Kerajaan Gelgel

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 25 Agustus 2020 13.22 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (Memperbaiki teks)

Kerajaan Gelgel adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Pulau Bali.[1] Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.[2] Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan Kerajaan Majapahit.[3] Masyarakatnya terbagi menjadi Bali Hindu dan Bali Aga.[4] Kerajaan Gelgel berakhir pada masa pemerintahan Ki Agung Maruti setelah diserang oleh pasukan Dewa Agung Jamber pada tahun 1687.[5]

Wilayah Kekuasaan

Raja Kerajaan Gelgel yang pertama adalah Dalem Ketut Ngelesir. Ia adalah keturunan dari dinasti Kerajaan Majapahit.[6] Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali. Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1434 terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Bali.[7] Pada abad ke-17, wilayah Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.[2] Selain itu, Kerajaan Gelgel juga menguasai seluruh wilayah Kerajaan Blambangan dan Kerajaan Karangasem.[8]

Sistem pemerintahan

Kerajaan Gelgel merupakan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sama dengan kerajaannya, yaitu Manawa Sasana.[9] Sistem ini mengikuti ajaran agama Hindu, sehingga raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Selanjutnya terdapat sebuah dewan penasehat yang disebut rakryan Mahamantri dengan tugas membantu raja dalam menjalankan pemerintahan. Dewan ini terdiri dari Rakryan Mahamantri I Hino, Rakryan Mahamantri I Halu dan Rakryan Mahamantri I Sirikan. Tugas dari dewan penasehat kemudian dilaksanakan oleh dewan pelaksana yang disebut mantra ri pakirakiran. Anggotanya terdiri dari Rakryan Mapatih, Rakryan Demung, Rakryan Tumenggung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan.[10] Sistem pemerintahan dari Kerajaan Gelgel sepenuhnya berpusat di Desa Gelgel.[11]

Kemasyarakatan

Pada masa Kerajaan Gelgel terjadi perkembangan stratifikasi sosial dalam masyarakat Bali. Masyarakatnya dibedakan menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Bali Hindu adalah masyarakat Bali yang merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Bali Aga adalah masyarakat pribumi. Sistem kasta wangsa hanya diberlakukan terhadap masyarakat Bali Hindu, sedangkan Bali Aga dianggap sebagai orang biasa yang tidak memiliki hak untuk membentuk wangsa.[4] Setelah wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel meluas hingga ke Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, kerajaan ini mulai terlibat hubungan politik dengan masyarakat dari Suku Bugis, Suku Makassar, dan Suku Sasak.[12]

Keruntuhan

Kekuasaan dari Kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-kerajaan di luar Pulau Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah Dalem Seganing mulai berkuasa pada tahun 1605, satu per satu wilayah Kerajaan Gelgel diserang dan direbut oleh kerajaan lain. Kerajaan Blambangan yang menjadi bawahan dari Kerajaan Gelgel diserang oleh Kerajaan Pasuruan. Selain itu, Kesultanan Makassar juga merebut Pulau Sumba pada tahun 1633 dan menyerang Pulau Lombok pada tahun 1640.[3]

Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan yang bernama Ki Agung Maruti memberontak dan merebut kekuasaan di Kerajaan Gelgel. Raja Dalem Dimade bersama para bangsawan lain yang mendukungnya, mengungsi ke Desa Guliang. Pada 1686, Dewa Agung Jambe menyerang Maruti. Pafa tahun 1687, Maruti dikalahkan dan Dewa Agung Jambe kemudian mendirikan Kerajaan Klungkung dengan pusat pemerintahannya berada di Klungkung.[5]

Peninggalan Kebudayaan

Asta Bumi

Kerajaan Gelgel mempunyai sistem tata ruang dan tata kota tradisional yang disebut Asta Bumi.[13] Asta Bumi digunakan untuk mengatur letak dapur, pekarangan dan tempat ibadah di dalam sebuah rumah. Selain itu, Asta Bumi juga digunakan dalam mengatur letak pura utama, pemukiman dan pemakaman.[14]

Pura Dasar Buana Gelgel

Pura Dasar Buana Gelgel menjadi simbol persatuan politik di Bali setelah Kerajaan Majapahit berkuasa di wilayah ini pada tahun 1343.[15] Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, pura ini menjadi tempat penyembahan bagi semua paham keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu Siwa, Hindu Pakraman, dan Hindu Pamongan.[16]

Keagamaan

Kerajaan Gelgel menetapkan sistem keagamaan Hindu Trimurti.[17] Pada masa awal pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Kerajaan Gelgel berkuasa dengan menempatkan perwakilan raja secara turun-temurun di setiap desa. Selain itu, para penguasa di desa-desa diwajibkan melakukan sumpah setia kepada raja dengan ritual Balik Sumpah. Ritual ini berupa kegiatan bekeliling desa dengan menggunakan kerbau. Ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kepercayaan lokal masyarakat Bali dan menggantikannya dengan kepercayaan agama Hindu dengan dewa utamanya yaitu Siwa.[18]

Pura Kawitan Pasek Gelgel

Pura Kawitan Pasek Gelgel terletak di bagian selatan dari Pura Dasar Buana Gelgel. Pura ini dikelola oleh dua belas keluarga utama dan dibantu oleh dua ribu keluarga cabang yang tinggal tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Di dalam pura ini terdapat dua lembar prasasti. Satu prasasti terbuat dari tembaga, sedangkan prasasti yang lainnya berbahan perak. Prasasti berbahan tembaga merupakan piagam yang diberikan oleh Raja Gelgel kepada sekretarisnya yang bernama I Gusti Dauh Bale Agung. Sedangkan prasasti yang berbahan perak merupakan piagam raja yang diberikan kepada Pasek Gelgel. Ia adalah seorang tokoh masyarakat yang bertugas sebagai pemangku Pura Dasar Buana Gelgel.[19] Kedua prasasti ini saling berhubungan dan membahas kisah penganugerahan jabatan sekretaris dan pengelola Pura Dasar Buana oleh Dalem Waturenggong kepada I Gusti Dauh Bale. Setelah I Gusti Dauh menjadi pertapa, Pasek Gelgel dipilih menjadi pemangku di Pura Dasar Buana Gelgel secara turun-temurun.[20]

Referensi

  1. ^ Diana 2016, hlm. 60.
  2. ^ a b Kartini 2011, hlm. 121.
  3. ^ a b Alit 2017, hlm. 2.
  4. ^ a b Suwitha 2019, hlm. 8.
  5. ^ a b Suwitha 2019, hlm. 5.
  6. ^ Kartini 2011, hlm. 119.
  7. ^ Diana 2016, hlm. 49.
  8. ^ Kartini 2011, hlm. 125.
  9. ^ Alit 2017, hlm. 5.
  10. ^ Alit 2017, hlm. 4.
  11. ^ Ketut Laksemi Nilotama, Sangayu (2009). "Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali". ITB Journal of Visual Art and Design. 3 (1): 43–56. doi:10.5614/itbj.vad.2009.3.1.4. ISSN 1978-3078. 
  12. ^ MSi, Sabarudin (2019-10-29). "KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG LOLOAN, JEMBRANA, BALI". Jurnal Sosiologi Reflektif. 14 (1): 1. doi:10.14421/jsr.v14i1.1722. ISSN 2528-4177. 
  13. ^ Rosada dan Hariski 2016, hlm. 64.
  14. ^ Rosada dan Hariski 2016, hlm. 76.
  15. ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 340.
  16. ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 342–343.
  17. ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 342.
  18. ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 341.
  19. ^ Mardika 2020, hlm. 25.
  20. ^ Mardika 2020, hlm. 27.

Daftar Pustaka

Jurnal

Prosiding