D. Djajakusuma
Djadoeg Djajakusuma [a] ([dʒaˈdʊʔ dʒajakuˈsuma]; 1 Agustus 1918 – 28 Oktober 1987) adalah pemeran dan sutradara film Indonesia yang pernah bermain dalam film Perempuan Dalam Pasungan pada tahun 1980. Film yang disutradarainya banyak dibintangi oleh para aktris terkenal diera itu seperti Rd Ismail, Bambang Hermanto, Titi Savitri, dan Sulastri. Lahir dari seorang bangsawan dan istrinya di Temanggung, Jawa Tengah, Djajakusuma mulai memahami kesenian pada masa muda dan memilih untuk berkarir dalam dunia teater. Pada masa pendudukan Jepang dari 1943 sampai 1945, ia menjadi penerjemah dan aktor, dan pada masa revolusi nasional yang berlangsung selama empat tahun, ia bekerja pada divisi pendudukan militer, beberapa agen berita, dan dalam drama.
Djadoeg Djajakusuma | |
---|---|
Lahir | Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda | 1 Agustus 1918
Meninggal | 28 Oktober 1987 Jakarta, Indonesia | (umur 69)
Sebab meninggal | Stroke |
Makam | TPU Karet Bivak |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Sutradara, produser, kritikus budaya |
Tahun aktif | 1952–87 |
Pada 1951, Djajakusuma bergabung dengan Perusahaan Film Nasional (Perfini) atas ajakan Usmar Ismail. Setelah melakukan debut penyutradaraannya dengan Embun, Djajakusuma meluncurkan sebelas film lainnya dengan perusahaan tersebut sebelum meninggalkan perusahaan tersebut pada 1964. Ia kemudian kembali ke teater tradisional khas Indonesia, termasuk wayang.
Setelah beberapa dekade kesehatannya menurun dan mengalami tekanan darah tinggi, Djajakusuma pingsan pada saat mengikuti sebuah upacara dan wafat. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak.
Djajakusuma terinspirasi dari pandangan realis Usmar Ismail, meskipun ia lebih berfokus pada aspek kehidupan tradisional.
Ia dikenang karena telah merevitalisasikan bentuk teatrikal Betawi yang bernama lenong dan mendapatkan sejumlah penghargaan untuk film yang telah ia buat
Biografi
Kehidupan awal
Djajakusuma lahir pada 1 Agustus 1918 di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda,[1] dari seorang ayah priyayi, Raden Mas Aryo Djojokoesomo, dan istrinya Kasimah. Djajakusuma adalah anak kelima dari enam bersaudara, mereka hidup tercukupi dari gaji Djojokoesomo sebagai pimpinan pemerintahan.[2] Ketika masa muda, ia senang menonton pertunjukan panggung, seperti pagelaran wayang dan tarian tradisional yang bernama tayuban;[3] pada beberapa waktu, ia sering meninggalkan rumahnya setelah waktu tidur untuk menonton pertunjukan. Dengan teman-temannya, ia suka menceritakan cerita sebelum tidur yang diceritakan oleh ibunya.[4] Ketika pengaruh film-film Hollywood mulai meluas, ia sering menonton film-film Barat dan karya-karya yang dibintangi oleh Charlie Chaplin.[5]
Ia menyelesaikan pendidikannya di Semarang, Jawa Tengah,[6] lulus dari program ilmu pengetahuan alam di sekolah menengah keatas disana pada 1941.[5] Meskipun keluarganya berharap agar ia menjadi karyawan pemerintahan seperti ayahnya, Djajakusuma lebih tertarik pada seni pertunjukan.[4] Ia kembali ke kambung halamannya pada beberapa waktu sebelum menyadari bahwa ia hanya memiliki kesempatan kecil di Parakan. Setelah itu, pada awal 1943 – setahun setelah Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang – Djajakusuma pindah ke pusat politik koloni tersebut, Jakarta, untuk mencari pekerjaan.[7]
Djajakusuma menjadi karyawan di Pusat Kebudayaan[b] sebagai seorang penerjemah dan aktor dibawah pengarahan Armijn Pane.[8] Ketika bekerja, ia menerjemahkan beberapa karya buatan pembuat drama Swedia August Strindberg dan pembuat drama Norwegia Henrik Ibsen,[c][9] serta sejarah Jepang dan beberapa permainan panggung kabuki.[7] Sementara itu, saat ia bersama dengan Pusat Kebudayaan, Djajakusuma menulis beberapa sandiwara panggung miliknya.[10] Di waktu luang, Djajakusuma membantu mendirikan perusahaan teater amatir Maya, bersama dengan beberapa artis seperti HB Jassin, Rosihan Anwar, dan Usmar Ismail. Kelompok pertunjukan tersebut, yang dibentuk dalam merespon keinginan untuk kebebasan artistik yang lebih besar, mempertunjukan terjemahan dari karya-karya Eropa dan karya-karya asli dari Ismail dan El Hakim.[d] Demi mempromosikan rasa nasionalisme terhadap Indonesia sementara tetap menyesuaikan dengan peraturan dari biro penyensoran Jepang beberapa permainan Maya tidak secara eksplisit mempromosikan Jepang, melainkan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Karya-karya tersebut ertemakan dukungan terhadap gerakan nasionalis Indonesia, meskipun, masih secara tersirat. Bersama dengan Maya, Djajakusuma melakukan perjalanan dari desa ke desa untuk mengadakan pertunjukan.[11]
Revolusi Nasional Indonesia
Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Saat mengetahui bahwa pemerintah kolonial Belanda akan kembali, Djajakusuma dan Ismail membantu pendirian Seniman Merdeka sebagai bentuk perlawanan. Kelompok tersebut mengunjungi berbagai kota, menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sementara melakukan pertunjukan dari truk terbuka. Setelah kedatangan NICA, kelompok tersebu terkadang mencoba untuk memata-matai orang Eropa atau menyembunyikan informasi yang dianggap telah digunakan oleh pasukan Belanda yang telah datang. Dikarenakan pekerjaannya berbahaya, Djajakusuma mulai membawa-bawa sebuah pistol, dan pergi ke Banten untuk meminta kepada kyai agar ia memiliki kemampuan kebal peluru.[12]
Pada awal 1946, ketika pasukan kolonial Belanda menguasai Jakarta, Djajakusuma mengungsi ke ibukota negara yang baru di Yogyakarta.[13] Disana, ia menghabiskan waktu dengan kantor berita nasional Antara[14] sebelum bergabung dalam divisi pendidikan militer yang membuatnya mendapatkan pangkat kapten.[15] Pada bidang militer, Djajakusuma menyunting mingguan Tentara; ia juga berkontribusi pada artikel-artikel majalah kebudayaan Arena milik Ismail.[16]
Djajakusuma diminta oleh Kementerian Informasi pada 1947 untuk mengajar di sebuah sekolah seni pertunjukan, Stichting Hiburan Mataram.[17] Ketika di Mataram, ia dan Ismail berkenalan dengan pembuat film Andjar Asmara, Huyung, dan Sutarto; keduanya belajar dibawah pengajaran ketiganya. Sementara itu, Djajakusuma ditugaskan untuk menyensor penyiaran radio di wilayah yang masih dipertahankan oleh Republik, tugas tersebut ia lakukan sampai Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Djajakusuma melarikan diri dari kota tersebut, kemudian ia bertemu dengan pasukan Republik. Dengan menggunakan radio tua dan sepeda bertenaga generator, Djajakusuma menyimak siaran berita internasional dan menuliskanyya;[18] informasi dari siaran tersebut kemudian dicetak pada surat kabar bawah tanah.[19]
Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, Djajakusuma melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis Patriot (yang kemudian berganti nama menjadi Tentara) dan majalah Kebudajaan Nusantara;[6] Mataram kembali dibuka, dan Djajakusuma mulai mengajar kembali selain mengurusi bioskop Soboharsono dan menulis beberapa drama panggung.[20] Sementara itu, Ismail, kembali ke Jakarta dan mendirikan Perusahaan Film Nasional atau Perfini;[21] produksi pertamanya, Darah dan Doa, yang menceritakan dengan versi fiksi dari perjalanan Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada 1948, yang disutradarai oleh Ismail dan diluncurkan pada 1950.[22]
Karir dengan Perfini
Saat mempersiapkan film kedua-nya, Enam Djam di Jogja, Ismail disuruh Djajakusuma ke Jakarta. Pada film tersebut, Djajakusuma membantu Ismail mengadaptasi Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai latarnya. Produksinya secara keseluruhan hanya menghabiskan biaya yang rendah; Djajakusuma kemudian menyatakan bahwa kamera mereka diisi dengan baterai mobil.[23] Meskipun mendapatkan kesulitan, Djajakusuma bersikap santai setelah film tersebut terselesaikan, menyelesaikan karya lainnya untuk Perfini, Dosa Tak Berampun, pada tahun berikutnya. Ismail bertugas sebagai sutradara pada film tersebut, sengenai seorang pria yang meninggalkan keluarganya setelah ia terpaku oleh senyuman seorang pelayan.[24]
Sementara Ismail, yang masih menjadi kepala Perfini, sedang menjalani studi sinematografi di Sekolah Teater, Film dan Televisi di Universitas California, Los Angeles, Djajakusuma mulai menjalankan peran besar pada Perfini. Ia membuat debut penyutradaraannya di tahun 1952 pada film Embun, yang menceritakan guncangan psikologi saat bertatapan dengan para prajurit yang mengunjungi desa mereka setelah revolusi.[25] Pengambilan gambar pada film tersebut dilakukan di Wonosari, pada waktu di tengah kekeringan, untuk memberikan metafora visual pada jiwa-jiwa para prajurit yang tandus.[26] Karena penggambarannya takhayul tradisional, film tersebut ini memiliki masalah dengan biro sensor dan kritikus; takhayul dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi pada negara baru.[27] Peluncuran Embun membuat Djajakusuma menjadi salah satu dari empat sutradara yang berkarya dengan Perfini; yang lainnya adalah Ismail, Nya Abas Akup, dan Wahyu Sihombing.[28]
Produksi Djajakusuma berikutnya, Terimalah Laguku (1952), adalah sebuah musikal tertang seorang musisi tua yang miskin yang menjual saksofonnya untuk membantu karir mantan muridnya.[29] Meskipun kualitas teknikal film tersebut rendah, ketika ia kembali ke Indonesia pada 1953 Ismail menyenangi pekerjaan tersebut, menyatakan bahwa proses penyuntingannya dilakukan dengan baik. Pada tahun berikutnya, Ismail menyampaikan informasi yang ia dapatkan di UCLA kepada staf Perfini; setelah itu, Djajakusuma mempelajarinya dengan cermat.[30] Dilanjutkan dengan Harimau Tjampa pada 1953, sebuah film mengenai seorang pria yang dendam terhadap pembunuh ayahnya. Dengan berlatar belakang budaya Minang,[31] film tersebut memperlihatkan keterbukaan pertama pada produksi domestik[32] dan mendapatkan tanggapan yang bagus.[30]
Pada 1954, Djajakusuma menyutradarai dua film komedi yakni Putri dari Medan dan Mertua Sinting. Film yang pertama adalah film mengenai tiga pemuda yang memutuskan untuk tidak akan menikah, namun keputusan mereka goyah setelah setelah bertemu dengan beberapa wanita dari Medan,[33] sementara yang kedua menceritakan tentang seorang pria yang menolak pilihan pasangan dari putranya karena bukan keturunan bangsawan, yang ternyata tidak mengetahui bahwa ia memilih wanita yang sama dengan istri putranya.[34] Pada tahun berikutnya, Djajakusuma membantu pendirian Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI.[4] Satu-satunya film buatannya pada tahun tersebut, sebuah drama yang berjudul Arni, menceritakan tentang seorang pria yang menikahi wanita lainnya sementara istrinya yang sakit pergi ke Padang, Sumatra untuk menjalani pengobatan.[35]
Djajakusuma belajar sinematografi di Amerika Serikat, pertama di Universitas Washington di Seattle, kemudian di Sekolah Seni Sinematik Universitas California Selatan, dari 1956 sampai 1957.[4] Ketika ia kembali ke Indonesia, ia bekerja dengan Ismail dan seorang karyawan Perfini yang bernama Asrul Sani untuk mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia, dengan mengenalkan realisme; tokoh drama Indonesia Putu Wijaya menyatakan bahwa realisme yang diperkenalkan oleh Akademi tersebut lebih berunsur Indonesia ketimbang Barat,[36] walaupun Djajakusuma mendapatkan inspirasi dari gerakan neorealis Italia.[37] Djajakusuma menjadi pengajar di akademi tersebut sampai 1970, dan para muridnya mengenalnya sebagai orang yang humoris dan gampang untuk didekati.[38]
Ketika pulang ke Indonesia, Djajakusuma mulai membuat sebuah karya yang berjudul Tjambuk Api, yang mengkritik korupsi di Indonesia
Ia kemudian menyutradarai drama Pak Prawiro, yang disponsori oleh Bank Tabungan Pos
Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi Kalkuta, Madras, dan New Delhi; ia berharap agar kunjungan tersebut dapat menginspirasikannya dalam memfilmkan cerita-cerita tradisional asal Indonesia.[39]
Pada 1960, Djajakusuma meluncurkan film pertamanya yang berdasarkan pada cerita pewayangan tradisional, Lahirnja Gatotkatja;[40] sebuah pertunjukan boneka tradisional yang ia tonton semasa kecil, dengan karakter utama yang bernama Gatotkaca.[41] Pengambilan gambar pada film tersebut dilakukan di Yogyakarta dengan pemeran utama dari Jakarta dan pemeran lokal sebagai pemain latar belakang.[42] Namun, film tersebut menuai kontroversi: dalang dan golongan lainnya dalam berhubungan dengan wayang berpendapat bahwa sutradara tersebut menghiraukan banyak aspek tradisional pada cerita pewayangan.[43] Pada tahun tersebut, Djajakusuma juga bertugas sebagai manajer produksi untuk Pedjuang karya Ismail[43] dan menyutradarai Mak Tjomblang, sebuah film komedi yang diadaptasi dari drama Pernikahan dari tahun 1842 buatan Nikolai Gogol.[44]
Djajakusuma meluncurkan komedi lainnya, Masa Topan dan Badai, pada 1963; film tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga dinamis yang didalamnya terdapat ayah yang konservatif, ibu yang liberal, dan dua putri mereka yang telah remaja yang berada dalam pergolakan pada masa remaja.[45] Pada tahun berikutnya, Djajakusuma menyutradarai film terakhirnya dengan Perfini, Rimba Bergema, yang mempromosikan industri karet negara.[46] Pada tahun tersebut, ia membantu mendirikan Persatuan Karyawan Film dan TV,[4] sebuah respon dari Liga Film Indonesia yang didukung oleh Lekra.[47] Seperti halnya Ismail dan sebagian besar karyawan Perfini, Djajakusuma sangat menentang Lekra yang berafiliasi dengan komunis; kelompok kebudayaan ini juga memusuhi orang-orang yang berafiliasi dengan Perfini.[48]
Karir selanjutnya
Setelah akhir masanya dengan Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional. Ia menyempatkan sebagian besar waktu untuk mempromosikan wayang. Pada 1967, ia membentuk Festival Wayang Nasional,[14] yang tak lama kemudian bubar karena kekurangan dana.[49] Pada 1967, ia menyutradarai sebuah film yang terinspirasi dari wayang berjudul Bimo Kroda pada Pantja Murti Film,[50] yang menggunakan penggambaran Pandawa – orang-orang bersaudara dalam epik Hindu Mahābhārata – untuk mewakili penculikan dan serangkaian pembunuhan lima jenderal tentara saat Gerakan 30 September pada 1965.[31] Keterlibatan Djajakusuma dengan wayang berlanjut sampai awal 1970an; ia mengatur dua Wayang Mingguan, pada 1970 dan 1974, serta festival wayang nasional pada 1977.[14] Lebih lanjut, ia mendirikan dua kelompok wayang orang, Jaya Budaya (1971) dan Bharata (1973), dengan harapan agar kebudayaan tersebut tetap bertahan dari arus modernisasi.[51]
Djajakusuma membantu mempromosikan jenis-jenis kesenian seperti lenong dari suku Betawi dan ludruk dari suku Jawa selama beberapa tahun.[52] Secara khusus, ia memutuskan untuk merevitalisasikan lenong.[e] Pada permulaan 1968, Djajakusuma tampil di televisi sebagai seorang advokat lenong, yang biasanya hanya terhadap di pedesaan dan terancam punah. Ia kemudian mengajarkan pengetahuan populer tentang kesenian serta memberi upah kepada pemain pertunjukan tersebut.[53] Pada 1970an, lenong ditampilkan di Taman Ismail Marzuki untuk memukaukan para penonton,[54] dan beberapa pemain lenong mendapatkan pengakuan utama pada industri film.[55]
Djajakusuma juga mempromosikan aktifitas kebudayaan non-tradisional yang modern dan luar negeri. Pada 1968, ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta, posisi tersebut ia pegang sampai 1977,[4] dan pada 1970, ia mengadakan festival musik keroncong.[56] Berawal dari pendirian sebuah sekolah pada 1970, ia menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kemudian Institut Kesenian Jakarta atau IKJ sebagai pengajar sinematografi. Demi lebih mendalami dunia teater, pada 1977, ia pergi ke Jepang dan Tiongkok untuk mempelajari tradisi mereka.[57] Ia kemudian mengenalkan para muridnya berbagai pertunjukan panggung, yang meliputi noh yang diadaptasi dari Jepang dan opera Tiongkok;[58] beberapa diantaranya ditampilkan di Taman Ismail Marzuki.[6] Pada 1970an, Djajakusuma memegang berbagai posisi dalam organisasi-organisasi film, meliputi anggota Dewan Film (1974–76), anggota Badan Pengawas Penyiaran Radio dan TV (1976), dan anggota Biro Pengembangan Film Nasional (1977–78).[59]
Namun, produktifitas Djajakusuma dalam industri film menurun. Pada 1971, ia menyutradarai film terakhir-nya yakni Api di Bukit Menoreh dan Malin Kundang (Anak Durhaka). Film yang pertama, diluncurkan oleh Penas Film Studio dan berdasarkan pada sebuah novel karya Singgih Hadi Mintardja, menceritakan parap prajurit dari Kerajaan Pajang dalam pertempuran mereka melawan para prajurit dari kerajaan Jipang.[60] Film yang kedua adalah sebuah adaptasi dari legenda Melayu dengan nama yang sama.[4] Dibintangi oleh Rano Karno dan Putu Wijaya sebagai karakter utama, film tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang lupa daratan setelah menghabiskan masa kecilnya di lautan. [61] Pada tahun 1977, perannya dalam membantu pembuatan sebuah film komedi karya Fritz G. Schadt yang berjudul Bang Kojak (1977) merupakan peran terakhirnya sebagai pembuat film.[43]
Tahun-tahun terakhir dan kematian
Pada 1977, Djajakusuma bertugas menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI).[f] Ketika ia sedang membacakan keputusan, ia pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit, sementara Rosihan Anwar menyelesaikan pembacaannya.[62] Tetangga Djajakusuma dan kolaborator akrab Taufiq Ismail mengatakan kepada wartawan bahwa kejadian tersebut bukanlah kali pertama kondisi Djajakusuma menurun.[63] Kesehatan Djajakusuma semakin menurun secara berkelanjutan pada tahun-tahun terakhirnya,[64] dikarenakan tekanan darah tinggi.[14]
Meskipun kesehatannya mulai menurun, Djajakusuma tetap aktif dalam bidang kesenian. Pada 1980, ia mengadakan penampilan film terakhir-nya, dan satu-satunya peran pada layar lebar, dengan berakting dalam Perempuan dalam Pasungan karya Ismail Soebardjo.[65] Ia dan Sofia WD berperan sebagai orangtua yang menahan putri mereka pada sebuah pasung untuk menghukumnya karena tidak patuh;[66] dalam sebuah wawancara dengan Suara Karya, Soebardjo menyatakan bahwa, pada waktu ia menuliskan film tersebut, ia hanya menempatkan Djajakusuma sebagai pemeran.[67] Perempuan dalam Pasungan memenangkan Penghargaan FFI untuk Film Bioskop Terbaik pada Festival Film Indonesia 1981,[38] dan Djajakusuma berniat ingin membintangi film-film lainnya, namun, tidak pernah terealisasikan.[49] Pada 1983 Djajakusuma menjabat sebagai kepala Fakultas Kesenian di IKJ,[68] dan pada 1984, ia dapat ke Festival Tiga Benua di Nantes, Perancis, dimana dua filmnya diputar untuk dinilai.[31]
Pada awal 1987, Djajakusuma didiagnosa telah mengidap serangan jantung oleh dokternya, yang membuat Djajakusuma mulai melakukan diet dan berhenti merokok.[14] Ia masih sangat dihormati dengan kalangan perfilman Indonesia, namun tidak senang dengan kondisi industri film pada negara tersebut, yang ia anggap telah diambang kehancuran. Ia menyalahkan imperialisme budaya Amerika, dalam artian sebagian besar menyukai penayangan film-film asing, khususnya yang berasal dari Hollywood, dan para pemuda Indonesia tidak lagi menciptakan identitasi tersendiri dari Indonesia.[69]
Djajakusuma pingsan pada 28 Oktober 1987 saat memberikan pidato pada upacara peringatan Sumpah Pemuda di IKJ. Setelah dibawa ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10:05 waktu setempat (UTC+7). Ia dikuburkan di TPU Karet Bivak pada sore hari, setelah upacara pemakaman di IKJ yang dipimpin oleh penulis Sutan Takdir Alisjahbana dan disembahyangkan di Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail.[70] Diantara para pelayat yang datang, hadir pula mantan Menteri Informasi Boediardjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, dan Deputi Gubernur Jakarta Anwar Umar.[64]
Djajakusuma tidak pernah menikah, namun meninggalkan beberapa keponakan dan sepupu yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.[71] Setelah kematiannya, surat kabar di Jakarta mengumumkan berita kematiannya melalui laporan para tokoh kebudayaan dan film seperti Alisjahbana, produser Misbach Yusa Biran, dan kameramen Perfini Soemardjono. Berita kematian tersebut juga berisi tentang peran Djajakusuma dalam pengembangan industri film Indonesian dan pelestarian kebudayaan tradisional. Dalam sebuah upacara peringatan hari kematian Djajakusuma yang kelima, seluruh dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ.[72]
Gaya
Seperti halnya Usmar Ismail, Djajakusuma dipengaruhi oleh realisme. Namun, sementara Ismail lebih berfokus pada tema yang tingkatannya nasional, Djajakusuma dapat dikatakan lebih sederhana, yang secara lokal alur ceritanya relevan dengan pesan mendidik.[31] Realisme ini dimasukkan ke dalam adegan pewayangan karya Djajakusuma. Latar panggungnya, yang terlihat tradisional, dibuat dalam bentuk set tiga dimensi, termasuk tiruan pohon, batu, dan air.[73] Menurut Soemardjono, yang sering menyunting film-film Djajakusuma, sutradara tersebut menikmati percobaan dengan teknik baru
Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,[21]
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan
- ^ Setiawan 2009, National Film Month; Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma
- ^ Hoerip 1995, hlm. 104.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 2–3.
- ^ a b c d e f g Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma.
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 4.
- ^ a b c JCG, Djaduk Djajakusuma.
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 8.
- ^ JCG, Djaduk Djajakusuma; Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma
- ^ Biran 2009, hlm. 331.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 10.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 9–10.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 17–19.
- ^ Biran 2009, hlm. 354.
- ^ a b c d e Suara Karya 1987, D.Djajakusuma.
- ^ Said 1982, hlm. 139.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 20–21.
- ^ Biran 2009, hlm. 356.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 22–24.
- ^ Kompas 1993, Pekan Film Djajakusuma.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 24.
- ^ a b Setiawan 2009, National Film Month.
- ^ Said 1982, hlm. 51.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 27.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 36; Said 1982, hlm. 54; Filmindonesia.or.id, Filmografi
- ^ JCG, Djaduk Djajakusuma; Said 1982, hlm. 55
- ^ Hoerip 1995, hlm. 28.
- ^ Said 1982, hlm. 55.
- ^ Anwar 2004, hlm. 84.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 39–40.
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 29.
- ^ a b c d Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma.
- ^ Imanjaya 2006, hlm. 107–108.
- ^ Filmindonesia.or.id, Putri dari Medan.
- ^ Filmindonesia.or.id, Mertua Sinting.
- ^ Filmindonesia.or.id, Arni.
- ^ National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Putu Wijaya.
- ^ Biran 2009, hlm. 334.
- ^ a b Hoerip 1995, hlm. 31.
- ^ Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang; Hoerip 1995, hlm. 106
- ^ Suara Karya 1987, D.Djajakusuma; Filmindonesia.or.id, Filmografi
- ^ Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang.
- ^ Nasional 1960, (Untitled).
- ^ a b c Hoerip 1995, hlm. 30.
- ^ Filmindonesia.or.id, Mak Tjomblang.
- ^ Filmindonesia.or.id, Masa Topan dan Badai.
- ^ Filmindonesia.or.id, Rimba Bergema.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 58.
- ^ Said 1982, hlm. 65–68.
- ^ a b Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 47.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 32, 106.
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Kadarjono 1970, hlm. 25
- ^ Hoerip 1995, hlm. 69–71.
- ^ Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma; Hoerip 1995, hlm. 71
- ^ Loven 2008, hlm. 78–79.
- ^ Dharyono 1987, Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 69.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 32.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 106–107.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 49–50.
- ^ Hoerip 1995, hlm. 52–53.
- ^ Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma.
- ^ National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Taufiq Ismail.
- ^ a b Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma.
- ^ Filmindonesia.or.id, Filmografi; Filmindonesia.or.id, Perempuan dalam Pasungan
- ^ Hoerip 1995, hlm. 55.
- ^ Iskandar 1983, Sebagia Besar Hidupnya.
- ^ Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma; Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma
- ^ Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia; Hoerip 1995, hlm. 59
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Suara Karya 1987, D.Djajakusuma
- ^ Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma; Suara Karya 1987, D.Djajakusuma
- ^ Hoerip 1995, hlm. 80–84.
- ^ Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus.