Basuki Rahmat

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Basuki Rahmat (4 November 1921 – 8 Januari 1969) was an Indonesian General and a witness to the signing of the Supersemar document transferring power from President Sukarno to General Suharto.

Basuki Rahmat
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 16
Masa jabatan
24 Februari 1966 – 17 Oktober 1967
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Sumarno
Pengganti
Petahana
Sebelum
Masa jabatan
17 Oktober 1967 – 8 Januari 1969
PresidenSoeharto
Pengganti
Amir Machmud
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1923-11-24)24 November 1923
Belanda Tuban, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal9 Januari 1969(1969-01-09) (umur 45)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Awal Kehidupan

Basuki Rahmat was born on 14 November 1921 in Tuban, East Java. His father, Raden Soenodihardjo Sudarsono, was assistant to a local district chief. His mother, Soeratni, died in January 1925 when Basuki was only four years old, ten days after giving birth to another son. When he was seven, Basuki was sent to elementary school. In 1932 his father died, resulting in a temporary halt to Basuki's education. He was sent to live with his father's younger sister and finished his education, graduating from junior high school in 1939 and from the Yogyakarta Muhammadiyah school in 1942, just as the Japanese invasion of Indonesia started.

Karir Militer

In 1943, During the Japanese occupation of Indonesia, Basuki joined the Defenders of the Motherland Army (PETA), an auxiliary force ran by the Japanese to train extra soldiers in the case of a United States invasion of Java. In MAP, Basuki, rose up to become a Company Commander.

With the Proclamation of Independence on 17 August 1945 by Nationalist leaders Sukarno and Mohammad Hatta, Basuki, like many other youths into militias Began to band in preparation for the formation of an Indonesian Army. On 5 October 1945, the People's Security Army (TKR) was formed, with Basuki enlisting with TKR on the same month at the town of Ngawi in his native province of East Java. There he was stationed with KODAM VII / UB (then known as the Military Territory V / UB), the military command charged with the security of East Java.

At this military command, Basuki served as a Battalion Commander at Ngawi (1945-1946), Battalion Commander at Ronggolawe (1946-1950), Regimental Commander stationed at Bojonegoro (1950-1953), Chief of Staff to the Commander of the Military Territory V / UB (1953-1956) and Acting Commander of the Military Territory V / Brawijaya (1956).

In September 1956, Basuki was transferred to Melbourne, Australia to serve as a military attache to the embassy there. Basuki returned to Indonesia in November 1959 and served as Assistant IV / Logistics to Army Chief of Staff Abdul Haris Nasution.

Basuki returned to KODAM VII / UB in 1960, serving as Chief of Staff before finally becoming the Commander in 1962.

Pembunuhan Jenderal

Pada tahun 1965, ada banyak ketegangan politik di Indonesia, khususnya antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI, yang perlahan tapi pasti mendapatkan pijakan dalam politik Indonesia, sekarang sudah siap untuk menjadi partai politik yang paling kuat karena hubungan mereka dengan Presiden Soekarno. Pada bulan September tahun 1965, Basuki tumbuh waspada terhadap kegiatan komunis di Jawa Timur dan pergi ke Jakarta untuk melaporkan pengamatannya kepada Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani. Mereka bertemu pada malam 30 September ketika bertemu dengan Yani Basuki dan melaporkan kejadian di di provinsinya. Yani Basuki memuji tentang laporan tersebut dan ingin dia untuk menemaninya ke pertemuan dengan Presiden keesokan harinya untuk menyampaikan kisahnya kegiatan Komunis.

Keesokan paginya pada tanggal 1 Oktober, Basuki dihubungi oleh Markas Besar Angkatan Darat dan diberitahu tentang penculikan para jenderal, termasuk Yani. Mendengar hal ini, Basuki bersama dengan seorang pembantunya masuk mobil dan mengambil drive di sekitar kota untuk memeriksa apa yang sedang terjadi. Saat ia sedang mengemudi, Basuki melihat pasukannya dari Jawa Timur, Batalyon 530 menjaga Istana Kepresidenan dan bahkan lebih terkejut bahwa mereka tidak memakai identitas apapun. Setelah menyarankan agar mendekati mereka dengan ajudannya, Basuki melaju kembali ke akomodasi di mana ia diberitahu bahwa ia dibutuhkan di Kostrad markas.

Basuki pergi ke markas Kostrad untuk menemukan bahwa Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto telah memutuskan untuk menanggung kepemimpinan Angkatan Darat dan mengambil kendali situasi. Dari Soeharto, Basuki menemukan bahwa sebuah gerakan yang menyebut diri mereka Gerakan September 30 telah menggunakan pasukan untuk menempati titik-titik strategis di Jakarta. Soeharto kemudian mengatakan Basuki bahwa dia perlu dia untuk menegosiasikan pasukan ke menyerah sebelum 6 atau dia akan menggunakan kekuatan. Ini, Basuki disampaikan kepada Batalyon 530 yang memperlakukannya dengan sangat hormat. Basuki berhasil dan oleh 16:00, Batalyon 530 menyerahkan diri ke Kostrad.

Pada siang hari, Gerakan G30S membuat pengumuman Dewan Revolusi. Di antara nama-nama yang tercantum adalah bahwa Basuki. Ini bukan insiden terisolasi karena banyak jenderal anti-Komunis seperti Umar Wirahadikusumah dan Amirmachmud juga terdaftar di dewan ini. Basuki dengan cepat menyangkal janji.

Juga selama hari dan tanpa sepengetahuan Basuki adalah pertemuan yang diselenggarakan di Halim antara Soekarno, Panglima Angkatan Udara Omar Dhani, Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, dan Kapolri Sucipto Judodiharjo untuk menunjuk baru Panglima Angkatan Darat. Meskipun itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra yang akan ditunjuk Panglima Angkatan Darat, nama Basuki sempat dipertimbangkan. Itu cepat diberhentikan oleh Sukarno, yang berkelakar bahwa Basuki akan selalu jatuh sakit saat kesempatan itu membutuhkannya.

Setelah 1 Oktober, semua jari menunjuk kesalahan pada PKI dan seluruh Indonesia, terutama di Jawa, gerakan mulai dibentuk dengan tujuan menghancurkan PKI. Sementara itu, Basuki kembali ke Jawa Timur untuk mengawasi gerakan anti-PKI di sana.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, reli diadakan di Surabaya selama Command Amerika Aksi yang terdiri dari berbagai partai politik dibentuk.

Meskipun ia telah mendorong partai-partai politik untuk bergabung dengan Komando Aksi Serikat, Basuki tidak melakukan pasukannya ke menindak PKI sebagai mudah karena semua komandan lain lakukan. Selama minggu-minggu pertama penumpasan nasional pada PKI, tidak ada yang terjadi di ibukota Jawa Timur Surabaya. Kurangnya komitmen bersama dengan daftar nama Basuki sebagai bagian dari Dewan Revolusi menyebabkan banyak untuk mencurigai bahwa Basuki adalah simpatisan PKI. Ini membutuhkan beberapa memaksa dari staf sebelum Basuki membeku kegiatan pro-PKI di Surabaya dan Jawa Timur

Pada bulan November tahun 1965, Basuki dipindahkan ke Jakarta dan menjadi anggota staf untuk Soeharto sekarang Panglima Angkatan Darat, mengambil posisi Deputi Bidang Keuangan dan Hubungan Sipil. Basuki juga menjadi aktif sebagai anggota Komite Sosial-Politik (Sospol Panitia), Angkatan Darat politik think-tank yang dibentuk Soeharto setelah ia menjadi Komandan

Pada bulan Februari tahun 1966, dalam Reshuffle Kabinet, Basuki diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran.

Supersemar

Pada 11 Maret 1966, Basuki menghadiri rapat kabinet di Istana Presiden, yang pertama sejak Sukarno reshuffle kabinet pada akhir Februari. Pertemuan belum berlangsung lama sebelum Sukarno, setelah menerima catatan dari komandan pengawalnya, tiba-tiba meninggalkan ruangan. Ketika pertemuan itu selesai, Basuki dan Menteri Perindustrian, Mohammad Jusuf, pergi ke luar Place Presiden untuk bergabung Amirmachmud Komandan KODAM V / Jaya. Basuki kemudian diperbaharui pada apa yang telah terjadi dan diberitahu bahwa Soekarno telah meninggalkan untuk Bogor dengan helikopter karena itu tidak aman di Jakarta.

Jusuf menyarankan agar mereka bertiga pergi ke Bogor untuk memberikan dukungan moral bagi Sukarno. Dua jenderal lainnya setuju dan bersama-sama, tiga kiri ke Bogor setelah meminta izin Soeharto. Menurut Amirmachmud, Suharto meminta tiga Jenderal untuk memberitahu Sukarno kesiapan untuk memulihkan keamanan harus Presiden memesannya.

Di Bogor, tiga bertemu dengan Soekarno yang tidak senang dengan keamanan dan dengan desakan Amirmachmud bahwa semuanya aman. Soekarno kemudian mulai mendiskusikan pilihan dengan tiga Jenderal sebelum akhirnya Sukarno kemudian mulai mendiskusikan pilihan dengan Basuki, Jusuf, dan Amirmachmud sebelum akhirnya meminta mereka bagaimana dia bisa mengurus situasi. Basuki dan Jusuf diam, tapi Amirmachmud menyarankan bahwa Sukarno memberi Suharto beberapa kekuatan dan memerintah Indonesia dengan dia sehingga semuanya dapat diamankan. Pertemuan kemudian dibubarkan, Sukarno mulai mempersiapkan Keputusan Presiden.

Itu senja ketika Keputusan yang akan menjadi Supersemar akhirnya siap dan menunggu tanda tangan Sukarno. Sukarno memiliki beberapa keraguan menit terakhir tapi Jusuf, bersama dengan dua jenderal dan lingkaran dalam Sukarno dalam Kabinet yang juga telah membuat perjalanan ke Bogor mendorongnya untuk menandatangani. Soekarno akhirnya menandatangani surat itu. Sebagai keluar paling senior dari tiga Jenderal, Basuki dipercayakan dengan huruf dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada Soeharto. Malam itu, tiga Jenderal segera pergi ke Markas Kostrad dan Basuki menyerahkan surat kepada Soeharto.

Ada kontroversi mengenai peran Basuki di Supersemar. Satu account yang menyatakan bahwa empat jendral telah pergi ke Bogor, makhluk Umum keempat Maraden Panggabean. Akun ini menyatakan bahwa bersama-sama dengan Panggabean, Basuki diadakan Sukarno di titik pistol dan memaksanya untuk menandatangani Supersemar telah disiapkan yang Jusuf telah dibawanya di dalam folder merah muda

Pada 13 Maret, Soekarno memanggil Basuki, Jusuf, dan Amirmachmud. Soekarno marah karena Soeharto telah melarang PKI dan mengatakan tiga jenderal yang Supersemar tidak mengandung instruksi tersebut. Soekarno kemudian memerintahkan agar surat diproduksi untuk memperjelas isi Supersemar tapi tidak pernah datang selain dari salinan yang mantan Duta Besar Kuba, AM Hanafi dikumpulkan.

Orde Baru

Penyerahan Supersemar memberi Soeharto de facto kekuasaan eksekutif dan ia segera mulai membangun Kabinet yang lebih menguntungkan baginya. Basuki menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dimulai dengan Kabinet pertama Suharto pada bulan Maret 1966 menjadi salah satu yang ia beri nama pada Juni 1968 ketika ia resmi Presiden.

Kematian

Basuki meninggal pada Januari 9, 1969 saat masih memegang jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia digantikan oleh Amirmachmud dalam posisi ini.