.

Dalam hal Publikasi, Angklung Ponorogoan sebagai perangkat musik Gamelan Ponorogo ini telah di gunakan pengirinng musik pada film/ soundtrack theme seperti, Warok Singo Kobra (1982), Warok Suro Menggolo (1991), Tendangan Dari Langit (2010), serta banyak film tentang cerita Rakyat dari ponorogo di layar kaca. Bukan hanya dunia film, namun juga berbagai lagu Campursari jawa Modern pada penyayni manthous, waldjinah, didi kempot, sony jozz, Mbah Pur Warok Gendeng, dan masih banyak lainya.

Angklung ponorogoan merupakan cikal bakal Angklung di malaysia era 1850an sebagai pengiring persembahan tari kuda kepang dan Barongan(reog ponorogo) yang di bawa oleh orang jawa yang menetap di Johor, Selangor dan Perak.

Gamelan Kongkil Ponorogo

Di ponorogo sendiri terdapat Gamelan Kongkil Kongkil merupakan sebuah seni musik yang berbahan bambu mirip angklung namun mempuyai harmonisasi khas tersendiri lahir dikala masa Penjajahan Belanda berbarengan dengan bangkitnya gerakan pemuda tahun 1928. Sebagai wujud bentuk perlawanan rakyat kepada penjajah, kongkil saat itu diapresiasikan dalam bentuk kesenian dimana di masa itu musik berperan untuk kamuflase perjuangan guna menghindari kecurigaan pemerintahan penjajah. Gamelan Kongkil salah satu alat perjuanagan pemersatu bangsa pada masa penjajahan Belanda, adapun nama kongkil itu diambil dari larasnya yang apabila ditabuh berbunyi "kol..kol..,kil..kil..". Gamelan Kongkil sendiri sebagai pengiring kesenian Kongkil yang mendapat pengaruh dari seni reog ponorogo, Dalam generasi saat ini kongkil yang dibuat mulai bervariatif tidak hanya berlaras slendro namun juga ada yang pelog. Sementara yang masih asli buatan tahun 1800-an juga masih terawat baik dan dapat digunakan dengan baik

Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gamelan Bali

Di Bali , sebuah ensemble angklung disebut gamelan angklung (anklung). Sementara ensemble mendapatkan namanya dari pelopor bambu, hari ini sebagian besar komposisi Gamelan Angklung tidak menggunakannya. Sebuah ensemble dari kebanyakan perunggu metalofon digunakan sebagai gantinya, biasanya dengan sekitar 20 musisi.

Sementara instrumentasi gamelan angklung mirip dengan gamelan gong kebyar , ia memiliki beberapa perbedaan penting.  Pertama, instrumen yang disetel ke 5-nada slendro skala, meskipun sebenarnya sebagian ansambel menggunakan modus empat-nada skala lima nada dimainkan pada instrumen dengan empat tombol.  Pengecualian adalah angklung lima nada dari utara Bali.  Tetapi bahkan dalam kelompok angklung empat nada, pemain seruling sesekali akan menyentuh nada tersirat kelima.  Kedua, sedangkan banyak instrumen dalam gong kebyar rentang beberapa oktaf skala pentatonik nya, mosts gamelan instrumen angklung hanya mengandung satu oktaf, meskipun beberapa ansambel lima nada memiliki sekitar satu oktaf dan setengah.  Instrumen yang jauh lebih kecil daripada yang dari kebyar gong. 
Gamelan angklung terdengar di candi Bali, di mana ia memasok iringan musik untuk peringatan candi (Odalan).  Hal ini juga karakteristik ritual berhubungan dengan kematian, dan karena itu terhubung dalam budaya Bali dengan dunia spiritual tak terlihat dan transisi dari hidup sampai mati dan seterusnya.  Karena portabilitas, gamelan angklung dapat dibawa dalam prosesi sementara bier pemakaman dilakukan dari pemakaman sementara di pemakaman menuju tempat kremasi.  Para musisi juga sering bermain musik untuk mengiringi upacara kremasi.  Jadi banyak pendengar Bali mengasosiasikan musik angklung dengan emosi yang kuat membangkitkan kombinasi manis sakral dan kesedihan. 
Struktur musik ini mirip dengan gong kebyar, meskipun menggunakan skala nada empat.  Jublag dan Jegog membawa melodi dasar, yang diuraikan oleh gangsa, reyong, ceng-ceng, gendang, dan suling.  Sebuah gong berukuran sedang, yang disebut kempur, umumnya digunakan untuk menekankan bagian utama sepotong itu. 
Komposisi yang paling tua tidak menggunakan keahlian lebih mewah gong kebyar dan kecakapan memainkan pertunjukan.  Baru-baru ini banyak komponis Bali telah membuat karya kebyar-gaya untuk gamelan angklung atau telah menyusun melodi kebyar untuk menyesuaikan lebih terbatas empat skala nada angklung yang.  Potongan-potongan baru sering menampilkan tari, sehingga angklung gamelan ditambah dengan lebih gong gong dan berat.  Selain itu, beberapa komposer modern yang telah menciptakan potongan instrumen eksperimental untuk angklung gamelan.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.


Buncis

Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.

Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (19081984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Angklung Padaeng

Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.

Sesuai dengan Teori musik, angklung padaeng secara khusus dibuat menjadi dua jenis besar yakni:

  • Angklung Melodi, adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya ada:
    • Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
    • Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
  • Angklung akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada Harmoni. Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu unit angklung standar biasanya memiliki:
    • Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
    • Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung

Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan aransemen asli Daeng Soetigna misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa", "Ibu Kita Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun 1980-an, KPA SMA 3 Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko, Budi Supardiman, dan Asep Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung padaeng untuk musik-musik modern Indonesia seperti "September Ceria" (Vina Panduwinata), "Astaga" (Ruth Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke musik manca negara mulai dari "Yesterday" (Beatles), "Another Day in Paradise" (Phil Collins), hingga "Bohemian Rhapsody" (Queen).

Angklung Sarinande

Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).

Angklung Toel

Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. [1] Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.

Angklung Sri-Murni

Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. [2] Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.

Ensemble Angklung

Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa ensembel angklung yang sudah mapan adalah:

Klasik Padaeng

Ensemble angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:

  • Angklung melodi
  • Angklung akompanimen
  • Bas betot

Kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.

Angklung Solo

Angklung solo adalah konfigurasi dimana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba[3]

Arumba

Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas: [4]

  • Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
  • Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
  • Gambang bambu melodi
  • Gambang bambu akompanimen
  • Gendang

Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup "Arumba Cirebon" [5].

Teknik Permainan Angklung

Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:

  • Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
  • Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
  • Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabug ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).

Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya mulai berbunyi.

Berlatih Angklung

Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang cukup panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:

  1. Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
  2. Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
  3. Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
  4. Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
  5. Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
  6. Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian permainannya.
  7. Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
  8. Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.


Angklung Interaktif

Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai [6]. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah. Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:

  1. Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada layar.
  2. Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti para peserta.

Ide menggunakan isyarat tangan untuk berlatih angklung ini sudah muncul sejak jaman Pak Daeng Soetigna. Mang Udjo kemudian memperkenalkan isyarat lain yang lebih mudah dipahami, dan mempopulerkannya melalui berbagai pertunjukan.

Modernisasi Angklung

Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian, berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:

  • Angklung elektrik karya Agus Suhardiman [7]
  • Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya [8]
  • Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali. [9][10]
  • Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika [11], kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi. [12]

Sumber rujukan

  • Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
  1. ^ "Yayan Ujo Penemu Angklung Toel". Diakses tanggal 2010-08-22. 
  2. ^ "Klungbot FTI ITB". Diakses tanggal 2010-08-22. 
  3. ^ "Sejarah Aruba". Diakses tanggal 2010-08-22. 
  4. ^ "Arumba". Diakses tanggal 2010-08-22. 
  5. ^ "Riwayat musik angklung Arumba". Diakses tanggal 2010-08-22. 
  6. ^ "Isyarat Angklung Interaktif". Diakses tanggal 2012-12-29. 
  7. ^ "Angklung Elektrik". Diakses tanggal 2012-03-31. 
  8. ^ "Angklung Otomatis". Diakses tanggal 2012-03-31. 
  9. ^ "Angklung+Apple=Tra-Digi". Diakses tanggal 2012-03-31. 
  10. ^ "Tra-Digi". Diakses tanggal 2012-03-31. 
  11. ^ "Klungbot". Diakses tanggal 2012-03-31. 
  12. ^ "Klungbot 2". Diakses tanggal 2012-03-31. 

Pranala luar