Pemerintahan Nasional Direorganisasi Republik Tiongkok

Pemerintahan Reorganisasi Nasional adalah nama pemerintahan korlaborator yang didirikan di Tiongkok dari tahun 1940-1945.[2] Pemerintahan dan negara ini dipimpin oleh mantan anggota Kuomintang (KMT) Wang Jingwei.

Republik Tiongkok

中華民國
Zhōnghuá Mínguó
Chūka Minkoku
1940–1945
Bendera Tiongkok
Bendera
Semboyan和平反共建國
"Perdamaian, Anti-komunisme, Pembangunan Nasional"
Hujau gelap: Republik Tiongkok-Najing di tahun 1939. Hijau terang: Mengjiang (dimasukkan sebagai wiayah pada tahun 1940).
Hujau gelap: Republik Tiongkok-Najing di tahun 1939.
Hijau terang: Mengjiang (dimasukkan sebagai wiayah pada tahun 1940).
StatusNegara boneka Jepang
Ibu kotaNanking
Bahasa yang umum digunakanTionghoa
Jepang
PemerintahanRepublik
Presiden 
• 1940–1944
Wang Jingwei
• 1944–1945
Chen Gongbo
Wakil Presiden 
• 1940–1945
Zhou Fohai
Era SejarahPerang Dunia II
• Didirikan
30 Maret 1940
• Dibubarkan
10 Augustus 1945
Kode ISO 3166CN
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pemerintahan Reformasi Republik Tiongkok
Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok
Mengjiang
Republick Tiongkok (1912-1949)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Wang Jingwei adalah pemimpin sayap kiri dari faksi Kuomintang yang dinamakan Kaum Reorganisasi. Kelompok ini sering bertentangan dengan Chiang Kai-shek. Setelah jatuhnya ibu kota Nanjing ke tangan tentara Jepang, pemerintahan Nasionalis terpaksa melarikan diri ke Chongqing. Pada tanggal 30 Maret 1940, pembelot-pembelot yang berada di bawah pengawasan tentara Jepang membentuk pemerintah kolaborator dan diklaim sebagai perwakilan yang sah dari Republik Tiongkok. Pemerintah Reorganisasi Nasional dibentuk dari pemerintahan korlaborator sebelumnya yang ada di Tiongkok utara dan tengah, yaitu Pemerintahan Reformasi Republik Tiongkok yang berbasis di Tiongkok timur, Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok di Tiongkok utara, dan pemerintah Mengjiang yang ada di Mongolia Dalam, meskipun dalam kenyataannya Tiongkok Utara dan Mongolia Dalam relatif bebas dari pengaruh PRN. Meskipun menggunakan simbol-nama dan simbol negara yang sama dengan Pemerintahan Nasionalis di Chongqing, namun pemerintah ini hanya mendapat pengakuan internasional oleh negara pentandatangan Pakta Anti-Komintern, sedangkan Pemerintahan Nasionalis terus diakui oleh seluruh dunia sebagai satu-satunya wakil RT yang sah.

Republik Tiongkok yang dipimpin Pemerintahan Reorganisasi Nasional secara efektif adalah salah satu dari beberapa negara boneka dibawah kendali Jepang selama Perang Sino-Jepang Kedua (1937-1945), dan PRN dimaksudkan untuk menyaingi legitimasi Pemerintah Nasionalis. Pemerintahan Regorganisasi Nasional menyatakan perang terhadap Sekutu pada tanggal 9 Januari 1943. Pada akhirnya, negara ini dan pemerintahannya dibubarkan menyusul kekalahan militer Jepang di akhir perang pada Agustus 1945.

Etimologi

Rezim ini juga secara tak resmi dikenal sebagai Pemerintahan Nasionalis Nanjing (Hanzi: ; Pinyin: Nánjīng Guó Mín Zhèng), Rezim Nanjing, atau dinamakan sesuai nama pemimpinnya Rezim Wang Jingwei (Hanzi: ; Pinyin: Wāng Jīngwèi Zhèngquán). Nama lain yang digunakan adalah Republik Tiongkok-Nanjing, Tiongkok-Nanjing, atau Tiongkok Baru.

Batas-batas politik

Secara teori, Pemerintahan Reorganisasi menguasai seluruh wilayah Tiongkok dengan pengecualian Manchukuo, yang diakui sebagai negara merdeka. Pada kenyataannya, Pemerintahan Reorganisasi hanya menguasai Jiangsu, Anhui, dan sektor utara Zhejiang, dimana semuanya awalnya menjadi wilayah yang dikuasai Jepang setelah 1937.

Oleh karena itu, batas-batas sebenarnya Pemerintah Reorganisasi berubah jika Jepang menguasai wilayah baru dalam perang. Selama serangan Jepang pada Desember 1941, Pemerintah Reorganisasi meluaskan kekuasaanya atas Hunan, Hubei, dan bagian provinsi Jiangxi. Pelabuhan Shanghai dan kota-kota Hankou dan Wuchang juga di bawah kendali Pemerintahan Reorganisasi setelah 1940.

Provinsi yang dikendalikan oleh Jepang seperti Shandong dan Hebei, secara teoritis adalah bagian dari PRN, meskipun sebenarnya daerah ini dikuasai oleh Komandan Front Utara Jepang yang berada dibawah pemerintah Jepang yang dikendalikan secara terpisah dan berpusat di Beijing. Seperti Front Utara, sektor selatan memiliki komandan militer dan pemerintahan dari Jepang sendiri yang berpusat di Guangzhou. Setiap front bertindak sebagai unit militer sendiri, dengan administrasi politik dan ekonomi sendiri, juga serta komandan militer Jepang sendiri.

  • Jiangsu: 41,818 mi² (108,308 km²); ibukota: Zhenjiang
  • Anhui: 51,888 mi² (134,389 km²); ibukota: Anqing (juga termasuk ibukota negara Nanjing)
  • Zhejiang: 39,780 mi² (103,030 km²); ibukota: Hangzhou

Menurut sumber lain, jumlah ekspansi wilayah PRN selama periode 1940-an adalah 1,264,000 km².

Selama perang, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang melakukan berbagai kekejaman di wilayah yang dikendalikan oleh Pemerintah Reorganisasi, seperti operasi "pembersihan" untuk menakut-nakuti rakyat. Jenderal Toshizō Nishio, Panglima Pasukan Ekspedisi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di daratan Tiongkok, kemudian digantikan oleh Jenderal Yasuji Okamura. Pada tanggal 9 September 1945, menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Jepang di daerah ini menyerah kepada Jenderal Dia Yingqin dari tentara Chiang Kai-shek, Tentara Revolusioner Nasional.

Pemerintah, ekonomi, pendidikan dan kehidupan sehari-hari

 
Wang Jingwei adalah kepala Pemerintaha Reorganisasi Nasional

Administrasi politik dan pemerintah

Struktur administrasi Pemerintah Reorganisasi meliputi Legislatif Yuan dan Eksekutif Yuan. Keduanya berada dibawah presiden dan kepala negara Wang Jingwei. Namun, kekuatan politik yang nyata tetap berada ditangan Panglima Tentara Jepang Front Tiongkok Tengah dan lembaga politik Jepang yang dibentuk oleh penasihat Jepang. Jepang juga mendirikan berbagai partai dan gerakan nasionalis lokal untuk mendukung keinginan mereka.

Setelah memperoleh persetujuan Jepang untuk membentuk pemerintahan nasional, Wang Jingwei memerintahkan Kongres Perwakilan Kuomintang Keenam untuk mendirikan pemerintahan ini di Nanjing. Dedikasi terjadi di Ruang Konferensi, dan dua bendera yaitu bendera nasional "biru-langit putih-matahari merah-bumi" dan bendera "biru-langit putih-matahari" Partai Nasionalis diperkenalkan, mengapit potret besar Sun Yat-Sen.

Pada hari pemerintahan baru dibentuk, dan sebelum sidang "Konferensi Politik Pusat" dimulai, Wang mengunjungi makam Sun di Gunung Biru Nanjing dalam upaya untuk membangun legitimasi kekuasaannya sebagai pengganti Sun. Wang telah menjadi pejabat tingkat tinggi Pemerintah Nasionalis dan sebagai orang yang percaya pada Sun, ia mentranskrip wasiat terakhir Sun, yaitu Perjanjian Zongli. Agar mendiskreditkan legitimasi pemerintah Chongqing, Wang mengadopsi bendera Sun dengan harapan bahwa hal ini dapat membuatnya sebagai penerus sah Sun dan membawa pemerintah kembali ke Nanjing.

Pemerintahan Nanjing dan Tiongkok Utara

 
Daerah kekusaan invasi tentara Jepang

Pemerintah Beijing (Administrasi Otonomi Anti-Komunis Yi) berada di bawah panglima Front Jepang Tiongkok Utara sampai daerah Sungai Kuning jatuh dalam lingkup pengaruh Front Tiongkok Tengah. Selama periode yang sama, daerah tengah Zhejiang hingga Kanton dikuasai oleh Fron Tiongkok Selatan. Terdapat juga wilayah-wilayah kecil, dimana sebagian besar wilayah ini independen serta memiliki mata uang dan pemimpin lokalnya sendiri. Wilayah-wilayah kecil ini sering bertentangan.

Wang Jingwei pergi ke Tokyo pada tahun 1941 untuk pertemuan dengan pengawas Jepangnya. Di Tokyo, Menteri Pemerintahan Nanjing dan Wakil Presiden Chou Fo-hai berkomentar kepada Asahi Shimbun bahwa pembentukan Jepang hanya membuat sedikit kemajuan di daerah Nanjing. Pernyataanya ini menimbulkan kemarahan dari Kumataro Honda, Duta Besar Jepang dan Konsulat di Nanjing. Chou Fo-hai mengajukan petisi untuk kontrol total provinsi sentral China oleh PRN. Sebagai tanggapan, Letnan Jenderal AD Kekaisaran Jepang Teiichi Suzuki diperintahkan untuk memberikan bimbingan militer untuk rezim baru, Wang Jingwei, di Nanking, dan menjadi bagian dari kekuatan sebenarnya yang ada di balik pemerintahan Wang.

Dengan izin dari tentara Jepang, kebijakan monopoli umum diterapkan, untuk kepentingan zaibatsu Jepang dan perwakilan lokalnya. Meskipun perusahaan-perusahaan ini diduga diperlakukan sama seperti perusahaan-perusahaan lokal oleh pemerintah, Presiden Legislatif Yuan di Nanjing, Cheng Kung-po, menganggap bahwa pendapat Kaizo Jepang tidaklah benar. PRN juga membuat kedutaan besarnya sendiri di Yokohama, Jepang (seperti yang dilakukan negara boneka Manchukuo).

Orang-orang penting

 
Wang Jingwei, Hideki Tojo dan Subhas Chandra Bose di Tokyo (1943)
 
Chen Gongbo, gubernur Shanghai dan Kepala Pemerintahan 1944-1945

Adminstrasi lokal:

  • Liang Hongzhi: Presidenn dan Kepala Negara di masa-mas awal
  • Wang Jingwei: Presiden dan Kepala Negara
  • Chen Gongbo: Presiden dan Kepala Negara setelah kematian Wang, juga presiden Legislatif Yuan dan Gubenur daerah pendudukan Shanghai.
  • Zhou Fohai: Wapres dan Menteri keuangan di Legislatif Yuan
  • Jiang Kanghu: Kepala Yuan Pendidikan.
  • Kumataro Honda: Penasehat sipil dan politik PRN dan Duta Besar Jepang di Nanjing
  • Nobuyuki Abe: Penasehat politik Jepang di pemerintahan PRN
  • Teiichi Suzuki: Penasehat politik dan militer pemerintahan PRN
  • Bao Wenyue: Menteri Masalah Militer
  • Ren Yuandao: Menteri Angkatan Laut
  • Xiao Shuxuan: Kepala Staf Umum
  • Yang Kuiyi: Menteri Pelatihan Militer
  • Li Shiqun: Kepala No. 76, dinas rahasia PRN yang ditempatkan di Jalan Jessefield No. 76, Shanghai
  • Kaya Okinori: Nasionalis Jepang, pedagang, dan penasihat komersial PRN
  • Chu Minyi: Duta Besar PRN di Yokohama, Japan
  • Tao Liang: Pemilik tanah terkenal di Tiongkok dan pejabat pemerintah PRN
  • Chao Kung: (Ignaz Trebitsch-Lincoln), pemimpin agama Buddha yang diakui

Perwakilan asing dan personel diplomatik:

Ekonomi

Ekonomi lokal dikelola terutama untuk Tentara Front Sentral Jepang. Perencana militer memberlakukan "ekonomi pendudukan" dengan uang perang (Yen militer dan Yuan Tiongkok), dan Bank Sentral Tiongkok yang seharusanya adalah entinitas Tiongkok, tetapi malah dikelola oleh penasehat Jepang dan tentara Jepang di daerah ini. Tiongkok dibawah rezim PRN memiliki akses yang lebih besar ke kemewahan masa perang yang didambakan, dan Jepang menikmati hal-hal seperti pertandingan, beras, teh, kopi, cerutu, makanan dan minuman beralkohol, yang semuanya langka di Jepang. Hiburan tambahan, seperti pelacuran, kasino dan bar, dikelola oleh fungsionaris Jepang dan lokal untuk kepentingan militer. Tujuan dari kontrol ini diduga untuk menghambat depresiasi moneter dari yen, sehingga dapat menjaga kekuatan mata uang Jepang di wilayah ini.

Di wilayah yang diduduki Jepang, harga kebutuhan pokok naik secara substansial. Di Shanghai pada tahun 1941, harga barang naik hinga sebelas kali lipat. Inflasi serupa terjadi di Manchukuo, meskipun kendali ekonomi sangat terpusat oleh Jepang.

Pendidikan

Pendidikan yang dilakukan serupa seperti di semua wilayah yang diduduki Jepang. Strateginya adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang cocok untuk pabrik-pabrik dan tambang, serta untuk tenaga kerja manual. Jepang juga berusaha untuk memperkenalkan budaya dan pakaian mereka ke Tiongkok. Keluhan-keluhan seperti di Manchukuo, menuntut dan menyerukan pengembangan pendidikan yang lebih bermakna Tiongkok. Kuil Shinto dan pusat kebudayaan yang sama dibangun untuk menanamkan budaya dan nilai-nilai Jepang. Kegiatan ini terhenti pada akhir perang.

Kehidupan shari-hari

Kehidupan sehari-hari sering sulit di Tiongkok yang dikuasai PRN, dan semakin sulit saat kondisi perang berbalik melawan Jepang (sek. 1943). Penduduk setempat terpaksa melakukan pasar gelap untuk mendapatkan barang-barang yang diperlukan atau untuk mempengaruhi pembentukan berkuasa. Kempetai dan Tokko Jepang, polisi korlaborator Tiongkok, dan warga negara Tiongkok yang bekerja di lembaga-lembaga Jepang, semua bekerja untuk menyensor informasi, memantau oposisi, dan menyiksa musuh dan pembangkang. agen rahasia "dalam negeri" Tewu, dibentuk dengan "penasihat" tentara Jepang.

Jepang juga mendirikan pusat-pusat penahanan tawanan perang, kamp-kamp konsentrasi, dan pusat pelatihan Kamikaze untuk mengindoktrinasi pilot sebagai anggota Angkatan Laut Kōkūtai Shanghai (dilengkapi dengan Mitsubishi A6M Reisen, Yokosuka K5Y, Nakajima B5N dan beberapa pesawat amfibi). Nakajima/Kugisho L3Y1/2 dari Skuadron Pangkalan Tsingtao, dipisahkan di Tsingtao sebagai bagian dari Shina Homen Kantai' (Armada Wilayah Tiongkok) diantara Angkatan Darat I/II Chutai dari Hiko Sentai ke-85 dan Senai ke-9 (dilengkapi dengan Ki-44 Shoki/Ki-84 Hayate). Kedua unit tersebut dipusatkan di Shanghai dan Nanjing.

Kontrol media

 
Dinding rumah dengan slogan berbunyi: "Dukung Tuan Wang Jingwei!"

Pemerintahan Nanjing membentuk "Biro Manajemen Koran" dibawah "Departemen Propaganda" pada bulan Oktober 1940. Empat lembaga pers dibentuk pada tahun 1941, meskipun semuanya secara resmi dikendalikan oleh dan disensor oleh Departemen Propaganda.

Populasi

Populasi mungkin jumlahnya hampir mirip dengan angka dari tahun 1937-1938 yang berasal Kementerian Luar Negeri, dengan tidak memperhitungkan dari daerah luar atau daerah yang diduduki setelah kemenangan perperangan:

  • Jiangsu: 15,804,623
  • Anhui: 23,354,188
  • Zhejiang: 21,230,749

Populasi kota-kota besar meliputo:

  • Nanjing: 1,100,000
  • Shanghai: 3,703,430 (termasuk 75,000 orang asing)
  • Suzhou: 576,000
  • Hangzhou: 389,000
  • Shaoxing: 250,000
  • Ningbo: 250,000
  • Hankow: 804,526 (saat penguasaan sementara)

Penghitungan populasi lain menghasilkan:

  • Shanghai: 3,500,000
  • Hankow: 778,000

Sumber lain ditahun 1940 melaporkan bahwa jumlah penduduk bertambah menjadi 182,000,000.

Pertahanan Nasional

 
Presiden Wang Jingwei saat parade militer pada ulang tahun ketiga pembentukan pemerintah

Tentara Jepang mengorganisasi tentara lokal, yang bertujuan untuk menlindungi Tiongkok dibawah Rezim Nanjing (PRN). Pada kenyataannya, itu menjabat sebagai garis kedua serangan dan keamanan internal sebagai bagian dari Perang Sino-Jepang Kedua. Sebuah angkatan udara kolaborator ("Angkatan Udara Pemerintah Reformasi Tiongkok" (1938), yang kemudian berganti nama menjadi "Angkatan Udara Pemerintahan Nasional Tiongkok" di tahun 1940) dibentuk, dimana pada awalnya hanya diberikan glider untuk tujuan pelatihan. Kemudian, AU ini dilengkapi dengan:

Untuk Angkatan Darat Korlaborator, Jepang menyediakan:

Untuk AL Korlaborator, AL Jepang menyediakan (semuanya hasil tangkapan):

  • Gunboat Suma (bekas HMS Moth)
  • Gunboat Tatara (bekas USS Wake)
  • Gunboat Karatsu (bekas USS Luzon)
  • Gunboat Narumi (bekas RM Ermanno Carlotto)
  • Gunboat Okitsu (bekas RM Lepanto)
  • Gunboat Nan-Yo (bekas AL Tiongkok Teh Hsing)
  • Patrol Boat PB-102 (bekas USS Stewart)
  • Patrol Boat PB-101 (bekas HMS Thracian)
  • Light Cruiser Isojima (bekas AL Tiongkok Ning Hai)
  • Light Cruiser Yasojima (bekas AL Tiongkok Ping Hai)
 
Bendera Perang Republik Tiongkok-Nanjing sejak 1 Mei 1942.
 
Bendera Laut.

Rezim juga memiliki kekuatan berupa polisi reguler di bawah kendali Jepang. Para politisi dan media lokal secara konsisten memberikan propaganda pro-Jepang, memuji "upaya heroik pasukan Imperial", dan berpendapat "untuk pertahanan nasional terhadap komunisme dan kepentingan Barat".

Pasukan Chiang Kai-shek menangkap sejumlah anggota militer Wang Jingwei selama pertempuran militer. Tahanan musuh dari peringkat rendah dibujuk untuk berkhianat dan berjuang bersama pasukan anti-Jepang, tapi tahanan tingkat tinggi dieksekusi. Para pemimpin militer termasuk:

  • MMenteri Masalah Militer: Bao Wenyue (鮑文樾)
  • Menteri Angkatan Laut: Ren Yuandao (任援道)
  • Kepala Staf Umum: Yang Kuiyi (楊揆一)
  • Menteri Pelatihan Militer: Xiao Shuxuan (蕭叔萱)

<----

Japanese methods of recruiting

During the conflicts in central China, the Japanese utilized several methods to recruit Chinese volunteers. Japanese sympathisers like Nanjing's pro-Japanese governor, or major local landowners like Tao-liang, were used to recruit local peasants in return for money or food. The Japanese recruited 5,000 volunteers in the Anhui area for the local Nanjing Army. Japanese forces and the Reformed Nanjing Government used slogans like "Drop Your Weapons, and Take the Plow", "Oppose the Communist Bandits" or "Oppose Corrupt Government and Support the Reformed Nanjing Government" to dissuade guerrilla attacks and buttress its support. Other methods included soliciting the cooperation of local bandits, using money, drugs, weapons, or captured goods as enticements. Using this system, they organized anti-guerrilla units, who sometimes collaborated with criminal elements.

The Japanese used various methods for subjugating the local populace. Initially, fear was used to maintain order, but this approach was altered following appraisals by Japanese military ideologists. In 1939, the Japanese army attempted some populist policies, including:

  • dividing the property of major landowners into small holdings, and allocating them to local peasants;
  • providing the Chinese with medical services, including vaccination against cholera, typhus, and varicella, and treatments for other diseases;
  • ordering Japanese soldiers not to violate women or laws;
  • dropping leaflets from aeroplanes, offering rewards for information (with parlays set up by use of a white surrender flag), the handing over weapons, or other actions beneficial to the Japanese cause. Money and food were often incentives used; and
  • dispersal of candy, food and toys to children.

Buddhist leaders inside the occupied Chinese territories ("Shao-Kung") were also forced to give public speeches and persuade people of the virtues of a Chinese alliance with Japan, including advocating the breaking-off of all relations with Western powers and ideas.

In 1938, a manifesto was launched in Shanghai, reminding the populace the Japanese alliance's track-record in maintaining "moral supremacy" as compared to the often fractious nature of the previous Republican control, and also accusing Generalissimo Chiang Kai-Shek of treason for maintaining the Western alliance.

In support of such efforts, in 1941 Wang Jing-wei proposed the Qingxiang Plan to be applied along the lower course of the Yangtze River. A Qingxiang Plan Committee (Qingxiang Weiyuan-hui) was formed with himself as Chairman, and Zhou Fohai and Chen Gongbo (as first and second vice-chairmen respectively). Li Shiqun was made the Committee's secretary. Beginning in July 1941, Wang maintained that any areas to which the plan was applied would convert into "model areas of peace, anti-communism, and rebuilders of the country" (heping fangong jianguo mofanqu). It was not a success.

Primary industry statistics

Before and during Japanese control of the Reformed Nanjing Republic of China, the farming possibilities were as follows:

Winter wheat and kaoliang (sorghum) zones

  • Precipitation: 24 in (600 mm)
  • Growing period: 241 days
  • Cultivated land area: 118,993 mile² (308,000 km²)
  • Cultivated land area: 47% for winter wheat and 68% for kaoliang
  • Cultivatable area per farm: 5.1 acres (21,000 m²)
  • Percentage of peasant-tenants: 5%
  • Peasant population density per unit area of cultivated land: 450/km² (1,165/mile²)

Distribution of crops

  • Wheat: 46%
  • Rice: 23%
  • Corn: 16%
  • Cotton: 9%
  • Kaoliang: 19%

Distribution of animals

  • Oxen: 40%
  • Donkeys: 21%
  • Mules: 16%

Transport types

  • Loaders: 32%
  • Hand carts: 36%
  • Loader Animal: 21%
  • Carts: 60%

Typical products

Yangtze rice and wheat zones

  • Precipitation: 42 inches (1070 mm)
  • Growing period: 293 day
  • Cultivated land area: 40,328 square miles (104,000 km²)
  • Cultivated land area: 61% for rice and 25% for wheat
  • Cultivatable area per farm: 3.5 acres (14,000 m²)
  • Percentage of peasant-tenants: 25%
  • Peasant population density per unit area of cultivated land: 525/km² (1,360/mile²)

Distribution of land usage for farming

  • Rice: 58%
  • Wheat: 31%
  • Cotton: 13%
  • Barley: 19%

Distribution of animal husbandry

  • Oxen: 40%
  • Water buffalo: 42%
  • Pigs: 15%

Transportation distribution

  • Loaders: 41%
  • Hand carts: 22%
  • Little vessels & boats: 33%

Typical products

  • Bamboo

Land in cultivation

  • Anhwei:
    • Land in cultivation: 22.7%
    • Cultivated land per person: 0.38 acres (1,500 m²)
  • Kiangsu:
    • Land in cultivation: 52.4%
    • Cultivated land per person: 0.39 acres (1,600 m²)
  • Chekiang:
    • Land in cultivation: 26.3%
    • Cultivated land per person: 0.30 acres (1,200 m²)

For mining resources, see Empire of Japan (natural resources, Asia mainland and Pacific areas, after 1937)

Industry & commerce

In pre-war Shanghai, many factories developed silk and cotton, and most had been controlled and owned by the Japanese or other foreign investors. A notable installation was the "Shanghai Power Plant" at the heart of the city, with a production capacity of some 200 megawatts. This power plant used coal from northern China. Since 1843 the port of Shanghai had been China's gateway for commerce, and in 1935, it was handling trade with New York, London, San Francisco, Kobe, Liverpool, Los Angeles, Hong-Kong, Hamburg and Rotterdam. Shanghai also had other industries that were crucial to modern Chinese society at that time. Even under Wang Jing-wei's regime it continued to be a major industrial and economic powerhouse.

To complement the efforts of the South Manchurian Railway Company, the Japanese civil establishment and the Imperial Japanese Army, in collaboration with Chinese local businessmen, founded the North China Railway Company. This had branches in Hopei, Shangtung and other Northern Chinese areas in order to link up the north China and central China railways. At about the same time the pro-Japanese government in Nanjing, together with "native" Japanese organisations and the Japanese Central Chinese Army authorities, organized the Central China Railway Company to link up the railways of Ahnwei, Kiangsu, north Chekiang, and areas near to or were held by the Southern Japanese Chinese Army, for economic and strategic reasons. The Japanese also organized a Chinese merchant shipping company and a Commerce Authority Entity for managing commercial traffic around Shanghai.

Japanese authorities reinforced monopolies on production in the occupied territories. Control methods were modelled on guilds, on the Naiga Wata Kabushiki Kaisha (which specialized in managing the Japanese cotton industry), or private zaibatsu such as Mitsubishi.

  • Lust, Caution is a 1979 novella by Chinese author Eileen Chang which was later turned into an award winning film by Ang Lee. The story is about a group of young university students who attempt to assassinate the minister of security of the Wang Jingwei government. During the war, Ms. Chang was married to Hu Lancheng, a writer who worked for the Wang Jingwei government and the story is believed to be largely true.
  • The 2009 Chinese film The Message is a thriller/mystery in the vein of a number of Agatha Christie novels. The main characters are all codebreakers serving in the Wang Jingwei regime's military, but one of them is a Nationalist Government double-agent. A Japanese Intelligence Officer detains the group in a castle and attempts to uncover which of them is the spy using psychological and physical coercion, uncovering the protagonists' bitter rivalries, jealousies, and secrets as he does so.

-->

Lihat juga

References

  1. ^ Japanese Newsreel with the national anthem di YouTube
  2. ^ Narangoa, Li; Cribb, R.B. (2003). Imperial Japan and national identities in Asia, 1895–1945. Routledge. hlm. 13. ISBN 0-7007-1482-0. 

Bacaan lebih lanjut

  • David P. Barrett and Larry N. Shyu, eds.; Chinese Collaboration with Japan, 1932–1945: The Limits of Accommodation Stanford University Press 2001
  • John H. Boyle, China and Japan at War, 1937–1945: The Politics of Collaboration (Harvard University Press, 1972).
  • Bunker, Gerald E. Peace Conspiracy: Wang Ching-wei and the China War, 1937–41 (1972)
  • James C. Hsiung and Steven I. Levine, eds., China's Bitter Victory: The War with Japan, 1937–1945 (Armonk, N.Y.: M. E. Sharpe, 1992)
  • Ch'i Hsi-sheng, Nationalist China at War: Military Defeats and Political Collapse, 1937–1945 (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1982).
  • Frederick W. Mote, Japanese-Sponsored Governments in China, 1937–1945 (Stanford University Press, 1954).
  • Joseph Newman, Goodbye Japan (references about Chinese Reformed Regime) published in New York, March 1942
  • Edward Behr, The Last Emperor, published by Recorded Picture Co. (Productions) Ltd and Screenframe Ltd., 1987
  • Agnes Smedley, Battle Hymn of China"
  • Chiang Kai Shek, The Soviet Russia in China
  • Wego W. K. Chiang, How the Generalissimo Chiang Kai Shek gained the Chinese- Japanese eight years war, 1937–1945
  • Alphonse Max, Southeast Asia Destiny and Realities, published by Institute of International Studies, 1985.
  • Jowett, Phillip S., Rays of The Rising Sun, Armed Forces of Japan's Asian Allies 1931–45, Volume I: China & Manchuria, 2004. Helion & Co. Ltd., 26 Willow Rd., Solihul, West Midlands, England.

Pranala luar