Basuki Rahmat

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Jenderal TNI (Purn.) Basuki Rahmat, juga dieja Basoeki Rachmat (4 November 1921 – 9 Januari 1969) adalah Jenderal Tentara Nasional Indonesia dan menjadi saksi penandatanganan Supersemar dokumen serah terima kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.

Basuki Rahmat
Basuki Rahmat sebagai Mendagri
Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-16
Masa jabatan
18 Maret 1966 – 9 Januari 1969
(ad-interim sampai 28 Maret 1966)
Presiden
Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi ke-6
Masa jabatan
24 Februari 1966 – 28 Maret 1966
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
M. Sarbini
Pengganti
M. Sarbini
Sebelum
Penjabat Gubernur DKI Jakarta
Masa jabatan
18 Maret 1966 – 28 April 1966
PresidenSoekarno
Informasi pribadi
Lahir(1921-11-04)4 November 1921
Senori, Tuban, Hindia Belanda
Meninggal9 Januari 1969(1969-01-09) (umur 47)
Jakarta, Indonesia
ProfesiTentara
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang
Masa dinas1943 – 1967
Pangkat Jenderal TNI
NRP10050
SatuanInfanteri
Pertempuran/perangRevolusi Nasional Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Awal Kehidupan

sunting

Basuki Rahmat lahir pada tanggal 4 November 1921 di Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban, Keresidenan Rembang. Ayahnya, Raden Soedarsono Soemodihardjo, adalah asisten residen (Wedono) setempat. Ibunya, Soeratni, meninggal pada bulan Januari 1925 ketika Basuki memasuki usia empat tahun, Ketika berusia tujuh tahun, Basuki masuk sekolah dasar. Pada tahun 1932 ayahnya meninggal, sehingga berakibat terhentinya pendidikan Basuki. Dia dikirim untuk tinggal bersama adik ayahnya dan lulus dari SMP pada tahun 1939 serta dari SMA Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1942, ketika Jepang mulai menduduki Indonesia.[1]

Karier militer

sunting
 
Basuki Rahmat

Pada tahun 1943, selama pendudukan Jepang di Indonesia, Basuki bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang didirikan oleh tentara Jepang untuk melatih tentara tambahan dalam menghadapi invasi tentara Amerika Serikat ke Pulau Jawa. Di PETA, Basuki diangkat menjadi Komandan Kompi.

Dengan terjadinya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh para pemimpin Nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta, Basuki, seperti kebanyakan pemuda lain bergabung ke kelompok milisi yang dipersiapkan untuk membentuk tentara Angkatan Darat Indonesia.

Pada tanggal 5 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dan di bulan yang sama Basuki mendaftar menjadi anggota TKR di kota Ngawi di provinsi asalnya Jawa Timur. Di sana ia ditempatkan di KODAM VII / Brawijaya (kemudian dikenal sebagai Wilayah Militer V/Brawijaya), komando militer bertanggung jawab atas keamanan provinsi Jawa Timur.

Dalam penugasan militernya, Basuki pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon di Ngawi (1945–1946), Komandan Batalyon di Ronggolawe (1946–1950), Komandan Resimen di Bojonegoro (1950–1953), Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium V/Brawijaya (1953–1956), dan Panglima Daerah Militer V/Brawijaya (1956).[2]

Pada bulan September 1956, Basuki dipindahkan ke Melbourne, Australia untuk bertugas sebagai atase militer di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Kemudian Basuki kembali lagi ke Indonesia pada bulan November tahun 1959 dan menjabat sebagai Asisten IV / Logistik di bawah Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution.

Basuki kembali ke KODAM VII/Brawijaya pada tahun 1960 dan menjabat sebagai Kepala Staf sebelum akhirnya menjadi Panglima pada tahun 1962.[2]

Pembunuhan Jenderal

sunting

Pada tahun 1965, terjadi banyak ketegangan politik di Indonesia, khususnya antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI, yang perlahan tetapi pasti mendapatkan pijakan dalam politik Indonesia, mereka siap menjadi partai politik yang paling kuat karena hubungan mereka dengan Presiden Soekarno. Pada bulan September tahun 1965, Basuki menjadi semakin waspada terhadap kegiatan PKI di Jawa Timur dan pergi ke Jakarta untuk melaporkan pengamatannya kepada Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani. Mereka bertemu di malam 30 September di mana Basuki melaporkan kepada Yani tentang peningkatan kegiatan PKI di di provinsinya. Yani memuji laporan Basuki tersebut dan mengajaknya untuk menemani Yani ke pertemuan dengan Presiden keesokan harinya untuk melaporkan tentang kegiatan PKI.[3]

Keesokan paginya pada tanggal 1 Oktober, Basuki dihubungi oleh Markas Besar Angkatan Darat dan diberitahu tentang penculikan para jenderal, termasuk Yani. Mendengar hal ini, Basuki bersama dengan seorang pembantunya masuk mobil dan berkendara di sekitar kota untuk memeriksa apa yang sedang terjadi. Saat ia sedang mengemudi, Basuki melihat pasukannya dari Jawa Timur, Batalion 530 menjaga Istana Kepresidenan dan terkejut mendapati bahwa mereka tidak memakai identitas apa pun.[3] Setelah mengamati mereka dari jarak dekat bersama ajudannya, Basuki segera kembali ke penginapannya, dan di sana ia diberitahu bahwa ia dibutuhkan di markas Kostrad.

Basuki pergi ke markas Kostrad dan mendapati bahwa Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto telah memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dan mengendalikan situasi. Dari Soeharto, Basuki mengetahui bahwa sebuah gerakan yang menyebut diri mereka sebagai Gerakan September 30 telah menggunakan pasukan dari Batalion 530 untuk menempati titik-titik strategis di Jakarta. Soeharto kemudian memerintahkan Basuki untuk bernegosiasi dengan pasukan tersebut agar mereka menyerahkan diri sebelum pukul 6.00 atau Soeharto akan menindak pasukan tersebut. Basuki menemui pasukan tersebut dan diperlakukan dengan sangat hormat. Ia menyampaikan ultimatum Soeharto dan berhasil bernegosiasi dengan pasukan Batalion 530 sehingga pada pukul 16:00, Batalion 530 menyerahkan diri ke Kostrad.[3]

Siang harinya, Gerakan G30S membuat pengumuman tentang adanya Dewan Revolusi yang bermaksud melakukan makar. Di antara nama-nama yang disebut-sebut dalam dewan tersebut nama Basuki juga termasuk. Namun Basuki bukan satu-satunya Jendral yang namanya dimasukkan dalam dewan tersebut, karena banyak nama jendral anti-komunis seperti Umar Wirahadikusumah dan Amirmachmud yang juga terdaftar dalam dewan ini. Basuki dengan cepat menyangkal keterlibatannya dalam Dewan Revolusi.

Ternyata selama beberapa hari sebelumnya, tanpa sepengetahuan Basuki, diselenggarakan pertemuan antara Soekarno, Panglima Angkatan Udara Omar Dhani, Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, dan Kapolri Sucipto Judodiharjo di Halim untuk menunjuk Panglima Angkatan Darat yang baru. Meskipun yang kemudian akan ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Darat adalah Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra, namun nama Basuki sempat dipertimbangkan. Namun Soekarno segera menghentikan gagasan penunjukkan Basuki tersebut dengan berkelakar bahwa Basuki biasanya akan jatuh sakit pada saat dibutuhkan.

Setelah 1 Oktober, semua pihak menimpakan kesalahan kepada PKI dan di seluruh Indonesia, terutama di Pulau Jawa, terjadi banyak yang dibentuk dengan tujuan untuk menumpas PKI. Sementara itu, Basuki kembali ke Jawa Timur untuk mengawasi gerakan anti-PKI di sana.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, sebuah pawai besar diselenggarakan di Surabaya di mana Komando Aksi Bersama yang terdiri dari berbagai partai politik dibentuk.

Meskipun Basuki telah mendorong partai-partai politik untuk bergabung dengan Komando Aksi Bersama, Basuki tidak serta merta memerintahkan pasukannya untuk mengganyang PKI sebagaimana komandan-komando yang lain. Selama minggu-minggu pertama penumpasan PKI di seluruh negeri, tidak ada insiden apa pun di ibu kota Jawa Timur, Surabaya. Kurangnya komitmen untuk menumpas PKI ini dan dimasukkannya nama Basuki sebagai anggota Dewan Revolusi menyebabkan banyak orang yang curiga bahwa Basuki adalah simpatisan PKI. Beberapa stafnya harus memaksa Basuki terlebih dahulu sebelum akhirnya ia membekukan kegiatan-kegiatan pro-PKI di Surabaya dan Jawa Timur.[4]

Pada bulan November tahun 1965, Basuki dipindahkan ke Jakarta dan menjadi anggota staf Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat, dan menduduki jabatan sebagai Deputi Bidang Keuangan dan Hubungan Sipil. Basuki juga aktif sebagai anggota Panitia Sosial Politik (Panitia SosPol), sebuah think-tank politik Angkatan Darat yang dibentuk Soeharto setelah ia menjadi Komandan.[5]

Pada bulan Februari tahun 1966, dalam sebuah Reshuffle Kabinet, Basuki diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran.

Supersemar

sunting

Pada tanggal 11 Maret 1966, Basuki menghadiri rapat kabinet yang pertama diadakan setelah Soekarno melakukan reshuffle kabinet di akhir bulan Februari di Istana Presiden. Pertemuan belum lama berlangsung ketika Soekarno tiba-tiba meninggalkan ruangan, setelah menerima catatan dari komandan pengawalnya. Ketika pertemuan itu selesai, Basuki dan Menteri Perindustrian, Mohammad Jusuf, pergi keluar dari Istana Presiden untuk bertemu dengan Amir Machmud, Komandan KODAM V / Jaya. Basuki kemudian diberitahu apa yang telah terjadi dan mendapat informasi bahwa Soekarno telah pergi ke Bogor naik helikopter karena tidak aman di Jakarta.

Jusuf menyarankan agar mereka bertiga pergi ke Bogor untuk memberikan dukungan moral bagi Sukarno. Dua jenderal tersebut setuju dan bersama-sama pergi ke Bogor setelah meminta izin dari Soeharto. Menurut Amir Machmud, Soeharto meminta ketiga jenderal tersebut untuk memberitahu Soekarno mengenai kesiapannya untuk memulihkan keamanan apabila Soekarno memerintahkannya.

Di Bogor, ketiga jendral tersebut bertemu dengan Soekarno yang tidak senang dengan situasi keamanan dan dengan penegasan Amir Machmud bahwa segalanya aman. Soekarno kemudian mulai mendiskusikan pilihan-pilihan yang ada dengan Basuki, Jusuf, dan Amir Machmud sebelum akhirnya bertanya pada mereka bagaimana ia bisa mengendalikan situasi. Basuki dan Jusuf diam, tetapi Amir Machmud menyarankan agar Soekarno memberikan beberapa kewenangan dan bersama-sama memerintah Indonesia sehingga semuanya dapat diamankan. Pertemuan kemudian dibubarkan dan Soekarno mulai mempersiapkan Surat Keputusan Presiden. Waktu pengeluaran Surat Keputusan yang kemudian menjadi Supersemar akhirnya siap dan menunggu tanda tangan dari Soekarno. Soekarno ragu-ragu di detik-detik terakhir tetapi Jusuf dan dua jenderal serta orang-orang terdekat Soekarno dalam Kabinet yang juga telah tiba di Bogor mendorongnya untuk menandatangani. Soekarno akhirnya menandatangani surat itu. Sebagai jendral yang paling senior, Basuki dipercaya untuk membawa surat keputusan tersebut dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada Soeharto. Malam itu, tiga Jenderal segera pergi ke Markas Kostrad dan Basuki menyerahkan surat tersebut kepada Soeharto.

Terdapat kontroversi mengenai peran Basuki dalam peristiwa Supersemar. Ada salah satu versi yang menyatakan bahwa ada empat jenderal yang pergi ke Bogor, di mana jendral yang keempat adalah Maraden Panggabean. Versi ini menyebutkan bahwa Basuki dan Panggabean menodongkan pistol ke Soekarno dan memaksanya untuk menandatangani Supersemar yang telah dipersiapkan dan dibawa oleh Jusuf dalam map berwarna merah muda.[6]

Pada tanggal 13 Maret, Soekarno memanggil Basuki, Jusuf, dan Amir Machmud. Soekarno marah karena Soeharto telah melarang PKI dan menyatakan kepada tiga jendral yang Supersemar tidak memuat perintah semacam itu. Soekarno kemudian memerintahkan agar Surat Keputusan tersebut ditunjukkan padanya untuk memeriksa isi Supersemar, tetapi salinan Surat Keputusan itu tidak pernah diketemukan kecuali salinan yang berada di tangan mantan Duta Besar Kuba, AM Hanafi.

Orde Baru

sunting

Penyerahan Supersemar secara de facto memberi Soeharto kekuasaan eksekutif dan ia segera mulai membentuk Kabinet yang lebih menguntungkan baginya. Basuki menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sejak Kabinet pertama Soeharto pada bulan Maret 1966 hingga ketika Soeharto secara resmi menjadi presiden pada bulan Juni 1968.

Kematian

sunting
 
Makam Basuki Rahmat di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Basuki Rahmat meninggal pada tanggal 9 Januari 1969 ketika masih memegang jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri. Posisinya digantikan oleh Amir Machmud.[1]

Penghargaan

sunting

Setelah ia meninggal Pemda Jakarta mengubah nama Jalan Proklamasi (Depok Timur) yang terhubung ke Jalan Arif Rahman Hakim (Margonda) menjadi Jalan Basuki Rahmat. TV Jakarta dan Depok pernah membuat film pendek mengenai riwayat hidupnya.

Tanda kehormatan

Referensi

sunting
  1. ^ a b Djamaluddin, Dasman (1998). Basoeki Rachmat dan Supersemar. Jakarta: Grasindo. ISBN 979-669-189-2. 
  2. ^ a b Bachtiar, Harsja W. (1998). Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Djambatan. ISBN 979428100X. 
  3. ^ a b c Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 44. ISBN 981-4068-65-9. 
  4. ^ "Report from East Java". Cornell University Library (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2016. 
  5. ^ Vatikiotis, Michael R.J. (2004). "The military and democracy in Indonesia". The Military and Democracy in Asia and the Pacific (PDF) (dalam bahasa Inggris). Australian National University E Press. ISBN 9781920942007. 
  6. ^ "Panggabean Bantah Menodong Bung Karno". Harian Suara Pembaruan. Indonesia Daily News Online. 28 Agustus 2018. Archived from the original on 2012-09-09. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  7. ^ "Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003" (PDF). Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-01-20. 
  8. ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Tahun 1959 - Sekarang" (PDF). www.setneg.go.id. Diakses tanggal 17 Oktober 2024. 
  9. ^ Departemen Dalam Negeri, Indonesia (1976). Mimbar. Indonesia: Departemen Dalam Negeri. hlm. 29.